"Ibu kamu... mau ketemu aku?" tanya Boboiboy tak percaya.

Yaya mengangguk. "Iya. Pas aku ceritain tentang kamu, dia mau ketemu kamu."

"Emangnya kamu cerita apa aja?" tanya Boboiboy penasaran. Ditanya begitu membuat Yaya tersenyum malu. Bagaimana cara ia mengatakannya pada Boboiboy?

"Hm, nggak banyak sih. Cuma ceritain kalo kamu cowok yang baik, perhatian, selalu lindungin aku..." Ucapan Yaya terhenti dengan matanya memandang ke langit. Boboiboy yang melihatnya tersenyum gemas. Ia mendekatkan wajahnya pada Yaya agar bisa menatap gadis itu lebih dekat.

"Terus? Apalagi?"

"Ada deh, kamu nggak perlu tau–Boboiboy!" pekik Yaya kaget karena wajah cowok itu hanya beberapa centi di depannya saat ia menurunkan pandangan.

Boboiboy tergelak. Kepalanya dimundurkan kembali sementara Yaya menggembungkan pipinya sebal.

"Berarti ibu kamu udah restuin kita?"

Yaya menghela napas samar dan menundukkan kepalanya ke bawah. "Belum, sih walaupun Ibu aku sempet terimakasih ke kamu karena udah lindungin aku. Tapi aku yakin, ibu pasti mau restuin kita." ucap Yaya riang.

"Kenapa kamu bisa yakin banget sama aku?" tanya Boboiboy lagi. "Istilahnya, aku pernah berurusan sama preman, pernah berantem juga. Dan lingkungan pertemanan aku agak toxic." lanjutnya. Dari awal hubungan mereka pun, Boboiboy selalu mempertanyakan itu. Kenapa gadis baik-baik seperti Yaya bisa jatuh hati pada cowok berandalan seperti dirinya?

Reaksi Yaya tertawa kecil. Ia melipat tangannya di depan dada untuk menatap Boboiboy lurus. "Kamu nanya kenapa aku yakin sama kamu?" tanyanya, Boboiboy menjawabnya dengan anggukan polos, membuat Yaya semakin gemas. "Karena hati aku yang milih kamu." jawab Yaya gamblang.

Boboiboy mengernyit. "Hah?" Ia benar-benar tak paham maksud Yaya. "Maksudnya... aku nggak paham lho, kenapa kamu bisa suka sama aku? Aku 'kan banyak kurangnya–"

"Busnya udah dateng. Ayo naik!" seru Yaya ketika melihat kendaraan yang mereka tunggu berhenti di depan mereka. Tangannya menarik Boboiboy yang masih tak berhenti mengoceh bahkan setelah mereka memasuki bus.

"–kamu padahal bisa lho dapet cowok yang lebih baik dari aku?" katanya tepat mereka duduk di salah satu kursi kosong. Matanya tak melepas pandangan dari Yaya, menuntut jawaban dari gadis itu yang terlihat biasa saja. "Yaya, kamu denger aku nggak sih?" tanyanya sebal.

"Iya, denger." balas Yaya. Ditatapnya kembali kedua netra sang pacar. "Aku suka kamu ya karena suka aja."

"Kenapa?" Boboiboy masih belum puas dengan jawaban yang ia berikan.

"Memangnya suka harus ada alasan?" tanya Yaya balik. Boboiboy tampak mengerjap polos, Yaya menahan diri untuk tidak memotret momen langka itu. Apakah cowok di sampingnya ini benar Boboiboy yang saat itu berusaha menggertak Adu Du agar tak menyakitinya? Yaya benar-benar tak bisa memercayainya.

"Ha.. rus bukannya?" jawab Boboiboy ragu.

Yaya tertawa geli. Ia menyentil dahi Boboiboy pelan hingga cowok itu refleks berkedip. "Nggak harus. Ada cinta yang tanpa alasan. Kalo kamu, emang suka aku karena apa?" tanya Yaya kemudian.

Boboiboy diam sejenak untuk berpikir. "Karena kamu baik."

"Baik?"

Boboiboy mengangguk. "Kamu 'kan pernah nolongin aku waktu aku pingsan di pinggir jalan. Padahal kita belum kenal, tapi kamu tetep mau nyelametin aku."

Pipi Yaya seketika merona mendengarnya. Tentu ia tak pernah melupakan kejadian itu, saat mereka untuk pertama kalinya bertemu.

"Kayanya, aku langsung suka sama kamu pas itu." ucap Boboiboy seraya tersenyum manis, tanpa tahu tindakan kecilnya itu mampu membuat jantung Yaya berdegup cepat dengan wajah berubah semerah tomat.

Sadar Yaya sedang nge-fly, Boboiboy tersenyum geli dan menguyel pipi Yaya berkali-kali.

"Gemes banget, pacarnya siapa sih?"

"Boboiboy!"


"DEMI ALEK LO KEMANA AJA ANJIR BARU KELIATAN SEKARANG?!"

Boboiboy harus menutup telinganya rapat-rapat kalau tidak mau pendengarannya rusak berkat teriakan super membahana Fang. Baru dirinya mau duduk, Fang sudah mencengkram bahunya keras dengan ekspresi wajah terharu yang dibuat-buat.

"Gue kangen lo, Boi! Gila lo ya bolos dua bulan?! Otak lo keturunan Albert Esteh kah?!"

"Albert Einstein, pea!" gerutu Ying sebal.

Namun Fang tak memedulikan itu dan sudah memeluk Boboiboy erat. Cowok itu hanya bisa meringis pasrah dengan tatapan meminta tolong pada Yaya, yang hanya dibalas tawa geli melihatnya disiksa.

"Lo nggak apa-apa, 'kan?! Baek-baek aja? Sehat walafiat?" tanya Fang selepas ia memeluk Boboiboy.

Boboiboy hanya mengangguk dan menepuk bahu Fang dua kali. Ia tak menyangka pacar Ying ini menjadi sangat lengket padanya.

"Lo duduk sama gue hari ini." ucap Fang tiba-tiba.

"Loh heh? Terus gue?" protes Ying tak terima.

"Ama Yaya dulu. Bosen gue duduk ama lo terus tiap hari." balas Fang enteng.

Ying melongo tak percaya saat Fang sudah menarik paksa Boboiboy ke tempat duduknya. Kenapa rasanya ia diselingkuhi sama Fang?

"Dasar pacar gak guna!" dengusnya, duduk di samping Yaya dengan gusar.

Yaya hanya terkekeh melihat kekonyolan mereka. Dua cewek itu kemudian melirik diam-diam Boboiboy dan Fang yang sudah mengobrol ria macam ibu-ibu komplek.

"Yaya, Boboiboy udah nggak apa-apa, 'kan?" bisik Ying dengan suara serendah mungkin.

Yaya mengangguk pelan. "Udah, sih. Walaupun kadang dia masih keliatan sedih."

"Iya, sih. Pasti butuh waktu lama buat pulih dari lukanya," balas Ying prihatin. Luka yang mereka maksud adalah luka di hati cowok itu. Karena tak mudah untuk menyembuhkannya. Bahkan bisa lebih parah dari luka fisik.

"Tapi aku yakin dia bakal baik-baik aja." ujar Yaya lagi.

Ying mengangguk mengiyakan. Keduanya kembali menghadap ke depan karena bel masuk sudah berbunyi.


Banyak yang berubah semenjak ia kembali ke sekolah. Meski sudah 2 bulan absen, Boboiboy tidak di drop-out. Ternyata pihak sekolah mengetahui kejadian itu dan sengaja menyembunyikannya walau tak sepenuhnya tersembunyi, karena Yaya sempat menjadi sasaran empuk spekulasi orang-orang berkat kejadian itu. Dan juga Iwan...

Boboiboy menghela napas di depan balkon kelasnya. Ia tak ikut ke kantin untuk menghabiskan waktu istirahat. Rasanya lebih baik di sini, memandangi lapangan sekolahnya di bawah sana ditemani hiruk pikuk suasana istirahat. Pikirannya berkelana jauh, mengulang kembali apa yang sudah ia lalui belakangan ini. Seperti mustahil jika dibayangkan, bagaimana ia bisa melewatinya hingga sampai pada di titik ini? Padahal saat itu, ia hampir ingin menyerah dan tak sanggup lagi bangkit. Apakah ini hanya mimpinya semata?

"Woi, ngapain lo."

Boboiboy terkejut sedikit kala bahunya ditepuk seseorang. Ternyata Fang. Dia sudah berdiri di sampingnya, ikut menatapi lapangan sekolah.

"Kata gue lo jangan ngelamun. Disini banyak setannya. Tar lo bisa kerasukan." kata Fang, entah ia serius atau bercanda. Namun Boboiboy menganggapnya sebagai candaan dan tertawa kecil.

"Nggak, kok. Gue cuma iseng di sini aja."

Fang mengangkat alisnya, tampak tak puas dengan jawaban yang diberikan Boboiboy. Cowok itu memutar badannya hingga membelakangi balkon, meneguk sedikit cola yang ia beli tadi sebelum ke sini.

"Lo tau? Gue amat kagum sama lo, Bob." ucapnya.

Mendengar itu membuat Boboiboy menatap Fang bingung. Ia tak memedulikan panggilan yang dirubah Fang untuknya.

"Kagum... kenapa?"

"Lo bisa berani mempertaruhkan nyawa lo demi cewek yang lo sayang." jawab Fang.

Untuk sepersekian detik Boboiboy tertegun. Ia baru akan bertanya darimana Fang tahu itu ketika Fang sudah lebih dulu berbicara.

"Gue tahu itu dari nggak sengaja denger Ying sama Yaya curhat. Mereka nggak tau kalo gue nggak nyalain lagu walaupun pake earphone. Emang bego banget dua orang itu." ujar Fang cuek.

Boboiboy terdiam. Ia menatap Fang lama dan ingin mengatakan sesuatu. Tapi rasanya sangat sulit.

"Lo tenang aja. Gue nggak akan bocorin itu." kata Fang, seolah tahu apa yang sedang dipikirkannya.

Boboiboy tersenyum tipis. Ia lega mengetahui Fang dapat mengerti pikirannya.

"Gimana luka lo? Aman?" tanya Fang, melirik luka di area perutnya.

Boboiboy mengangguk dan tanpa sadar tangannya bergerak menyentuh lukanya. "Lumayan. Cuma gue belum boleh beraktivitas terlalu banyak."

"Iyalah. Sakit banget pasti." balas Fang. Ia menghadapkan tubuhnya pada Boboiboy. "Coba gue liat." izinnya.

Boboiboy menurutinya dan mengangkat sedikit seragamnya hingga bekas lukanya terlihat. Fang meringis ngilu. Ia tak dapat membayangkan bagaimana rasa sakitnya.

"Anjir, perih banget pasti."

"Ta–"

"Oh, jadi ini yang lo berdua lakuin?"

Boboiboy dan Fang kompak menoleh kala mendengar suara itu. Tampak Yaya dan Ying sudah di depan mereka dengan tatapan shock.

"Bukan gi–"

"Boboiboy. Kamu nggak sayang aku lagi?" tanya Yaya dengan mata berkaca-kaca. Boboiboy seketika panik.

"Nggak, Yaya. Aku cuma liatin luka aku ke Fang–"

"Cih, dasar homo!" kata Ying, lalu menarik paksa tangan Yaya agar masuk ke kelas.

Boboiboy tertegun melihatnya dan ingin mengejar Yaya untuk menjelaskan yang sebenarnya. Namun tangannya langsung ditahan oleh Fang.

"Biarin. Lo cuma buang-buang waktu jelasin ke cewek." ucap Fang cuek, kembali memandangi lapangan sekolah.

Meskipun nalurinya masih ingin mengejar Yaya, tapi Boboiboy akhirnya mengikuti Fang untuk berdiri di balkon lagi.

"Diemin aja dulu. Nanti juga mereka kayak biasa lagi." lanjut Fang.

"Lo kayaknya udah berpengalaman banget?" tanya Boboiboy dengan nada menyindir bercanda. Fang terkekeh mendengarnya.

"Gue udah sering jalanin hubungan kayak gini. Tapi lo jangan bilang ke Ying, yak."

Boboiboy tergelak.

"Tapi ya, bagi gue Ying itu udah jadi cewek satu-satunya buat gue. Untuk sekarang." ujar Fang serius. Boboiboy diam mendengarkan. Belum pernah ia menemukan Fang tampak serius sekaligus tulus mengatakan itu. "Dia... beda dari mantan-mantan gue yang dulu. Sampe kita berdua saling ngenalin ke orang tua kita masing-masing. Padahal sebelumnya gue nggak pernah lakuin itu."

Entah apa yang membuat Fang curhat padanya, tapi Boboiboy tak mempermasalahkannya sama sekali. Ia ikut senang mendengar hubungan Fang dan Ying tampak baik-baik saja.

"Hubungan yang udah di tahap dikenalin ke orang tua, itu berarti lo udah menangin dia." ujar Fang. Ucapannya itu sukses menarik seluruh perhatian Boboiboy. "Tapi lo juga harus memegang tanggung jawab penuh. Jangan sampe orang tua cewek lo hilang kepercayaan." tutup Fang.

"Jadi... hubungannya udah direstuin?" tanya Boboiboy hati-hati.

Fang mengangguk mantap. Dilihatnya Boboiboy yang tampak ragu. "Kenapa? Lo diajak ketemuan sama nyokap Yaya?"

Boboiboy menoleh terkejut karena Fang menebaknya telak. "Kok lo bisa tau?"

Fang tertawa renyah. "Tau, lah." katanya, membuat Boboiboy meringis. Apa Fang ini adalah cenayang yang bisa mengetahui semuanya? "Kenapa? Lo butuh saran, atau masukan? Gue ahlinya kok." sombong Fang.

Mata Boboiboy memutar malas mendengarnya. Walaupun memang ibu Yaya tak memintanya langsung, melainkan lewat Yaya, tapi sama saja bukan? Ibu Yaya ingin menemuinya.

"Yah, gue belum tau sih. Kayaknya gue belum siap buat ketemu ibunya." ujar Boboiboy.

"Payah." ejek Fang. "Cemen lo."

Boboiboy berdecak. "Lo–"

"Heh, denger ya. Cowok itu gak boleh pengecut. Alasan lo masih belum siap apa? Lo udah buat Yaya segitu sukanya ama lo, tau? Istilahnya lo udah dapetin hati anak gadisnya, tinggal hati nyokapnya aja." ceramah Fang. Memang benar, cowok itu sudah seperti ahli cinta. Meski Boboiboy tak mau mengakuinya terang-terangan.

"Lagian, 'kan, lo udah lindungin dia mati-matian waktu itu. Lupa?" kata Fang lagi.

Boboiboy menghela napas. "Iya, sih. Tapi, 'kan–"

"Udah lo jangan banyak mikir! Langsung gas sih, nikah sekalian kalo nggak." ledek Fang kemudian tertawa.

"Sialan."


Boboiboy menatap sendu bangunan di depannya. Selama dua bulan juga, ia belum sempat pulang ke rumah. Rumah Tok Aba yang diberikan untuk ia dan ibunya. Perlu beberapa menit untuk dirinya menguatkan diri memasuki rumah itu. Karena di dalamnya sudah tak ada lagi kehangatan. Karena... hanya ia yang tersisa di rumah itu.

Helaan napas dikeluarkan lagi dengan panjang. Boboiboy akhirnya melangkah masuk, tangannya sedikit bergetar saat membuka pintu. Suasana sunyi langsung menyambutnya, dan dadanya kembali sesak. Pandangannya yang sendu menyapu seluruh sudut rumah. Kepalanya membayangkan sang ibu yang akan menyambutnya dengan senyum tiap kali ia pulang. Tapi sekarang, harapannya kini tak lagi bisa menjadi kenyataan.

Kaki Boboiboy semakin melangkah maju. Ia berniat merapikan seluruh rumah karena ingin menjualnya nanti. Keputusannya sudah bulat, karena mau ribuan kali ia memikirkannya, Boboiboy selalu merasa dirinya tak akan kuat jika tinggal sendirian di sini. Bayangan Tok Aba serta ibunya akan terus menghantuinya setiap hari. Maka dari itu, ia memutuskan untuk menjualnya.

Ruangan pertama yang ia masuki adalah kamar sang ibu. Tak ada yang berubah dari kamar itu meski sudah ditinggal oleh penghuninya. Boboiboy tersenyum tipis. Kakinya bergerak menjelajah seisi kamar, menatap sendu barang-barang milik ibunya. Beberapa foto dipajang di sebuah rak yang ditempel di dinding. Ada banyak foto dirinya saat kecil, tersenyum begitu lebar seakan tak mempunyai beban sedikitpun.

Salah satu foto yang berada di ujung menarik perhatiannya. Boboiboy meraihnya pelan, sehelai kertas itu memperlihatkan ibunya sewaktu muda. Tersenyum cantik. Jarinya mengelus kaca yang menghalangi foto itu, dan saat itulah Boboiboy merasakan sesuatu yang ganjal. Tangan ibunya seperti sedang menggenggam sesuatu, namun batas foto itu tak lebih dari sana. Dengan rasa penasaran, Boboiboy mengeluarkan foto itu dari bingkainya. Ia membalikkan foto itu, menemukan sisa foto itu dilipat ke belakang.

"Ini..." Ucapan Boboiboy terhenti ketika matanya melihat lekat seseorang yang digandeng ibunya. Jelas itu bukan Amato. Ia tidak tahu itu siapa sampai hatinya menebak. "Ayah...?"

Belum sempat Boboiboy mencari tahu lebih jauh lagi, ponselnya berdering dan nama Yaya tertera di layar.

"Halo? Kamu dimana, Boboiboy?"

"Oh, aku..." Boboiboy terdiam sebentar, menimbang apakah ia harus jujur atau tidak pada Yaya. "... di rumah." jujurnya, karena ia merasa tak ada lagi yang perlu disembunyikan dari Yaya.

"Kamu di rumah? Kok nggak bilang-bilang, sih? Aku 'kan mau ikut!" seru Yaya di seberang sana. Walau ucapannya berisi ambekan gadis itu, tapi Boboiboy menangkap ada nada khawatir yang terselip di sana.

"Agak dadakan tadi, takut kamu nggak bisa."

"Aku selalu bisa kok kalo sama kamu!" sergah Yaya.

Boboiboy terkekeh. Kenapa Yaya tetap menggemaskan walau hanya lewat telepon saja?

"Kamu besok serius mau makan malam bareng ibu aku?" tanya Yaya kemudian. Setelah Fang menasehatinya hari itu, Boboiboy langsung memberitahu Yaya untuk bertemu dengan ibunya, dan besok adalah harinya. Yaya sampai kaget dibuatnya.

"Iya, serius aku."

Yaya terdengar menggerutu. "Kenapa tiba-tiba, sih? Aku 'kan udah bilang nggak perlu buru-buru."

"Ibu kamu mau ketemu aku. Bukannya harus secepatnya?"

"Iya, sih. Tapi 'kan nggak secepat ini juga. Kalo kamu diapa-apain sama ibu gimana?" cerocos Yaya. Boboiboy tertawa. Kenapa posisinya jadi terbalik? Bukannya dia yang harusnya khawatir soal itu?

"Tenang aja, aku juga mau minta izin sama ibu kamu."

"Izin apa?"

"Izin nikahin anaknya." goda Boboiboy.

"Aku anggap itu lamaran, ya?" kata Yaya. Boboiboy terkekeh.

"Nanti, masih lama. Aku harus cari uang yang banyak dulu buat nafkahin kamu." Kini giliran Yaya yang tertawa.

Boboiboy tersenyum geli. Foto itu masih ia genggam. Ada banyak pertanyaan di kepalanya tentang ayah kandungnya. Sepertinya hari ini, ia menemukan sebuah kebenaran lagi.

"Yaya." panggilnya.

"Hm?"

"Nanti aku mau cerita, ya." ujar Boboiboy.

"Iya, boleh. Cerita apa memangnya?"

Boboiboy menyunggingkan senyumnya. "Final chapter dari masalah keluarga aku."


Tepat jam 7 malam keesokannya, Boboiboy datang ke rumah Yaya. Saking gugupnya ia sampai harus menenangkan diri di dalam mobil selama hampir setengah jam. Hoodie hitam dengan kerah putih dipadu jeans hitam menjadi outfitnya malam ini. Rambutnya sengaja ia sisir rapi, membuat aura ketampanannya semakin meningkat. Tapi apakah penampilannya kini mampu meluluhkan hati ibu sang kekasih?

Boboiboy menghela napas panjang sekali lagi. Ia menatap pantulan dirinya di kaca spion tengah, meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. Dibukanya pintu mobil lalu keluar dari sana, sebelum kakinya melangkah pelan memasuki pekarangan rumah Yaya. Boboiboy terdiam sejenak di depan pintu, ternyata ia perlu menguatkan diri lagi hanya untuk menekan bel.

Cklek.

Tapi pintu tiba-tiba saja terbuka, dan sosok Yaya memenuhi pandangannya. Boboiboy sontak terkejut.

"Boboiboy!" pekiknya senang.

Boboiboy tersenyum kaku. Tangannya terangkat ke atas hingga sejajar dengan kepalanya. "Hai."

"Kamu ganteng banget hari ini." puji Yaya. Dan tentu saja itu sangat berefek untuk jantungnya.

"Ah, nggak–"

"Ayo, masuk!" Yaya sudah menarik tangannya untuk masuk sebelum ia selesai berbicara. Boboiboy meringis. Akhirnya ia berhasil masuk ke rumah Yaya lagi dengan cara yang sewajarnya.

"Bu, Boboiboy udah dateng!" seru Yaya.

Boboiboy buru-buru melepas genggaman tangan mereka dan memasang senyum terbaiknya. Yaya terlihat protes lewat tatapan mata, namun Boboiboy memberi isyarat berupa gelengan pelan agar Yaya mengerti posisinya. Gadis itu memahaminya dengan cepat.

Tak lama kemudian sosok ibu Yaya muncul dari lantai dua. Sangat mirip dengan Yaya, namun wajahnya terlihat lebih tegas. Boboiboy membungkukkan badannya 90 derajat meski wanita paruh bayah itu masih menuruni tangga. Membuat Yaya tersenyum geli melihat tingkahnya.

"Selamat malam, Tante." sapanya seraya menegakkan badan kembali, dan ibu Yaya sudah berdiri di depannya.

"Malam. Ayo duduk." balas ibu Yaya. Ia berjalan lebih dulu ke meja makan, lalu diikuti sang anak dan juga Boboiboy. Yaya mengangkat tangannya sedikit ke udara sebagai tanda menyemangati sang kekasih.

Ketiganya kini sudah duduk di meja makan dengan posisi ibu Yaya di hadapan mereka, karena sang gadis lebih memilih untuk duduk di samping Boboiboy.

"Silakan dimakan, Nak. Nanti dingin." ucap ibu Yaya mempersilakan.

Boboiboy mengangguk kaku dengan senyum sopan. Bi Ijah tiba-tiba datang menuangkan minuman ke gelas mereka, saat berada di dekat Yaya Bi Ijah tersenyum penuh arti pada majikannya itu. Yaya hanya bisa menahan senyumnya.

"Jadi kamu, calon menantu saya?"

Boboiboy yang sedang meminum airnya langsung tersedak mendengar pertanyaan itu.

"Ibu!" seru Yaya. Antara kesal dan kaget karena ucapan yang sungguh di luar dugaan itu.

"Apa? Ibu cuma nanya, kok." balas ibu Yaya cuek. Ia menatap lamat-lamat cowok di samping anaknya yang masih berusaha meredakan batuknya. "Boboiboy?"

"I-iya, Tante." balas Boboiboy canggung. Tenggorokannya masih perih sedikit, tapi ibu Yaya di depannya kini benar-benar membuatnya pasrah.

"Saya cuma bercanda tadi." kata ibu Yaya. "Setengah bercanda." ralatnya, membuat dua remaja di depannya kebingungan.

"Ibu apaan, sih? Bikin bingung tau, nggak?" protes Yaya kesal.

"Suka-suka ibu, dong." balas ibunya. Yaya melongo tak percaya. Kenapa ibunya tiba-tiba sikapnya berubah? "Saya nggak akan bertele-tele, jadi saya langsung saja, ya?"

Boboiboy menggangguk pelan. Ia melirik Yaya sebentar dan ternyata gadis itu juga melakukan hal yang sama.

"Saya ingin berterimakasih dulu sama kamu. Karena sempat melindungi anak saya." ucapnya. Yaya menundukkan kepala, tak sadar tatapan Boboiboy sudah tertuju padanya.

Boboiboy tersenyum kecil. "Sama-sama, Tante. Tapi sedikit meluruskan, saya tidak benar-benar melindungi Yaya. Karena saat itu..." Tangan Boboiboy digenggam hangat oleh Yaya, membuat cowok itu memiliki kekuatan untuk mengatakan kejadian menyakitkan itu lagi. "...saya sudah hampir tak selamat sebelum Yaya benar-benar aman."

Ibu Yaya tersenyum. "Bagi saya kamu tetap melindungi Yaya. Saya benar-benar berterimakasih sama kamu." katanya tulus.

Yaya tersenyum haru. Begitupun Boboiboy yang tak dapat menyembunyikan senyumnya lagi. Kedua remaja itu sama-sama merasakan hal yang sama, seperti ada kupu-kupu yang menggelitik di perut mereka.

"Jadi... ibu ngerestuin kita, 'kan?" tanya Yaya.

"Kata siapa? Kalian masih sekolah, belum saatnya cinta-cintaan." jawab ibu Yaya tegas. Seketika senyum Yaya luntur dengan drastis.

"Ibuuu!"

"Fokus belajar dulu. Ibu nggak menyuruh kalian putus. Tapi jangan sampai kewajiban kalian sebagai pelajar terabaikan begitu saja. Ingat itu, Yaya? Boboiboy?" ujar ibu Yaya. Ucapan itu mereka tangkap sebagai sesuatu yang dibolehkan. Asal mereka tak melalaikan tugas mereka.

"Baik, Tante." balas Boboiboy.

"Ayo, dimakan."

Dan makan malam itu menjadi momen paling bahagia bagi Yaya serta Boboiboy.


Setelah menyelesaikan makan malam mereka, Yaya mengajak Boboiboy berjalan-jalan. Hanya mengelilingi komplek perumahan Yaya dengan berjalan kaki, menikmati semilir angin malam yang berhembus dingin. Keduanya berjalan pelan menyusuri jalanan sepi, tangan mereka saling tertaut, bergerak ke depan dan ke belakang sesuai irama langkah kaki mereka.

"Aku hari ini seneng banget." ucap Yaya. Boboiboy menoleh padanya, menatap lembut wajah Yaya yang disinari cahaya rembulan. "Akhirnya ibu aku mau percaya kamu."

Boboiboy menyunggingkan senyumnya. Ia menarik Yaya lebih dekat padanya sehingga lengan atas mereka saling menempel. "Aku juga seneng selama kamu seneng." balasnya.

Yaya kemudian menyandarkan kepalanya pada lengan Boboiboy, merasakan kenyamanan dari cowok itu.

"Kamu inget nggak? Di jalanan ini, tempat kita pertama kali ketemu." ucap Yaya. Tangannya menunjuk tempat yang dimaksudnya. "Kalo dipikir-pikir, rasanya baru kemarin kita ketemu. Eh kamu udah jadi milik aku aja."

Boboiboy terkekeh. Ia mengacak gemas puncak kepala Yaya yang tertutup kupluk jaketnya.

"Waktu terasa berjalan cepat, kalau kita bersama orang yang tepat." ujar Boboiboy.

"Kamu bener." balas Yaya.

Setelahnya mereka saling diam seraya berjalan terus hingga tiba di taman. Yaya menaiki ayunan yang tersedia di sana, mengayunkannya ke depan dan ke belakang dengan pelan. Sementara Boboiboy berdiri di sampingnya, memperhatikannya dalam diam.

"Ayo, kamu naik juga! Kita main ayunan," ajak Yaya.

Boboiboy tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Kakinya bergerak ke ayunan satu lagi, menduduki dirinya di sana. Ia sengaja tak mengayunkannya, karena tatapannya terus mengarah pada Yaya yang asyik sendiri bermain ayunan. Boboiboy sedang mencari waktu yang tepat untuk menceritakan hal tadi pada Yaya. Gadis itu pasti sudah penasaran apa yang mau ia ceritakan, namun Yaya tak pernah menanyakannya lebih dulu. Seolah membiarkannya untuk bercerita sendiri, agar dirinya merasa nyaman.

Karena itulah, Boboiboy meyakinkan diri sekali lagi untuk mengatakannya.

"Yaya."

"Hm?"

Boboiboy terdiam sejenak sambil menatap ke bawah.

"Aku tahu siapa ayah kandungku." ujarnya pelan. Kepalanya menoleh pada Yaya, menemukan ekspresi terkejut dari gadis itu. "Dia ternyata masih hidup, dan tinggal di Jerman." lanjutnya.

Yaya terdiam. Boboiboy terus menatap lamat wajah Yaya, menantikan gadis itu berbicara.

"Kamu... mau ke sana?" tanyanya hati-hati. Ada sedikit rasa senang karena Yaya bisa membaca pikirannya tanpa ia beritahu dulu.

"Iya, aku mau menemuinya. Tapi... bisakah?" bisiknya ragu. Kedua matanya berubah sendu. Berbagai emosi menghampirinya, dan Boboiboy tak tahu apa yang sebenarnya ia rasakan. "Aku takut... hal yang buruk terjadi lagi. Tapi aku juga penasaran... siapa ayahku sebenarnya... dan..." Nada bicaranya yang naik turun membuat Boboiboy tak sanggup melanjutkannya lagi. Yaya pun segera berdiri, menghampirinya untuk memberikan pelukan. Boboiboy memejamkan matanya erat, menghirup aroma tubuh sang kekasih yang terasa bsgigu menenangkan. Andai waktu bisa berhenti, Boboiboy ingin melakukannya sekarang juga.

"Aku tahu. Aku tahu perasaan kamu." ucap Yaya. Ia melonggarkan sedikit pelukannya, tangannya kemudian beralih menangkup pipi Boboiboy agar mereka saling bertatapan. "Maka dari itu, aku selalu dukung keputusan kamu. Apapun itu." ucap Yaya. Jari jemarinya merapikan rambut Boboiboy yang sedikit berantakan.

Boboiboy mengangguk seraya tersenyum. Ia memeluk lagi pinggang ramping Yaya, menyamankan kembali kepalanya di sana. Yaya dan segala tentangnya adalah kebahagiannya sekarang. Boboiboy bahkan tidak bisa membayangkan jika mereka tidak pernah bertemu, apakah hidupnya bisa seperti ini? Apa ia akan baik-baik saja tanpa kehadiran Yaya?

"Aku sayang kamu. Banget." lirih Boboiboy. Pelukan mereka semakin dieratkan, membuat Yaya tertegun sebentar sebelum akhirnya tersenyum, menikmati pelukan mereka untuk yang kesekian kalinya.

"Aku juga sayang kamu."

Keduanya yakin, bahwa takdirlah yang menyatukan mereka kini. Dari pertemuan tak sengaja itu, mereka bisa menjadi seperti ini, saling memberikan kebahagiaan yang tak terbatas. Boboiboy dan Yaya sangat mensyukurinya. Karena sampai kapanpun, mereka tak akan melupakan bagaimana awal kisah mereka, dari pertemuan tak sengaja itu.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

the end.


a/n:

cukup sampai sini kisah boboiboy n yaya, maaf kalo endingnya kurang memuaskan. karena diri ini sudah sangat stuck hehe

gue... mau bilang makasih banyak banget buat para readers yang sudah mengikuti cerita aneh ini sampai tamat. walaupun ga gue bales satu satu reviewnya, tapi gue sangat berterima kasih karna dari sana gue mendapat suntikan semangat hahaha serius lho, review kalian adalah moodbooster gue.

i know masih banyak plot hole dri ff ini. tapi maaf gue belum bisa memenuhi itu karna kesibukan rl. mungkin kalo ada waktu gue buatin sequelnya ya? oneshot aja, tapi ga janji hehe.

tapi yang pasti, gue mau bikin ff baru ttg boya (lagi) cuma belum tau kapan publish. plotnya udah tergambar sih, doain aja smoga cepat direalisasikan.

segitu aja notes dari gue. see u guys, semoga hari kalian baik-baik aja ya