RED TULIP: Meaning
Naruto belongs to Masashi Kishimoto
Story by PhiruFi
Pairing: Sasuke U. & Ino Y.
A/N: Timeline after 4th Shinobi World War, ada beberapa Original Character sebagai penunjang cerita, kalimat dalam "..." font italic adalah bagian dari flashback, kalimat dalam '...' font italic adalah batin sang tokoh.
WARNING: Semi-Canon, Crack Pair, Alternate Ending, DLDR, TYPO.
A sequel from a fanfiction titled RED TULIP
Enjoy read this story~
Summary:
'Jika kau tidak pandai merangkai kata-kata, maka ungkapkan perasaanmu melalui bunga.'
'Biarkan bunga yang berbicara!'
'Ungkapkan semua isi hatimu yang terdalam, meski akan menyakitkan pada akhirnya.'
'Tidak ada yang tahu bagaimana takdir seseorang, setidaknya kita sudah berusaha.'
Meredam perasaan itu sangat menyesakkan tapi jika dilanjutkan akan amat menyakitkan.
Hati ini serasa kosong, apa yang mampu mengisinya?
Aku mampu melihatmu tapi apakah aku mampu berjalan beriringan denganmu?
Chapter 1: This is not the end.
'Masih setengah jalan, aku tidak akan pernah melepaskan tanganmu, meski aku harus terluka sekalipun.'
oOo
Perang telah berlalu, tidak hanya tercipta suka cita, tetapi juga memunculkan duka. Tak sedikit orang mengucap syukur atas hidup mereka dan tak sedikit pula orang menunduk sambil menautkan jemari, mengenang orang-orang terkasih yang tewas di medan perang.
Perlahan tetapi pasti, masing-masing desa mulai bangkit dari keterpurukan. Membangun dunianya kembali untuk masa depan yang lebih gemilang. Demi anak-cucu di hari mendatang.
Tidak ada yang pantas disalahkan saat ini, semua murni karena takdir yang tertulis lama sebelum seseorang dilahirkan ke dunia.
Tapi... Apakah luka kehilangan dapat diobati secepat cahaya? Jawabannya adalah tidak.
Kita bicara soal waktu dan harapan.
Biarkan waktu terus berjalan seiring dengan harapan yang terus didambakan. Meski kita tak tahu sampai kapan harus menunggu dan terus berharap sampai luka ini sembuh.
Jalan yang kita tempuh boleh saja berkelok, tetapi tujuan kita-lah yang menjadi akhir kita singgah nantinya.
oOo
Cahaya mentari bersinar dengan eloknya, bahkan gorden tak lagi mampu mengatasi silaunya. Ditambah lagi dengan kicauan burung yang bersahutan, saling berlomba ingin membangunkan semua orang dari bunga tidurnya.
"Ugh...,"
Seorang gadis bersurai pirang platinum menggeliat di balik selimut tebalnya. Kelopak matanya perlahan terbuka, memperlihatkan iris seindah warna air di lautan, aquamarine. Tak lantas bangun, ia bergeming menatap langit-langit kamarnya. Entah apa yang ia pikirkan, namun rasanya malas untuk bangun sepagi ini.
"Hime! Bukankah kau ada shift pagi hari ini? Cepat turun dan sarapan!"
Ibunya memanggil dari lantai dasar rumahnya. Seperti kebanyakan ibu pada umumnya, mereka bangun jauh lebih awal dan menyiapkan semua keperluan anaknya tanpa mengharap imbalan.
"Iya, Kaa-san. Aku akan turun!" balasnya segera, takut kalau ibunya tak henti memanggilnya untuk segera ke bawah.
Perintah dari Sang Ibu sudah terdengar, itu artinya tidak ada alasan lagi untuk bermalas-malasan. Gadis itu turun dari tempat tidur, meraih handuk ungu-nya dan pergi ke kamar mandi yang ada di kamarnya untuk melakukan ritual rutin bagi setiap orang sebelum memulai aktivitasnya.
Tak ada banyak waktu untuk berendam dan menikmati air sabun. Ia dikejar waktu karena hari ini adalah shift paginya. Ia mengenakan setelan ninja kebanggaannya, pakaian ungu yang terdiri dari blus berkerah tinggi tanpa lengan yang memperlihatkan perutnya dengan penghangat jala di kedua siku dan rok panjang yang mencapai pergelangan kaki.
Gadis itu duduk di meja riasnya untuk menambahkan make-up tipis seperti kebiasaannya, lipstik merah muda dirasa paling cocok dan menjadi tren baru-baru ini. Rambutnya tidak lagi ia ikat ponytail, melainkan ia biarkan tergerai panjang. Dan jangan lupa, ia juga mengenakan anting pemberian guru tercintanya untuk menambah kesan sempurna dari penampilan seorang Yamanaka Ino.
Ino mengamati penampilannya sekali lagi sebelum turun menemui Ibunya.
"Semua terlihat sempurna seperti biasanya," ucapnya memuji penampilannya di depan cermin. Tidak ada salahnya memuji diri sendiri, hanya sekedar penambah semangat sebelum beraktivitas.
oOo
"Selamat pagi, Kaa-san. Maaf... Seperti biasanya hari ini aku akan pulang terlambat." Ino duduk di meja makan bersama dengan Ibunya. Ia menikmati sepotong sandwich isi daging dan segelas susu rendah lemak, buatan ibunya.
Ibunya memandangi putri tunggalnya dengan tatapan khawatir. Sudah lebih dari satu minggu, putrinya itu selalu pulang terlambat. Lembur katanya, banyak tugas menumpuk setelah perang selesai. Meskipun ketika petang menjelang, Ino akan pulang hanya sekedar mengambil beberapa bunga gladiol dan lily. Tiga buket bunga itu nantinya akan berakhir di atas pusara orang terkasih, Inoichi, Shikaku dan Asuma.
Bunga gladiol yang bermakna kenangan dan bunga lily yang berarti ketulusan. Kenangan yang senantiasa bergulir diingatan dan juga ketulusan yang saling mengasihi meski raga telah tiada.
"Jangan lupa kau juga butuh istirahat. Jangan terlalu memaksakan diri," balas Ibunya.
Misaki khawatir dengan Ino, putrinya. Semenjak kepergian suami sekaligus ayah dari anaknya itu, Inoichi Yamanaka, Ino tampak lebih murung meski dari luar gadis itu terlihat biasa-biasa saja.
Misaki tau betul bagaimana putrinya. Jauh sebelum perang besar terjadi, Ino adalah gadis yang percaya diri dan blak-blakan berubah menjadi lebih pendiam dan tertutup. Sangat disesali, tetapi itu tidak dapat dipungkiri. Orang yang kuat belum tentu mampu bertahan disaat kehilangan. Itu yang dialami putrinya sekarang.
Putrinya menyanggupi tiga pekerjaan sekaligus. Ino merangkap sebagai seorang dokter di Konoha Hospital, seorang anggota Konoha Barrier Team dan juga interogator di Konoha Torture and Interrogation Force. Belum lagi jika ada panggilan mendadak dari Hokage untuk menjadi guru pembimbing sementara. Misaki sudah membujuk Ino untuk mengambil salah satu dari ketiga tawaran itu, tetapi Ino menolak.
"Aku bisa. Ini bukan masalah, aku hebat dalam ketiganya. Kaa-san jangan khawatir," ucap Ino memaksa Misaki untuk meyakininya.
Memang keras kepala.
"Aku menikmati perkerjaanku, Kaa-san. Semua aman terkendali." Bibirnya melengkung membentuk seulas senyuman.
Selesai dengan sarapannya, Ino berdiri dan menghampiri ibunya. Ia mengecup kedua pipi ibunya sebelum berangkat bekerja. Seperti biasa Ino selalu memberi kecupan sebagai cara ia berpamitan. Satu kecupan untuk Ibunya dan satu kecupan lagi untuk ayahnya yang sudah tiada. Sosok Yamanaka Inoichi yang amat sangat ia rindukan sampai sekarang. Ayah yang selalu memperhatikan dan menganggapnya putri kecil meski umurnya terus bertambah.
Ino memakai sepatu hak tingginya dan berjalan keluar rumah menuju tempat kerjanya. Shift paginya di Konoha Hospital setelah itu saat matahari tepat di atas kepala, ia harus pergi ke tempat kerja keduanya yaitu Konoha Barrier Team. Jika ada panggilan Ino baru akan pergi ke tempat kerjanya yang terakhir, yaitu sebagai interogator di Konoha Torture and Interrogation Force. Jika tidak, ia bisa langsung pulang ke rumah.
oOo
Lambat tetapi pasti, situasi di desanya berangsur membaik. Aktivitas di Konoha kembali ramai. Segelintir orang kembali membuka kedai dan toko untuk perekonomian yang lebih baik. Tidak ada kerusakan separah saat anggota Akatsuki bernama Pain menyerang desanya.
Saat perang selesai yang terfokus adalah luka batin bagi orang-orang yang kehilangan. Saling berpegangan tangan adalah cara terbaik dalam masalah ini. Menguatkan dan memberi harapan baru.
Oh! Jangan lupa ini adalah bulan Juli awal. Banyak orang terlihat tengah menghiasi sepanjang jalan dengan dekorasi pohon bambu yang digantungi kertas warna-warni di bagian rantingnya, atau biasa disebut tanzaku. Kertas itu digunakan untuk menuliskan permohonan dan doa yang nantinya akan dilihat dan dikabulkan oleh dewa, setidaknya begitulah tujuannya.
Masih pagi, tetapi warga desa cukup antusias menyambut Tanabata yang akan datang —tinggal menghitung hari saja. Mereka bilang festival ini untuk merayakan kemenangan dan kedamaian setelah perang. Biarkan kebahagiaan mengambil alih luka untuk sementara.
Di tengah hiruk-pikuk aktivitas desa, ada suara yang cukup Ino kenal. Langkahnya terhenti untuk melihat orang yang ia maksud. Rupanya orang itu sedang membantu menghias desa.
"Yosh! Sudah selesai! Kau hebat Akamaru!" seru Kiba dan dibalas dengan gonggongan Akamaru.
Kiba baru saja selesai memasang tanzaku. Laki-laki pecinta anjing itu menoleh dan melihat Ino sedang berdiri tak jauh darinya.
"Ohayou, Ino!" sapanya dengan cengiran khas seorang Inuzuka Kiba —teman seangkatannya sekaligus rekan se-tim di Divisi Pertempuran Khusus. Divisi yang beranggotakan ninja dengan ketrampilan unik.
Ino tersenyum dan mendekat, "Ohayou! Aku tidak tau kalau kau mau disibukkan dengan hal kecil seperti ini, Kiba."
Kiba mengernyit, ucapan Ino sedikit terdengar seperti ledekan baginya
"Oh! Aku tidak seburuk itu. Lagipula aku—"
"Ingin menjadi anggota dari Konoha Military Police Force?" Ino menebak tanpa melihat pemuda itu ketika berbicara.
Gadis itu sedikit membungkuk melihat salah satu tanzaku berpola bunga lavender di ranting paling bawah yang menarik perhatiannya. Polanya indah dan bunga lavender ini memiliki arti kesetiaan —aku akan menunggumu. Tiba-tiba bayangan seseorang terlintas. Buru-buru Ino menggeleng perlahan untuk menghapus kenangan yang sempat mampir dibenaknya.
Kiba menyeringai, bukan hal mengejutkan bila seorang Yamanaka mampu menebak apa yang ada dipikiran seseorang. Itulah keahliannya. Ketrampilan khusus dari clan Yamanaka.
"Yah... Setidaknya aku sudah membantu. Walau hanya ini...," balas Kiba dengan tawa renyahnya.
Kiba memegangi tengkuknya, itu adalah kebiasaan saat ia sedang gugup.
Ino kembali menegakkan tubuh dan menghadap lawan bicaranya.
"Kabari aku segera bila kau diterima. Ah! Aku sudah terlambat. Mata ne, Kiba!" Ino melambaikan tangan sebelum berlari pelan meninggalkan Kiba. Akamaru sempat ikut membalasnya dengan gonggongan.
"Aku pasti diterima! Dan saat itu aku akan mentraktirmu!" teriak Kiba saat Ino mulai menjauh dari tempatnya berdiri.
"Aku akan tagih itu!" Ino sempat berhenti sejenak dan membalas teriakan Kiba.
Ino tersenyum singkat. Ia bahagia saat melihat dan mendengar mimpi-mimpi temannya perlahan terwujud. Keduanya tidak terlalu dekat sampai saat keduanya bergabung dalam satu divisi. Ino sedikit mengenal Kiba dan Akamaru mulai akrab dengannya. Anjing ninja itu terkadang berlari menghambur ke arahnya dan menjilati wajahnya.
Ino sedikit terkejut dengan keputusan Kiba. Bukankah awalnya Kiba ingin menjadi seorang Hokage? Bahkan Ia tak segan berteriak dengan semangat. Tapi semakin kesini laki-laki dengan tatto segitiga terbalik itu tertarik dan ingin bergabung dengan kepolisian Konoha. Tidak perlu diragukan lagi pasti ia akan diterima. Kiba itu pekerja keras apalagi melihat Naruto yang ia anggap rival sudah selangkah di depannya. Tentunya Ia tidak akan menyerah secepat itu.
"Jika Naruto bisa menjadi pahlawan baru, aku juga bisa!"
Oh... Jadi begini cara Kiba ya...
oOo
Langkah Ino terhenti. Kini ia sudah sampai di depan bangunan bertingkat yang biasa dikenal dengan Konoha Hospital. Tempatnya bekerja sejak lama, sejak ia memutuskan belajar ninjutsu medis di bawah bimbingan Tsunade dan asisten pribadinya —Shizune. Dan jangan lupa, Sakura juga turut membantunya karena sahabatnya itu lebih dulu menjadi seorang medical-nin.
"Ohayou, Ino-senpai!" sapa rekan kerjanya disaat ia memasuki gedung.
"Ohayou, Apa jadwalku penuh?" tanya Ino memastikan, seingatnya ia hanya perlu melakukan check-up dua pasien luka ringan. Ino sedang berdiri di depan desk staff operasional.
"Hanya check-up rutin di ruangan 301 dan 305 pukul sembilan nanti. Itu saja," jawab Mina yang bertugas sebagai pemeriksa jadwal medical-nin di sana.
Ino mengangguk dan segera pergi ke ruangannya.
Masa-masa sulit sudah terlewati. Sekitar satu minggu penuh, Ino disibukkan dengan membantu menyembuhkan mereka yang terluka dan terlantar akibat perang. Orang dewasa dapat pulih dengan cepat dan dapat ditenangkan lebih mudah dibanding anak-anak. Anak-anak berjuang untuk pulih akibat kehilangan orang yang mereka sayang.
Setelah ini, Ino harus berbicara dengan Sakura terkait masalah serius soal mental anak-anak yang dapat mempengaruhi perkembangannya dikemudian hari. Mereka harus memikirkan cara tepat yang dapat meringankan beban beberapa anak-anak yang sedikit terguncang pasca perang.
Clek
Ino membuka pintu dan melihat Sakura sudah datang lebih awal darinya. Gadis yang mendapat predikat Sannin itu sedang sibuk membolak-balikkan setumpuk mengurungkan niat untuk membahas rencana awalnya tadi, Sakura terlihat serius dan tidak bisa diganggu. Ia menarik kursinya mendekat ke samping sahabat sekaligus rival-nya itu. Ino membaca singkat isi berkas itu.
'Rekontruksi Bedah Plastik'
"Tsunade-sama, memintamu untuk membantunya?" tanya Ino.
Ia baru tahu kalau Sakura akan ikut andil dalam proses penyambungan tangan Naruto dan Sasuke.
Sepertinya bukan hal baru. Setelah perang selesai, rupanya Naruto dan Sasuke membereskan urusan pribadinya. Entahlah, Ino tidak tau pasti. Semacam urusan antarrival, mungkin. Akibatnya mereka berdua kehilangan tangan mereka. Naruto kehilangan tangan kanannya dan Sasuke kehilangan tangan kirinya.
"Tidak, aku yang berinisiatif sendiri, sih. Aku tidak bisa mencegah mereka. Hingga semua terjadi." Nada bicara Sakura sedikit bergetar.
Ino mengusap lembut bahu Sakura. Ia berusaha menenangkan pikiran kalut sahabatnya itu, lalu berkata, "Ini bukan salahmu, lho."
Sakura menoleh dan tersenyum. Sahabatnya ini selalu bisa menempatkan diri disaat seperti ini.
"Terima kasih, Ino... Aku akan berusaha untuk Sasuke-kun."
Kedengarannya Sakura sudah lebih baik sekarang. Jika berhubungan dengan Sasuke, Sakura memang tidak pernah menyerah.
Cinta memang mengubah semuanya.
Kedua sahabat sekaligus rival itu mengabiskan waktu bebasnya untuk mengobrol dan saling menghibur diri. Sampai tiba-tiba Sakura mengingat sesuatu.
"Oh! Aku hampir lupa. Aku harus menemui Rokudaime!"
Sakura mengambil berkas di dalam map coklat di laci mejanya.
"Apa itu?" tanya Ino heran. Namun, Sakura menanggapinya hanya dengan mengedipkan mata kanannya.
"HEEEH?!" Ino cukup kesal. Mengedipkan mata bukanlah jawaban, itu hanya memberi pengertian yang ambigu dan tak jelas.
Apa yang ada di balik map coklat tadi? Dan tidak biasanya Sakura menyembunyikan sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan.
Ino menunggu jadwal kunjungan ke kamar pasien dengan bermalas-masalan sambil melihat ke luar jendela. Beberapa anak-anak terlihat senang, berlarian ke sana kemari tanpa beban. Ino bersyukur atas itu, masih banyak anak-anak gembira setelah perang selesai. Kehidupan sewaktu kecil memang menyenangkan dan tidak serumit sekarang.
"Hah..." Ino menghela nafasnya beberapa kali. Ia berusaha melupakan seseorang yang terus berseliweran di otaknya. Sangat mengganggu dan membuatnya lemah.
Jam sudah menunjukkan waktu kunjungannya. Memeriksa kemajuan pasien bukanlah hal yang melelahkan. Setelah ini, ia akan segera ke gedung Konoha Barrier Team. Tugas meng-input data siap menyambutnya dan harus segera diselesaikan.
"Perkembanganmu cukup baik. Kau bisa pulang besok pagi. Jangan lupa minum obat dan memakai salep dengan teratur. Lakukan check-up bulan depan. Kau bisa buat jadwal denganku satu hari sebelumnya."
Ino selesai melakukan pemeriksaan di kamar pasien 305, pasien luka bakar tingkat dua —superficial partial-thickness burn.
"Terima kasih, Ino-sensei," ucap pasien itu berterima kasih.
Satu pekerjaan sudah beres. Cukup melelahkan, setidaknya dengan menyibukkan diri bisa membuatnya melupakan seseorang yang akhir-akhir ini kembali menyita perhatiannya.
oOo
Di sini Ino sekarang, duduk di kursi dengan tumpukan berkas melebihi kepalanya. Setelah perang, banyak penduduk asing mulai masuk dan meminta perizinan untuk singgah menetap di sini. Ini sebabnya, Ino harus memasukkan data setiap orang agar Tim Pertahanan Konoha bisa mengantisipasi penyusup yang mengancam desa. Ino harus mengenali setiap chakra dari penduduk Konoha —tanpa terkecuali.
Sekitar sepuluh menit yang lalu Ino hanya mampu menyelesaikan satu lembar saja, tidak seperti biasa. Lagi dan lagi, pikirannya terganggu olehnya, orang yang menjadi cinta positifnya —Uchiha Sasuke.
-flashback-
Ino bersembunyi di balik pagar pembatas gedung Hokage. Ia baru saja akan pergi ke gedung Konoha Barrier Team, tetapi langkahnya terhenti saat melihat Sakura mengobrol dengan Shikamaru, teman se-timnya. Jika dilihat dari ekspresinya, mereka sedang membicarakan hal yang serius.
"Jadi... besok ya, persidangan Sasuke-kun?" tanya Sakura dengan kepala yang tertunduk.
"Ya, aku dan Rokudaime akan mengadakan pertemuan tertutup di sini," jawab Shikamaru.
Sakura terlihat mengepalkan kedua tangannya, sepertinya ia sedang menahan air matanya agar tidak jatuh.
"Bagaimana dengan Naruto?" tanya Sakura lagi.
Gadis itu sudah menegakkan kembali kepalanya. Sakura berpikir bahwa sahabat pirang berisik itu akan mengacaukan persidangan —penentuan akhir untuk seorang ninja pelarian, Uchiha Sasuke.
"Rock Lee bertugas mengalihkan perhatian Naruto dengan misi bersama, misi kelas D," jawab laki-laki berambut nanas itu.
Ino menggigit bibir bawahnya. Serasa ada duri menancap di dadanya. Seperti keputusan kelima Kage beberapa tahun yang lalu, mereka tidak segan untuk membunuh Sasuke atas kesalahannya bergabung menjadi anggota Akatsuki dan menyerang Killer Bee.
Tidak lagi. Jangan sekarang atau nanti. Ino baru saja melihat Sasuke kembali, meski dari kejauhan. Jangan pergi —tidak boleh!
-end flashback-
"Ino-san?" Izumo mengibaskan telapak tangannya di depan muka Ino.
"EH?" Ino terkejut dan Ia memundurkan sedikit kepalanya. Oh tidak! Ia ketahuan tengah melamun.
Izumo mengernyitkan dahinya, pria dewasa itu melihat gelagat aneh Putri Yamanaka itu —putri dari pemimpinnya dulu sebelum tewas di medan perang.
"Kau bisa beristirahat, biar aku yang mengambil alih tugasmu."
Izumo mengambil tumpukan berkas setebal kurang lebih dua puluh sentimeter itu ke dalam dekapannya sebelum Ino melarangnya.
"Tidak, Izumo-san. Aku bahkan belum melakukan apapun." Setengah merengek Ino sedikit tidak terima, karena ia terlihat sangat lemah.
Izumo tersenyum sampai kedua matanya menyipit.
"Anda sudah bekerja keras satu minggu ini, Inoichi-sama bisa datang di mimpi saya." Pria itu tertawa dan Ino membalasnya dengan senyum lebar.
Sungguh pengertian. Tapi Ino merasa tidak enak dibedakan seperti ini. Ia harus bersikap profesional.
"Kalau begitu, aku bawa ini untukku kerjakan di rumah."
Ino mengambil berkas lain yang hampir sama tebal dengan berkas yang ia kerjakan sebelumnya. Isinya kurang lebih sama, data penduduk Konoha.
"Baiklah, anda memang keras kepala. Inoichi-sama sesekali menceritakan tentang anda." Ucapan Izumo sukses membuat Ino malu. Bisa-bisanya Ayahnya itu membongkar aib kepada orang lain.
'Huft! Tou-san!' batinnya.
oOo
Hari ini Ino bisa pulang cepat. Namun seperti biasa, ia pulang sebentar menaruh berkasnya lalu mengambil tiga buket bunga. Ino segera pergi ke pemakaman Konoha, rutinitas barunya setelah kepergian ayahnya.
Masih jam tiga sore, rekor baru Ino selama seminggu ini dapat mengunjungi ayahnya lebih awal.
"Tou-san, aku bawakan bunga untukmu. Apa kabar?" pertanyaan yang sama selalu Ino tanyakan meski pada akhirnya tidak ada jawaban.
Siapa yang akan menjawab? Ino juga tidak berharap hantu iseng di sini menyahut sapaan yang ia tujukan pada Ayahnya itu.
Ino duduk di samping pusara bertuliskan Inoichi, mengusap dengan tangan kosong tanpa mengkhawatirkan debu mengotori tangannya.
Saat seperti ini, kenangan dengan ayahnya perlahan muncul ke permukaan. Saat di mana ayahnya menyuruh Ino memilih antara Shikamaru atau Chouji. Bukankah lucu?
Akan tetapi, saat Ino ingat ketika Markas Intelijen di bom oleh Juubi, ia mulai meneteskan air matanya. Oh! Sejak kapan Ino serapuh ini?
Ino sangat merindukan ayahnya, padahal masih belum lama ayahnya tiada. Rasanya sangat rindu. Andai semua bisa dihindari saat itu, ia tidak akan kehilangan ayahnya.
Ino segera menggelengkan kepalanya. Ia tidak boleh menangis. Ia mengepalkan tangannya berusaha menguatkan diri. Ayahnya pergi sebagai seorang pahlawan. Jadi apa yang perlu disesali?
"Tou-san... Apa yang bisa aku lakukan? Sasuke-kun... Hukuman apa yang akan diterima olehnya?" Ino dengan susah payah menahan tangisannya. Ia menghela napas dalam-dalam.
"Sakura akan melakukan sesuatu untuk Naruto dan Sasuke-kun. Aku sedikit iri, sih." Bibirnyamembentuk senyuman miris. Di saat semua orang melakukan hal yang berguna, ia lengah dan tidak dapat melakukan apapun. Semuanya, di luar kapasitasnya.
Ino bahkan merasa tertinggal dengan Shikamaru dan Chouji. Shikamaru menjadi tangan kanan Hokage dan Chouji menjadi duta di Kumogakure.
Selama ini, Ino terlalu banyak menghabiskan waktu mengurus penampilannya untuk menarik perhatian laki-laki yang ia cintai. Namun, percintaannya tak semulus seperti yang ia bayangkan. Laki-laki yang ia cintai sama sekali tidak meliriknya.
Di saat itu juga teman se-angkatannya melangkah maju dan kini ia tertinggal jauh. Begitulah pemikirannya. Ia tidak dapat berjalan sejajar dengan yang lain. Terutama Sakura, rival-nya. Kini Sakura bukan lagi gadis yang cengeng seperti dulu. Sakura sudah tumbuh menjadi bunga yang indah.
Cukup lama Ino termenung. Sudah waktunya ia harus melangkah sejajar dengan temannya.
'Mengambil jalan memutar... itu masih lebih baik daripada melarikan diri!' batinnya.
"Aku tidak akan melarikan diri lagi, Tou-san." Ino berdiri dan menepuk roknya agar noda tanah tidak menempel lagi.
Hari semakin gelap, Ino berjalan perlahan meninggalkan tempat pemakaman. Sampai di gerbang pemakaman, Ino mematung di tempat saat merasakan chakra yang sangat ia kenal. Ia menggigit bibir bawahnya dan benar saja dugaannya barusan.
"Sasuke-kun...," gumamnya.
Ino memperhatikan tatapan laki-laki yang sempat mengganggu pikirannya seharian tadi. Mata obsidiannya tidak dapat ia baca. Semua terlihat samar bagi seorang Yamanaka.
Yang dipanggil tidak menyahut. Laki-laki berambut raven itu berjalan menjauh dari tempat Ino berdiri tanpa berucap satu kata pun.
oOo
Setengah berlari Ino menuju ke arah gedung Hokage. Ia menghiraukan tatapan warga lain dan ia bahkan mengabaikan sapaan Tenten saat berpapasan tadi.
Tok...tok...tok...
"Masuk!" Setelah mendapat perizinan dari penghuni ruangan, Ino membuka pintu dan memasuki ruangan yang tak lain tak bukan adalah ruangan Hokage.
"Ino, ada perlu apa?" tanya Kakashi yang kini menjabat sebagai Hokage ke-enam.
Tidak hanya mereka berdua di ruangan itu, tapi ada Shikamaru dan juga Shizune. Mereka berdua tampak terkejut dengan kedatangan Ino yang mendadak. Tidak ada perintah tetapi tiba-tiba Ino datang begitu saja.
"Aku ingin ikut ke persidangan Uchiha Sasuke!" ucap Ino dengan penuh keyakinan.
Kakashi, Shikamaru dan Shizune membelalakkan mata mereka. Terkejut dengan ucapan Ino barusan.
"Tunggu Ino kau—" perkataan Kakashi terpotong oleh Ino.
"Aku bisa membelanya! Aku bisa melihat dari matanya, Hokage-sama!" Ino tetap keras kepala dengan pendiriannya. Ia tidak boleh menyerah sampai Hokage memberikan persetujuan.
"Tetap tidak bisa, Ino. Pertemuan ini hanya dihadiri oleh petinggi negara saja," ucap Shizune.
Ino menghela nafas kasar.
Brak!
Gadis Yamanaka itu menggebrak meja seorang Hokage, lalu berseri, "Aku bisa meyakinkan para Kage dan Daimyou!"
"Ino, ini bukan hal sepele. Ini menyangkut nyawa." Shizune yang paling terkejut di sini. Kali ini tindakan Ino tidak bisa diprediksi dan cukup berani.
Ino menoleh dan menatap tajam Shikamaru, "Kau percaya padaku, 'kan, Shikamaru?"
"Hah... Mendokuse na..." Shikamaru menyeringai.
"Kau bisa melakukannya?" tanya Shikamaru.
"Ini bukan masalah bisa atau tidak bisa, aku akan melakukannya!" Dengan mantap Ino kembali berseru. Pandangannya kembali menatap ke arah Rokudaime lagi.
Kakashi tersenyum dan kedua matanya menyipit.
"Ya. Aku tidak bisa menolak setelah melihat keseriusan kalian."
Shikamaru dan Ino saling menatap dan seulas senyum terukir di wajah mereka. Shikamaru memang bisa diandalkan. Sahabatnya itu memang selalu menjadi orang yang dapat Ino percaya. Rasa percaya dirinya bahkan meningkat.
'Terimakasih, Shikamaru...'
oOo
Pertemuan diadakan secara tertutup dan dijaga ketat oleh pasukan Anbu. Dihadiri oleh kelima Kage beserta tangan kanannya dan lima perwakilan Daimyou.
"Seorang pengkhianat tidak boleh diberi ampun!" teriak A, Yondaime Raikage yang terkenal dengan sikap keras dan tegasnya.
Semua orang sudah tahu bahwa Raikage sangat tidak suka dengan Sasuke. Apalagi sejak insiden tangannya yang terpotong karena Amaterasu.
"Kejahatannya sudah melampaui batas. Tidak ada hukuman yang pantas selain hukuman mati." Salah satu dari kelima Daimyou menimpali.
"Kerusakan dan kerugian tidak dapat dihitung lagi. Dapat disimpulkan bahwa Uchiha Sasuke pantas mendapatkan hukuman mati." Lagi-lagi para orang tua itu menarik kesimpulan sepihak.
"Kita bisa memilih alternatif lain..." Sang Kazekage bersuara mencoba menjadi penengah.
Konoha dan Suna mempunyai hubungan dekat, dan Gaara berusaha untuk membela Sasuke —sahabat Naruto.
"Yang seperti apa? Membiarkan si brengsek itu bebas?"
"Dia ninja pelarian, apa yang bisa diharapkan?"
"Berapa banyak kerugian lagi yang kita tanggung?"
"Hukuman mati memang yang paling pantas!"
Perdebatan semakin sengit, bahkan tidak ada celah sedikit pun untuk perwakilan Konoha memberikan pembelaan untuk Sasuke. Berulang kali, pembelaan dari Rokudaime tidak didengar dan selalu disela.
"TUNGGU!" dengan suara lantang Ino menginterupsi. Seketika semua tamu rapat terdiam.
"Kau tidak ada hak untuk—"
"Maaf, tapi kami bagian dari anggota rapat saat ini. Bahkan kami tidak mendapatkan satu menit untuk bersuara." Ino menyela dan berusaha terlihat sopan dan tidak gegabah.
Sebenarnya di hatinya, Ino sangat ingin berteriak dan marah. Ini bukan rapat jika hanya anggota dominan yang dapat bersuara bebas.
"Anda tidak bisa memutuskan secara sepihak. Seperti yang telah dikatakan Kazekage, Gaara-sama. Kita harus mencari alternatif dari penyelesaian permasalahan ini," lanjut Ino.
"Ya, Uchiha Sasuke berhak mendapatkan kesempatan kedua." Akhirnya Kakashi dapat mengutarakan pembelaannya.
Kelima Daimyou dan Raikage terlihat marah.
"Kesempatan apa? Maksudmu menunggu korban lagi?" tanya Todo, pemimpin Daimyou.
Ino memberanikan diri meski ia tahu risikonya.
"Tidakkah seharusnya kita berterima kasih kepada Sasuke?"
"Untuk apa!" A membentaknya, tetapi hal itu tidak menciutkan nyali Ino untuk kembali berpendapat.
Sampai kapanpun, Ino akan membela Sasuke. Sampai keputusan yang terbaik didapat —bukan hukuman mati.
"Berkat Kakashi-sama, Naruto, Sakura dan Sasuke. Mereka bertaruh nyawa di saat kita semua terlelap di dalam mimpi. Di pohon itu!" Mata Ino serasa panas, sekuat tenaga ia menahannya. Bukan saat yang tepat untuk menangis, setidaknya sampai rapat ini selesai.
Beberapa saat sempat hening, mereka diam dan berpikir. Ada benarnya yang dikatakan Ino. Mereka tak berdaya saat terperangkap di dalam genjutsu, sementara perang berakhir tak lain dan tak bukan karena guru dan ketiga muridnya itu.
"Kami yakin, Uchiha Sasuke sudah berubah dan—"
Todo menyela, "Kau mampu bertanggungjawab atas semua risiko dari ucapanmu?"
Ino tersentak, ia tak mampu membantah. Apa alasannya membela? Hanya karena seorang Yamanaka Ino mencintai Uchiha Sasuke? Tidak lucu! Semua akan menertawakan kebodohannya.
"Ya. Saya bersedia. Karena Sasuke tidak sama seperti dulu." Ino menjawab.
Ino tidak boleh lengah. Satu celah terbuka maka pembelaannya akan sia-sia.
Todo menyeringai jahat.
"Atau karena pembelaanmu ini hanya atas dasar cinta. Kau bahkan bukan tangan kanan Hokage. Di mana Pemuda andalanmu, Kakashi-sama?"
Ino mematung. Ucapan pemimpin Daimyou sukses membuatnya kehilangan kemampuan berbicara. Lidahnya terasa kelu.
"Ino adalah salah satu ninja terbaik yang kami punya dan dia pantas ada di rapat ini," bela Kakashi. Ia paham akan perubahan sikap Ino.
"Baiklah. Aku bertanya padamu, Hukuman apa yang pantas untuk Uchiha Sasuke?"
-to be continued-
-Thanks for reading-
Kenapa aku memberi judul RED TULIP? Karena arti dari tulip merah itu sendiri adalah ungkapan perasaan yang terdalam. Melalui FFn ini aku ingin menggambarkan Ino sebagai tokoh utama dengan konflik dalam dirinya soal percintaan, rasa kehilangan dan kerja kerasnya agar bisa sejajar dengan rekannya. Seperti yang kita tahu, Ino tidak mendapat cukup scene di Anime. Hingga aku berpikir untuk membuat sesuai imajinasiku.
Apapun yang terjadi, aku tetap akan berlayar di kapal SasuIno yang sudah ditenggelamkan oleh Masashi sendiri.
Semoga tulisanku ini dapat menghibur kalian, apabila banyak kekurangan aku minta maaf. Selanjutnya aku akan berusaha memberikan yang terbaik dan tidak akan berhenti belajar.
See you next chapter~
Chapter 2: Decisions and Failures.
Coming Soon...
