Naruto: Masashi Kishimoto.

RATE: M

WARNING: TYPOS, AU, OOC, DRAMA DAN YANG PENTING, JANGAN PERNAH MEMBACA APAPUN ITU YANG MEMBUAT MATA ANDA IRITASI. TETAPLAH PADA JALUR MASING-MASING, KARENA AKU HANYA MENCOBA MELESTARIKAN APA YANG AKU CINTAI DAN AKAN SELALU MENCINTAI APA YANG MEMBUATKU SENANG.

One step closer

Waktu berjalan dalam setiap detiknya setelah kepergian Ino dari gedung olahraga, yang membuat Gaara merasakan dadanya seakan diremukan, entah kenapa rasanya sesakit ini kecewa? Mungkin kekecewaan terbesarnya adalah saat mengetahui Kicho bukanlah ibu kandungnya. Namun rasanya kali ini lebih menyesakkan dari itu.

Beberapa orang masih berada disana, termasuk dirinya, yang kini buku-buku tanganya mungkin sudah terluka akibat mengepalkannya terlalu kuat. Lalu apa yang akan ia lakukan? Diam disini, ataukah mengejarnya?

Bodoh bila ia tidak mengejarnya dan diam seperti ini. Ia tak peduli dengan keadaanya, lupakan basket, ia sama sekali tak peduli bila dikeluarkan dari team saat ini juga.

Setelah menarik napas untuk coba menenangkan diri, ia berucap pelan. "Aku keluar dari team basket Naruto."

Naruto yang mendengarnya melotot tak percaya, apa team basket kebanggaan sekolah akan berakhir disini? Pikirnya.

Setelah mengucapnya, Gaara berlari keluar dari gedung olahraga, bahkan tak pedulikan gadis Hyuga yang masih menunduk disana.

Sedangkan sang Uchiha bungsu semakin menggertakan gigi-giginya, bertambah marah. Bola basket yang sejak tadi ditanganya, ia lempar dengan kasar, kemudian memantul kesegala arah.

"Brengsek, Sabaku sialan." Umpatnya.

Setelah keluar dari gedung olahraga, tujuan Gaara adalah mencari Ino, namun mungkin gadis itu sudah jauh. Mobilnya kini ia lajukan dengan kecepatan tinggi, berharap ia bisa menyusul sang gadis, tak peduli dengan kondisi hujan saat ini.

Dan benar, tak lama gadis dengan gaya rambut ponytail itu terlihat, berjalan gontai dibawah guyuran hujan, seolah dengan melihatnya saja bisa merasakan betapa hancurnya sosok bak matahari itu.

Tanpa berpikir dua kali, Gaara cepat menghenti mobilnya, ia juga tak mempedulikan hujan, ia keluar dan berlari menahan pergelangan tangan gadis yang ia cari.

Sedikit kaget, Ino hanya diam saat pergelangannya ditarik dan membawanya kedalam pelukan seseorang.

Surai merah dan bau yang khas, membuatnya tau siapa yang sedang memeluknya kini.

"Maafkan aku." Bisik Gaara dengan parau.

Namun diamnya gadis yang dalam pelukannya membuat ia takut. Gaara melepas pelukannya, namun tak mengalihkan pandangannya pada sosok didepannya. Kini kondisi mereka berdua sama, baju seragam KHS yang masing-masing kenakan telah basah oleh air.

Jaket jersey basket yang Gaara kenakan ia lepas hanya untuk melindungi kepala Ino dari derasnya hujan, meski hal itu tak berpengaruh. Namun Ino masih membisu.

Pemuda ini selalu yang mengejarnya dan meberi ketenangan disaat ia jatuh dan kecewa. Menawarkan obat yang mungkin ia butuhkan saat ini. Pikir Ino.

"Kau bisa sakit, ayo aku antar pulang."

Namun Ino masih bergeming dengan pikirannya.

"Maaf kalau kejujuranku membuatmu kecewa." Tambah Gaara yang melihat gadis didepannya masih membisu.

"Tapi percayalah Ino, aku sungguh-sunguh dengan perasaanku." Mungkin suaranya pelan namun kalimat itu masih bisa didengar dengan jelas oleh Ino.

"Aku menyukaimu, bahkan mencintaimu."

"Aku tau," Potong Ino, yang membuat Gaara sedikit menahan napas.

"Apa kau tau, sebelum aku datang ke gedung olahraga tadi, aku bertemu Hinata, dan dia mengatakan, memintaku untuk mejauhimu." Cukup lancar ia dalam menyampaikan kalimatnya, sampai tak sadar pemuda didepannya mati-matian menahan napas mendengar setiap kata yang terucap lirih itu.

"Lalu apa kau tau, apa yang aku katakana padanya?" Kali ini segaja ia menjedanya cukup lama.

Namun Gaara masih menatapnya dengan khawatir.

Tak ada jawaban.

"Aku bertaruh dengannya, bahwa kau menyukaiku. Dan benarkan?" Senyum tipis terukir diwajah kacaunya.

Bibir yang biasa berwarna merah mudah itu kini membiru, dan wajah yang biasanya dihiasi rona merah kini memucat.

"Aku tidak menyakna akan menang secepat ini." Ino menunduk. "Namun setelahnya aku menyesal, mendengar kau menyukaiku didepan Hinata."

Entah air mata atau air hujan yang kini membasahi wajah ayunya.

Gaara menarik napas pelan kemudian berucap. "Kau menyadarinya aku menyukaimu? Memang aku tak pernah seperti ini sebelumnya." Jeda untuk menarik napas lagi. "Rasa sukaku padamu berkembang semakin lama menjadi rasa cinta yang menyakitkan."

Ino mendongak, iris aqua itu menatap pemuda didepannya. Sebelum ia bertanya Gaara melanjutkan.

"Melihatmu begitu mencintai Sasuke, mecintai seseorang yang tak mungkin bisa aku miliki, ternyata lebih menyakitkan dari kenyataan bahwa wanita yang kuanggap ibu bukanlah ibuku Ino." Senyum miring menghiasi wajah rupawannya.

Ino yang tau keadaan ibu Gaara hanya mencoba menelan ludah dengan susah payah.

"Sekarang, setelah semua yang terjadi, aku akan tetap mengejarmu, aku tidak bisa mundur, aku akan menunggumu sampai kau mau menikah dengaku." Pungkasnya dalam satu tarikan napas.

Ino sedikit melotot mendengarnya.

"Kau tenang saja, aku tidak akan memaksamu dalam hal apapun. Dan aku bukan orang yang jorok yang akan melakukan apapun hanya untuk napsu." Kembali jeda.

"Aku bukan Sasuke dan aku tidak akan mengulangi kesalahan yang dilakukan Sasuke. Aku bersumpah demi ibuku." Tambahnya

Ino tertawa. "Kau terlalu banyak omong Sabku Gaara." Komentar Ino.

Senja dan hujan seolah kontras dengan keadaan keduanya. Namun hati yang semula hancur kini mungkin mulai berdetak kembali.

Kenyamanan yang ditawarkan oleh Gaara memang tak bisa Ino tak acuhkan, Gaara seolah tau yang sedang ia butuhkan. Namun bukan berarti ia tidak berpikir, sungguh ia masih perlu banyak tau, sejauh mana keduanya memahami arti mencintai.

"Boleh aku bertanya sesuatu?" Tambah Ino."

Gaara terlihat menarik dan menghempuskan napas kembali sebelum menjawab. "Hn, apapun, tapi bisakah kita pulang dulu, aku benar-benar kedinginan seperti ini."

Ya, meski terlihat tenang namun tak bisa menapik bahwa keduanya terlihat mengigil. Jaket yang masih menutupi kepala Ino pun tak membantu terhidar dari hujan.

Namun gadis didepannya malah tertawa.

Gaara menautkan alisnya tak mengerti.

"Aku juga kedinginan dari tadi kau tau." Jawab Ino. Sungguh kedua pemuda stoic ini ternyata memiliki sisi imut yang mungkin hanya Ino yang tau.

Setelah mendengar jawaban dari gadis di depannya, Gaara tersenyum samar dan kemudian menyambar pergelangan gadis di depannya menuju mobil yang berhenti tak jauh dari mereka.

"Tak apakan, aku antar pulang dengan kondisi seperti ini?" Pertanyaan Gaara setelah mereka sampai di dalam mobil.

Ino menggeleng, pertanda tak apa.

Gaara langsung melajukan mobilnya menuju kediaman Ino.

Mobil sport itu berhenti di depan rumah minimalis yang hangat.

"Mau masuk?" tawar Ino, bukan sekedar basa basi.

Gaara menatapnya sejenak sedikit ragu dengan kondisinya.

"Tak apa, mungkin papa memiliki baju yang pas untukmu." Tambah sang gadis yang membuat Gaara tersenyum dan mengiyakan.

Pertama-tama suara ibu Inolah yang menyambut mereka berdua.

"Astaga, kenapa kalian berdua basah kuyup seperti ini Ino? Ayo masuk." Seru sang nyonya Yamanaka.

Ino tertawa renyah,"kita main hujan-hujanan ma." Tak sepenuhnya berbohongkan? Suara tawanya membuat kedua orang yang mendengarnya ikut menghangat, seolah tak ada yang tau bahwa gadis itu baru saja menangis.

Sang ibu hanya menggeleng pelan, dengan tingkah putrinya.

"Cepat mandi, dan…?" Kalimatnya menggantung.

"Gaara." Sambung Gaara yang tau akan maksud ibu Ino.

Seulas senyum teduh ia berikan, "Ya Gaara-kun, kau bisa mandi dikamar mandi tamu, kalo kau tidak keberatan aku akan mencarikan baju papa Ino yang mungkin pas untukmu."

Dalam satu kali tarikan napas seorang Yamanaka bisa bicara panjang tanpa tersengal sedikitpun. Hebat bukan?

Gaara mengangguk.

Setelah mereka menyelesaikan mandinya dan bergati pakainya yang hangat, dua cangkir kopi panas sudah terhidang dimeja.

"Maaf ya tak ada baju laki-laki selain baju papa." Sebuah setelah tshirt dan celana training melekat pada tubuh tegap Gaara.

"Tak apa, maaf sudah merepotkanmu."

Ino tersenyum.

"Jadi, apa yang ingin kau tanyakan?" Setelah mereka duduk dalam diam dengan menikmati kopi disore hari yang masih hujan, Gaara bersuara.

Ino menatapnya, "Jadi benar, kau mengencani Hinata hanya untuk sebuah taruhan?"

Gaara ikut menatapnya, jade dan aqua beradu pandangan. Cukup lama dalam kondisi seperti itu sampai Gaara yang memutus kontak diantara mereka. sebelum menjawab ia menarik napas panjang.

"Ya." Jawabnya singkat.

Ino menekuk lututnya dan kemudian menenggelamkan kepalanya yang masih sedikit basah disana.

Gaara kembali menarik napasnya. "Meski mengencaninya hanya sebuah taruhan, tapi aku tak pernah sedikitpun menyakitinya." Tambahnya yang melihat sepertinya Ino merasa tak puas dengan jawabannya. Sebenarnya ia juga binggung harus mulai menjelaskannya dari mana. Ia bukan orang yang pandai berbicara bukan?

"Maaf kalau hal itu menyakitimu." Tambahnya lirih.

Ino masih setia dengan posisinya.

"Waktu itu hadiah yang ditawarkan Sasuke begitu mengiyurkan untukku."

Kalimat Gaara membuat Ino mendonggak, menatapnya. Kembali kedua iris berbeda warna itu bertemu.

"Kau yang paling aku inginkan, dan Sasuke akan memberikan apapun yang aku inginkan." Masih saling menatap Gaara menambahkan. Ingat, ia bukan seorang pecundang. "Meski aku tak yakin Sasuke akan memberikanya, kalau itu menyangkut dirimu."

Ino masih membisu dengan semua penjelasan Gaara. Keduanya pun masih dalam posisi yang sama, namun Ino yang memutus kontak diantara mereka.

"Apa kau pikir aku juga akan mau denganmu?" Komentar Ino sarkas setelah mendengar semua jawaban Gaara. Kini pandangannya menatap cangkir kopi yang ada di meja. Seolah uap yang masih mengepul diasana lebih menarik pandnagannya.

Ia sungguh tak mengerti dengan jalan pikiran keduanya, apa setelah taruhan dan mereka mendapatkan hadiahnya apa mereka tidak berpikir bahwa aka nada banyak hati yang patah?

"Apa kau masih mencintai Sasuke?" Pertanyaan Gaara yang tak lepas dari sosok disampingnya. Mungkin ada benarnya pertanyaan Ino, namun dulu ia tak berpikir seperti itu. Apa Ino akan bersedia menjadi hadiah yang ia inginkan? Tapi semalam dengannya pun tak masalah dulu, meski tujuannya bukan hanya semalam.

Ingat mereka itu brengsek bukan?

Namun Gaara takut menambah luka Ino bila ia mengatakannya.

"Dulu ia, dan aku pasti akan menolakmu saat kau memintaku dulu dari hasil kemenangan taruhan yang kalian buat."

Kepala bersurai pirang pucat itu menolah cepat setelah mengatakan jawabannya. Dan pemuda di sampingnya masih menatapnya.

"Lalu sekarang?" Imbuh pemuda bersurai maroon dengan sedikit khawatir dengan jawaban yang mungkin akan ia dengar.

Satu detik

Dua detik

Tiga detik

Gaara masih menunggu dan Ino masih membisu.

Namun sungguh diluar dugaan dengan tindakan sang gadis. Ino menempelkan bibirnya pada bibir pemuda yang masih kaget dengan tindakannya. Meski hanya sekedar menempel namun berhasil membuat iris jade itu sedikit melotot dibuatnya.

Aqua itu terpejam.

Namun seolah usaha Ino menemui jalan buntu, pemuda didepannya tak membalas ciumannya.

Hal itu, membuat Ino kembali menarik dirinya, permata aqua itu kembali terbuka dan memberi tatapan polos.

Jade dan aqua kembali saling menatap dalam diam.

Sebenarnya Gaara tak mengerti apa maksud dari ciuama gadis didepannya ini. Namun ia enggan bertanya. Yang Gaara tau, gadis didepannya ini sungguh hebat membuat kejutan pada jantungnya.

"Kenapa tidak membalasnya?" Akhirnya Ino yang bersuara dengan tatapan yang masih sama.

Gaara tersenyum dan benarkan, pertanyaannya sungguh diluar pikirannya tadi.

"Kau sungguh menguji pertahananku ya?"

Tanya Gaara yang membuat Ino mengerecutkan bibirnya.

"Lebih tepatnya menguji perkataanmu."

Alis yang tak terlihat milik pemuda itu bertaut ditengah mendengar pernyataan sang gadis.

Huuu

Sebelum meberi jawaban ia menghembuskan napas pendek dan memilih menyesap kopi yang kini menghangat.

Setelah mulai kembali tenang, ia berucap. "Kalau kau yang menginginkannya, aku tak keberatan, perkataanku adalah aku tak akan memaksamu bukan?"

Kini Ino yang dibuat terdiam, karena perkataan pemuda disampingnya ini benar. Ia tersenyum, yang seolah mengejek pada dirinya sendiri.

"Apa kau pikir, selama ini aku tidak menginginkannya?" Jeda.

Dan Gaara masih menunggu kelanjutan dari kalimat sang gadis.

"Kalau saja dari ciuman dan setiap sentuhannya begitu membuat candu." Kini pandangannya menatap cangkir yang masih penuh di meja, lutut yang ia tekuk ia peluk erat.

Gaara terdiam.

Hening.

"Gaara?" Suara pelan yang memecah keheningan itu membetot atensi sang pemuda kembali menatapnya.

"Apa seandainya aku memberikan apa yang diinginkan Sasuke, apa dia tidak akan mengkhianatiku?"

Pertanyaannya yang kembali membuat sang pemuda bersurai maroon itu terdiam. Namun Gaara tau Ino menunggu jawabanya.

"Aku tidak tau, apa kau menyesal?"

Kini Gaara yang bertanya.

"Tentu saja tidak." Jawaban cepat yang Ino berikan mematahkan pikiran sang pemuda.

"Bagaimana seandainya aku memberikan segalanya pada Sasuke, namun tak merubah apapun?" Tambah Ino.

"Mungkin saja tidak." Gaara kembali menyesap kopinya.

"Mungkin ya?" Beo sang gadis lirih.

"Boleh aku bertanya?" Kini sang pemuda yang memulai.

Kepala pirang itu menoleh lemah, menghadap sumber suara. Mata teduh itu menatap lembut. Mungkin saja pemuda yang duduk disampingnya ini tergolong manusia dingin tapi sungguh Ino selalu mendapakan kehangat dari pemuda ini.

Tak mau membuat Gaara menunggu lama, ia mengangguk.

Sebuah senyum terukir diwajah rupawan itu sebelum bersuara. "Kenapa kau menahanya selama ini?"

Pertanyaan yang membuat Ino kembali mengalihkan tatapannya, entah kemana. Cukup lama diam dan akhirnya ia memberi jawaban.

"Aku ingin melakukan sex setelah menikah, tapi ternyata aku terlalu naif."

Gaara masih diam mendengarkan. Namun Ino tak segera menambahkan kalimatanya. Jadi sang pemuda yang kembali berkomentar. "Apa bedanya sekarang atau nanti bila dengan orang yang sama?" Mungkin benar, gadis ini begitu naif, di jaman sekarang tak sedikit kan pergaulan bebas yang terang-terangan di usia mereka?

"Bagaimana kalau tidak dengan orang yang sama?" Pertanyaan Gaara membuat Ino menjawabnya dengan cepat, karena mungkin saja itu yang ia takutkan. "Dan bagaimana kalau seandainya dia meninggalkanku setelah mendapatkan apa yang dia inginkan?"

Pertanyaan yang terlontar kali ini membuat sang pemuda menghela napas pendek. Mungkin saja benar.

"Seperti kasus Karin," Tambah Ino lirih. "Apa orang yang menikahinya nanti tidak akan kecewa?"

Kepala bersurai merah itu entah kenapa tiba-tiba terasa pening. Ino benar, akan ada banyak kemungkin yang terjadi. Bahkan otak jeniusnya tak mampuh untuk memberi jawaban.

Ino menoleh, menatap pemuda yang masih diam disampingnya.

Membuat sang pemuda pun ikut menatapnya, Gaara tersenyum tulus, bukan senyum miring yang seorang mengejek, sebelum kemudian ia memberi kalimat panjang.

"Orang yang benar-benar mencintaimu akan menerimamu apa adanya, tak peduli bagaimana masa lalumu."

Ino dibuat terdiam, masih saling menatap.

"Juga tak menjamin masa lalu orang itu sempurnakan?" Jeda sejenak. "Bukankah semua orang mempuanyai masa lalu? Tambahnya cukup panjang pemaparan sang pemuda, dengan senyum yang masih menghiasi wajah rupawannya.

Mata jadenya masih setia memandang gadis didepannya dengan lembut.

Bukankah benar, setiap orang mempunyai masa lalu, yang mungkin saja mengecewakan tapi bila mereka benar saling mencintai semua akan baik-baik saja kan?

Ia bicara seorang paham soal cinta dan kehidupan. Tapi bukankah kini ia juga sedang kecewa dengan masa lalu sang ayah, tapi ia mencoba memperbaiki nya meski tak mudah. Semua orang mempunyai alasan akan setiap tindakannya.

Kalimat panjang Gaara sukses membuat Ino terdiam. Kini ia hanya memilih semakin mengeratkan pelukan pada lututnya.

Tangan besar sang pemuda mengusap lembut kepala bersurai pirang yang kini menunduk,

"Tak perlu khawatir, semua akan baik-baik saja." Komentar Gaara kemudian.

Ino kembali mengangkat kepalanya menghadap sang pria lalu menubrukan dirinya pada dada bidang pria didepannya. Yang tentu saja langsung disambut Gaara kemudian.

Pelukan pada sang gadis yang telah mencuri hatinya ini mengerat.

Ya, semua akan baik-baik saja, Gaara akan menjaganya dan tak akan membiarkan siapapun menyakitinya lagi, termasuk Uchiha Sasuke.

One step closer

Setalah ikut makan malam di kediaman Ino, Gaara memutuskan pulang ke rumah mewahnya. Pilihannya kali ini untuk tidak pulang ke bascame mereka karena ia masih enggan bertemu sang sahabat ravennya.

Bukan ia takut, namun ia hanya malas bila harus kembali berdebat dengan Sasuke. Gaara tau akhir-akhir ini sabahatnya itu senang sekali mengajaknya berdebat dan menguras tenaganya.

Ia juga sadar, Sasuke pasti marah padaya kali ini. Bukan soal Ino tapi juga team basket yang posisi Gaara sebagai ace dalam team sekarang dengan seenaknya keluar begitu saja. Jujur ia tak berniat keluar, kalau ia dibolehkan untuk mengantar Ino tanpa berdebat pasti ia tak akan memilih keluar.

Bukan seeanaknya, tapi ini mendesak, bukankah Sasuke juga begitu dulu?

Tubuh lelahnya ia rebahkan pada Kasur king size miliknya, namun jadenya enggan memejam. Pandanganya menerawang jauh.

Gaara memang terbiasa insomnia seperti ini. Biasanya ia akan memilih menyalakan televisi dan membuat kopi, namun kali ini ia hanya ingin suasana yang tenang.

Pikirannya membawa pada sosok yang melahirkannya, ibu kandungnya. Kepalanya menatap ponsel yang ada diatas meja cukup lama, sebelum memutuskan mengambilnya. Memencet sebuah nama, yang kemarin baru ia miliki. Mungkin tak akan menganggu bila ia memutuskan menghubungi sang ibu. Karena perbedaan waktu yang cukup jauh.

Dan benar, sambungan telepon itu tersambung, pertama-tama suara tua yang ia dengar.

"Apa ibu sedang istirahat?" Langsung setelah tau siapa yang menagngkatnya.

'Tidak, apa Gaara-sama ingin bicara dengan ibu anda?'

"Hn, kalau tidak menganggu."

'Tentu saja tidak.' Yang langsung dijawab dengan cepat.

Setelah itu, suara yang berbeda menyahut diseberang sambungan.

Lembut, yang membuat ia tiba-tiba merasa rindu.

Bibir yang hanpir tak pernah tersenyum itu kini seulas senyum terpatri disana, mendengar setiap kalimat yang sang ibu katakan. Memang sejak pertemuannya kemarin, kesehatan sang ibu jauh lebih baik, atau memang ibunya itu tak pernah sakit.

"Aku sudah menyatakan perasaanku pada Ino."

Terdengar senyum sang ibu mendengarnya.

'Lalu apa dia menerimamu?' Tanya Karura. Meski ia tau akan pesona anaknya itu, tapi ia takut bila gadis pirang itu tak pelihatnya. Sungguh Karura senang, putranya tumbuh menjadi sosok pemuda tampan dan ia juga yakin pasti dengan kekayaan sang ayah tak sedikit gadis mengilainya.

"Entahlah, aku hanya lega bisa mengatakan perasaanku."

Ya, mungkin gadis ini pengecualiannya.

Obrolan keduanya berlangsung lama, bahkan hampir dini hari. Siapa yang menyangka kalau Sabaku Gaara betah ngobrol berlama-lama seperti ini? Tapi mungkin ini pengecualiannya, hanya dengan orang-orang tertentu.

One step closer

Entah apa yang membuat seorang Uchiha Itachi menghentikan mobilnya tepat didepan sebuah toko bunga Yamanaka. Jalanan sedang ramai sore itu ditambah hujan turun cukup deras, jadi ia memilih menepi dan masuk kedalam toko, bukan kebetulan sebenarnya. Tapi ia cukup beruntung karena sosok gadis yang mungkin ingin ia temui ada disana, terlihat sedang sibuk dengan pelangan.

Sebagai orang yang memiliki tatakrama yang cukup tinggi ia menunggu dengan sabar. Setelan jas yang senada dengan rambut legamnya sedikit basah karena hujan. Namun tak dapat menyembunyikan pesona yang ia miliki.

"Maaf bisa saya bantu?" Suara lembut itu menyentuh gendang telinganya.

Kaca mata hitam yang sejak tadi menyembunyikan mata onyxnya ia lepas, dan ia tersenyum kearah sang gadis dengan apron ditumbuh tingginya.

"Aku ingin bertemu dengan Yamanaka Ino." Cukup to the poin, karena ia memang bukan tipe orang yang suka berbasa basi.

Ino dibuat memicing mendengarnya. Namun kemudian tersenyum. "Ya, saya sendiri." Tambahnya. "Bisa saya bantu?" Masih dengan gaya formal.

"Aku Uchiha Itachi, bisakah kita bicara sebentar?" Kembali langsung pada inti tujuannya.

Dan Ino yang mendengar nama marga manta kekasihnya itu sedikit binggung, apa yang membawa pria didepannya ini datang menemuinya dan apa hubungan pria ini dengan Sasuke?

Namun buru-buru ia, membawa tamunya duduk di kursi yang memang ada didalam tokonya, yang disediakan untuk pelanggan yang menunggu bunga pesanannya.

"Silakan duduk dulu Uchiha-san, saya merapikan diri dulu." Ucap Ino kemudian.

Mungkin yang dimaksud dengan merapikan diri dulu adalah melepas apron yang masih meilit pada tubuhnya, dan jujur saja kesan pertama yang Itachi berikan pada sosok gadis itu memang mengagumkan, meski sedang bukan dalam keadaan terbaiknya.

Setelah kepergian gadis itu, Itachi kembali mengamati sekeliling toko bungan itu dalam diam. Cukup besar dan sepertinya ada banyak jenis bunga yang tertata rapi disana. Disisi lain ada beberapa kursi lengkap dengan meja menghiasi sudut ruangan yang kini ia duduki. Mengarah langsung ke jalanan kota yang cukup ramai dengan dikelilingi kaca yang menjadi pembatas didalam toko dan luar.

"Kopi panas akan sedikit menghangatkan." Beberapa saat kemudian Ino datang dengan dua cangkir kopi panas.

Ia tak menyangkan gadis didepannya ini juga menyukai kopi. Kini gadis yang sudah duduk di depannya itu sudah melepas apron dari tubuhnya, penampilannya tidak berubah hanya lebih terlihat santai. Rambut pirangnya tetap ia sangul pendek seperti tadi.

"Terimakasih." Ucap sang Uchiha sulung kemudian.

Ino tersenyum.

"Jadi, apa yang membawa Uchiha-san menemuiku?"

Ahh, sepertinya gadis didepannya ini juga bukan tipe orang yang suka basa basi. Tapi syukurlah, jadi ia bisa dengan mudah mengatakannya.

"Maaf menganggu waktumu."

"Tak apa," Ino menggeleng.

Itachi kembali tersenyum.

"Sebelumnya, panggil saja aku Itachi,"

Ino mengangguk.

"Kau memang seperti apa yang Sasuke sering ceritakan padaku."

Ino dibuat menautkan alis pirang saat mendengarnya.

"Maaf, sebenarnya apa hubungan Itachi-nii dengan Sasuke?" Ia mengutarakan rasa penasarannya yang sejak tadi. "Bolehkan aku memangil Itachi-nii." Dan tambahnya.

"Silakan, aku kakanya," Jeda, "aku pada intinya saja ya?"

Dan Ino mengangguk mengerti.

"Ino, apa kesalahan Sasuke sulit untuk dimaafkan?" Jelasnya langsung pada inti.

Dan seharusnya Ino sudah bisa menebak. Sosok didepannya ini begitu mirip dengan mantanya itu. Meski Itachi sedikit menguar karismanya. Namun pria di depannya ini terlihat jauh lebih dewasa, berbeda dengan Sasuke yang masih seenaknya seperti bocah.

"Jadi apa Sasuke, yang meminta Itachi-nii, datang menemuiku?"

"Tidak, justru aku ingin bertanya kepadamu, mungkin saja kau tau dimana dia sekarang?" Jeda sejenak. "Tempat yang biasa ia datangi setaumu mungkin?"

Ucapanya mungkin datar tapi sarat akan kepedulian di telingga Ino. Kemudian Ino dibuat menautkan alis pirangnya kembali.

"Sasuke tidak pulang?" Ino bertanya.

Itachi menganguk. "Sudah sejak kejadian dimana Karin mengatkan kehamilannya, seperti yang kau tau."

Ahh, jadi semua sudah tau. Ia menunduk.

"Soal Karin, kau tak perlu khawatir." Melihat perubahan eksprsi dari gadis didepannya itu, Itachi tenang menambahkan.

"Ini bukan tentang bisa atau tidak bisanya, memaafkan." Ino yang masih menunduk.

Tak lama kemudian ia kembali mengangkat kepalanya menatap pria didepannya. "Aku takut, bagaimana kalau apa yang terjadi pada Karin itu terjadi padaku?"

Gadis yang realistis, pikir Itachi.

Dengan senyum tulus pria dewasa itu berucapak kemudian. "Kau tenang saja, aku yang akan bertanggung jawab." Terang Itachi yang membuat Ino menatapnya lekat tak percaya.

"Kenapa?" Ino sungguh tak habis pikir.

"Tidak ada alasan khusus, selain karena Sasuke tidak mau bertanggung jawab."

Apa ini kasih sayang seorang kakak, yang tidak pernah Ino miliki? Yang selalu membereskan kekacauan yang dibuat adiknya. Mendengarnya membuat Ino merasa iba pada Itachi. Tapi bukan berati Sasuke bisa terbebas dari tanggung jawab bukan?

"Kenapa Sasuke bersikukuh tak mau bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri?"

"Sudah jelaskan, yang Sasuke cintai itu kau Ino."

Ino menggeleng. "Bukan, Sasuke tidak mencintaiku, dia hanya terobsesi padaku saja."

Pria itu kembali tersenyum mendengarnya.

"Jujur, aku bukan orang yang tau apa itu cinta dan obsesi, bagaimana mencintai dan dicintai." Berhenti sejenak, untuk membasahi tenggorokannya yang agak kering, ia menyesap sedikit cangkir yang berisi kopi yang sejak tadi ia abaikan.

"Itu semua bukan prioritas hidupku Ino." Sambungnya kemudian. "Bahkan, dalam kasus Karin, yang mungkin aku tidak tau, bayi siapa yang dia kandung, dan dia gadis seperti apa, bagaimana kehidupannya atau benar seperti yang dikatakan Sasuke, itu hanya sebagai keharusanku saja."

Cukup panjang dan tenang, ia merangkai kalimat perkalimat. Wajahnya datar dan lembut secara bersamaan. Namun dapat membuat Ino merasa bahwa sosok didepannya ini begitu menyayangi Sasuke.

"Begitu beruntungnya Sasuke, memiliki kakak seprtimu Itachi-nii." Komentar Ino.

Dan Itachi tersenyum mendengarnya. "Ini bukan semata-mata karena aku kakanya, jadi aku membela Sasuke, tidak begitu Ino."

Ino mengangguk mengerti.

"Disini kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Sasuke kan?" Jeda sejenak, menatap permata aqua didepannya yang juga sedang menatapnya. "Karena mereka berdua sama-sama menginginkannya, kecuali Sasuke memperkosa Karin." Lanjutnya kemudian dengan senyum tipis.

"Ya, mungkin kau benar, tapi yang membuatku susah sekali memaafkannya adalah," Sengaja Ino menjedanya, takut untuk menlanjutkan kalimatnya, takut Itachi akan terluka dengan kelakuan adiknya kali ini."

"Lanjutkan?" Itachi mengijinkan Ino untuk melanjutkan apapun itu kalimatnya.

"Semua gadis di KHS sudah pernah tidur dengan Sasuke, mungkin hanya aku saja yang belum, karena itula Sasuke mempertahankanku." Ino menunduk saat mnceritakannya.

Kalimat itu membuat Itachi memicing mendengarnya.

"Kau serius?"

Ino mengangguk. "Karin yang mengatakannya, dan mereka semua tidak ada yang menyangkal." Tambah Ino.

Terdengar helaan napas pajang dari lawan bicaranya.

Kini surai legam itu ia tolehkan kesisi kirinya, pada jendela kaca yang mengarah langsung pada jalan. Memandang jauh hujan deras yang rasanya enggan untuk sekedar berhenti sejenak diluar sana.

Mungkin, banyak yang tidak diketahui oleh dirinya tentang Sasuke. Entah seperti apa pergaulan sang adik di luar sana yang tak pernah ia tau. Dan entah dalam kasus kenakalan Sasuke ini siapa yang salah.

Itachi adalah sosok yang ahli dalam mengendalikan emosi, sekaget dan semarah apa dirinya masih bisa terlihat tenang. Meski ia memang syok atas apa yang dituturkan oleh gadis didepannya ini, yang mungkin jauh lebih mengenal adiknya.

Itu tentu saja membuat kepalanya sedikit nyeri, meski kafein yang baru ia cecap tak mampuh meredakannya.

Hal itu membuat suasana menjadi hening cukup lama.

"Maaf, aku tak bermaksud, menjelekan Sasuke. Hanya saja, dalam hal ini aku terlihat seperti gadis bodoh kan, dimata semua orang?"

Ino memecah keheningan yang cukup lama itu dengan sebuah kalimat dan senyum kecut dibibir tipisnya.

Itachi kembali memandang gadis didepannya, memusatkan atensi pada satu direksi. Gadis ini, benar-benar berbeda. Mungkin karena itula Sasuke begitu mencintainya atau memang benar hanya terobsesi padanya.

Senyum tipis Itachi berikan, dengan kembali meneguk kopi yang sudah mulai dingin.

"Hn, tak apa, aku hanya khawatir, bagaimana kehidupan Sasuke tanpa fasilitas yang biasa menemaninya." Jeda untuk menarik napas. "Mungkin kau bisa membantuku untuk bicara dengannya."

Ino tersenyum, memberikan senyum terbaiknya, kemudian menganguk. "Aku akan bicara pada Sasuke, kalau kau mengkhawatirkannya bila ketemu di sekolah besok."

"Terimakasih."

Ino kembali tersenyum.

"Satu lagi, apa kau bisa membuatkan dua bouqet bunga apapun yang menurutmu bagus."

"Ahh, tentu, tunggu sebentar."

Setelah kepergian Ino dari hadapanya, menuju tempat ia mebuat bouqet, onyx itu masih setia menatapnya. Cantik pikirnya, dan yang cukup mengejutkan adalah, gadis ini dari kalangan menengah, berbeda jauh dengan Sasuke, hebatnya mampuh bersaing dengan banyak gadis yang mungkin menginginkan Sasuke, seperti Karin.

Ia pun tak tau, apa yang membuat sosoknya special, mungkin prinsipnya. Kalau dari fisik, memang cukup mengagumkan, cantik.

Itachi mendengus saat memikirkannya. Betapa bodohnya adiknya itu.

Tak lama, dua bouqet Bungan lily sudah Itachi terima. "Cantik seperti pembuatnya." Komentarnya. "Ini." Tambahnya, menyerahkan beberapa lebar uang setelah menerima bunga tersebut.

"Tapi ini terlalu banyak."

"Itu tak seberapa untuk membeli waktu yang kau berikan untukku hari ini." Ia mengambil jeda. Kemudian menyerahkan satu bouqet lily putih itu pada gadis didepannya.

Ino masih memandang tak mengerti.

"Ini untukmu, satu lagi untuk ibuku. Senang bisa mengenalmu Yamanaka Ino."

"Ahh… terimakasih, aku juga senang mengenalmu Itachi-nii." Ia mebungkuk.

Sebelum memutar tubuhnya untuk pergi dari dalam toko yang beberapa saat lalu ia masuki pemuda yang penuh karisma itu tersenyum lalu kembali memasang kaca mata hitamnya.

Dalam langkah menuju pintu keluar, ia berpikir adiknya itu benar-benar bodoh bukan, dan mungkin akan menyesal nanti. Kemudian sedikit berlari kecil menerjang hujan menuju mobilnya terparkir.

Complications

Pertemuannya dengan seorang Uchiha Itachi yang membuat Ino menghentikan mobilnya dan memutuskan masuk kedalam sebuah rumah yang ia tau sebagai rumah tempat ketiga pemuda yang menjadi temannya di sekolah itu bersenang-senang.

Meski ia jarang atau bahkan hampir tak pernah datang atau sekedar diajak oleh mantan kekasihnya dulu. Namun sabtu malam yang cerah, setelah ia membantu orang tuanya mengantar pesanan bunga kesalah satu pelanggan, ia melewati rumah minimalis yang mencuri perhatiannya kali ini.

Terakhir ia mampir beberapa bulan yang lalu, namun Sasuke melarangnya masuk waktu itu. Namun kali ini rumah itu terlihat sepi namun lampunya sepenuhnya menyala, di halamanpun tak terlihat satu mobilpun. Berbeda dengan yang selalu ia tau, selalu berjejer mobil-mobil mewah milik ketiganya.

Mungkin benar apa yang disampaikan oleh Itachi, bahwa kemewahan Sasuke disita oleh sang ayah. Jadi tak menutup kemungkinan bahwa mantannya itu ada didalam, bukankah Itachi mengatakan bahwa Sasuke tak pulang, jadi kemana lagi pemuda itu selain disini?

Pintu yang tak terkuci itu ia buka, mungkin dulu ia akan lebih memilih menelphone Sasuke terlebih dahulu untuk memastikan, namun sekarang ia pikir akan percuma.

Mata biru laut dalam itu disuguhi pemandangan yang membuat permata indah itu memicing dengan apa yang ia lihat. Sosok pengendali KHS ada disana, seorang diri sedang terkulai kepalanya ia letakkan diatas meja yang penuh dengan beberapa botol beer, cemilan, rokok dan putung rokok yang berserakn disana.

Matanya mencoba mengamati sekeliling, tidak ada dua pemuda yang mejadi sabahat sosok yang sepertinya sedang tertidur itu. Mungkin hubungan ketiganya sedang tidak baik-baik saja.

Ino menghela napas berat. "Sasuke?" Panggilnya kemudian.

Tak ada jawaban.

"Uchiha Sasuke?" Kembali ia memangil namanya, kali ini cukup keras.

Masih tak ada jawaban. Ia kembali menghela napas.

Namun gerakan lemah dari sang empunya nama, membuat Ino kembali memusaatkan perhatian akan sosoknya.

Kepala bersurai raven itu terangkat perlahan, mata onyxnya memicing merasakan nyeri pada kepalanya yang teramat, mungkin efek dari apa yang ia konsumsi beberapa saat lalu.

Tangannya sudah memijat pelipisnya, sebelum suara yang begitu ia rindukna terdengar oleh gendang telinga mabuknya.

Masih ia tak acuhkan, mungkin karena ia begitu merindukankan dan dipadukan dengan apa yang ia minum jadi ia sampai berhalusinasi tentang gadisnya itu.

"Kau baik-baik saja, Sasuke?"

Namun suaranya semakin jelas, membuat ia mau tak mau menoleh kesumber suara. Kemudian mata yang memicing itu ia kerjapkan beberapa kali untuk memastikan penglihatannya.

Dan benar sosok bak boneka yang memakai dres selutut dipadukan dengan sebuah cardiagan berwarna sama melekat pada tumbuh indahnya. Gaya ponytailnya masih sama.

"Apa ini hanya halusinasiku saja?" Tanyanya rancau dengan senyum yang mengejek pada dirinya sendiri.

"Apa yang sedang kau lakukan Uchiha Sasuke?" Kini gaya otoriter dengan melipat kedua tangannya didepan dada dan mengabaikan petanyaan yang dilontarkan pemuda didepannya.

Mata onyx itu kembali memicing, untuk memastikanya kembali. Kalau ia tidak sedang berhalusinasi lalu apa yang membawa gadis ini datang? Hanya sekedar menemuinya kah?

Kini ia kembali tersenyum miring sebelum kembali berucap. "Apa kau begitu merindukanku sampai kau datang malam-malam begini?"

Sebuah tarikan napas panjang ia ambil sebelum ia berucapa. "Bisakah kau berpikir dewasa sedikit, dan berhenti bermain-main?" Sengaja ia mejedanya. "Kau tau Itachi-nii begitu khawatir padamu, tapi lihat dirimu, apa yang kau lakukan tidak jelas seperti ini."

Ha…ha…ha…

Sengaja ia mengeja tawanya, setelah mengdengar kalimat panjang sang gadis ditambah lagi dengan satu nama yang gadis itu sebut. 'itachi-nii, kakaknya.' Sejak kapan Ino tau soal sang kakak? Tidak diragukan lagi kalau kakaknya itu mengkhawatirkannya, karena Sasuke paham betul akan hal itu, tapi apa kakaknya itu telah menemui Ino?

"Oh, jadi kakakku curhat padamu?" Tanyanya pelan, yang kini mulai memaksa tumbuhnya bediri dari duduknya. Dengan tubuh yang sedikit sempoyongan ia berjalan mendekati Ino, tepat didepannya ia menambahkan. "Kapan kakakku menemuimu?"

Bau alcohol yang tercium indranya dari jarak yang begitu dekat membuat Ino sedikit pusing.

"Seharusnya kau sadar Ino apa yang membuatku seperti ini." Tambah Sasuke karena Ino belum menjawab pertanyaanya. "Gara-gara kau, aku menjadi seorang brengsek."

"Apa karena aku tidak mau memenuhi kebutuhan sexmu jadi kau bisa tidur dengan banyak gadis dibelakangku? Itu bukan alasan Sasuke."

"Itu sebuah pemicu." Terangnya.

"Apa di kepalamu hanya ada selangkangan?" Tambah Ino sarkas.

"Itu hal wajar kalau dia pria normal." Counter Sasuke. "Bahkan aku tak masalah kalau kau ingin menyerahkan kegadisanmu pada pria manapun untuk membuat kita seimbang."

Belum selesai Sasuke menyelesaikan kalimat panjangnya, sebuah tamparan yang sengaja tidak ia hindari melayang pada pipi putihnya.

Namun sebuah senyum miring yang Sasuke berikan kemudian, atas respon tindakan sang gadis didepannya.

"Bahkan tidur dengan Gaara sekalipun silakan, asal pada akhirnya kau mau kembali padaku." Lanjutnya masih tenang. "Bukankah Gaara juga terobsesi padamu?"

Namun tidak dengan Yamanaka Ino, gadis itu sudah sangat geram dengan setiap kalimat yang ia dengar. "Aku bersyukur kita telah putus, dan sampai kapanpun aku tidak akan kembali padamu." Setelah mengucapkan kalimat itu Ino membawa tumbuhnya untuk berbalik, pergi dari hadapan pemuda ini dan pulang. Karena percuma bicara dengan Sasuke yang mabuk.

Namun belum sepenuhnya ia berbalik, pergelangan tangannya dicengkram lumayan kuat. Ia tau siapa pelakunya. Benar Sasuke menahannya untuk pergi.

"Kau lebih menggairahkan saat kau marah."

Kalimat Sasuke memuat Ino memicingkan kedua mata aquanya.

"Lepas."

"Kalau aku tidak mau?"

Sepertinya Sasuke yang mabuk ini sedang mengajaknya berkompromi. Saat ia mencoba menariknya, Sasuke semakin mengeratkan cengkramannya dan itu menyakitkan.

"Kau mabuk Sasuke." Tentu saja itu tak perlu dipertanyakan lagi.

Sedangkan pemuda yang dimaksud hanya mengedihkan bahu. "Aku tidak mabuk, hanya minum." Koreksinya.

Tangan yang masih ia cengkram itu kemudian ia Tarik mendekat, dengan sedikit paksaan Sasuke menciumnya.

Ciuman yang menuntut dan kasar, itulah yang dirasa oleh Ino. Dan untuk pertama kalinya Ino tak pernah melihat Sasuke memaksanya seperti ini.

"Lepaskan aku Sasuke." Suara Ino mencicit saat ciuman Sasuke terlepas namun bukan menyudahinya, ciuman Sasuke berpindah pada leher jenjang yang terekspos didepannya.

Ada seringai dalam ciuman panas yang memaksa itu. Saat tangan yang bebas milik gadis itu mencengkram erat dan mencoba menarik surai legamnya.

Ingat Sasuke tak pernah sefrustasi ini menghadapi tingkah Ino yang seenaknya sebelum ini. Namun mungkin ia jengah, ditambah alcohol dan obat-obatan penenang yang beberapa saat lalu ia konsumsi, yang membuat ia bertindak sejauh ini.

Bahkan tak mengindahkan rontahan Ino, ia makin liar menarik cardigan dengan paksa, membuat Ino melotot.

"Apa yang kau lakukan Uchiha Sasuke, eh…"

"Kau akan menyukainya." Dengan sedikit tenaga yang mungkin masih tersisa, Uchiha Sasuke mengangkat ala bridal style gadis yang masih meronta dalam dekapannya.

"Turunkan aku, Sasuke."

Namun seolah tuli, Sasuke tak merasa terganggu dengan triakan dan rontahan sang gadis. Bahkan kini ia telah sampai pada sebuah kamar yang ia tuju. Daun pintu Sasuke tutup dengan kaki sebelum melemparkan sang gadis yang melotot horror kearahnya.

"Aku suka ekspresimu Ino." Dengan senyum iblis mengembang diwajah tampannya setelah melepas Tshirt hitam yang ia pakai.

Tanpa berpikir dua kali, Sasuke langsung menindih dan menahan pergelangan tangan gadis dibawahnya, memberi ciuman pada setiap inci yang bisa ia jamah dengan kasar. Cukup sudah ia mengikuti dan menuruti setiap keinginan gadisnya selama ini.

Ino hanya bisa syok dengan tindakan sejauh ini yang dilakukan pemuda yang cukup ia kenal.

"Aku mohon, berhenti Sasuke." Isakan mulai terdengar disana. Entah dengan cara apa Sasuke berhasil melepas dres pastelnya dan melemparnya entah kemana. Kini hanya bra dan celana dalam yang berwarna senada melekat pada tubuh indahnya.

Bahkan kini tubuhnya mulai mengkhianati dirinya akan setiap sentuhan yang diberikan oleh Sasuke padanya. Dia masih sangat normal bukan, dan beberapa hari yang lalu ia juga sempat curhat pada Sabaku Gaara, tentang hal ini.

Disaat seperti ini, pemuda yang akhir-akhir ini selalu menjadi penolongnya itu kemana dan kenapa ia tak bersama Sasuke malam ini. Dan kenapa juga ia datang kemari? Banyak 'dan' yang bersarang dalam otaknya kini. Lalu apa ia menyesal?

Kenapa pemuda yang dulu menjadi kekasihnya ini, tak pernah memkasanya? Kenapa setelah semua berakhir baru Sasuke lakukan seperti ini? Air matanya sudah menganak sungai dikedua sisi matanya saat ia sudah mulai pasrah akan nasibnya.

Namun gerakan Sasuke yang sejak tadi memberi ciuman panas pada leher, lalu turun ke dada dan kini semakin turun ke perut ratanya, yang tentu saja membuat ia menggeliat dan menahan napas mati-matian.

Dan entah apa yang membuat pemuda itu berhenti? Bahkan cengkraman pada kedua pergelangan tangannya tak sekuat sebelumnya yang terasa menyakitkan. Meski kepala Sasuke masih diatas perut ratanya, namun pemuda itu berhenti menjamah tubuh rampingnya.

Surai legam itu terangkat beberapa saat setelahnya. Menatap sosok yang masih diam dengan napas yang naik turun, ada isak tangis dan air mata disana, yang masih dibawa kungkungannya. Sebenarnya Sasuke tak ingin melihat ini.

Ia mungkin bisa memaksa semua orang untuk tunduk padanya, tapi tidak pada gadis dibawahnya ini, ia tidak bisa dan tidak mau memaksa Ino.

Dan bukan seperti ini yang ia inginkan.

Mata onyx itu masih memandang sosok dibawahnya yang masih memejamkan matanya. Sosok yang sangat ia ingikan sebenarnya. Meski ia tak tau, mungkin saja Ino benar, ia hanya terobsesi pada sang gadis.

Tak terasa air mata mahalnya, yang tak pernah muncul seumur hidupnya kini tiba-tiba menetes dan jatuh menyentuh kulit pipi gadisnya. Hal itu membuat, pemilik mata samudra membuka perlahan.

Iris yang berbeda itu saling memandang dalam diam.

Sampai suara serak berucap lirih. "Maaf." Tak perlu kaget bila mendengar Sasuke mengucapkan kata maaf padanya, tapi itu terjadi dulu, saat mereka masih bersama.

Kepala dengan gaya rambut melawan gravitasi itu mendekat, dan mendaratkan ciuman yang cukup lama dan terasa lembut pada keningnya.

Dengan masih terdiam pada tempatnya, ia melihat Sasuke perlahan menjauh dari tubuhnya, dan merosot terduduk dilantai dengan bersandar pada ranjang yang Ino tiduri.

Sedangkan Ino, buru-buru menarik selimut yang ada dan membawa tubuhnya duduk bersadar pada sandaran tempat tidur dengan memeluk lututnya.

Hening.

Complications

Dilain sisi, diwaktu yang hampir bersamaan beberapa saat lalu, Gaara yang baru akan memejamkan matanya, dialihkan oleh panggila telephon dari salah satu kenalannya.

"Hn?" Jawbanya singkat.

Namun penyataan yang baru didenganya membuat ia menautkan alisnya.

"Aku?"

'Iya, Sasuke yang memesannya cukup banyak dengan atas nama rekeningmu. Ya kupikir kalian mau pesta jadi aku mengirim ke basecamp kalian.' Terang seseorang yang ia kenal panjang lebar.

Tidak heran sebenarnya, kalau Sasuke memesannya dengan membayar mengunakan rekeningnya. Karena memang ia sendiri yang memberikannya pada Sasuke dan menyuruh sahabatnya itu menggunakannya.

"Hn, terimakasih." Setelahnya sambungan telephon itu ia putus.

Kini niat awalnya yang ingin memejamkan mata terganggu dengan kabar yang baru ia dengar. Pemuda dengan tato kanji ai itu memutuskan turun dari ranjang nyamannya menyambar jaket dan kunci mobilnya.

Didalam mobil yang ia kendarai pelan kini ia mencoba menghubungi seseorang dari sambungan telephone, seorang sahabatnya namun tak ada jawaban berkali-kali. Dan mencoba lagi di nama yang bebeda, dan kali ini suara dari seorang sahabat rambut kuningnya menyapa gendang telingganya.

"Kau dimana Naruto?"

'Di rumah, ada apa Gaara?'

"Kupikir kau bersama Sasuke."

'Tidak, aku belum bertemu dengannya sejak tadi, memangnya ada apa?" Naruto yang sejak putus dengan kekasih rambut merah jambunya, jadi bertambah malas, selain rebahan dan main game di rumah.

"Tadi Jugo menelephoneku, katanya Sasuke memesan kokain cukup banyak, kupikir dia akan pesta denganmu." Terang Gaara yang masih mengemudi dengan pelan, karena ia juga sedang tak memiliki tujuan, mungkin ke basecamp.

'Hmm… tidak, dia tidak menghubungiku.'

"Hn, begitu?" Jeda. "Jugo mengirim kokainnya ke basecamp mungkin Sasuke ada disana, aku akan kesana." Tambahnya.

'Ahh… baiklah kau duluan saja, aku akan menyusul.'

"Oke."

Tak butuh waktu lama untuk sampai ke basecamp mereka, dan hal pertama yang ia lihat adalah sebuah mobil yang familiar diingatannya, namun ia tau itu bukanlah mobil milik sahabat ravennya. Lalu mobil siapa dan dengan siapa Sasuke didalam?

Pintu utama tak tertutup, dan saat ia masuk kedalam, hanya ada ruangan kosong, tak ada sang sahabat, namun bekas botol beer, rokok dan ponselnya masih tergeletak di meja. Dan sedikit samar, ia bisa mencium aroma dari seorang gadis saat pertama ia masuk tadi. Aroma yang selalu ia sukai bila ada didekatnya.

'Ino?' Pikirannya melayang kesatu gadis

Dan mobil yang terparkir di depan tadi, ahh benar itu milik Ino. Gadis itu ada disini? Dengan Sasuke?

Mata jadenya memicing lalu pikirannya melayang kemana-mana yang membuat ketenangan kacau.

"Ino?" Teriaknya, sambal berlari menuju kamar yang selalu ditempat sahabatnya saat mereka disana.

Dan benar, saat pintu yang tertutup itu ia buka dengan kasar, ada dua orang yang sangat ia kenal, dengan keadaan yang membuat dirinya seolah tercekat.

"Brengsek." Dengan suara parau ia berjalan menuju pemuda yang masih duduk dilantai yang sekilas lalu menatapnya tak minat.

'Bugh…'

Sebuah pukulan bertubi-tubi ia layangkan pasa sosok sahabatanya. Sampai sudut bibirnya berdarah, namun Sasuke sama sekali tak membalasnya.

"Kenapa kau tidak berubah keparat, kenapa kau malah membuat cara kotor seperti ini. Ino tidak sama dengan gadis yang setiap malam kau tiduri brengsek."

Hanya dengan satu tarikan napas Gaara bisa bicara panjang dan dengan masih memberi pukulan pada Sasuke yang kini tersungkur dilantai.

"Cukup Gaara." Suara triakan yang lumayan kencang itu menghentikan tangannya diudara.

Namun kemudian ia mengabaikannya.

Sasuke menyeringai, kemudian berucap. "Kenapa kau ingin membunuhku?" Pertanyaan ponggah yang seolah menyulut kemarahan sang memuda Sabaku.

"Sudah cukup Sabaku Gaara, aku baik-baik saja, Sasuke tidak melakukan apapun padaku." Isaknya yang kini sudah menahan lengan pemuda rambut merah yang akan mulai memukul lagi.

Mengabaikan keadaan dirinya yang berantakan, celana dalam dan bra yang kini melekat pada tubuh semampainya. Rambutnya berantakan, wajahnya sembab oleh air mata. Keadaan yang sangat kacau.

Namun ia memang harus menghentikan amukan Gaara kepada Sasuke, bisa-bisa Gaara membunuh Sasuke dan kenapa juga Sasuke tidak membalas atau membela diri, bukankah kenyataanya memang belum terjadi apa-apa antara mereka? Karena Sasuke menghentikan niatnya.

Lalu ia menunduk.

Mendengarnya Gaara mulai tenang, meski apa yang ia lihat didepannya kini jauh dari kata baik-baik saja. Wajah yang sembab oleh air mata itu ia rangkum dan betapa bersyukurnya ia mendengar suara gadis itu yang mengatakan baik-baik saja.

Melihat tadi, Gaara marah sampai ia tak bisa mengendalikan dirinya, namun kini napas yang seolah direngkut paksa dari paru-parunya telah kembali.

Sebuah pelukan yang kemudian yang ie berikan, cukup erat. Meksi banyak pertanyaan yang ingin sekali Gaara tanyakan, apa dan kenapa Ino ada disini? Tapi ia bisa menayakannya nanti, yang penting gadisnya ini baik-baik saja.

Setelah ia melepas pelukannya, ia kemudian juga melepas jaket yang ia kenakan, lalu memakaikannya pada sang gadis. Jaket yang besar itu bisa menutupi tubuh kecil Ino sampai pertengahan paha.

Lalu membawa Ino keluar dari kamar terkutuk itu, mengabaikan Sasuke yang masih diam disana.

"Apa yang terjadi?"

Sampai di ruang tamu, mereka disambut Naruto yang terkejut dengan keadaan Ino. Gaara membawa Ino duduk, mengabaikan pertanyaan sang sahabat.

"Aku ambilkan minum."

Tak lama, sebuah air mineral tersodor dihadapannya, dan diterima oleh Gaara.

"Minumlah." Suara Gaara lembut.

Tanpa berkata Ino meminumnya, air dingin itu sedikit melegakan tenggorokannya. Namun keheningan merajai ketiganya. Naruto yang biasa rebut dan Ino yang cerewetpun tak bersuara. Karena Naruto tau apa yang terjadi, meski ia bukan orang jenius sekalipun.

"Sekarang dimana Sasuke?" Pertanyaan Naruto memecah keheningan diantara mereka.

Gaara hanya menjawab lewat sudut matanya.

"Aku akan menemui Sasuke dulu." Tak perlu bertanya lagi Naruto beranjak dari sana.

Kamar yang dibiarkan dalam keadaan gelap itu, hanya membuat Naruto menghela napas berat dengan keadaan sang sahabat. Mungkin memar dan bekas darah di sudut bibirnya tidak terlihat jelas oleh mata shapire nya, namun dengan cahaya rembulan yang menyinari dari balik jendela kaca besar ditambah bias cahaya lampu dari luar, sudah bisa memastikan bagaimana keadaan Sasuke saat ini.

"Kau terlihat menyedihkan." Komentar Naruto setelah beberapa detik yang lalu hanya diam.

Membawa pantatnya duduk di ranjang, tepat sebalah kepala Sasuke yang masih diam menghadap jendela. Pandangannya menerawang jauh entah kemana.

"Terimakasih." Hanya itu yang terucapan dari bibir yang berasa anyir milik sang pemuda raven.

Dan kemudian kembali hening.

"Kau juga marah padaku?" Beberapa saat berlalu suara Sasuke yang kemudian memecah keheningan diantara mereka.

"Soal apa?" Sengaja ia buat jeda dalam pertanyaanya. Ia lebih memilih menyalakan rokok dan menghisapnya dalam. Kemudian menyodorkan pada Sasuke.

Sasuke menerimanya, namun tak langsung menyalakannya juga tak ada keinginan untuk menjawab pertanyaan sahabat rambut kuningnya.

"Soal Sakura-chan kah, Karin kah atau Ino yang aku harus marah?"

Sasuke tau, secinta apa sahabatnya ini pada gadis yang bernama Sakura. Mungkin setara dengan rasa cintanya pada Ino. Jadi sudah seharusnya ia marah padanya bukan? Sasuke juga tidak tau, bagaimana hubungan Naruto dengan Sakura kini, apa seperti dirinya dan Ino juga?

"Aku tidak menyalahkanmu, kalau dia benar-benar mencintaiku dia tidak akan mengkhianatiku seberapa keras kau menggodanya." Dengan senyum yang selalu mengebang diwajah rupawanya Naruto menjawab.

Sasuke memicing mendengarnya, siapa yang menggoda siapa? Tolong siapapun ralat perkataan Naruto, sebah ia tak pernah menggoda siapapun, meski begitu para gadis itu akan suka rela menyerahkan tubuhnya padanya.

"Apapun yang terjadi tidak akan merubah persahabatan kita bukan Sasuke?" Tambah Naruto yang terlihat santai.

Mendengar kalimat perkalimat yang keluar dari pemuda banyak tingkah ini, membuat Sasuke ikut menyalakan rokok yang dari tadi ada ditangannya. Benarkah sahabat dari kecilnya ini tidak membencinya, tidak marah padanya?

Tapi begitulah Naruto.

"Lagipula, aku ini tampan dan juga mempesona, jadi sudah pasti akan banyak yang antri setelah aku putus dengan Sakura-chan."

Mendengar ocehannya barusan membuat Sasuke hanpir tersedak ludahnya sendiri. Namun ia tersenyum miring. "Brengsek." Komentarnya kemudian.

Ruang kamar itu kembali sunyi, hanya ada suara hembusan asap rokok dari keduanya.

To be continue