Untungnya, perjalanan pulang para Boboiboy selalu bersama. Setelah kesepakatan dalam diam, mereka keluar dari semua kegiatan yang mereka ikuti dari sekolah. Beberapa masih sering di bujuk masuk, tapi tentu saja mereka menolak. Tidak memiliki energi untuk sekedar mengikuti ekstrakulikuler, di saat kamu punya masalah besar di rumah yang tak kunjung selesai.
Dalam perjalanan, Halilintar mampir ke supermarket untuk menarik uang di ATM. Bersyukur kepada Yang Kuasa, orang tua mereka meninggalkan jumlah yang cukup untuk kehidupan mereka ke depan. Uang sekolah tidak terlalu di pikirkan, karena paman mereka sudah menjamin itu. Para Boboiboy dengan bijak menolak ajakan sang paman untuk tinggal bersama di Kuala Lumpur. Dengan alasan sebentar lagi mereka lulus, sang paman akhirnya setuju. Dan dengan itu memilih menanggung biaya sekolah mereka dan mengirimkan juga untuk biaya hidup, walaupun para Boboiboy telah menolak dengan halus.
Pemikiran bahwa mereka akan lulus kurang dari setahun, terkadang menggerogoti pikiran dengan ketakutan. Bukan pada nasib mereka sendiri, tapi murni pada saudara mereka yang terjebak di basement. Gempa, Halilintar dan Blaze tidak akan mengizinkan dia di taruh di rumah sakit jiwa. Solar terkadang suka memulai perdebatan dengan topik itu, tapi selalu kalah di bawah tatapan galak Gempa. Ice dan Thorn lebih netral, karena satu-satunya yang mereka mau hanyalah keadaan kembali seperti semula.
Halilintar mendorong pintu gerbang terbuka dan melangkah masuk. Saat tiba di depan pintu, ia mengeluarkan kunci dan menarik nafas dalam. Walaupun kemungkinannya kecil, berjaga-jaga tidak ada salahnya bukan?
Para adiknya mundur, sesuatu yang terlatih karena terlalu sering di perintahkan Halilintar. Pintu berbunyi klik ketika kunci ganda nya di buka, dan Halilintar menendang nya terbuka. Ruangan gelap dan kosong menyambut. Ia melompat ke dalam dengan kecepatan penuh dan menyalakan lampu.
Tidak ada siapa-siapa.
Halilintar menghela nafas dan memberi petunjuk pada yang di luar, dengan gestur aman.
Ice mendesah ketika ia masuk ke rumahnya sendiri.
'Apa kita harus selalu melakukan itu seumur hidup?' Dia bertanya dalam hati.
Thorn melemparkan tasnya ke atas sofa dan terkapar di karpet bawah. Ia mendengkur kelelahan, dan menggerutu dengan suara pelan mengutuk guru Bahasa Inggrisnya. Gempa yang berjalan melewatinya dengan lembut menepuk kepala Thorn dan menegur si hijau karena menggunakan bahasa kasar.
Blaze lebih parah. Dia roboh begitu saja di atas lantai dan berguling-guling, mencoba mengambil semua hawa dingin ke dalam tubuhnya yang kepanasan dan berkeringat. Dia tak beruntung karena tubuhnya di tendang Halilintar dengan ocehan tentang lantai kotor.
Gempa menggelengkan kepalanya, dan menoleh menatap Solar yang sudah naik ke lantai dua menuju kamarnya. Gempa berjalan ke dalam dapur untuk menemukan Ice sedang merampok kulkas. Meletakkan tasnya di atas meja dapur, Gempa melirik jam dinding. Mereka semua pulang awal hari ini, jadi dia bisa memberi saudaranya yang tercinta di bawah sana makan siang.
Menyisingkan lengan baju seragam, Gempa menarik keluar Kari yang ia masak semalam dari dalam kulkas. Menghangatkan nya sebentar di dalam Microwave dan menyiapkan nasi hangat yang ia tanak tadi pagi. Ia menempatkan sepiring nasi kari hangat di atasnya, dan segelas air. Tak lupa sehelai kain bersih yang ia selipkan di kantung celana. Gempa membawa nampan keluar menuju dapur dan berjalan hingga bagian menuju tangga menurun ke basement. Menyangga nampan di satu tangan, satu tangan lainnya memegang kunci.
Gempa membuka pintu dengan lembut. Senyumnya cerah saat mendapati kakaknya duduk dengan tenang di seberang pintu, sedang memandangi lampu yang berkedip di atas kepala mereka.
"Kak Taufan." Panggilnya dengan lembut.
Taufan tidak menanggapi. Pandangan nya masih terkunci pada lampu. Matanya hidup tapi di saat yang bersamaan hampa. Gempa menggigit bagian dalam pipinya, menekan rasa sedih yang bersarang di perutnya, Gempa melangkah mendekat.
Bunyi nampan yang di letakkan di atas lantai semen menarik perhatian Taufan. Pandangan nya langsung jatuh ke atas nampan, tapi ini cukup membuat senyum mengembang di wajah Gempa. Dia dengan lembut melepaskan sumpal mulut Taufan.
"Makan siangmu, kak." Gempa mengambil sesendok Kari, meniup asap yang mengepul untuk membuatnya sedikit dingin.
Taufan membuka mulutnya ketika di suapi. Dengan patuh mengunyah makanan dan menelannya tanpa banyak protes. Terkadang ia akan makan banyak, dan terkadang dia hanya makan beberapa suap. Tidak ada seorang pun yang pernah menyuapi Taufan selain Gempa. Dan Gempa juga tidak meminta di gantikan. Dia senang melakukan ini, merawat kakaknya, memastikan kakaknya sehat.
Walaupun...
Gempa menelan dengan sulit. Keputusan untuk mempasung dan merantai kakaknya bukanlah hal mudah untuk di lakukan. Ada banyak teriakan dan ketidaksetujuan. Pertimbangan di sana sini, hingga akhirnya mereka sepakat melakukan ini, bukan tanpa teriakan dan jeritan lagi.
Solar seringkali memicu pertengkaran karena dia termasuk tidak setuju. Tapi Gempa selalu memukul mundur adik bungsunya.
Dia tidak akan, tidak akan pernah menyerahkan kakaknya pada rumah sakit jiwa. Terima kasih. Dia egois? ya. Bodoh? ya. Terserah pendapat yang lain, tapi dia tidak bisa melakukan itu. Halilintar setuju 100% dengannya, Blaze menyusul.
Solar satu-satunya yang ingin Taufan di pindahkan ke rumah sakit jiwa, sampai dia dan Blaze hampir adu pukul sebelum Halilintar memisahkan mereka dengan kasar.
("Dia gila kak! Gila! Apa kalian tidak sadar?! Mau sampai kapan kalian berpura-pura semuanya baik-baik saja?!" Suara Solar melengking beberapa oktaf.
Terkadang, mereka semua bersyukur rumah mereka jauh dari para tetangga.
Hati Gempa mencelos mendengar teriakan Solar. Tapi amarah juga naik hingga membakar matanya, mengancam untuk menangis.
"Dia tidak gila!" Blaze mendesis. Jarinya teracung ke arah Solar.
"Jaga mulutmu! Dia itu kakakmu!"
"Dia kakakku, ya! Aku tidak bilang dia bukan kakakku! Aku menginginkan yang terbaik untuknya. Aku ingin dia dirawat di tempat yang tepat!" Solar menantang dengan gagah berani. Kacamata orange masih terpasang di batang hidung yang Gempa gemas ingin melepaskannya.
"Oh ya? Kau ingin dia di taruh di tempat yang bukan tempatnya? Dia tidak gila! Apa perlu ku eja? DIA. TIDAK. GILA!" Blaze menyembur dengan amarah.
Wajah Solar memerah, dia menerjang maju dan menarik kerah blazer Blaze.
"Dia hampir membunuh kak Hali. Dia mencekik Thorn! Kau sebut apa itu hah? Salah satu leluconnya? Jika iya, itu tidak lucu! Dia berbahaya."
Alis Blaze menukik tidak menyenangkan. Tanpa aba-aba dia meninju rahang Solar hingga membuat kembar necis itu terhuyung-huyung kebelakang dan jatuh di pantatnya ke lantai.
"Aku tidak akan menyetujui ini! Dia tidak akan dikirim kesana hanya untuk dilecehkan lagi dan tidak diperlakukan dengan baik!" Blaze meraung dan menerjang kembali ke Solar yang segera bangun dan bersiap menyambut serangan.
Tapi tentu saja itu tidak terjadi. Halilintar melompat ke tengah medan pertempuran, meraih kerah Blaze dan meninjunya di rahang hingga terpental ke lantai. Solar tak mampu menahan serangan Halilintar ke perutnya yang secepat kilat. Ia terbatuk dan jatuh berlutut. Meringis memegangi perutnya yang luar biasa sakit.
Mata merah delima Halilintar menyala dalam amarah. Tangannya terkepal dan nafasnya berat dan cepat. Gempa merasakan dari sudut mata, Ice dan Thorn perlahan mundur.
"Lanjutkan. Dan kalian berdua yang akan pergi ke rumah sakit." Halilintar menggeram. Suaranya yang rendah dan dalam terdengar mengerikan.
Untuk sesaat, ruangan jatuh dalam keheningan. Hanya terdengar rintihan sesekali dari Blaze dan Solar yang masih terkapar di lantai. Halilintar terlihat seperti banteng mengamuk.
Menarik nafas dalam, Gempa memecah keheningan.
"Kita, tidak akan mengirimnya ke rumah sakit jiwa. Benar kata Blaze. Kita tidak akan mengirim dia ke neraka lagi."
Solar bertumpu pada sisi sofa, berusaha menarik dirinya untuk duduk. Isi perutnya seakan ingin meledak keluar karena tinju Halilintar kuat sekali. Sial.
"Tapi dia gila..." Solar mendesis. Menarik mata Blaze langsung melotot ke arahnya.
Solar mendesah kembali, lalu bersandar pada sofa.
"Tapi memasung dan merantai? Itu tidak terdengar manusiawi." Ia mendengus untuk memperkuat pendapat.
"Jadi menurutmu, lebih baik kita mengirimkannya ke sebuah tempat yang akan melecehkannya? Dan menyiksanya?" Gempa bertanya dengan sinis. Mata emas itu menatap Solar dengan menantang.
"Kak...kau tidak bisa mengatakan itu. Itu tidak akan terjadi." Solar mendesah dan balas menatap Gempa dengan pandangan memohon.
Tapi Gempa tak gentar.
"Oh ya? Darimana kau bisa mengatakan bahwa itu tidak benar? Oke, memang tidak semuanya seperti itu. Tapi aku tidak akan mengambil resiko untuk mencoba-coba. Dia tidak akan kemana-mana."
"Tapi kak! Rantai dan pasung! Dia bukan hewan!" Solar membentak. Mengabaikan rasa sakit merayapi perutnya hingga ke dada.
"Dia menderita Solar! Dan aku sudah bersumpah di rumah sakit aku tidak akan meninggalkan dia! Aku tidak akan menyerahkan dia pada orang asing lain!" Gempa meraung. Matanya yang memerah memelototi Solar. Nafasnya tersengal-sengal karena menahan emosi.
"Jika kau tetap ingin menyeretnya ke rumah sakit, lawan aku! Aku tidak akan pernah mau melihatnya terluka lagi. Tidak! Satu-satunya tempat aman yang dia miliki adalah rumah, dan aku akan mempertahankan dia di sini!"
Mata Solar melebar. Tatapannya seolah tak percaya. Hidungnya kembang-kempis, menahan jeritan tanpa kata-kata yang hampir melesat keluar dari tenggorokan.
"Kenapa?" Sebagai gantinya dia bertanya dengan suara pelan. Lirih.
'Kenapa kalian melakukan ini padanya?"
"Pertanyaan mu seolah kami mengurung dia dibawah tanah tanpa makan minum seumur hidup." Gempa tersinggung. Tapi dia menarik nafas dalam, dalam upaya meredakan emosi yang menggelegak.
"Karena kami mencintainya. Kami tidak bisa meninggalkan dia pada seseorang yang tidak dikenal. Tidak setelah semua yang terjadi, dia belum sembuh. Dan kita akan menjaganya hingga dia sembuh." Gempa menjawab dengan pemikiran yang langsung lewat di kepalanya.
Tawa samar lewat di mulut Solar. Dan Gempa mendapat dorongan tiba-tiba untuk meninju si bungsu.
"Jika dia tidak bisa sembuh?" Tawa Solar berhenti. Matanya menatap nyalang pada Gempa, yang sekarang ia sadari kacamatanya terlempar ke lantai. Netra orange terang yang hampir identik dengan Blaze terlihat.
"Jika dia seperti itu seumur hidup? Kau akan bersama nya seumur hidup?"
Blaze bangkit dan dari pergerakan tubuhnya, siap untuk kembali memulai pergulatan. Satu-satunya yang menahan adalah tatapan tajam Halilintar.
"Ya." Gempa menjawab tanpa ragu. "Dia saudaraku. Dia menjagaku saat aku kecil. Saat kalian semua kecil. Dia dan Kak Hali melakukannya untuk kita. Dan aku akan melakukan hal yang sama."
Ruangan hening kembali. Gempa dan Solar masih adu tatap. Berusaha mengenali semua emosi dari mata lawan masing-masing. Solar adalah yang pertama mematahkan pandangan. Dia membuang muka dengan decihan dan bergerak untuk kembali ke kamarnya.
"Terserah." Jawabnya. "Aku hanya berharap ini bukanlah kesalahan."
Dan dengan itu dia merayap naik. Masih tersendat-sendat memegangi perut.
Untungnya, Solar dan Blaze berbaikan dua minggu kedepan, karena mereka ketahuan sebagai teman sekelas. Dan tentu saja karena mereka keluarga. Tidak baik saling bermusuhan terlalu lama. )
Suara dentingan rantai menarik perhatian Gempa hingga tersadar. Tak menyangka dia menyuapi Taufan sembari melamun. Gempa sedikit memerah malu saat Taufan akhirnya makan sendiri, ketika Gempa berhenti menyuapinya beberapa saat lalu. Nasi kari di atas piring sudah habis. Senyum Gempa terbit secerah mentari. Kari adalah menu kesukaan Taufan, dan senang rasanya melihat sang kakak makan hingga habis.
Gempa membantu Taufan minum, hingga setengah gelas habis. Matanya melirik pada botol plastik hampir kosong di sisi Taufan.
"Aku akan mengisinya kembali kak." Ucap Gempa. Mengambil botol itu dan menaruhnya di atas nampan.
Gempa mengeluarkan tali panjang dari balik saku celananya, dan mengikatnya dengan lembut di mulut Taufan. Menyumpalnya seperti biasa, tapi cukup longgar agar sedotan plastik dapat masuk.
Gempa memperhatikan Taufan sejenak. Kakaknya tidak responsif sama sekali. Dia tidak menyerang siapapun lagi. Dan selalu menurut jika di perintahkan sesuatu. Mereka tetap tak bisa membebaskannya karena di beberapa malam Taufan akan memberontak. Menarik-narik rantai atau membanting pasung kakinya ke lantai. Di beberapa tempat, dia suka mengadu kepalanya dengan tembok. Untungnya mereka berhasil melapisi dinding dengan bahan lembut. Rantai tidak mengizinkan kepalanya mencapai lantai, jadi itu akan baik-baik saja.
Gempa membungkuk untuk menekan bibirnya ke pelipis Taufan. Berharap kakaknya menyadari bahwa dia mencintainya, dan melakukan semua ini semata-mata untuk kebaikan Taufan sendiri.
"Aku menyayangimu, Kak. Selalu." Bisiknya dengan lembut.
Gempa akhirnya bangkit berdiri, dan berjalan meninggalkan basement. Tak lupa menguncinya. Ia akan kembali sebentar lagi setelah mengisi penuh botol minum Taufan.
Ice baru saja selesai mandi. Tidak pernah ada dalam kamus hidupnya untuk mandi dengan air hangat. Air dingin for lyve. Setelah selesai menjarah dua es krim dari dalam kulkas, dan tidur siang untuk memulihkan tenaga yang merupakan hal sia-sia, Ice dibangkitkan dari tidur tampannya oleh sang kembar tercinta, Blaze.
Ice keluar dari kamar mandi, dengan handuk melingkari lehernya. Si kembar kelima berniat masuk ke kamar langsung untuk berpakaian dan melanjutkan tidur sampai setidaknya makan malam. Mengingat masih pukul 5 lewat, lumayanlah, 2 jam tidur.
Tapi langkah Ice terhenti sebelum mencapai ruang keluarga. Di sana Halilintar sedang berdiri dengan gelisah. Telpon di telinga, dan wajahnya menampakkan kegelisahan nyata yang membuat Ice penasaran.
"Aku tidak mengerti, kenapa kalian harus selama ini." Halilintar berkata. Ice dapat merasakan emosi yang di tekan dalam nada suaranya.
"Ini sudah hampir tiga bulan! Dan belum ada satupun yang tertangkap."
Oh-
Ice berjingkat untuk bersembunyi di balik dinding. Berusaha sebaik mungkin untuk melebur bersama bayang-bayang. Ia memasang telinganya agar mendengar percakapan itu sejernih yang ia bisa.
"Kau berani menyalahkan adikku?"
Ice berjengit mendengar suara tinggi Halilintar. Dan tanpa sadar kepalan tangannya sendiri terkepal. Menarik nafas dalam-dalam, ia bersandar pada dinding dan kembali mendengar.
"Dia mengalami trauma, bodoh. Dia sudah melakukan yang terbaik untuk memberitahu ciri-ciri pelakunya padamu."
Ice menipiskan bibirnya. Mendengarkan dengan seksama kata-kata makian yang keluar dari mulut kakaknya yang luar biasa suci. Suara gebrakan meja membuat Ice melompat. Hampir mengeluarkan kalimat makian yang sama. Tapi untungnya berhasil tertahan.
"Kalau kau sudah mengantongi nama pelakunya, cepat kejar dan dapatkan! Apa lagi yang kau tunggu?!"
Mata Ice menyipit, secercah kebahagiaan menyambut kegelapan dalam benaknya. Tapi ucapan Halilintar selanjutnya, mampu merusak itu secepat kilat.
"Apa maksudmu tidak bisa? KAU TAKUT PADA PENJAHAT SEPERTI ITU?! APA ADIKKU HARUS MATI DULU BARU KAU AKAN MEMPROSESNYA DENGAN CEPAT?"
Kali ini mata Ice melebar. Tubuhnya menegang karena ucapan itu. Berusaha sebaik mungkin untuk bertahan di tempat dia bersembunyi, atau berlari ke kantor polisi dengan hanya mengenakan boxer Frozen dan menghajar polisi yang berbincang dengan kakaknya untuk menuntut alasan kenapa dia tidak bisa menangkap pelaku penghancur hidup Ice.
Terdengar suara raungan tidak sabar dari Halilintar dan teriakan terendam yang Ice tangkap sebagai ungkapan tidak peduli, pemaksaan agar pelaku cepat di tangkap dan ancaman akan mengobrak-abrik kantor polisi. Sejujurnya, Ice sedikit khawatir kakaknya malah akan dijebloskan ke penjara karena itu.
Dahinya mengernyit karena pemikiran. Bagaimana mungkin polisi tidak bisa menangkap pelakunya? Tidakkah mereka mengerti, bahwa pelakunya berbahaya? Terkadang dalam tidurnya yang Ice baru sadari, tidak pernah nyenyak dalam tiga bulan terakhir, ia merenung. Kenapa semua ini terjadi pada keluarganya? Salah apa mereka hingga Tuhan menghukum keluarganya seperti ini? Sejauh yang Ice ingat, mereka tidak pernah melakukan kejahatan semacam merampok, membunuh atau memerkosa. Keluarganya adalah keluarga baik-baik. Mereka punya kakek pengusaha kedai Koko Tiam cukup terkenal di Malaysia. Ayah-ibunya juga berpendidikan tinggi dan selalu mengajari mereka semua kebaikan. Tapi kenapa cobaan seberat ini menghantam mereka? Di beberapa kesempatan, ia bertanya kenapa Taufan yang harus menanggungnya? Taufan memang bukanlah orang terbaik yang pernah dikenal Ice, bukan saudara terbaik yang dapat diandalkan. Tapi siapa yang tidak merasa sakit saat kakakmu yang biasanya tidak bisa diam, selalu tertawa dan melakukan lelucon, sekarang malah dikurung dalam basement dengan kejiwaan yang terganggu.
Ice tidak menyadari bahwa Halilintar sudah menutup telpon dan kesunyian telah berlangsung beberapa lama. Terlalu tenggelam dalam pertanyaan-pertanyaan yang timbul tenggelam dalam otaknya. Mungkin Ice akan tetap berada disana selama beberapa jam kedepan, jika Halilintar tidak membangunkan sang adik dari mode kesurupan.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Tepukan di bahu membangunkan Ice dan membuat remaja itu melonjak kaget.
Mata biru elektrik yang dingin itu melesat ke samping untuk menemukan manik delima yang familiar. Sedang menatap tajam pada mata Ice sendiri.
"Kak Hali? Astaga. Demi jenggot Papa Zola, jantungku hampir melompat keluar." Ice mengelus-elus dada telanjangnya. Bersyukur.
Alis Halilintar mengernyit, ia menurunkan tangan dari bahu Ice dan berdiri bersedekap. Kedua tangan terlipat di depan dada dalam upaya mengintimidasi.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Tanyanya ulang. "Kau bisa masuk angin. Harusnya kau langsung berpakaian."
Ice meringis. Dia menggaruk rambut basahnya dan matanya melesat untuk mencari sesuatu untuk di pandang, asal bukan mata kakaknya. Aneh, kenapa ketahuan menguping bisa sebegitu memalukan begini?
Merah delima Halilintar menyipit. Pandangan nya memaku Ice di tempat sejenak, sebelum menghela nafas dan merilekskan gestur tubuhnya.
"Kau mendengarkan percakapan ku tadi kan?"
Ice tahu ia tak perlu menjawab iya. Insting Halilintar terkadang membuat Ice percaya kakaknya terlahir dengan kemampuan Sherlock Holmes.
Sebagai gantinya, dia melontarkan pertanyaan yang ia tahan di lidah.
"Kenapa mereka belum bisa menangkapnya?"
Kepala Ice terangkat untuk balas menatap Halilintar. Menuntut jawaban tapi tidak meminta terburu-buru.
Ice hampir yakin kakaknya tidak akan menjawab. Ia siap untuk protes. Siap untuk memperdebatkan bahwa ini adalah masalah keluarga dan dia harus tahu.
Tapi Halilintar, tampaknya melebihi ekspektasi.
"Mereka kehilangan jejak. Sisanya, tidak tersentuh hukum karena mereka orang yang berpengaruh penting."
Terdengar nada jijik dalam suaranya. Ice tak akan menyalahkan hal itu. Dirinya sendiri merasakan gairah untuk mengambil pisau dan melempar diri sendiri ke dalam kantor polisi sembari mempertanyakan alasan konyol itu.
Wajahnya pasti terlihat mengerikan, karena sudut mulut Halilintar berkedut geli.
"Apa-apaan itu?" Ice menuntut. Tatapan tak percaya menusuk matanya.
Halilintar mengedikkan bahu. Tangannya terbang memijit batang hidung dalam upaya meredam rasa pusing.
"Ini tidak adil. Aku tahu. Para polisi bodoh itu berpikir bahwa kejahatan semacam ini dapat selesai hanya dengan mediasi antara pelaku dan korban. Aku curiga kita akan disuap dengan uang."
"Aku tidak butuh uang!" Ice membentak dengan nada tinggi. Matanya berkaca-kaca.
"Yang aku butuhkan adalah keluarga ku kembali utuh dan normal lagi!"
Halilintar memandang tajam padanya, dan mendesis.
"Kau pikir aku menginginkan uang? Tidak, bodoh. Aku menuntut untuk mereka di tangkap, atau aku akan meminta bantuan Kaizo."
Ice hampir melonjak gembira mendengar ini. Namun akhirnya tersadar akan sesuatu.
"Kenapa kita tidak meminta bantuannya sejak dulu?"
Halilintar menggelengkan kepalanya.
"Tidak, Ice. Kemarin dia berada di luar negeri untuk beberapa urusan. Tapi sekarang dia sudah kembali. Aku akan bertemu dengannya dalam dua hari kedepan."
Ice menganggukkan kepalanya mengerti. Lalu menghela nafas tajam kelelahan. Tubuhnya menekuk lesu dan pandangan matanya juga mendung.
"Baik. Aku baru saja menyegarkan diri sehabis mandi dan mendapat kabar buruk tak lama setelahnya."
Ice menatap Halilintar dengan senyum lesu tersungging di bibir.
"Aku tidak bermaksud menguping. Maafkan aku, kak. Aku berjanji akan berusaha menghindarinya."
Halilintar mendengus. Tapi tangannya terlempar ke atas kepala Ice dan mengacak-acak surai hitam yang sudah berantakan menjadi semakin berantakan.
"Aku tidak marah. Tapi jangan lakukan itu, itu melanggar privasi. Aku tahu ini masalah keluarga, tapi bertanyalah jika kau perlu. Menguping tidak dibutuhkan." Ucapnya penuh kasih. "Dan cepatlah berpakaian. Jangan sakit dan menambah pekerjaan kami." Lanjutnya lagi sambil bercanda.
Ice mengangguk menanggapi. Ia berniat pergi ke kamarnya, tapi penasaran dengan satu pertanyaan yang tiba-tiba terpikir.
"Apa kau akan memberitahu hal ini ke kak Gempa? Atau yang lain?" Ice bertanya dengan halus.
Halilintar diam sejenak. Lalu menggelengkan kepalanya.
"Mereka tidak perlu tahu ini. Aku akan memastikan mereka akan selalu menerima kabar baik."
Ice bernafas dengan lesu. Memperhatikan wajah sang kakak yang di bayangi tanggung jawab sebagai anak pertama. Lingkaran hitam dengan mata lelah dan mengantuk. Sungguh di luar pemikiran bahwa Halilintar masih sangat kuat. Kapan terakhir kali kakaknya tidur? Ice yakin bukan hanya dia yang mengalami kesulitan tidur di rumah ini.
"Baik. Tapi berjanjilah kepadaku, kau akan mencariku jika membutuhkan sesuatu kak. Aku akan mendengarkan dan membantu sebisaku."
"Ice-"
"Tidak kak." Ice memotong secepat yang ia bisa. "Kau tidak bertanggung jawab penuh pada kami sampai mengorbankan dirimu sendiri. Aku bersumpah tidak akan memberi tahu siapapun. Tapi berjanjilah kau akan datang padaku."
Halilintar terlihat menimbang sesaat. Keraguan-raguan membayangi sosoknya, yang Ice pahami sangat enggan menyusahkan adik-adiknya.
"Baik." Jawabnya dengan helaan lelah. "Aku akan melakukannya. Tapi kau tidak akan memaksaku. Apa ini adil?"
Senyum Ice mengembang, lalu mengangguk dengan sedikit semangat.
"Datanglah kapanpun kau mau. Sampai jumpa saat makan malam kak." Ucapnya lalu berlalu ke dalam kamarnya.
Blaze menahan kantuk yang merajalela. Ia tak bisa tidur. Segala macam cara sudah dicoba. Bahkan ia sudah tidur dengan kepala di lantai dan kaki di atas kasur. Matanya melirik pada Ice yang sudah terkapar di atas tempat tidur. Blaze tahu dengan lebih baik bahwa tidur adiknya tidak pernah nyenyak lagi. Tapi tetap saja dia bisa memejamkan mata sejenak. Betapa irinya Blaze. Baru kali ini dia iri karena seseorang bisa tidur. Matanya melirik jam di atas meja nakas, itu menunjukkan pukul setengah dua pagi. Blaze mengerang.
Menyerah mencoba untuk tidur dengan mengganti gaya. Blaze berjalan keluar dari kamar, berniat menyeduh segelas coklat hangat untuk membantunya memejamkan mata. Tidak masalah tidak bermimpi. Ia hanya butuh istirahat.
Kamarnya dan Ice ada di lantai dua. Bersama kamar Thorn dan Solar. Halilintar dan Gempa ada di lantai satu. Blaze tidak dapat membayangkan betapa kosongnya kamar tidur kembar tiga pertama. Kamar mereka paling besar karena dirancang untuk memuat tiga kasur. Tentu saja satu untuk Taufan. Tapi sejak kakak keduanya pindah ke basement, Blaze tidak tahu bagaimana nasib tempat tidurnya. Ia jarang bermain ke kamar kedua kakak pertamanya. Tak mau ambil resiko di hajar Halilintar.
Menuruni tangga dan menuju dapur, sebisa mungkin Blaze membuat langkah kakinya tak terdengar ketika melewati kamar Gempa dan Halilintar. Gempa punya telinga seperti kucing, dia bisa keluar kamar dan membawa pentungan bisbol jika mendengar suara mencurigakan. Blaze hanya ingin tidur, bukan bergulat dengan kakaknya karena dianggap pencuri di rumah sendiri. Terima kasih.
Dapur ada di bagian belakang rumah. Dan berada tak jauh dari tangga menurun menuju basement. Hanya dipisahkan oleh dinding kayu yang tidak terlalu tebal. Blaze baru saja menginjak lantai dapur, ketika dia langsung menyadari lampu di basement menyala.
Mata nya langsung waspada seketika. Melotot dan langsung berkeringat dingin. Apa Taufan berhasil kabur?!
Nalurinya mengatakan untuk mengecek, jadi Blaze melakukannya. Dengan sangat perlahan dan hati-hati, dia mendekat ke dinding. Dalam perjalanan, dia meraih sebuah wajan yang tergeletak di atas meja. Gempa belum sempat mencucinya setelah memasak nasi goreng untuk makan malam.
Berusaha meminimalisir suara sesedikit mungkin, Blaze mengintip dari balik kayu. Di bawah pencahayaan remang basement, duduk sosok di anak tangga. Mengenakan piyama putih bergaris orange. Blaze hampir menjerit karena mengira itu hantu. Tapi ia dengan cepat menyadari bahwa itu adalah salah satu saudaranya karena sosok itu berambut hitam dan ia kenal piyama itu.
Satu-satunya orang di rumah ini yang mempunyai piyama bergaris orange adalah Solar. Mengingat itu adalah piyama favoritnya dan Solar punya beberapa setelan dengan motif yang sama. Sungguh mengherankan.
Blaze menurunkan tangannya yang sudah mengacung wajan tinggi-tinggi. Dalam benak, dia berpikir akankah baik jika Gempa yang menemukan Solar? Mungkin dia akan mendapat berita Solar izin tidak masuk sekolah karena menderita pukulan benda tumpul di kepala.
Penasaran, Blaze memilih untuk diam di sana sejenak. Hilang sudah rasa ingin membuat coklat hangat. Kenapa Solar duduk di sini pada pukul setengah dua pagi?
Blaze memperhatikan tangan Solar yang perlahan terulur menyentuh pintu kayu tebal yang menghalangi nya bertemu dengan Taufan. Ia meraba-raba sejenak alur halus di pintu. Tangannya terkepal sesaat, sebelum membuka lagi dan mengusap pintu dengan lembut.
"Selamat malam kak Taufan." Ucapnya. Terdengar lirih dan pelan, tapi cukup untuk dapat didengar Blaze.
"Maaf aku baru bisa mengunjungimu."
Blaze mengernyitkan dahi. Ragu bahwa suara Solar yang kecil bisa menembus ketebalan pintu agar Taufan dapat mendengar. Tapi kemudian dia sadar.
Solar tidak ingin Taufan mendengarnya.
"Yah, maaf lagi karena kunjungan ini sangat larut malam. Tapi aku lebih suka seperti ini."
Solar berucap dengan lembut, masih dengan tangan menyusuri alur di pintu.
"Aku tidak bisa melihatmu dengan alat-alat itu terlalu sering."
Suara Solar memelan. Setitik kebencian dan rasa bersalah kental di dalam nada yang ia katakan.
Blaze menahan nafas. Tahu bahwa Solar tidak pernah setuju dengan keputusan merantai Taufan. Blaze hanya berharap Solar tidak membebaskan Taufan karena itu.
"Keadaan sekolah sangat membosankan. Anak-anak club SAINS mengejarku seperti orang gila. Memaksaku agar kembali." Solar menghela nafas. Terdengar lelah, tapi kesombongan si bungsu sudah sangat mendarah daging.
"Sebegitu pentingnya aku ternyata. Mereka tak bisa apa-apa. Hahahaha!"
Tawa terendam dari Solar, membuat Blaze mendengus. Andai saja Solar tahu kalau Blaze di kejar-kejar anak Club Olahraga hingga ia harus membolos. Mungkin suatu saat Blaze akan bisa melampaui kesombongan Solar.
Blaze tidak bisa menebak berapa lama waktu ia habiskan di sana. Berdiri begitu saja mendengar celotehan yang keluar dari bibir si bungsu. Tidak ada yang penting, menurut Blaze. Hanya beberapa curhatan tentang pelajaran di sekolah, tentang teman-teman mereka, tentang bagaimana Blaze memohon untuk di ajarkan matematika. Pada point ini Blaze hampir menampakan diri untuk memukul Solar.
Blaze merasa sangat positif bahwa dirinya berdosa. Menguping kondisi pribadi antara Solar dan Taufan, dan mendengarkan sesuatu yang seharusnya menjadi rahasia berdua. Benar kata orang, jika ada dua orang bersama, satunya adalah setan. Blaze langsung nyebut dalam hati. Mengakui dosa dan bersiap kembali ke kamar untuk merenungi sikap tidak ksatria ini.
Seharusnya sih begitu, tapi tidak terjadi ketika perkataan Solar selanjutnya sangat menarik perhatian.
"Ada kejadian siang tadi. Aku tak sengaja mendengarnya. Kak Hali marah-marah di ruang keluarga."
Alis Blaze melengkung karena perhatian. Menempelkan telinganya ke lapisan kayu, untuk menguping lagi.
"Kau tahu kenapa itu?"
Ucapan Solar terhenti sesaat, sebelum menarik nafas dalam dan kembali melanjutkan perkataannya.
"Pelakunya belum ditangkap. Para polisi sengaja melama-lamakan kasusmu kak. Mereka tak bisa menangkap pelakunya. Entah benar-benar tak bisa, atau mereka tidak berniat."
Darah Blaze mendingin seketika. Matanya melebar dan untuk sesaat, semesta berhenti berputar. Apa?
Solar menghela nafas berat, dan suaranya pecah ketika dia kembali berbicara.
"Aku minta maaf kak. Sungguh-sungguh minta maaf. Harusnya...harusnya aku bersama denganmu. Harusnya kau tidak mengalami ini sendiri."
Blaze mendengar suara benturan lembut. Solar menyandarkan dahinya ke pintu, bahunya gemetar menahan tangis. Itu sebenarnya lolos, dan Blaze terdiam seperti patung karena adiknya mulai terisak.
"Maafkan aku...a-aku tidak bisa memejamkan mata tanpa melihat senyummu yang terakhir. Aku tidak bisa kak. Tidak bisa. Ini menghancurkanku." Solar berupaya untuk bicara, walau tersendat-sendat karena berusaha meredakan air mata yang berakhir dengan menyedihkan.
Blaze mengambil kalimat itu sebagai pertanda untuknya supaya mundur. Meletakkan kembali wajan sehati-hati mungkin dan keluar dari dapur. Meninggalkan Solar mengambil waktu pribadi bersama Taufan.
Blaze masuk kembali ke dalam kamar dan meringkuk di atas kasur. Kali ini, dia tak mengeluh saat matanya masih terbuka hingga fajar menjelang.
Para Boboiboy menjalani hari dengan rutinitas yang sama. Walaupun terasa monoton. Siang itu, sedang jam istirahat pertama. Gempa duduk dengan gelisah di atas kursinya di kantin. Menarik perhatian para saudaranya karena tingkah tak biasa.
"Kenapa kak? Apa pantatmu gatal?" Thorn bertanya, dengan suara yang untungnya tidak keras. Jika iya, Gempa tak tahu apa yang akan ia lakukan untuk membungkamnya.
Gempa menggeleng, dan berdecak. Pandangan tidak fokus seakan berusaha mengingat.
"Tidak, Thorn." Ucapnya. "Hanya merasa tidak beres."
Alis Halilintar mengernyit. Ia menyenggol Gempa dengan bahunya.
"Kau lupa memberi Taufan sarapan?"
"Tidak! Aku sudah memberikan semua yang dia butuhkan seperti biasa." Jawabnya dengan tegas. Memelototi Halilintar. Beraninya sang kakak meragukan kegiatan mulia yang ia lakukan selama ini. Gempa bukan orang bodoh yang akan melalaikan tugas pada orang yang ia cintai.
Halilintar mengedikkan bahu, dan kembali fokus pada menu makan siangnya. Ice menaikkan satu alis sebelum berbicara.
"Apa kakak melupakan tugas sekolah? Sesuatu yang harus di kerjakan atau di kumpulkan hari ini?"
Gempa terdiam sejenak setelah mendengarnya. Memikirkan semua kemungkinan tugas dari guru yang ia lewatkan. Tapi sayangnya, sebagai seorang anak emas dan makhluk paling rajin di alam semesta, itu mustahil. Bahkan tugas untuk minggu depan sudah selesai dikerjakan Gempa.
Si pemilik iris emas menggeleng. Lalu menghembuskan nafas.
"Sudahlah. Aku akan mengingatnya segera." Katanya.
Thorn dan Ice saling berpandangan, lalu mengangguk pada Gempa dan kembali fokus makan. Mengabaikan tatapan penasaran yang selalu dilemparkan penghuni kantin ketika melewati meja si kembar.
Hey, siapa yang tidak kaget dan penasaran jika sekolahmu memiliki murid kembar lebih dari lima? Bersyukur kepada semua dewa di langit, para Boboiboy sudah sangat terbiasa untuk mengabaikan hal-hal semacam itu. Hal lucu yang terkadang mereka temukan adalah ketika orang-orang bertanya, 'Kalian kembar?'
Untuk apa menanyakan hal yang sudah jelas terlihat. Mata, hidung, mulut, telinga. Pokoknya wajah mereka persis sama. Warna mata adalah cara tercepat membedakan para kembar, dan kepribadian jika kalian bersedia repot-repot mengamati. Suatu keajaiban mereka terlahir dengan warna mata berbeda. Orang tua mereka sendiri selalu bingung jika ditanya 'Kok warna mata anaknya beda-beda?'
Maka jawaban yang selalu terlontar adalah, 'Dari sananya sudah begitu.'
Syukuri bagaimana mereka terlahir. Karena dengan cara itu mereka mudah dikenali. Mata Halilintar merah seperti batu Delima. Tatapannya membara dengan amarah jika suasana hatinya tidak baik. Kebanyakan hanya rasa jengah dan tidak tertarik yang tercermin disana. Dan tentu saja akan cerah dengan kasih sayang untuk keluarganya.
Gempa lahir dengan mata emas yang cantik. Begitu jernih dan murni. Bercahaya dengan cinta kasih yang begitu banyak. Warnanya akan memudar mengikuti suasana mendung hatinya. Matanya selalu terlihat lembut dan hangat.
Taufan biru terang yang ringan. Sewarna langit di musim semi. Berkilau dan penuh dengan kebahagiaan. Satu-satunya hal yang bisa kau lihat di pantulan matanya hanya bagaimana berwarna hidup ini. Tapi semua biru cerah itu hilang di bawah abu-abu dingin sekarang. Menyembunyikan biru yang dirindukan.
Blaze membara seperti api. Itu terlihat orange menyala dan membakar. Tajam dan berkilat seolah-olah menuntut untuk ditantang. Ditambah dia hobi sekali menyeringai, wajah Blaze seringkali mudah mengundang perseteruan. Tapi mata itu selalu mengobarkan semangat. Perlu berhati-hati jika suatu saat, api itu padam.
Berbeda dengan kembarannya yang berapi-api, Ice tidak demikian. Terlahir untuk menyeimbangi Blaze, Ice muncul ke dunia dengan manik biru gelap lautan. Terkadang matanya dan Taufan tak dapat di bedakan oleh orang awam. Tapi biru gelap Ice yang dingin membekukan sangat mudah dikenali. Tak ada apa-apa di balik tatapannya selain rasa damai.
Thorn adalah salah satu kembar yang unik dengan iris mata hijau daun. Polos, tidak banyak tingkah, penurut dan penuh cinta. Semua saudaranya setuju jika Thorn adalah Dewa, ia akan menjadi Dewa Bumi atau Dewa Hutan. Tidak sehangat mata Gempa, tapi mata Thorn menjanjikan kepolosan yang tersembunyi.
Jika Taufan dan Ice hampir tidak dapat dibedakan. Maka Solar dan Blaze hampir mustahil untuk dibedakan. Mata mereka orange identik. Blaze membakar seperti api dan Orange Solar terang seperti matahari. Tidak ada semangat di sana, hanya penuh harga diri dan kekuatan untuk bersikap angkuh. Mengenakan kacamata adalah salah satu cara Solar untuk membedakan matanya dengan Blaze.
Meski menjadi pertanyaan kenapa, dia memilih warna lensa orange terang.
Karena warna mata mereka yang kebetulan sangat berbeda dengan orang-orang lainnya, yang warnanya hitam dan coklat. Biru kadang-kadang. Didukung wajah good looking yang wah. Kembar Boboiboy otomatis selalu menyandang gelar sebagai murid terbanyak yang memiliki Secret Admirer sepanjang mereka menimba ilmu.
Halilintar dan Taufan saling salip-menyalip di rank satu. Gempa kadang-kadang naik ke rank satu, tapi kebanyakan dia menetap di dua. Blaze dan Ice menetap di tiga. Solar dan Thorn tidak pasti. Terkadang ada di dua, ada di tiga dan beberapa kali di satu walaupun tidak bisa menyaingi dua tertua.
Surat cinta, hadiah valentine, pengakuan cinta dan bahkan diuntit diam-diam sudah menjadi makan sehari-hari. Point terakhir agak menyeramkan, Blaze pernah kehilangan boxernya di tangan salah satu fangirl gila. Bersyukur dia sudah pindah keluar negeri.
Sejak Taufan berhenti sekolah di akhir kelas dua SMA, otomatis dia tak pernah terlihat lagi di sekitar sekolah. Sejauh ini, yang mengetahui tentang insiden mengerikan itu hanya para guru dan segelintir teman. Seperti Yaya, Ying dan Gopal yang merupakan teman sejak kecil mereka serta Fang, anak pindahan dari kelas 5 SD. Agak tidak terlalu akrab, selain dengan Taufan dan Thorn. Fang pun tahu karena kakaknya Kaizo adalah teman Halilintar. Entah kenal darimana.
Tentu saja semua murid yang sangat mengenal mereka bertanya-tanya, kemana si kembar yang tak bisa diam itu? Club Olahraga membayangi kembar yang tersisa mempertanyakan kemana perginya pemain ACE mereka. Setiap hari, menuntut jawaban. Sampai Halilintar membentak dan Gempa memberi alasan.
Taufan harus pergi bersama orang tua mereka karena keperluan mendesak. Tidak akan kembali sampai selesai. Keperluan apa? Dan Gempa akan menatap tajam seraya mengingatkan bahwa itu bukan urusan mereka.
Daaan, sampai hari ini, semua murid ditinggal dengan pertanyaan besar menggantung, bertanya-tanya kemana kembar kedua pergi? Dan bagaimana keadaannya?
Bel berdentang dan murid-murid mengerang. Tidak semua orang mencintai belajar. Dan jam istirahat yang ilahi seringkali di dukakan banyak orang saat berakhir. Mata pelajaran terakhir untuk hari itu, seringkali tidak dapat masuk ke dalam otak. Ngantuk, panas dan sudah terlanjur lelah menjadi faktor utama. Dan guru yang memutuskan untuk memberikan PR, mendapat banyak erangan lagi.
Harusnya, seperti hari monoton lainnya. Fang berjalan pulang dan belajar. Nonton TV, makan dan tidur. Bangun lagi untuk masak makan malam, belajar dan tidur lagi. Tidak pernah terpikir di kepalanya untuk mendapat telpon tak dikenal sehabis belanja donat lobak merah. Donat itu masih menggantung di bibirnya ketika mata magenta remaja itu terpaku pada layar handphone.
Nomornya tak dikenal. Dan itu berdering selama beberapa kali di saat Fang masing menatap dan berusaha berpikir nomor siapa itu, siapa tahu nomor teman yang tidak dia simpan kan? Atau abangnya menelepon dari nomor orang lain?
Beberapa saat sebelum telpon itu mati, Fang memutuskan untuk mengangkat. Siapa tahu, itu teman. Atau abangnya.
"Halo? Katakan siapa ini atau akan ku tutup." Kata Fang. Mulai kembali melanjutkan perjalanan menuju rumah.
'Fang? Akhirnya kau mengangkat! Aku hampir putus asa. Tolong jangan menutupnya dulu okay? Aku sangat membutuhkan bantuanmu.'
Donat Lobak merah jatuh ke tanah. Mulutnya ternganga dan matanya melebar.
What the fu-
Oh ya, benar. Ini teman. Tapi sangat tidak diduga.
