Perpustakaan : 17.05 Waktu Malaysia

Fang dengan tekun menyusuri rak buku yang menjulang di hadapannya. Bermacam-macam judul dengan tema Antariksa, Bumi dan Planet berjajar dengan rapi. Kebanyakan berwarna hitam dan putih, dan kebanyakan juga setebal dompet Fang di saat kakaknya gajian.

Jari berbalut sarung tangan finger less meraih sebuah buku yang berada di rak yang cukup tinggi. Buku itu hampir sepanjang lengannya sendiri! Fang sedikit kewalahan dan berdoa dalam hati agar kepalanya yang jenius tidak tertimpa hard cover buku itu. Setelah berhasil mendapatkan buku yang ia inginkan, dan sedikit kagum dengan betapa lengkapnya buku itu di daftar isi, Fang memindahkan berat badannya dari satu kaki ke kaki lain lalu mulai membaca. Jika buku ini semenarik seperti ilustrasi di sampul yang ramai dan cerah tentang Antariksa, Fang positif akan meminjamnya.

Kata pengantar, pembuka dan bla bla bla di beberapa halaman depan segera di lewatkan. Tangannya yang berjemari lentik membuka langsung ke halaman pembahasan pertama, tak sabar ingin segera menyerap semua informasi yang ditawarkan.

Buku itu hampir melayang dari pelukan Fang ketika remaja itu terlonjak kaget karena dering handphonenya sendiri. Dengan tergesa-gesa dan hampir menjatuhkan buku di tangan kanan, Fang menggeluarkan ponsel dan segera mengangkat tanpa melihat siapa yang memanggil.

"Hallo?" Fang memperbaiki posisi buku untuk mengapitnya di bawah lengan. Ponsel sudah menempel di telinga.

"Aku tidak menelpon untuk melihat kegelapan."

Alis Fang berkerut. Segera ia menjauhkan ponsel dari telinga dan baru menyadari bahwa kakaknya melakukan video call.

Wajah tampan kakaknya terpampang dengan ekspresi hampir tidak tenang. Fang menyadari Kaizo berdiri di dalam kantornya dan sepertinya sedang bersiap-siap hendak pergi.

"Apa abang ada panggilan tugas keluar kota lagi?" Fang bertanya. Merasa kecewa dalam hati.

Kaizo menggeleng. Lelaki tampan dengan usia di pertengahan dua puluhan itu sudah hendak berjalan keluar dari kantor sebelum tatapannya menajam ke arah Fang.

"Dimana kamu?"

Fang menaikkan satu alis. Lalu melihat sekeliling seolah memastikan posisinya sendiri.

"Perpustakaan, aku yakin. Ada apa? Apa pesanku tidak sampai padamu, bang?"

"Dengan siapa?" Entah ide siapa Kaizo menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.

Fang lagi-lagi menatap sekeliling, namun kali ini dengan cepat menjawab.

"Sendirian. Kenapa?"

"Angkat kamera mu agak tinggi tapi tetap menghadap wajahmu. Lalu berputar. Pelan-pelan." Kaizo memberi perintah tanpa sedikitpun berniat menjawab pertanyaan Fang.

Mata Fang menyipit karena perintah tak biasa. Menyimpan rasa penasaran dalam hati, Fang melakukan apa yang di suruh. Bahkan dua kali, dengan kamera belakang kali ini.

Kaizo mendesah puasa seakan benar-benar percaya dengan keberadaan adiknya. Mengabaikan tanda tanya besar dikepala Fang.

"Aku akan pulang telat. Setelah sampai rumah, segera kunci semua pintu dan jendela. Jangan biarkan siapapun masuk selain aku. Jangan lupa periksa semua bagian rumah hingga bagian tersembunyi. Masuk kamar dan jangan keluar hingga aku pulang. Paham? Makan dulu sebelum pulang."

Fang tidak tahu ingin terpesona atau ngeri dengan Kaizo yang berbicara panjang lebar dalam satu tarikan nafas. Tapi dari gestur Kaizo yang tidak tenang seperti biasanya, maka Fang langsung mengiyakan. Dia bisa menanyakan ini nanti. Mengancam tidak akan memasakkan sup wortel sepertinya ampuh.

Kaizo menutup telpon setelah itu, meninggalkan Fang yang hanya terpaku menatap layar gelap dengan segudang pertanyaan-

"Oh wow. Pasti ada masalah yang sangat mendesak ya?"

-yang jawabannya tepat Fang ketahui sendiri.

Remaja berkacamata itu menoleh ke belakang. Pada sosok berjaket hitam yang berjalan mendekat. Seringai dengan gigi putih tercoreng di wajah tampan yang sangat ingin Fang tampar.

"Seberapa berbahaya aku? Aku ini bukan perampok yang akan membobol rumah orang sembarangan lho." Lanjut Taufan. Wajahnya berubah menjadi cemberut jelek yang menguras kesabaran Fang sedikit demi sedikit.

Fang mendesah lelah dan memilih mengabaikan pertanyaan itu. Taufan tidak bodoh, dia tahu jawabannya. Jadi, Fang malah menengadahkan tangan pada remaja kabur itu.

Taufan bertindak seperti anjing peliharaan yang menurut. Mengeluarkan dua buah kartu perdana. Fang mengamati dua kartu itu dengan cekatan sebelum memilih satu yang menurutnya bernomor cantik. Satunya dia serahkan pada Taufan yang tanpa kata-kata mulai memasukannya ke dalam ponsel bekas yang baru dia beli.

Setelah berurusan dengan serangkaian registrasi, kedua kartu itu dapat digunakan. Mereka bertukar nomor dan Taufan tersenyum puas. Fang mendengus melihatnya. Ia menyimpan nomor Taufan dengan nama "Amanda" di ponselnya.

"Setelah semua persiapan mu selesai, dan kau siap memulainya, musnahkan kartu itu dari ponselmu. Aku melakukan hal berani dengan mengkhianati abangku sendiri, kau tahu?" Fang mengomel.

"Kita beruntung sudah meninggalkan tempat kumuh itu sebelum abangku menelepon." Lanjutnya.

Taufan mengibaskan tangannya acuh tak acuh. Tampak tidak peduli.

"Aku bersumpah Fang." Tatapannya mendadak jadi serius. Hingga Fang mau tidak mau memperhatikan dengan seksama.

"Setelah semua persiapanku selesai. Aku tidak akan menyebutkan namamu dalam rencanaku. Jika-" Taufan menelan, dan senyumnya goyah.

"-jika aku ditangkap. Aku akan mengaku aku bekerja sendiri. Kamu aman."

Fang diam sejenak mendengarnya. Tapi dalam hati tak memungkiri merasa puas. Fang tidak tahu apa yang akan terjadi jika dia ketahuan membantu Taufan kabur dan bahkan mempersiapkan rencana balas dendam.

"Baik. Aku memegang janjimu."

Senyum Taufan yang terkembang cerah berhasil menarik Fang ke dalam pertanyaan baru. Sehancur apa Taufan sampai dia masih bisa tersenyum dititik terendah dalam hidupnya ini? Fang sedikit berharap Taufan akan menangis sesekali dan menjerit-jerit sambil melukai dirinya. Tapi sejauh hari ini bersama dengan si kembar kedua, Taufan tampak baik-baik saja. Ia masih sama seperti dulu, hanya agak kurus dan lesu.

Fang meletakkan buku yang belum sempat ia baca ke meja penjaga. Benar-benar meminjamnya. Taufan berdiri bersandar di depan toko buku, menunggu.

Fang melangkah keluar dengan menggendong buku mahal nan tebal. Taufan meliriknya dan bersiul jahil. Fang memutar mata dan menempeleng kepala si biru dengan tidak minat. Taufan langsung bersumpah serapah dengan suara tidak jelas.

"Ngomong-ngomong," Fang membuka percakapan supaya omelan tidak jelas Taufan terhenti. "Darimana kau mendapatkan uang? Mencuri?" Tanyanya dengan skeptis.

Mata Taufan melebar lalu pipinya memerah karena terbakar amarah.

"Enak saja! Bagaimana bisa aku mencuri apa yang sudah menjadi hak milikku?"

"Ya ya ya, jangan salahkan aku karena mengira kamu miskin, hanya karena kamu selalu meminta dijajankan olehku di kantin." Fang membalas dengan pedas. Setengah merenggut.

Amarah di wajah Taufan langsung lenyap. Tergantikan dengan senyum malu-malu yang minim rasa bersalah. Lihat? Semakin banyak alasan bagi Fang untuk menampar Taufan.

Taufan merogoh saku celana dan mengeluarkan dompet bekas. Ia mengeluarkan sebuah kartu ATM dan menggoyangkannya di hadapan Fang.

"Aku punya rekening, tentu saja. Dan isinya uang, bukan daun."

Fang memandang kartu itu tanpa minat. Lalu menjauhkan tangan Taufan dari wajahnya.

"Selamat menikmati kegagalanmu kalau begitu. Saudara-saudara mu akan menyadari kartu ATM mu hilang dan mulai melacaknya dari sana. Mereka akan segera menemukanmu."

Taufan tertawa. Ia mengeluarkan kartu kedua dan menunjukkannya kepada Fang.

"Kalau begitu, baca ini."

Fang mengambil kartu dari tangan Taufan dan membaca tulisan yang tertera. Itu adalah KTP. Dan bukan resmi, tentu saja. Wajah orang yang ada di dalam kartu agak mirip Taufan, dengan rambut pirang gelap. Dan tatto kecil di dahi sudut kiri berpola retakan. Bola matanya hijau kebiruan. Nama orang itu adalah "Rayn". Lahir di Kuala Lumpur, 22 November 1997.

Mata Fang melesat dari KTP ke Taufan beberapa kali sebelum mengerang dan mengembalikan nya ke Taufan. Tidak tanpa mengelap kartu itu hingga sidik jarinya tak menempel di sana.

"Kau benar-benar. Bagaimana caramu mendapatkannya?" Fang menggelengkan kepala, merasa pusing.

Cengiran di bibir Taufan melebar hingga ke titik Fang mengira wajahnya akan terbelah dua.

"Dulu," kata Taufan. Bersiap memulai sebuah dongeng." Sekitar satu setengah tahun yang lalu, aku berkenalan dengan seorang teman. Dia berasal dari Johor. Dia mencari seseorang yang dapat menjadi pemandunya selama perjalanan berlibur ke Pulau Rintis. Dan aku mengajukan diri. Dia adalah sosok yang baik, tapi nakal di saat bersamaan."

Taufan tersenyum simpul. Merasa geli dengan kisahnya sendiri.

"Usianya lebih tua dariku saat itu, sekitar 18-19 tahun. Pada suatu malam, dia mengajakku mengunjungi sebuah Bar dan Club malam. Tapi aku bilang kepadanya bahwa aku tidak akan di-izinkan masuk. Aku masih dibawah umur. Tebak apa? Dia membuatkanku KTP dan Kartu ATM palsu! Lebih hebatnya lagi, dia memasukan sejumlah uang ke dalam kartu ATM ini. Katanya untuk pembayaranku selama menjadi tour guide nya. Dan yap, identitasku di kedua kartu ini adalah Rayn. Foto ini dibuat dengan Photoshop lho! Dan akhirnya kami berhasil masuk ke dalam Bar dan bersenang-senang malam itu! Kak Hali, Gempa dan yang lain tidak tahu tentang masalah ini hingga sekarang. Aku menyembunyikan kedua kartu ini di tempat yang hanya aku ketahui dimana."

Taufan memasukan kembali kartu itu ke dalam dompet, menepuknya dengan sayang sebelum ia amankan didalam kantung celana.

"Sebuah kisah yang menarik bukan?"

Fang mendengus.

"Ya. Kau sudah jadi criminal sejak lama rupanya." Dan langsung dihadiahi tepukan kasar di punggung oleh Taufan. Kali ini gantian Fang yang menyumpah.

"Lalu, dimana dia sekarang? Yang dari Johor." Fang berhenti berjalan dan mengeluarkan ponselnya sendiri dan mengotak-atik sebentar sembari menunggu jawaban.

Taufan mengedikkan bahu, dengan bibir cemberut.

"Aku tidak tahu. Sudah hampir setahun aku tidak berkontak dengannya."

Fang tidak mengeluarkan pertanyaan lagi setelah itu. Dia sibuk menatap handphone nya sejenak. Mengerjakan sesuatu. Lima menit kemudian dia kembali berjalan dan mengembalikan ponsel ke saku celana.

"Aku memesankanmu makanan. Kita akan ambil langsung ke restorannya sekarang." Kata Fang.

Wajah Taufan berubah cerah seperti pelangi.

"Sungguh? Kau memang yang terbaik Fang!" Teriaknya dengan ceria. Hampir memeluk Fang sebelum si pemuda China berkelit dengan lincah.

"Berhenti disana! Tidak ada yang mengharapkan pelukanmu." Dengusnya dengan jijik. Taufan cemberut lagi.

Fang menghela nafas, lalu menyeret kembali kantung plastik besarnya dan berjalan lebih dulu menuju restoran.

"Ini bukan hal besar. Simpan saja uangmu untuk kebutuhan lain."

Taufan muncul disisi Fang, melangkah dengan santai.

"Bukan berarti aku akan mati kelaparan demi harus menghemat uangku. Aku sempat mengambil beberapa uang dari rekening kak Hali." Jawabnya tanpa beban.

Langkah kaki Fang terhenti dan kali ini mulutnya menganga menghadap Taufan.

"Apa?" Desisnya tak percaya.

Taufan, menyeringai dengan keji.

"Aku mengambil uang dari rekening kak Hali. Eits! Itu uangku juga!" Taufan segera memotong sebelum Fang sempat berbicara lagi.

"Aku mengambil apa yang sudah merupakan hak-ku. Ingat? Itu tidak bisa disebut mencuri. Dan!-" Taufan mengacungkan jari di depan wajah Fang, berhasil memotong kembali apa yang ingin dikatakan si kacamata.

"-aku menarik secara Tunai. Mengembalikan ATM nya lagi, lalu membawa uang tunai itu ke bank untuk dimasukan ke rekeningku. Okay? Mereka tidak bisa melacak karena itu bukan transfer langsung."

Fang terdiam sejenak dengan mata melotot, dan tangan Taufan melayang di depan wajahnya seolah ingin membekap Fang setelah ia mengeluarkan komentar. Sebagai gantinya, Fang menghela nafas dalam dan menggelengkan kepala.

"Astaga. Kau benar-benar yakin ingin melakukan ini." Kata Fang.

Senyum Taufan jatuh, dan wajahnya menunjukkan keseriusan yang melebihi konsentrasi saat mengerjakan soal Ujian Nasional.

"Tentu saja aku serius. Kau mempermainkan ku Fang?" Taufan menggeram. Dan Fang dengan segera mengangkat tangan sejajar kepala, mengungkap postur tidak bersalah.

"Tidak. Sama sekali tidak. Aku hanya...kaget. Bahwa kau bahkan memikirkan hal-hal seperti itu."

Mata Taufan menyipit sebelum wajahnya berhenti menegang. Ia menarik tudung hoodie untuk menutupi wajahnya lebih jauh.

"Tentu saja aku harus. Demi mencapai kesempurnaan dan keberhasilan, aku tidak ingin ada kesalahan." Ucap Taufan. Fang mungkin berhalusinasi, tapi nada suaranya mirip sekali dengan Halilintar.

Fang menghela nafas, lagi. Ia ragu-ragu sesaat, sebelum akhirnya memutuskan untuk menepuk bahu Taufan dengan lembut.

"Kau sudah melakukan yang terbaik. Aku jelas tidak mendukungmu melakukan ini. Tapi aku bukan siapa-siapa untuk melarangmu juga. Kau jelas tidak akan mau mendengarkan." Manik magenta itu memberanikan diri untuk menatap mata abu-abu yang melirik dari bawah naungan tudung hitam.

"Aku hanya berharap kau berhasil dan selamat. Saudara-saudaramu bisa menjadi penghuni rumah sakit jiwa jika terjadi apa-apa denganmu." Kata Fang. Mengangguk kecil dan terus menepuk-nepuk pelan bahu Taufan.

Taufan terkekeh, tidak memungkiri ucapan Fang yang sebagian besar benar. Ia melangkah lebih dulu dari Fang sambil mengusap perut laparnya.

"Ayo ambil makan malamku. Habis ini aku harus membeli cat rambut dan beberapa hal lain."

.

.

.

.


.

.

Kantor Polisi Pulau Rintis : 17.10 Waktu Malaysia

Setelah puas memastikan keberadaan adik bayinya yang aman, Kaizo segera bergerak keluar dari kantornya. Setelah mengunci ruangannya sendiri agar area pribadinya aman, Kaizo melangkah dengan cepat namun gagah menuju parkiran. Ia melemparkan jaket biru gelap dan tas kecilnya ke kursi penumpang. Tanpa membuang waktu, BMW 8 Series Coupe berwarna Black Sapphire Metallic itu meluncur keluar menuju kediaman Boboiboy.

Sepanjang perjalanan, pikiran Kaizo berputar pada percakapannya dengan Halilintar. Bocah 17 tahun itu tidak terlalu histeris, tapi Kaizo menangkap nada tegang dan panik dalam suaranya. Dengan tersendat-sendat, Halilintar telah memberitahu bahwa Taufan menghilang dari kamarnya. Mereka semua sudah mencari ke seluruh bagian rumah dan pekarangan. Tapi hasilnya nihil.

Taufan membobol kurungannya dan juga pintu rumah lalu memanjat keluar dengan tangga. Pada point ini, Kaizo sebenarnya ingin bertanya tentang kurungan apa yang dimaksud. Tapi Halilintar terus berbicara seperti kereta yang melaju. Mengatakan bahwa mereka sudah menghabiskan berjam-jam mencari. Membagi saudaranya menjadi tiga kelompok dan berpencar. Namun tidak menemukan apapun, tidak mendapat keberadaan apapun. Kaizo bahkan bisa mendengar suara orang menangis di backsound.

Ada beberapa hal yang tidak Kaizo pahami di sini. Mengenai alasan kenapa Taufan kabur dan apa yang dimaksud dengan kurungan. Kaizo tentu saja tahu masalah apa yang menimpa keluarga itu. Ia sedang dalam proses mengajukan diri untuk menangani masalah itu ke komandan Ko Ko Ci. Menggantikan beberapa polisi yang sebelumnya menangani kasus ini dengan lamban dan tidak berani mendobrak hukum dengan alasan pelaku adalah orang penting yang kebal hukum.

Persetan.

Setelah dua puluh menit perjalanan, mobil Kaizo memasuki pekarangan luas kediaman si kembar. Di depan rumah, ada kembar yang dikenali Kaizo sebagai Ice. Agak mengejutkan melihat penampilan anak itu yang serba biru, hampir membuat Kaizo mengira dia adalah Taufan.

"Kapten Kaizo." Panggil Ice ketika Kaizo keluar dari mobil dan berjalan mendekat.

"Selamat sore." Ucapnya.

Kaizo mengangguk sebagai jawaban.

"Selamat sore Ice. Apa semua keluarga mu ada didalam?"

Ice menunduk mendengar pertanyaan itu.

"Ya. Semua ada kecuali Kak Taufan, ayah dan ibu." Jawabnya dengan lancar setelah ragu sejenak.

Kaizo menyipitkan mata pada jawaban Ice. Tapi akhirnya menerimanya. Ia menepuk bahu remaja itu untuk menguatkan.

"Silahkan masuk." Kata Ice. Ia melangkah lebih dulu dan Kaizo mengikuti dengan tenang.

Ruang keluarga Boboiboy sungguh berantakan. Tubuh para kembar itu terkapar dimana-mana. Halilintar ada di sofa tunggal, menunduk dengan wajah tertutup kedua tangan yang bertumpu pada lutut. Topi menghilang dari kepalanya dan menampakkan rambut hitam berantakan.

Gempa menangis terisak di sofa panjang. Memeluk bantal dengan Thorn yang juga memeluknya, tampak berupaya untuk meredam tangisan Gempa walaupun dia sendiri pun menangis. Thorn mengelus-elus bahu Gempa sembari membisikkan kata-kata menenangkan yang kosong.

Solar duduk menyendiri di tengah tangga. Punggungnya bersandar pada pegangan tangga dan wajahnya menghadap tembok. Topinya juga melayang entah kemana.

Blaze sendiri duduk di sofa tunggal di seberang Halilintar. Pandangan kosong ke depan dengan kaku. Setengah wajahnya tersembunyi di balik topi yang merosot ke wajahnya.

Ice masuk lebih dulu, mengagetkan Halilintar dengan pemberitahuan kedatangan Kaizo. Wajah Halilintar tersentak ke atas dan Kaizo bisa melihat dengan jelas memar di bagian mata dan pipi kanan.

"Kaizo." Ucapnya sembari melompat berdiri.

Mata Kaizo memindai ruangan.

"Apa yang terjadi dengan wajahmu?"

Halilintar menatap sejenak, sebelum membuang muka dan menunjuk pada Solar yang masih memunggungi mereka semua.

"Bertengkar dengannya. Tapi itu tidak penting. Kita harus membedah Pulau Rintis sekarang. Adikku berada di suatu tempat di sini."

Mata Kaizo menyipit. Ia mendorong dengan lembut bahu Halilintar, menuntut si sulung untuk kembali duduk. Halilintar menurut tanpa sadar, kembali duduk di atas sofa beludru merah tua.

"Sekarang," kata Kaizo. "Kita harus memperkecil area. Jika kau berharap kita akan menyelesaikan ini malam ini, maka hapus itu. Ini Pulau. Bukan kamar tidurmu."

Halilintar meremas tangannya dengan gelisah. Matanya menatap nyalang dan ketakutan.

"Tapi kami sudah mencari ke tempat biasanya dia berada, atau kemungkinan dia berada." Kata Halilintar.

"Kami bahkan sudah mencari di rumah Yaya, Ying, Gopal dan Fang. Tapi adikmu tidak ada di rumah.

Kaizo menghela nafas dan menggelengkan kepalanya. "Dia ada di perpustakaan. Mencari buku atau sesuatu semacam itu. Sebelum kemari, aku sempat menelpon dan dia memang masih ada di sana."

Halilintar menerima itu. Ia menghela nafas.

"Aku sudah mencari di sekeliling kompleks. Tetangga mengatakan tidak ada siapapun yang mereka lihat sesuai dengan ciri-ciri Taufan. Kami kehilangan jejak." Halilintar menghela nafas berat.

Kali ini, dengan jarak sedekat ini, Kaizo mendapati tubuh Halilintar gemetar. Tangannya tidak berhenti bergetar saat ia memyapu helai hitam berantakan diwajahnya. Matanya tak fokus dan kelihatan sekali bahwa Halilintar kelelahan.

Kaizo memiringkan sedikit kepalanya, memikirkan sesuatu. Jika memang Halilintar dan saudaranya telah mencari di semua tempat yang menurut mereka memungkinkan, dan masih tidak menemukan Taufan, makan mereka memang harus siap untuk pencarian menyeluruh di seluruh Pulau. Yang menjadi masalah adalah, berapa lama sampai mereka akan menemukannya? Bisa jadi, Taufan malah sudah melarikan diri keluar pulau.

"Apa Taufan membawa sesuatu saat kabur? Baju, atau sesuatu?"

Halilintar menggelengkan kepalanya. Kaizo ingin menganggap bahwa itu adalah 'Tidak' sehingga ia setidaknya bisa menghela nafas lega karena Taufan tak punya perbekalan untuk melarikan diri terlalu jauh.

"Aku tidak tahu." Akhirnya Halilintar menjawab dengan lebih jelas. Hati Kaizo merosot.

"Tapi-"

"Tapi?" Harapan kembali membuncah. Satu alis Kaizo terangkat naik secara otomatis karena penasaran.

Halilintar menelan dengan susah payah. Terlihat ragu ingin mengatakan sesuatu. Tapi Kaizo tidak akan memaksanya. Halilintar pintar, sudah pasti dia akan memberitahu apapun agar adiknya ditemukan.

"-dia membawa kabur uangku..."

Kaizo hampir tidak mendengar kalimat itu keluar dari bibir Halilintar. Begitu tipis dan lirih, dan Kaizo langsung meragukan pendengarannya sendiri.

Keheningan menyabut selama beberapa saat. Tangisan Gempa dan Thorn masih terdengar sayup-sayup. Halilintar menunduk dan Kaizo melotot.

"Apa katamu?" Kaizo melangkah mendekat dan sedikit mencondongkan tubuh ke atah Halilintar.

"Dia mencuri uangmu?"

Halilintar terlihat gelisah selama beberapa saat, lalu mengangguk.

"Ya. Dari ATM. Dia mengambil beberapa dan mengembalikan kartunya kembali." Halilintar menarik nafas dalam dan kembali berucap.

"Hilang lebih dari 10 juta..."

Ketenangan Kaizo hampir goyah. Untuk apa Taufan mengambil uang sebanyak itu? Apa dia ingin secara permanen meninggalkan semua saudaranya dan memulai hidup baru di tempat lain?

"Yah. Kalau begitu, kau harus membuat laporan pencurian. Uang yang dia ambil memang cukup banyak." Kaizo menghela nafas dan berkacak pinggang. Dalam hal ini, Kaizo tidak dapat menyalahkan Taufan jika remaja itu masih mendapat trauma selama masih tinggal di Pulau ini. Tapi tetap saja mengambil uang orang lain tanpa izin masih masuk ke dalam kategori pencurian.

Hal yang tidak Kaizo pahami adalah bagaimana Halilintar menggeram marah dan melonjak berdiri tiba-tiba.

"Aku tidak peduli dengan uangnya! Aku ingin mendapatkan Taufan kembali!" Dia menjerit.

Kaizo tidak gentar. Dia menatap Halilintar balik dengan netra Magenta yang tak kalah tajam.

"Kalau begitu kau harus menunggu! Kita tidak bisa mendapatkannya malam ini! Aku bukan Dewa yang bisa melakukan hal itu!"

"Menunggu?" Wajah Halilintar berkerut ketakutan dan kembali gelisah, kali ini suaranya bergetar parah.

"Kita tidak bisa menunggu! Kita harus menemukannya secepat mungkin."

"Dengar. Tidak ada dalam sejarah kepolisian mencari seseorang yang hilang akan ketemu dalam satu malam. Kau harus menunggu, mau tidak mau." Ucap Kaizo. Menghela nafas lelah karena remaja keras kepala di hadapannya.

"Kaizo, kumohon."

Kaizo melompat mundur saat Halilintar tiba-tiba berlutut di hadapannya. Matanya melotot karena kaget.

"Apa-apaan ini Hali? Bangun. Kau tidak perlu melakukan ini hanya untuk menemukan remaja bandel yang mencuri uangmu."

Halilintar menggelengkan kepalanya yang tertunduk.

"Ini bukan masalah uangnya. Aku sudah bilang." Ucapnya. "Ini lebih dari itu."

Kaizo mengernyitkan dahi, lalu perlahan ikut berlutut. Halilintar tampaknya tidak tertarik untuk bangkit berdiri dalam waktu dekat.

"Apa maksudmu? Apa Taufan mencuri benda lainnya juga? Sudah kubilang agar kau membuat laporan pencurian kepada polisi dan mereka akan membantu mencari saudaramu. Aku akan membantu juga, tenang Hali."

Kaizo dengan ragu menyentuh bahu Halilintar, dan tersentak diam karena daging di bawah tangannya benar-benar gemetar tak berhenti.

Halilintar tak menjawab. Matanya masih terpejam dan yang bisa dia lakukan hanya menggeleng. Ini membuat tanda tanya di kepala Kaizo membesar.

"Tolong jangan bermain-main Hali. Aku sedang tidak mood bermain teka-teki." Desisnya, mengancam.

Halilintar masih tidak ingin membuka mulutnya untuk menjelaskan. Dan Kaizo tidak ingin bersabar untuk kali ini. Pasti ada sesuatu yang salah. Mereka menginginkan Taufan kembali daripada uangnya, okay. Masih masuk akal karena kejadian akhir-akhir ini. Mereka sangat peduli satu sama lain, dan sudah berjanji untuk saling menjaga. Apalagi si kembar kedua yang paling menderita. Tapi tetap saja, Kaizo merasa ada yang salah. Sesuatu yang disembunyikan dan sudah pasti itu adalah masalah besar.

Kaizo hampir akan mengguncang tubuh Halilintar untuk mendapatkan jawaban langsung dan lebih jelas, ketika Solar akhirnya buka mulut. Ia masih bertengger di tangga, tanpa berniat turun sama sekali. Tapi suaranya bergema di ruangan yang sepi.

"Dia berbahaya."

Halilintar menoleh secepat cahaya yang membuat Kaizo mengira lehernya akan patah.

"Solar!" Teriaknya.

Teriakan Halilintar berhasil membuat Solar mendengus dan ia akhirnya berdiri untuk menghadap ruang keluarga. Kaizo melihat memar parah di wajahnya yang merupakan hasil karya Halilintar yang cukup megah. Jejak darah di sudut bibir dan memar besar di dagu dan mata kanan yang sudah membengkak. Gempa terlalu sibuk menangis dan tenggelam dalam kesedihannya daripada mengurusi si bungsu yang babak belur. Atau dia hanya belum sadar.

"Dia berbahaya." Solar mengulangi. Matanya yang orange secerah Blaze menantang magenta Kaizo dengan penuh informasi. Tubuhnya sama sekali tidak bergetar dengan teriakan peringatan Halilintar.

Kaizo beranjak berdiri. Dia menatap Solar dengan pandangan bertanya-tanya.

"Baik. Jelaskan kenapa dia berbahaya. Aku hanya tahu bahwa dia adalah pembuat lelucon paling menyebalkan dimuka bumi."

Halilintar ikut berdiri di sebelahnya, dan Kaizo dengan insting langsung menahan lengannya. Memaku Halilintar di tempat dan mengabaikan tatapan horor yang dilemparkan remaja itu padanya. Sebaliknya, dia masih menatap Solar dengan gagah.

"Nah Solar. Kurasa kau ingin menjelaskan sekarang? Aku-diam Halilintar!- aku penasaran." Untungnya bagi Kaizo untuk menjadi orang terkuat disini. Usaha Halilintar untuk melepaskan cengkramannya berakhir menyedihkan.

Solar tampak ragu-ragu sesaat, seperti mempertimbangkan apakah Halilintar akan membunuhnya setelah ia mengaku. Dan Kaizo langsung menawarkan program perlindungan saksi untuk Solar.

"Tidak perlu Kapten, terimakasih. Kak Hali tidak akan melakukan itu, mungkin. Tapi aku benar-benar sudah selesai dengan upaya menutup-nutupi ini." Solar menarik nafas dalam. Masih berpura-pura tuli dengan teriakan Halilintar.

Kaizo tidak bisa lebih bersyukur dengan Blaze yang masih mati suri atau Ice yang hanya berdiri diam di sebelah sofa Blaze. Matanya murung dan Kaizo bisa melihat dengan jelas bahwa dia akan membiarkan apapun terjadi asalkan Taufan ketemu.

Gempa dan Thorn masih terisak menangis di belakang. Dan mereka masih diam. Tidak menghentikan atau ikut berteriak untuk memperkeruh suasana.

"Solar! Aku memperingatkan mu!" Halilintar meronta digenggaman Kaizo untuk gagal secara spektakuler. Cengkraman dewa Kaizo malah semakin erat. Tatapan Kaizo masih terkunci pada Solar, menuntut penjelasan.

Solar menatap nanar pada Halilintar. Sebelum berucap.

"Maaf kak. Tapi aku ingin mendapatkan kembali kak Taufan sekarang. Aku tidak peduli jika aku harus memberitahu semuanya."

Halilintar semakin meronta dan Kaizo hampir menjerit untuk segera dijelaskan. Sungguh membuang-buang waktu!

"Kak Taufan gila. D-dia bisa membunuh orang." Kata Solar, dengan lantang.

Mata Kaizo melebar.

"Dan karena itu, kami mengurungnya di basement. Dengan rantai dan pasung agar dia tidak melukai orang lain. Dan sekarang dia kabur. Kami tidak peduli dengan uang, tapi kami takut dia menjadi...pembunuh.." Solar menyelesaikan dengan singkat. Nada suaranya di akhir begitu ketakutan.

Rasanya semua darah dikuras dari wajah Kaizo. Alisnya berkedut dan Halilintar menjerit ketika cengkraman Kaizo di lengannya hampir menghancurkan tulang.

"Kalian...apa?"

.

.


.

Ah! Selamat Hari Raya Lebaran! maaf karena telat update. saya harap saya cukup memuaskan di chapter ini. Maaf jika saya memiliki banyak kekurangan. saya harap kalian menikmatinya.

By the way, plot tentang uang tunai yang tidak bisa dilacak, saya menggunakan pendapat pribadi saya. Semua yang ada di fic ini tidak semuanya benar di dunia nyata! jadi tolong maafkan saya untuk itu.

Menurut kalian, apa saya kurang membuat Taufan menderita?

Selamat membaca dan silahkan tinggalkan jejak.