Chapter 3
Pagi ini, Toneri terlihat sedang terburu-buru. Ia benar-benar lupa bahwa hari ini ia harus datang ke kantor cabang perusahaan baru yang berada di luar kota. Padah pagi-pagi sekali, Temari sudah mengirimkan pesan yang memberitahukan jadwalnya hari ini, namun ia malah bangun kesiangan. Bukannya apa, Ayahnya juga akan hadir disana. Makanya ia bergegas secepatnya untuk sampai disana terlebih dahulu. Setelah memasuki mobil, Pengawal yang merangkap sekaligus menjadi supirnya segera melajukan mobil dengan kecepatan tinggi atas perintahnya. Ia tak boleh hadir terlambat. Jarak tempuh kesana akan memakan waktu sekitar 1,5 jam. Kalau sampai ayahnya yang terlebih dahulu sampai, ia tak dapat membayangkan ayahnya yang akan memarahinya tak peduli di depan para karyawan. Mau ditaruh mana wajah tampannya itu, eh..
"Kakuzu! Lebih cepat!" Toneri yang terlihat gelisah terus menerus melihat ke arah arloji di tangan kirinya.
"Baik boss!" Kakuzu, sang pengawal sekaligus supir pribadi Toneri ini langsung tancap gas dan melaju dengan lebih kencang lagi.
.
.
.
.
.
.
Toneri akhirnya tiba di sana tepat sebelum ayahnya hadir. Ia berusaha menetralkan degub jantungnya yang berdetak tak karuan. Ia sangat khawatir kalau ayahnya yang lebih dahulu tiba. Pasti ia akan mengungkit tentang kinerja Toneri yang ia anggap kurang disiplin dan akan mengancamnya lagi dengan memberikan posisi pimpinan kepada kakak sepupunya yang sebenarnya lebih berkapasitas untuk menggantikan posisi ayahnya sebagai CEO perusahaan.
Ia disambut oleh kepala cabang dan beberapa karyawan, Kehadirannya di sini adalah untuk meresmikan cabang perusahaan yang baru selesai dibangun.
Tak lama kemudian, Hamura terlihat berjalan dengan beberapa pengawalnya. Aura kepemimpinannya tak luntur sama sekali. Meskipun sudah berhenti menjabat sejak beberapa bulan yang lalu, namun para karyawan dan petinggi perusahaan masih sangat menghormatinya. Hamura dikenal sebagai sosok pemimpin yang sangat berdedikasi bagi perusahaan. Namun ia juga berusaha agar menyejahterakan seluruh karyawannya. Biar bagaimanapun, mereka yang telah menolongnya untuk membuat perusahaan ini semakin dan semakin maju. Tak heran banyak para karyawan senior yang sedikit tak rela bahwa Hamura memutuskan untuk pensiun. Usianya bahkan belum 60 tahun. Banyak orang yang tak tau kalau sebenarnya masalah kesehatanlah yang memaksa Hamura untuk beristirahat. Maka dari itu iapun terpaksa memberikan kepercayaan kepemimpinan pada putra satu-satunya yaitu Toneri.
"Selamat pagi Ayah!" Sapa Toneri membungkukkan badan setelah ayahnya berada tepat di hadapannya.
"Bisa diandalkan juga kau, anak manja." Balas ayahnya sinis lalu melenggang pergi.
Toneri mengepalkan tangan kanannya dengan keras. Apa-apaan ayahnya ini, sengaja membuatnya malu didepan para karyawan dengan memanggilnya anak manja? huh.. 'menjengkelkan' Batinnya.
Kakuzu, sang pengawal yang berdiri di sampingnya terlihat menahan tawa dengan melipat bibirnya ke dalam. Toneri meliriknya kesal. "Gajimu kupotong bulan ini!" Toneri berkata dengan pelan namun penuh penekanan. Ia berjalan menyusul ayahnya dan meninggalkan Kakuzu yang berdiri kaku disana. "Hey boss! mana bisa begitu!" Balasnya sambil berlari kecil menyusul Toneri.
.
.
.
.
.
Sesampainya di kantor, Toneri terlihat murung. Bahkan Temari yang biasanya tak pernah lepas dari atensinya itupun kali ini ia abaikan. Temari merasa ada yang aneh pada bossnya ini, maka ia pun berbasa-basi "Bagaimana tuan? apakah berjalan dengan baik?" Namun nihil. jangankan jawaban dari mulut Toneri, deheman saja tak ia dapatkan. Temari sedikit merasa khawatir pada bossnya ini. Meskipun ia adalah boss yang mesum, tapi Toneri sebenarnya adalah boss yang baik dan tidak pelit dalam memberikan bonus.. Ia menatap Toneri yang duduk di mejanya dengan berpangku tangan. Sangat terlihat bahwa ia sedang jengkel saat ini. Temari berjalan mendekati meja Toneri.
"Tuan, kau terlihat sedang kesal, apa yang terjadi?" Tanya Temari hati-hati setelah ia sampai di depan Toneri. "Tidak ada" Jawab pria itu singkat. Temari tak puas dengan jawaban itu, ia berjalan ke arah belakang kursi Toneri dan mulai memijat pundaknya pelan. "Tuan lelah? yaa tak heran, sih.. perusahaan cabang itu letaknya lumayan jauh dari sini." Toneri tak bereaksi. Temari memang pernah beberapa kali memijatnya, biasanya ia yang meminta. Namun kali ini Temari sendiri yang melakukannya. "Kau minta bonus lagi?" Toneri menoleh ke belakang. Temari terkesiap saat Toneri menolehkan kepalanya. "Ah, tidak Tuan. Saya hanya penasaran, kenapa Tuan Ōtsutsuki Toneri yang biasanya terlihat ceria, kali ini malah terlihat kesal dan murung..." Temari melanjutkan acara memijatnya. Toneri membuang muka dan mengembalikan posisi duduknya seperti semula.
"Aku hanya sedang kesal saja, tapi aku tak apa-apa. Terimakasih sudah bertanya." Jawab Toneri ketus.
Temari memang pagi tadi tak ikut pergi bersama Toneri, Ia diminta untuk tetap berada di perusahaan oleh Toneri.
Pintu dibuka, Tampak Urashiki memasuki ruangan Toneri. Ia sedikit terkejut melihat Temari yang sedang memijat pundak Toneri. 'Sedang apa mereka..' Batinnya.
Temari yang melihat kedatangan Urashiki langsung menghentikan pijatannya dan menyapa. "Selamat siang tuan.. ada perlu apa?" Ucapnya dengan senyuman di wajahnya. Toneri dengan malas melirik sekilas ke arah Urashiki. "Kebiasaan, kalau masuk tak pernah ketuk pintu." Ucapnya sinis.
Urashiki menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Ah. ahaha maaf, aku hanya ingin melaporkan sesuatu" Urashiki tertawa hambar. Temari kini sudah duduk di mejanya. Ia gugup, ia merasa seperti tengah dipergoki berselingkuh oleh kekasihnya. 'Duh mikir apa sih!! sialan' Umpat Temari dalam hati.
Padahal ia tak melakukan hal-hal yang berlebihan. Tapi, entah mengapa ia merasa bersalah pada Urashiki. Mereka memang menjadi lebih akrab sejak malam itu. Namun hubungan mereka masihlah sebatas atasan dan bawahan. Tak lebih.
Urashiki melirik sekilas Temari yang sedang mengetikkan sesuatu di komputernya. Ia dapat melihat bahwa Temari saat ini sedang gugup. Ia tersenyum kecil sebelum berjalan mendekati meja Toneri. "Mengapa kau senyum-senyum? Sedang membayangkan yang tidak-tidak, ya??" Tuduh Toneri.
"Astaga adikku, otakmu ini dipenuhi oleh hal-hal negatif, makanya kau menuduhku seperti itu.." Urashiki duduk di hadapan Toneri yang dengan malas membalas tatapannya.
"Sampaikan apa yang perlu kau sampaikan kak, jangan buang-buang waktu." Toneri berkata ketus.
"Hey, ada apa sih? kau kesal karena aku datang tiba-tiba?" Urashiki tertawa kecil melihat wajah cemberut Toneri. Sekali lagi ia melirik Temari yang ternyata sedang memperhatikan mereka berdua. Pandangan mereka bertemu, Temari langsung mengalihkan perhatiannya pada komputer di depannya. Toneri yang diam-diam memperhatikan pun berdehem dengan agak keras sehingga membuat Urashiki tersadar akan tujuan yang sebenarnya menemui Toneri.
.
.
.
.
.
Hinata hari ini lembur, sudah pukul 8 malam dan hampir tak ada karyawan lagi yang terlihat. sebagai anak baru, ia masih belum terlalu mahir dalam pekerjaannya. Maka dari itu, ia sengaja tinggal lebih lama untuk mempelajari laporan keuangan yang ia dapatkan dari atasannya. Ia tak mau pekerjaannya banyak kesalahan dan malah berakhir dengan pemecatan. Ini sudah hampir seminggu ia bekerja di perusahaan ini jadi sebenarnya masih wajar kalau ia belum begitu mahir.
"Hinata, jangan terlalu memaksakan diri, pulanglah dan beristirahat. Lanjutkan besok lagi." Tenten, salah satu senior Hinata mendatangi mejanya sambil menepuk pelan pundaknya. Hinata menggeleng, "Tidak apa-apa senior, saya akan selesai sebentar lagi, saya janji." Jawab hinata seraya tersenyum menatap Tenten yang berdiri di sampingnya.
"Baiklah kalau begitu. Tapi ingat ya, jangan sampai kau memaksakan diri dan malah jatuh sakit karena kelelahan. Aku pulang duluan, ya " Tenten berpamitan pada Hinata yang dibalas anggukan oleh Hinata. "Hati-hati dijalan, senior" Ia pun melambaikan tangannya pada Tenten yang mulai menjauh. Tenten membalas lambaiannya singkat sambil mengangguk.
.
.
Toneri memasuki lift untuk turun ke lantai 5. Ia hari ini juga lembur. Temari sudah pulang duluan 10 menit yang lalu. Sebenarnya ia pergi ke lantai 5 untuk mengecek keadaan disana, karena ia sempat melihat dari CCTV bahwa ada beberapa karyawan yang masih lembur.
Tak berapa lama, Toneri sampai di ruangan dimana divisi Hinata berada. Ia hanya melihat ada satu orang karyawan di sana, sedangkan yang lainnya, mungkin sudah lebih dahulu pulang, batinnya.
Ia mendekati karyawan itu sambil berdehem.
"Mengapa kau belum pulang?" Tanyanya pada karyawan wanita itu. Tapi tunggu, Ini kan wanita yang itu!
Hinata mendongakkan kepalanya dan mendapati Toneri sedang berjalan kearahnya dengan seringai di wajahnya. Ia terkejut lalu bangkit. "Sedang apa kau di sini?" Ucapnya galak.
"Apa begitu caramu berbicara pada bossmu?" Toneri masih menyunggingkan senyum sinis di wajahnya.
"B-boss? ... siapa kau sebenarnya?" Hinata menjawab dengan sedikit gugup.
"Kau bahkan tak mengenali pemimpin perusahaan tempat kau bekerja. Sudah berapa lama sih kau bekerja di sini?" Balas Toneri santai.
"A-aku.. Tentu saja aku tau siapa pimpinan di sini, ia adalah Tuan Hamura Ōtsutsuki." Cicit Hinata.
"Oh, sayang sekali.. Ayahku sudah pensiun dan sekarang akulah pemegang kepemimpinan di sini" Toneri melipat kedua tangannya di depan dada. Ia menatap Hinata yang tertunduk di hadapannya.
"Kenapa diam? kemana gadis pemarah yang tempo hari mengacungkan jari tengah di hadapanku?" Lanjut Toneri.
"Aku minta maaf." Balas Hinata cepat. Ia tak mau ambil resiko di pecat karena bersikap tak sopan pada bossnya ini.
"Kau pikir ini mudah?" Toneri menarik dagu Hinata dan menatap intens pada mata wanita itu. Hinata tak bisa bohong, ia sejujurnya takut. Takut akan pria ini akan melakukan hal-hal yang buruk padanya, dan juga ia takut dipecat... Ia sangat butuh pekerjaan ini!
Hinata menggigit bibir bawahnya, ia tak berani menatap mata Toneri.
"Aku akan memaafkanmu.. Tapi ada syaratnya." Toneri menarik tangannya dari dagu Hinata dan lantas melipat kedua tangannya di depan dada.
"A-apa itu?" Tanya Hinata hati-hati.
"Jadilah budak seks ku! Maka selain kumaafkan, gajimu akan kunaikkan! bahkan melebihi gaji atasanmu" Toneri menyunggingkan senyum culas.
Hinata yang mendengar itu secara refleks menampar pipi Toneri keras. Ia terkejut karena Hinata berani menamparnya. "Kau kira aku ini wanita murahan???" Hinata melemparkan pena ke dada Toneri. Ia kesal bukan main mendengar tawaran tak masuk akal yang bahkan kurang ajar dari bossnya itu. Ia segera melenggang pergi meninggalkan Toneri yang terdiam sambil memegangi pipinya yang masih terasa panas. 'Sial, mengapa aku semakin tertarik untuk mendapatkannya!' Batin Toneri.
.
.
.
.
.
Sesampainya di rumah, Hinata mengomel sendiri sampai sang adik, Hanabi yang sedang belajar merasa terganggu oleh suara Hinata.
"Kak, kau ini pulang-pulang malah marah-marah. Ada apa sih? Tak biasanya kakak begini sepulang kerja." Hanabi mendekati Hinata yang langsung terduduk di sofa dengan wajah yang memerah.
tangannya mengepal pertanda ia sangat luar biasa kesal.
"Kak?" lanjut Hanabi berhati-hati. Ia duduk di samping Hinata sambil menggenggam tangannya dengan lembut. Hinata tersadar dan meminta maaf pada adiknya itu.
"Ah, hanya masalah pekerjaan. Kakak minta maaf ya membuatmu khawatir. Bagaimana sekolah?" Hinata memaksakan dirinya untuk tersenyum. Hanabi tau kakaknya ini masih kesal, namun memilih untuk tak memikirkannya dan mulai bercerita tentang harinya di sekolah. Setelah sekitar setengah jam mereka berbincang, Hinata pamit untuk mandi. dan Hanabi melanjutkan acara belajarnya yang sempat tertunda tadi.
.
.
Didalam kamar, Hinata masih kepikiran akan perkataan Toneri tadi. Di satu sisi, tawaran itu menggiurkan.. Ia akan dengan mudah melunasi Hutang-hutang dari rentenir itu. Namun di sisi lain, sisi warasnya menolak mentah-mentah tawaran itu. sama saja ia menjadi pelacur, kan. Tak boleh! meskipun susah, ia tak boleh menjual diri...Hinata menggelengkan kepalanya dengan keras. Ia tak boleh memikirkan hal itu lagi. Anggap saja kejadian tadi tak pernah terjadi...
Hinata mulai memejamkan matanya dan ia tertidur setelahnya. Ia sangat lelah hari ini, makanya ia dengan mudah terlelap.
Manjadi seorang Hinata itu.. tanggungjawabnya sangat besar. Adiknya harus ia sekolahkan dengan baik, ia juga harus mengurusnya dengan baik pula. Hanabi adalah satu-satunya keluarga yang Hinata punya saat ini, ia sangat berharga untuknya. Dan lagi, rumah peninggalan orangtua mereka ini tak boleh sampai jatuh ketangan rentenir. Rumah ini satu-satunya harta warisan orangtuanya, Kalau sampai ini di sita, Hinata tak tau apakah ia bahkan bisa menyewa apartment untuknya tinggal bersama dengan adiknya yang masih bersekolah dan butuh biaya besar..
.
.
Sebenarnya Hanabi ingin membantu Hinata dengan bekerja part time, namun Hinata melarangnya untuk melakukan itu. Hinata bilang, tugas Hanabi hanya belajar dengan giat. Urusan keuangan adalah tanggungjawab Hinata. Pernah suatu ketika Hanabi ketahuan sedang bekerja di suatu kafe, Hinata marah besar dan saat itu juga Hanabi dibawa pulang olehnya.
Hinata tak ingin Hanabi merasakan susahnya mencari uang disaat ia harus fokus belajar. Biarlah ia yang bersusah payah menafkahi kehidupan mereka berdua..
.
.
.
.
.
Bersambung...
