.
Alles is Liefde
Disclaimer: Masashi Kishimoto
White Azalea 2023
.
.
Sasuke menghela napas dalam-dalam, merenungkan momen-momen terakhir yang baru saja terjadi. Perubahan dinamika hubungan dengan Ino membuatnya menyadari bahwa terkadang, kebencian atau ketidaksetujuan dapat menjadi pemantik untuk perubahan positif.
Setelah beberapa saat terdiam, Sasuke memutuskan untuk melanjutkan kembali rutinitasnya. Ia berjalan menuju ruangannya untuk mengecek email dan pekerjaan yang menunggu. Namun, sebelum berhasil membuka pintu, suara pelan dari arah koridor menyergap telinganya.
"Sasuke, tunggu sebentar."
Sasuke menoleh dan melihat Ino mendekatinya dengan wajah yang penuh pertimbangan.
"Apa?" Sasuke bertanya, merasa sedikit heran.
Ino menggigit bibir bawahnya, tampak sedikit ragu. "Aku ingin minta maaf juga."
Sasuke mengangkat alisnya, tidak terlalu yakin apa yang dimaksud oleh Ino. "Minta maaf? Tentang apa?"
Ino menatap Sasuke dengan penuh makna, "Aku meminta maaf karena dulu aku juga meremehkanmu, menilaimu hanya dari sikap dingin dan tegasmu. Ternyata, kau adalah orang yang peduli dan tulus terhadap pasien. Aku seharusnya memberimu kesempatan untuk menjelaskan sebelum langsung menuduh."
Sasuke merasa hatinya meleleh mendengar kata-kata itu. Dia tidak pernah mengharapkan permintaan maaf dari Ino, namun ini adalah momen yang sangat berarti baginya.
"Ino, aku mengerti. Dan aku juga minta maaf karena terlalu keras padamu," Sasuke menjawab dengan tulus.
Ino mengangguk dan tersenyum, "Baiklah, kita sekarang sudah saling mengerti. Jadi, apakah tawaran minum kopi masih berlaku?"
Sasuke tersenyum tipis, "Tentu saja, mari kita lanjutkan rencana minum kopi kita."
Keduanya berjalan menuju kafetaria dengan suasana yang lebih ringan dan akrab. Terbukti, sebuah insiden bisa menjadi pemicu untuk membuka komunikasi yang sebelumnya tertutup rapat.
Dalam perbincangan mereka, Sasuke dan Ino belajar lebih banyak satu sama lain. Mereka berbicara tentang pekerjaan, mimpi, dan harapan masing-masing. Ternyata, di balik kepribadian mereka yang kuat, ada sisi lembut dan kemanusiaan yang sama-sama mereka miliki.
Setelah beberapa jam berlalu, mereka pun menyadari waktu telah larut malam. Kedekatan yang semakin erat antara Sasuke dan Ino membuat mereka merasa nyaman satu sama lain, sesuatu yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
"Sebaiknya kita pulang, sudah larut," Sasuke berkata sambil melirik jam dinding.
Ino mengangguk setuju. Mereka berdiri dan melangkah menuju pintu keluar kafetaria. Namun, sebelum keluar, Sasuke tiba-tiba berhenti dan memalingkan wajahnya ke arah Ino.
"Ino, sebelum kita pulang, ada satu hal lagi yang ingin kukatakan."
Ino menatap Sasuke dengan penasaran, "Apa itu?"
Sasuke mengambil napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. "Ino, aku merasa... ada sesuatu yang berubah dalam diriku setelah kita berdua menghadapi situasi tadi. Aku menyadari bahwa... aku ingin mengenalmu lebih dalam, tidak hanya sebagai rekan kerja, tapi juga sebagai seseorang yang mungkin bisa lebih dari itu."
Wajah Ino terpancar kejutan dan kebahagiaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Sasuke yang biasanya begitu tegar dan tegas, kali ini tampak lebih rentan dan terbuka.
"Ino, apakah kau mau memberiku kesempatan untuk mengenalmu lebih baik?" Sasuke bertanya dengan tulus.
Ino tersenyum lebar, hatinya berbunga-bunga. "Tentu saja, Sasuke. Aku juga merasa hal yang sama."
Mereka berdua saling tersenyum, mengetahui bahwa perubahan yang tak terduga dapat membawa mereka pada perjalanan baru yang menarik dalam hubungan mereka. Dengan langkah-langkah berdebar, mereka melangkah keluar dari kafetaria, menghadapi masa depan yang penuh potensi dan kemungkinan.
Sasuke dan Ino, dua karakter yang sebelumnya berada di ujung-ujung yang berlawanan, kini bersiap untuk menjalani babak baru dalam kehidupan mereka, dimulai dari sebuah kopi dan sebuah permintaan maaf.
.
.
Beberapa bulan telah berlalu sejak pertemuan dan permintaan maaf antara Sasuke dan Ino. Hubungan mereka semakin erat, dan mereka mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama di luar pekerjaan. Sasuke telah terbuka lebih banyak tentang dirinya, dan Ino menghargai kedalaman dan kerentanannya yang sebelumnya tidak pernah ia lihat.
Namun, situasi menjadi rumit ketika Sai, adik Sasuke yang juga merupakan rekan kerja Ino, mulai menunjukkan sikap yang tidak biasa. Sikap Sai yang semula ramah, berubah menjadi lebih jengkel dan cemburu setiap kali melihat Sasuke dan Ino bersama.
Pada suatu hari, Ino dan Sasuke sedang duduk di kafetaria rumah sakit, seperti biasa. Mereka sedang asyik mengobrol saat Sai tiba-tiba mendekat dengan langkah cepat, wajahnya memerah karena emosi.
"Sasuke, Ino," kata Sai dengan suara yang tidak biasanya tajam, "bisakah aku bicara denganmu sebentar, Sasuke?"
Sasuke dan Ino saling pandang, sedikit terkejut dengan perubahan sikap Sai. "Tentu, Sai. Ada apa?" Sasuke bertanya dengan tenang.
Sai menggigit bibirnya, mencoba meredam kemarahannya sejenak. "Aku ingin bicara denganmu sendiri," ujar Sai, menunjukkan ke Ino bahwa ia ingin Sasuke sendiri.
Ino mengangguk dengan setengah senyuman, "Baiklah, aku akan meninggalkan kalian berdua sejenak." Ia berdiri dan meninggalkan meja dengan perasaan cemas. Sesuatu yang tidak enak pasti sedang terjadi.
Sasuke dan Sai pun tersisa di meja, suasana tegang terasa di udara. Setelah beberapa saat, Sai akhirnya mengeluarkan apa yang ada di benaknya.
"Sasuke, apa yang kalian berdua lakukan?"
Sasuke mengerutkan kening, tidak mengerti. "Apa maksudmu?"
"Sudahlah, jangan berpura-pura. Aku melihat kalian berdua semakin dekat, semakin sering menghabiskan waktu bersama. Kau bahkan pergi keluar makan malam dengan Ino beberapa kali. Apa kalian berdua...?"
Sasuke menghela napas. Meskipun ia mengerti perasaan Sai, ia tidak terbiasa mengungkapkan emosi atau membagikan urusan pribadi kepada siapapun. Namun, pada saat yang sama, ia merasa perlu memberikan penjelasan pada adiknya.
"Sai, Ino dan aku memang semakin dekat akhir-akhir ini. Kami menjadi teman yang baik dan kami saling mendukung satu sama lain."
Sai menatap Sasuke dengan pandangan yang campuran antara kecewa dan frustasi. "Apakah itu semua yang kau katakan? Apa kau tidak menyadari perasaan yang sedang berkembang di antara kalian?"
Sasuke menghentikan dirinya sejenak. Dia tidak berpikir terlalu dalam tentang perasaannya terhadap Ino, lebih fokus pada perubahan positif yang terjadi dalam hubungan mereka. Namun, kata-kata Sai mengajaknya untuk merenungkan lebih dalam.
"Sai, aku menghargai Ino sebagai rekan kerja dan teman," Sasuke berbicara perlahan, mencoba memilih kata dengan hati-hati, "Namun, aku merasa kami belum sampai pada tahap lebih dari itu. Aku tidak ingin membuatnya terlalu rumit."
Sai mendengus, masih terlihat kesal. "Sasuke, kau mungkin bisa berbohong pada dirimu sendiri, tapi jangan mencoba membohongiku. Aku tahu kau lebih dari sekedar teman bagi Ino. Aku melihat cara kalian berdua saling melihat, cara kalian berbicara satu sama lain."
Sasuke merasa terpancing oleh kata-kata Sai. Apa yang dikatakannya benar, meskipun ia belum siap untuk menghadapi perasaannya sendiri. Tapi di sisi lain, ia merasa bertanggung jawab untuk menjelaskan situasi ini pada Sai.
"Sai, ini bukan sesederhana itu. Ino dan aku masih mencoba memahami perasaan kami sendiri. Kami tidak ingin terburu-buru dalam mengambil langkah lebih lanjut."
Sai meredam amarahnya, wajahnya masih terlihat tegang. "Baiklah, aku mendengarmu. Tapi harapkan bahwa aku khawatir denganmu. Aku takut kau akan terluka lagi."
Sasuke tersenyum tipis, merasakan kepedulian dalam perkataan Sai. "Terima kasih, Sai. Aku tahu kau hanya ingin yang terbaik untukku."
Sai mengangguk dan melirik jam tangannya. "Aku harus kembali ke pekerjaan. Jangan sampai membuatnya terlalu lama menunggu, ya."
Sasuke mengangguk, berterima kasih atas perhatian dan kejujuran Sai. Setelah Sai pergi, Sasuke merenung tentang apa yang baru saja dikatakan adiknya. Dia merasa bahwa sudah saatnya ia menghadapi perasaan yang sedang berkembang dalam hatinya, dan berbicara terbuka dengan Ino tentang hal ini.
.
.
TBC
