Chapter 5


Jam sudah menunjukkan pukul 1.30 lewat tengah malam, Hanabi sudah tidur di kamarnya. Hinata dan Toneri sedang duduk bersampingan di ruang tengah. Hinata tertunduk, matanya terlihat sembab karena tadi ia menangis atas kejadian para debt collector yang akan membawa paksa Hanabi. Semuanya sudah berakhir.. ya, Hutang-hutang itu telah lunas. Toneri sudah membayar semua hutang beserta bunganya dan tentunya dengan surat perjanjian agar para penagih hutang tak akan pernah mendekati keluarga Hinata lagi. Kakuzu sempat datang dengan membawa surat perjanjian dan juga uang cash yang buru-buru Toneri minta, saat itu masih pukul 9 dan kakuzu yang masih bersantai bersama para anak buah Toneri di rumah dikejutkan dengan perintah tiba-tiba dari Toneri. Ia sempat tak mengerti mengapa bossnya ini memerintahkannya untuk membuat sebuah surat perjanjian dan mengambil uang dari brankas pribadinya dalam jumlah fantastis seperti itu. Jangan tanya bagaimana Kakuzu memiliki akses untuk mengambilnya, karena Toneri sendiri yang memerintahkannya untuk masuk ke dalam kamarnya yang saat itu tak di kunci dan membeberkan letak brankas beserta passwordnya. Kakuzu tentu kaget bukan main karena Toneri memberitahunya hal yang paling rahasia. ia juga terharu, betapa bossnya ini sungguh mempercayainya sebagai bawahan. Toneri berjanji akan menjelaskan padanya besok, dan meminta Kakuzu untuk merahasiakan hal ini dari sang ayah.

.

Hinata masih terdiam, tak berani menatap Toneri yang dari tadi terus memperhatikannya. Ia tadi menolak keras usulan dari Toneri karena biar bagaimanapun, hutang itu sungguh besar namun para pria bertampang preman tadi terus mendesak Hinata agar segera melunasi hutang-hutang itu kalau tak ingin rumahnya di sita dan adiknya juga dijadikan jaminan.

Hinata sempat bercekcok dengan Toneri sebelum akhirnya ia memutuskan untuk setuju akan usulan bossnya itu. Toneri tak mengatakan apapun tentang itu setelahnya. Toneri memang belum memikirkan apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Ia hanya merasa kasihan melihat Hinata dan adiknya berurusan dengan pria-pria penagih hutang itu. Setelah lama tak ada yang berbicara, Toneri akhirnya berdehem dan membuka suara.

"Hinata, sekarang kau dan adikmu tak perlu lagi memikirkan tentang hutang-hutang itu. Semua sudah berakhir." Ucapnya lembut.

Hinata terisak, ia bingung harus menjawab apa. Disatu sisi ia lega akhirnya para pria kejam itu tak akan mendekati keluarganya lagi, namun di sisi lain hutangnya berpindah pada Toneri. Gajinya selama 2 tahun juga belum tentu mampu melunasi Hutang itu.

"Terimakasih tuan, saya berjanji akan melunasi hutang saya dan akan bekerja dengan giat di perusahaan." Hinata akhirnya memberanikan diri untuk menatap Toneri. Pandangan mereka bertemu, Toneri tersenyum simpul dan mengatakan bahwa Hinata tak perlu memikirkan itu untuk saat ini.

"Kalau boleh aku tau, untuk apa kau berhutang sampai sebanyak itu?" Tanya Toneri berhati-hati. Hinata pun menceritakannya pada Toneri bahwa hutang itu bukanlah miliknya melainkan sepupunya yang sudah beberapa tahun ini mengurusnya dan juga adiknya. Hinata juga tak tau menahu tentang untuk apa uang itu digunakan sampai-sampai berhutang dengan rentenir yang jumlahnya sangatlah besar. Dan 2 tahun lalu, kakak sepupunya itu malah tiba-tiba menghilang dan tak lama para penagih hutang mulai berdatangan. Hinata terkejut bukan main saat ia diberitahu bahwa Neji sudah berhutang pada boss mereka. Karena Neji kabur, Hinatalah yang harus bertanggung jawab membayarnya. Selama dua tahun itu, ia bekerja apa saja untuk dapat menyicil Hutang tersebut. Padahal saat itu ia masih berkuliah, butuh biaya besar untuk dirinya, dan juga adiknya yang baru masuk SMA. Ia sangat berhemat demi membiayai kehidupan mereka dan tetap membayar hutang yang bukan miliknya.

Toneri sangat bersimpati mendengar penjelasan dari Hinata, ia memuji Hinata sebagai wanita yang kuat dan hebat untuk memikul semua beban kehidupan di pundaknya seorang diri.

.

.

.

Toneri berpamitan pada Hinata dan memintanya untuk segera beristirahat. Kalau perlu, besok tak usah masuk kerja saja, usulnya. Namun Hinata menggeleng, ia tak mungkin bolos kerja hanya karena masalah pribadinya. Lagian, ia baru bekerja disana sudah seenaknya ambil cuti.

Hinata mengantarkan Toneri sampai di depan rumahnya, tadi Toneri sudah meminta nomor ponsel Hinata. Ia pun menginjak gas dan melaju meninggalkan kediaman sederhana milik Hinata.

Hinata mengunci pintunya, ia belum sempat membersihkan diri sejak pulang dari kantor tadi. Ia pun memutuskan untuk membersihkan diri ala kadarnya sebelum tidur.

.

.

.

.

Pagi ini, Hinata yang tengah berada di mejanya terlihat murung. Tenten, salah satu senior yang banyak membantunya selama ini dari tadi memperhatikannya. "Hinata, kau baik-baik saja?" Tanyanya mendekati meja Hinata. Tak ada jawaban dari gadis itu, membuat Tenten menepuk pelan pundak gadis itu. Hinata terkesiap, ia menoleh dan melihat Tenten yang berdiri di sampingnya dengan Tatapan khawatir. "A-ada apa senpai?" Tanya Hinata terbata.

"Kau sakit? tak apa kalau kau ingin pulang, ayo akan ku temani untuk melapor pada pak Sasori. Kau dari tadi terlihat pucat dan tak bersemangat begitu." Ucap Tenten khawatir.

"Ah, tidak apa-apa, senpai. Aku baik-baik saja. Hanya kurang tidur saja." Jawab Hinata dengan tersenyum. Tenten yang sekali lagi memastikan bahwa Hinata baik-baik saja pun akan kembali ke mejanya sampai Sasori, ketua devisi mereka menghampiri mereka berdua. "Selamat pagi, pak." Sapa tenten seraya membungkuk hormat. Hinata pun begitu, ia bangkit dan membungkuk singkat pada atasannya ini.

"Selamat pagi Tenten , Hinata." Sasori membalas sapaan mereka.

"Hinata, kau dipanggil tuan Toneri ke ruangannya sekarang." Lanjutnya.

Tenten heran, ada perlu apa CEO mereka ini memanggil Hinata, seseorang yang bahkan baru 3 minggu bekerja di perusahaan ini. Apa ia melakukan kesalahan pada laporannya? Harusnya tak ada kesalahan apapun. Karena laporan-laporan tersebut akan mereka serahkan terlebih dahulu pada Sasori, sehingga kalaupun ada kesalahan, Sasori akan memberitahukannya pada mereka agar mereka dapat merevisinya. Dan menyerahkannya langsung ke Pimpinan adalah tugas Sasori sebagai kepala divisi.

"Maaf pak, ada apa ya?" Tenten yang bertanya pada Sasori, karena ia khawatir pada Hinata yang masih baru disana. Ia saja yang sudah bekerja lebih dari setahun disana belum pernah dipanggil oleh pimpinan mereka. Ia takut Hinata malah akan dipecat.

"Saya kurang tau, untuk lebih jelasnya, silakan kamu naik ke lantai 25, Hinata." Jawab Sasori.

Hinata hanya diam saja. Ia sudah menduga bahwa Toneri pasti akan memanggilnya untuk membicarakan perihal hutangnya.

"Baik pak, saya akan kesana sekarang. Saya pamit dulu pak, senpai, mari" Setelah membungkuk untuk berpamitan, Hinata segera menuju lift untuk naik ke lantai 25 dimana ruangan para petinggi perusahaan berada.

.

.

.

Dengan gugup, ia mengetuk ruangan kerja Toneri. Ia tadi sempat bertanya pada seorang OB yang kebetulan melintas di sekitar lantai 25 ini dimana letak ruangan CEO mereka.

Pintu perlahan terbuka, Kakuzu lah yang membukanya. Hinata ingat, pria tinggi berbadan kekar ini adalah anak buah Toneri yang membawa uang tadi malam.

"Masuklah nona, boss sudah menunggumu." Kakuzu mempersilakan Hinata masuk.

"T-terima kasih, pak." Hinata pun berjalan perlahan memasuki kantor Toneri.

Disana Toneri tak hanya sendirian, ada seorang pria sedang duduk di meja kerja di sudut kanan ruangan. Tampaknya ia adalah sekretaris Toneri. Hinata berjalan mendekati meja Toneri yang berada di tengah ruangan.

Setelah mempersilakannya duduk, Toneri menyuruh Kakuzu dan Zetsu, sekretarisnya yang baru untuk keluar.

Setelah mereka berdua keluar, barulah Toneri membuka obrolan.

"Jadi.. Apa rencanamu untuk membayarku kembali?" Tanyanya tanpa basa-basi.

Hinata meremas roknya sebelum ia menjawab. "Saya akan menyicilnya tuan, silakan memotong gaji saya setiap bulannya. Dan sayapun akan bekerja dengan lebih giat lagi. Bahkan saya rela bekerja lembur tanpa dibayar. Saya berjanji akan melunasinya meskipun memakan waktu yang lama." Hinata menjawab dengan mantap.

Toneri memperhatikan Hinata yang tampak tak ada keraguan sedikitpun di matanya.

Toneri menghembuskan napas pelan.

"Kau bersungguh-sungguh? Kau jadi tak bisa menabung kalau begitu." Balas Toneri yang masih menatap mata Hinata.

"Tidak apa-apa tuan, yang penting hutang itu harus segera lunas." Hinata menjawab tanpa ragu.

"Mmmm baiklah" Toneri tampak berpikir lalu ia melanjutkan, "Bagaimana kalau kau membayarnya dengan cara lain yang kujamin kau tetap akan mendapatkan gaji secara utuh dan adil."

"M-maksud tuan, apa?" Hinata membalas tatapan mata Toneri. Ia melihat ekspresi wajah Toneri yang susah ditebak.

Toneri bangkit dan berjalan mendekati Hinata. Lalu ia membungkuk dan membisikkan sesuatu di telinganya Hinata.

Hinata terkejut dan segera bangkit lalu menampar Toneri dengan sangat keras.

"Maksud tuan apa?? Maaf ya tuan! Saya bukanlah gadis seperti yang tuan pikirkan!" Marah Hinata.

Toneri mengusap pipinya yang terasa panas akan tamparan Hinata. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi. Lalu ia pun berkata dengan tenang.

"Aku bahkan akan memberikan tunjangan setiap bulannya, aku akan membiayai kehidupanmu dan juga adikmu itu. Kau bisa menyimpan gajimu untuk masa depanmu kelak. Aku akan menuruti segala keinginanmu. Membelikanmu semua barang-barang impianmu. Bagaimana?"

Hinata tampak sangat marah, pipinya memerah karena kesal. Tangannya terkepal kuat. Ia mendelikkan matanya pada Toneri sembari menjawab "Tuan pikir saya akan tertarik??"

"Aku tak memaksamu untuk menjawab sekarang, Jawablah nanti ketika kau sudah punya jawaban yang memang benar-benar kau pikirkan matang-matang. Pikirkanlah baik-baik tentang tawaranku itu. mungkin kau akan berubah pikiran nanti." Toneri kembali ke kursinya. Hinata berjalan menjauh dari Toneri dan berkata dengan keras. "Aku tak akan berubah pikiran!" Lalu membuka pintu ruangan dan membantingnya kasar.

Zetsu dan Kakuzu yang menunggu di luar ruangan pun terkejut oleh Hinata yang membanting pintu itu dengan keras.

"Apa yang terjadi?" Tanya Zetsu bingung.

"Aku tak tau. Mari kita masuk dan tanyakan pada boss" Kakuzu dan Zetsu masuk ke ruangan Toneri dan menutup pintu rapat-rapat.

.

.

.

.

Hinata kembali ke lantai 5, ia segera menuju ke meja kerjanya dengan wajah kesal yang sangat kentara.

Tenten yang mejanya ada tepat di samping meja Hinata pun terlihat khawatir dan bertanya apakah Hinata baik-baik saja.

"Aku baik, senpai." Bohong Hinata. Ia berusaha menetralkan ekspresinya agar terlihat tak terjadi apa-apa.

"Kau serius? Apa yang dikatakan tuan Toneri?" Tenten bertanya dengan wajah penasaran. Hinata tak langsung menjawabnya. Ia bingung akan mengatakan apa pada seniornya ini.

"Ayolah, ceritakan padaku Hinata. Apa kau dimarahi boss?" Tenten masih bertanya meskipun Hinata hanya diam.

Saat Hinata hendak membuka mulut, Sasori datang dan menegur Tenten yang malah asyik mengobrol dengan Hinata, Bukannya segera mengerjakan laporan.

Tenten dengan berat hati kembali ke meja kerjanya, ia masih melirik Hinata sekilas di sana.

Hinata menghembuskan napas lega karena terhindar dari pertanyaan Tenten. Jujur ia belum punya alasan untuk menjawab rasa penasaran Tenten.

Sasori lanjut berjalan dan mengawasi para bawahannya sebelum ia kembali ke dalam ruangannya.

.

.

.

.

.

.

"Tuan, apa yang terjadi?" Tanya Zetsu begitu ia memasuki ruangan.

"Jangan bertanya atau gajimu akan kupotong." Jawab Toneri dengan nada kesal.

Kakuzu hanya diam. Ia tak mau salah bicara dan malah menyebabkan gajinya dipotong. Ancaman Toneri selalu sama, kalau ia merasa terusik oleh para bawahannya, ia akan mengatakan bahwa gaji mereka akan mendapat potongan.

Toneri sedang menerawang jauh di dekat jendela kaca besar yang menunjukkan pemandangan gedung-gedung pencakar langit lainnya di luar sana.

Kakuzu duduk di sofa dan memainkan ponselnya. Ia tak sedang ada kerjaan saat ini, makanya ia memutuskan untuk menunggu Toneri hingga pulang.

Zetsu kembali ke mejanya dan melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda tadi. Ia langsung diam seribu bahasa setelah Toneri mengatakan akan memotong gajinya kalau ia bertanya lagi. memang baru hari ini menggantikan posisi Temari. Namun ia sudah lama bekerja di perusahaan ini, dan ia sering menjadi sektretaris pengganti bagi Toneri. Selama Hamura masih menjabat sebagai pimpinan, Zetsulah yang menjadi sekretarisnya. Namun setelah Toneri menggantikan posisi ayahnya, ia dipindahkan menjadi kepala divisi pemasaran, namun ia banyak membantu Toneri dan juga sering bertugas menjadi sekretaris sementara baginya.

Toneri mendengus kesal dan berjalan kembali menuju mejanya. Ia yakin Hinata akan berubah pikiran. Siapa yang mau menolak uang, pikirnya. Ia pun menyeringai dan duduk di kursi kebesarannya.

.

.

.

.

Toneri sedang berada di jalan saat Pain, temannya menelepon.

"Ya, Pain? ada apa?"

'...'

"Ah, maaf Pain. Hari ini aku sedang lelah. Skip saja lah untuk malam ini. Aku janji lain kali akan ikut bergabung."

'...'

"Aku benar-benar sangat lelah, biasanya aku selalu ikut kan." Toneri memijit pelipisnya

'...'

"Baik, baiklah.. okay selamat bersenang-senang" Toneri tertawa kecil sebelum memutuskan panggilan.

Kakuzu mengintipnya sekilas dari kaca kecil diatas kemudi lalu kembali fokus menyetir. Ia tau, Toneri pasti sedang tidak berselera untuk berpesta bersama teman-temannya. Biasanya, ia tak pernah absen berpesta dengan para sahabatnya itu. Namun hari ini Toneri seperti benar-benar tak berselera. Pasti ada hubungannya dengan karyawan wanita yang bernama Hinata itu.

'Ada hubungan apa ya, antara gadis itu dan boss Toneri. Sampai-sampai ia rela mengeluarkan uang yang sangat banyak untuk melunasi seluruh hutang gadis itu.' Kakuzu membatin.

Toneri duduk bersandar di kursi belakang. Ia tampak menerawang jauh ke arah jalanan, sepertinya ia sedang berada di mood yang jelek hari ini. Selain karena penolakan Hinata ia juga tadi habis disemprot oleh ayahnya perihal sesuatu yang menyangkut pekerjaan. Ia benar-benar lelah dan ingin segera pulang sekarang..

.

.

.

.

Sudah dua minggu sejak kejadian Hinata menampar Toneri di ruangannya. Ia juga telah menerima gaji pertamanya. Sesaat setelah menerima gaji, ia menghubungi Toneri dan meminta nomor rekeningnya agar ia dapat menransfer uang yang ia janjikan untuk menyicilnya tiap bulan. Memang tak banyak, namun Hinata bersungguh-sungguh ingin membayar hutang itu. Toneri pun mengalah, ia menerima uang dari Hinata namun masih berharap bahwa Hinata akan menerima tawarannya.

.

.

.

Toneri benar-benar merasa tertarik pada Hinata yang memiliki wajah cantik, kulit mulus, bibir seksi yang selalu ingin ia lahap... beserta tubuh sintal yang dapat menaikkan hasrat seksualnya hanya dengan menatapnya saja. Apalagi ia memiliki ukuran buah dada yang cukup besar dan pantat yang montok. Ingin sekali Toneri menampar pantat Hinata dan juga meremasnya. Ia seringkali berimajinasi Hinata yang mendesahkan namanya dan ia yang sedang menyodok kasar lubang kenikmatannya...

.

.

"Ahhh Hinata! Aahhhh mmmmhh"

Toneri sedang mengocok juniornya di kamar mandi pribadinya, rupanya ia mengkhayalkan Hinata saat ia menyentuh dirinya sendiri saat ini.

"Ahhh sshhh aaahhhh" Ia semakin mengocok batangnya dengan cepat dan mendesah tak karuan, sampai akhirnya batangnya memuncratkan cairan putih kental hingga menempel ke dinding.

Ia membersihkan sisa-sisa cairannya yang bermuncratan kemana-mana dan segera mandi.

Hari ini adalah hari minggu, Toneri yang sedang bermalas-malasan di rumah pun paling hanya sesekali keluar kamar untuk makan atau sekedar mengawasi para anak buahnya. Sisanya, ia paling akan menonton film biru kesukaannya... ups

'ting'

Sebuah pesan masuk ke ponsel Toneri. Toneri yang sedang duduk santai di balkon kamar segera meraih ponsel yang sebelumnya ia letakkan di meja. Ia membaca pesan itu dan tersenyum tipis lalu setelah mengetikkan balasan, ia segera masuk ke kamar dan menuju lemari besarnya untuk memilih pakaian yang akan ia gunakan untuk keluar.

Tadi adalah pesan dari Kakashi, ia mengajak Toneri untuk berkumpul bersama dengan teman-temannya yang lain untuk bereuni. Hidan dan Shikamaru, teman semasa kuliahnya dulu yang selama ini berada di luar negeri kini pulang ke negara tercinta mereka ini. Maka reuni dadakan pun diadakan untuk menyambut dua orang yang sudah lama dinantikan oleh dirinya teman-temannya itu.

Setelah memakai setelan jas berwarna hitam, tak lupa pula ia menyemprotkan parfum mahal secukupnya, karena sekali semprot pun harumnya sudah akan menempel seharian. Toneri tak mau diejek sebagai toko parfum berjalan oleh teman-temannya kalau ia berlebihan menyemprotkannya. Setelahnya, ia mengecek penampilannya di cermin hias yang lumayan besar di samping ranjangnya. Ia merapikan rambutnya dan tersenyum sambil mengacungkan jempol memperhatikan bayangan dirinya di cermin. "Aku memanglah sangat tampan haha" Ucap Toneri sambil menepuk-nepuk dadanya bangga.

.

.

.

"Mau kemana boss? ganteng banget, wangi lagi" Kisame, salah satu anak buah Toneri bertanya saat Toneri berjalan menuju garasi rumahnya.

Toneri tersenyum bangga dan tertawa kecil. "Bisa saja kau, muka ikan! Nih uang untukmu!" Toneri mengambil beberapa lembar uang dari dompetnya dan memberikannya pada Kisame.

"Wah boss baik banget! Terimakasih boss! Mau diantar gak boss?" Ucap Kisame senang setelah menerima uang dari Toneri.

"Tak perlu, aku akan pergi ke acara reuni. Sebaiknya kau tak muncul di sana, teman-temanku bisa takut melihat rupamu." Balas Toneri seraya menutup pintu mobilnya. Kisame hanya tertawa mendengar itu. Ia segera membukakan gerbang untuk Toneri yang telah melajukan mobilnya menuju luar rumah.

.

.

.

.

Hinata sedang beres-beres rumah bersama adiknya, Hanabi. Karena ini hari minggu, mereka berdua sama-sama tak memiliki kegiatan, makanya mereka berdua memutuskan untuk berberes dan membuat kue untuk camilan sehari-hari. Lebih hemat daripada membeli jajanan di minimarket.

"Kak, Tuan Toneri itu baik banget ya, mau bantuin kita membayar hutang kak Neji.. Kalau gak ada dia, Hanabi pasti sudah dibawa oleh mereka... dan lagi, rumah kita ini pasti sudah disita oleh mereka.." Celetuk Hanabi di tengah-tengah kegiatan mereka melipat pakaian.

Hinata yang mendengarnya hanya tersenyum dan mengangguk. Ia tak mungkin memberitahu Hanabi bahwa Toneri menginginkannya untuk menjadi budak seksnya. Memikirkan itu, Hinata jadi melamun dan berhenti melipat.

"Kak, ada apa?" Hanabi menyadari perubahan sikap Hinata. Hinata hanya menggeleng dan mengatakan bahwa ia baik-baik saja, hanya sedikit lelah karena seharian ini beres-beres rumah dan melakukan hal lainnya. Hanabi hanya ber-oh ria menanggapi alasan Hinata.

.

"Kak, aku kangen kak Neji..." Hanabi berkata dengan pelan. Hinata langsung melotot kearah Hanabi dan menjawab, "Untuk apa kau merindukan bajingan itu, sayang? ingatlah dia yang telah membuat kita kesulitan selama dua tahun ini dengan meninggalkan hutang-hutangnya."

"Maaf kak, aku hanya... Biar bagaimanapun, kak Neji lah yang telah mengurus kita sejak orang tua kita tiada... Mungkin ada alasan mengapa kak Neji meminjam uang dan kabur.." Hanabi menerawang , pandangannya sayu. Ia terlihat sedih..

Hinata yang melihat adiknya bersedih langsung memeluknya .

"Hanabi... kakak mengerti bahwa kau merasa kehilangan kak Neji.. Kakak sebenarnya juga masih mengharapkan kak Neji kembali.. Tapi sepertinya ia sudah tak mau menganggap kita lagi.." Air mata secara tak sadar menetes dari keduanya. Mereka menangis, sama-sama meratapi nasib mereka yang harus ditinggal selamanya oleh orangtua dan harus kehilangan kakak sepupu mereka yang dulu sangat baik pada mereka.. meskipun ada rasa benci pada kakak sepupu mereka itu, namun bagaimanapun, Ia banyak berjasa di kehidupan mereka.. Neji dulu yang membiayai hidup dan sekolah mereka. Meskipun mereka punya harta warisan , Namun itu tidaklah cukup untuk menopang hidup mereka. Disanalah Neji yang rela bekerja apa saja demi menghidupi mereka bertiga. Neji juga telah kehilangan orangtuanya sejak ia lahir. Dan orangtua Hinata yang merawatnya hingga ia cukup besar. Maka dari itu ia merasa harus membalas jasa orangtua Hinata dengan membantu kehidupan mereka. Sampai suatu hari tiba-tiba Neji meninggalkan rumah selama berhari-hari tanpa kabar sama sekali. Dan tak lama setelahnya para penagih hutang berdatangan dan mulai mengancam Hinata dan adiknya untuk segera membayar Hutang tersebut. Disanalah hidup Hinata yang pas-pasan menjadi lebih susah karena harus membagi uang gaji part time nya untuk biaya mereka sendiri dan menyicil hutang. Namun ia berhasil lulus kuliah dengan nilai yang cukup memuaskan, dan ia berhasil memasukkan Hanabi ke SMA yang cukup terkenal akan pendidikan yang baik meskipun biayanya sedikit mahal, namun selama Hanabi belajar dengan giat, Hinata tak merasa keberatan sama sekali..

.

Tak lama setelah ia lulus kuliah, ia mencoba untuk melamar kebeberapa perusahaan. Semuanya gagal... Harapan satu-satunya saat itu adalah Ōtsutsuki corp, dan memanglah ia sedang beruntung. Ia lulus interview dan berakhir diterima untuk bekerja disana. Ia sangat gembira karena pada akhirnya ia akan memiliki pendapatan yang lumayan dan tetap. Maka ia akan dapat lebih mudah menyicil hutang tanpa takut akan menunggak seperti sebelum-sebelumnya. Tapi...malah kejadian tak terduga telah terjadi. Mau tak mau, ia harus menyetujui usulan Toneri untuk membantunya melunasi hutangnya. Hutang tetaplah hutang, Hinata hanya beruntung karena hutangnya berpindah tangan, Toneri bukanlah tipe orang yang menagih dengan kejam. Namun ia tetap khawatir karena Toneri ternyata diam-diam menginginkannya untuk menjadi pelepasan hasrat seksualnya... Tentu saja Hinata menolak. Ia tak mau melakukan hal itu karena ia memegang teguh tak boleh melakukan seks dengan orang yang tak dicintainya apalagi diluar nikah..

.

Hanabi melepas pelukannya pada Hinata. Ia tersenyum dan tertawa kecil melihat Hinata yang sedang menghapus air matanya. Mereka berdua tertawa bersama-sama.

"Kak, mari kita berjanji untuk selalu bahagia bersama-sama" Hanabi tersenyum sambil menggenggam kedua tangan Hinata. Hinata mengangguk dan tersenyum lembut menatap kedua iris bulan di depannya ini. Warna mata yang sama dengan dirinya. Ia berjanji dalam hatinya akan selalu menjaga dan melindungi adiknya dari apapun. Hanabilah satu-satu harta yang paling berharga baginya. Hanya ia Keluarga yang saat ini Hinata punya. Hinata berjanji tak akan membiarkan adiknya kesulitan dan bersedih...

.

.

.

Bersambung...