Title : Stockholm Syndrome
Genre : Friendship, action, roman
Rating : T
Words : 4k+
"Bagaimana? Semua beres?" tanya seorang gadis berbisik pada rekannya yang baru saja masuk ke mobil.
Rekannya memberikan tanda ok dengan jarinya dan kemudian membuka topeng yang sedari tadi menutupi wajahnya. Ia tampak kepanasan. "Malam ini lagi-lagi berjalan lancar!" ucapnya juga berbisik sambil tersenyum lebar, walau tidak terlihat karena kondisi yang gelap.
Gadis itu kemudian segera melajukan mobilnya menjauh dari rumah mewah yang baru saja mereka singgahi. Mungkin mereka memang terkesan tidak sopan karena singgah tanpa izin dan pergi tanpa permisi. Tapi memang begitulah mereka.
"Bukankah ini luar biasa, Ginny?" tanya pemuda bernetra emerald itu sambil memainkan sebuah pistol di tangannya. Merasa sedih karena benda kesayangannya itu tidak sempat beraksi.
"Sangat," balas gadis bernama Ginny tersebut, "rumahnya besar, tapi mudah sekali dijajah. Apa kau berencana mengunjungi keluarga kaya itu lagi, Harry?"
Pemuda yang dipanggil Harry itu hanya angkat bahu. "Entahlah, karena kita berurusan dengan Malfoy,"
Ginny mengangguk mengerti. "Lalu, kau tidak khawatir?" tanya Ginny dengan perhatian tertuju pada jalan.
"Tenang saja," balas Harry, "kita hanya mencuri beberapa brangkas uang, itu tidak masalah," Harry berucap santai.
Ginny hanya tersenyum simpul. Masih bingung, bagaimana mungkin dengan wajah polos dan menggemaskannya, Harry menyimpan beribu catatan kriminal.
Contohnya saja seminggu yang lalu, Harry, Ginny dan teman-teman mereka yang lain dengan mudahnya merampok bank terbesar di London. Dan setelah itu, mereka langsung membuat kekacauan lagi dengan membobol brankas salah seorang petinggi Inggris Raya.
Dan hebatnya lagi, tidak pernah sekali pun mereka tertangkap.
Setelah perjalanan yang cukup lama, Ginny memberhentikan mobilnya di depan sebuah gedung yang terlihat mulai rusak di setiap sisinya. Sepertinya bekas sebuah pub.
Harry segera turun dari mobil dan langsung menuju ke belakang untuk mengambil hasil pancingan mereka malam ini. "Baiklah, ayo ke rumah baru kalian," ucapnya bersenandung sambil membuka pintu, namun yang ia dapatkan bukan hanya harta-harta barunya, tapi juga seorang pemuda dengan rambut platina yang menatapnya bingung.
Harry terdiam sesaat, dan ia berteriak setelahnya. "Hell! Apa yang kau lakukan di mobilku!" teriaknya.
"Harry?" Ginny yang baru saja ingin masuk ke markas mereka langsung berlari menuju ke arah Harry. Dan ia sama terkejutnya dengan Harry.
"Siapa kau?" Ginny ikut panik, dan ia kemudian membantu Harry menyeret pemuda itu keluar dari mobil.
Harry dan Ginny membawanya masuk ke markas mereka dan segera mendorong pemuda berambut pirang itu hingga ia terduduk di lantai. "Aw, kasar sekali," keluhnya.
"Kalian ngapain sih, malam-malam masih ribut?" seorang pemuda berambut merah keluar dari salah satu kamar dengan wajah jengkel. Ia bingung saat mendapati wajah baru di markas mereka. "Siapa anak ini?" tanyanya.
Harry hanya angkat bahu. "Aku tidak tau, Ron. Ginny, bawa barang-barang itu masuk, aku akan mengurus bocah ini," perintah Harry yang langsung dilaksanakan Ginny.
"So, bisa jelaskan sekarang? Sudah lama kau tidak menculik orang, Harry," Ron buka suara.
"Bukan aku yang membawanya kemari," Harry memutar mata malas dan kemudian beralih menatap pemuda di depannya. "Sebaiknya kau jelaskan kenapa kau bisa ada di sini, nak,"
"Tch!" bukannya menjawab, pemuda itu malah memalingkan wajahnya kesal.
Harry jadi ikut kesal. "Kau tidak mau aku memaksamu menjawab, kan?" Harry berjongkok untuk menatap pemuda bermanik silver itu.
Tapi yang Harry dapatkan hanyalah wajah angkuh dan arogan tanpa mau buka suara. Harry mendengus. "Apa ini? Bukankah kau anak tunggal keluarga Malfoy? Sang Tuan muda Draco Malfoy,"
"Ya! Kau ada masalah dengan itu?" akhirnya pemuda itu menjawab. Walau jelas Harry tidak suka dengan bentakannya.
"Lalu bagaimana kau bisa masuk ke mobil kami?" tanya Harry berusaha tetap tenang saat sepasang manik silver itu tidak berhenti menatapnya tajam.
"Up to me," balasnya dingin.
Ron mendengus. "Kami sudah pernah menculik bocah enam tahun sebelumnya, tapi kau lebih menjengkelkan,"
Malfoy itu hanya mencibir mendengar perkataan Ron. Sebenarnya ia mau saja berdiri dan melawan Ron, tapi sepertinya pemuda bermanik emerald di depannya tidak akan membiarkannya beranjak.
"Berapa umurmu?" tanya Harry.
"Apa itu penting bagimu?" balas Draco balik bertanya. Namun ia segera diam saat melihat tatapan tajam Harry. "Tch, tujuh belas tahun,"
"Dan, sekarang beritahu kenapa kau bisa ada di dalam mobil kami," Harry menekankan setiap perkataannya.
Draco menghela napasnya. "Aku hanya ingin pergi dari rumah," jawabnya, "aku pikir kalian itu para pekerja kebun yang pulang malam, jadi aku ingin menyelinap ke luar dengan kalian. Tapi ternyata hanya sekumpulan sampah,"
"Bastard!" Ron hampir melayangkan pukulannya pada Draco, namun Harry segera menahannya.
Harry menatap lekat-lekat pada Draco yang sama menatapnya tajam. "Lalu apa yang kau mau sekarang? Mencoba kabur dan mengadu pada Papa sambil merengek?"
"Terserah mau apa!" Draco akhirnya membuang tatapan tajamnya. "Aku yakin mereka tidak akan peduli. Palingan mereka akan berpikir jika anak mereka hanya cari perhatian,"
Harry menghela napas mendengar ocehan Draco. "Dasar, anak orang kaya," Harry beranjak pergi menuju kamarnya. "Ron, bawa anak itu ke ruang mana pun. Pastikan dia tidak keluar atau pun membuat masalah. Aku mau tidur," dan setelah memberikan perintahnya, Harry segera menutup pintu.
.
"Hell! Aku menyerah!"
Cedric yang baru saja menyeduh kopinya terkejut ketika Ginny berteriak sambil keluar dari salah satu ruangan. Ia ingat jika itu adalah ruang sang Tuan Muda Malfoy mereka sekap. Well, Cedric tidak yakin jika mereka yang menyekap anak itu.
"Apa lagi?" tanya Cedric pada Ginny yang menjatuhkan wajahnya ke meja.
"Dia merepotkan," nada suara Ginny terdengar lelah. Ia mengangkat kepalanya dari meja dan dengan seenaknya mengambil kopi Cedric, pemuda itu memandangnya jengkel. "Mulutnya benar-benar tidak tau sopan santun,"
Cedric mendengus. "Memangnya apa yang bisa kau harapkan dari seorang anak manja?"
"Apa yang kalian ributkan pagi-pagi?" tiba-tiba sebuah suara mengalihkan perhatian mereka.
"Bukan apa-apa," balas Ginny pada Harry yang sepertinya baru bangun. "Apa tidurmu tidak terganggu dengan ocehan anak itu?"
Harry menggeleng. "Kau tau sendiri jika tidurku selalu nyenyak," balasnya.
"Lalu apa yang akan kita lakukan padanya?" tanya Cedric saat Harry sudah duduk di kursi.
"Well, kita ambil kesempatan ini untuk mendapatkan penghasilan tambahan," ucap Harry membuat Cedric dan Ginny bingung.
"Maksudmu uang tembusan?" tanya Cedric.
"Hm, tapi sedikit berbeda," jawab Harry menjelaskan, "kita tidak akan segera mengembalikan bocah itu pada keluarganya. Keluarga Malfoy itu sangat kaya, kita pakai kesempatan ini untuk mengambil setengah harta mereka. Biarkan mereka menyerahkan uangnya setiap hari dan biarkan mereka menemukan tempat ini dengan sendirinya,"
"Kau ingin kita tertangkap?" Ginny cukup terkejut.
Harry memutar matanya. "Bodoh jika aku melakukan hal itu," balasnya, "kita kabur sebelum mereka sempat mendekat,"
"Kau yakin ingin berurusan dengan seorang Malfoy?" giliran Cedric yang bertanya.
Harry terkekeh pelan. "Aku tau seberapa berbahayanya keluarga Malfoy. Tapi, coba hitung berapa kali kita berada dalam situasi yang sama buruknya dengan ini. Dan tidak ada satu pun dari rekan kita yang bisa disentuh oleh anjing-anjing pemerintah itu,"
"Sekarang, kita beritahu keluarga kaya itu?" tanya Ginny.
"Fred dan George masih ada di luar sana, kan?" tanya Harry. Ginny mengangguk. "Bagus, suruh mereka memberikan surat kepada keluarga Malfoy. Surat ancaman penuh candaan mereka adalah favoritku,"
"Baiklah," dan Ginny kemudian mengambil ponselnya, segera berbincang dengan kedua saudaranya di seberang telepon.
"Oi! Kalian tidak mungkin membiarkan aku mati kelaparan, kan?" tiba-tiba sebuah suara memenuhi seisi gedung. Dan itu sukses membuat semua orang di sana jengkel.
"Kau tidak memberinya makan?" tanya Harry pada Ginny yang sudah menyelasaikan panggilannya.
Ginny mendengus jengkel. "Dia banyak permintaan, aku tidak sanggup mengurusnya,"
Harry menghela napas. Ia kemudian berdiri dan masuk ke ruangan di mana mereka mengurung Draco.
Draco awalnya terkejut melihat Harry masuk dengan wajah yang tampak menyeramkan, namun kemudian ia menampilkan seringainya. "Pelayan, bawakan makananku, aku sudah lapar,"
Harry memutar mata malas. "Aku bukan pelayanmu,"
Draco terlihat tidak peduli. "Kalau begitu lepaskan tali ini, aku akan mencari makanan sendiri," katanya sambil memperlihatkan tangannya yang terikat pada Harry. "Hoi, kau dengar tidak?"
Harry hanya diam menatap pemuda Malfoy di depannya. Ia kembali melangkah dan kemudian berjongkok di depan Draco. "Dengar ya, aku lebih tua darimu, jadi jaga sikapmu, Tuan Muda,"
"Lebih tua?" Draco mengernyitkan dahinya dan kemudian tertawa. "Aku pikir kau hanya remaja puber,"
Perkataan Draco barusan sukses membuat emosi Harry naik. Ia tau jika tinggi badannya sangat tidak pas untuk usianya, tapi ia paling tidak suka mendengar perkataan itu dari seorang bocah.
"Aku 26 tahun, hukum berlaku padaku, jadi sayang aku tidak bisa membunuhmu. Tapi aku tidak terlalu peduli, karena aku sendiri selalu melanggar hukum," Harry menatap Draco tajam.
"26 tahun?" Draco tertawa. "Kau yakin tidak 16 tahun?"
Harry menahan emosinya. Dibully oleh yang lebih muda, itu sangat menyebalkan.
Draco menyeringai, menatap lekat-lekat wajah Harry di depannya. Sama sekali tidak peduli dengan tatapan tajam Harry.
Draco tiba-tiba tertawa, membuat yang ditatap jadi bingung.
"Kau kenapa?"
Draco menggeleng masih tertawa. "Bukan apa-apa, aku merasa lucu dengan pemikiranku sendiri,"
Perkataan Draco barusan hanya membuat Harry makin bingung. "Apa yang kau pikirkan?"
"Well," Draco makin menatap lekat pada kedua manik emerald yang berada di balik kacamata Harry, "ternyata kau manis juga ya,"
Dan satu tendangan meluncur mulus hingga membuat Draco berciuman dengan lantai. Harry langsung melangkah pergi keluar dari sana tanpa menoleh ke belakang.
Draco yang awalnya merintih kemudian menyeringai, tidak bisa berhenti tertawa mengingat wajah terkejut Harry yang mendengar jawabannya.
"So cute!"
.
"Harry, satu koper datang lagi~" Fred yang baru saja keluar dari mobil langsung melemparkan koper di tangannya pada Harry.
Harry yang menangkapnya langsung tersenyum puas. "Mereka masih belum menemukan jejak kita?" tanya Harry pada si kembar yang kini sudah berdiri di depannya.
Fred dan George mengangguk kompak.
"Tapi dia benar-benar kesal, saat aku dan Fred ingin mengambil kopernya, kami hampir saja tertembak," jelas George.
"Ah, jadi dia lebih suka kekerasan dari pada berpikir ya," Harry membuka koper di tangannya dan kembali tersenyum melihat lembaran uang di dalamnya.
"Um, Harry," panggil George membuat Harry menoleh, "kenapa kita harus menahan bocah itu bersama kita? Ini sudah hampir seminggu, lho,"
Fred mengangguk setuju. "Dan itu membuat sang Malfoy senior murka. Kau harus lihat betapa kesalnya dia melihat kami lagi-lagi berhasil kabur!"
Harry tertawa kecil. "Bukankah ini bagus? Kita bisa mendapatkan uangnya setiap hari,"
"Memang sih," balas Fred dan George bersamaan lagi.
"Harry!"
Harry dan si kembar terkejut mendengar teriakan Ron dari dalam markas mereka. Dan baru saja mereka bertiga ingin masuk, Ron sudah keluar duluan.
Harry menatap bingung sahabatnya yang kini tampak begitu kesal. Bahkan Ron tidak pernah terlihat sekesal ini saat dijahili oleh Seamus dan Dean.
"Ada apa?" tanya Harry saat Ron duduk di depannya.
"Bocah itu menyebalkan!"
Harry memutar mata malas. 'Oh no, jangan lagi,'
"Harry, untuk pertamakalinya aku menyarankan untuk memulangkan seorang sandera," nada bicara Ron terdengar sangat frustrasi.
Harry hanya menghela napas berat. Ia tau betapa kesalnya Ron sekarang.
"Apa lagi yang dimintanya?" tanya Harry.
"Kau," jawab Ron singkat membuat Harry bingung.
"Sorry?" Harry memastikan.
"YOU!" teriak Ron. "Dia bilang tidak akan berhenti mengoceh sebelum kau mau menemuinya,"
Harry mendesah frustrasi. Sejak Draco mengatakannya manis, Harry tidak mau lagi mengurusi Draco, dan sejak itu pula, Draco makin membuat ulah.
Harry berdiri dari tempat duduknya sambil menghentakkan kaki. Segera berjalan menuju ruangan di mana sang Tuan Muda Malfoy berada.
Harry membuka pintu dengan kasar membuat Draco sedikit kaget. Harry menatap tajam Draco yang hanya menatapnya innocent. Oh, Harry sungguh membencinya.
"Akhirnya datang juga," sambut Draco dengan seringainya. "Tidak mau duduk?" tanya Draco ramah pada Harry yang masih berdiri menatapnya. Sama sekali tidak peduli dengan death glare Harry.
"Kenapa sih kau harus menjadi orang yang menyebalkan?" tanya Harry dengan wajah yang sudah lelah.
"Kau tidak suka?"
"Tentu!"
Draco berpikir sejenak. "Jadi kalau aku berhenti menjadi menyebalkan, kau akan menyukaiku?" tanyanya bercanda.
Harry memutar mata malas dan kemudian memilih untuk duduk di atas meja.
Draco menyeringai makin lebar. "Yeah, aku tau kau sudah pasti tidak akan menyukaiku. Tapi aku janji akan membuatmu jatuh cinta padaku,"
Beberapa kalimat penuh umpatan meluncur mulus dari mulut Harry. Namun Malfoy junior itu malah tertawa mendengarnya membuat pemuda berkacamata itu makin jengkel.
"Kau tau, aku selalu menepati janjiku, jadi mohon tunggu dengan sabar," kata Draco, lagi-lagi menampilkan seringainya.
Kedua tangan Harry benar-benar sudah gatal ingin melayangkan pukulannya pada wajah -tampan- menyebalkan Draco. Tapi ia memilih untuk menahan diri.
Draco terkekeh. "Wajahmu saat marah terlihat makin menggemaskan, aku jadi benar-benar tidak ingin pulang,"
Sekarang giliran kaki Harry yang ingin menendangnya. "Kau yakin tidak ingin kembali?" tanya Harry berbasa-basi.
"Ya,"
"Tapi Ayahmu sangat khawatir. Ia bahkan hampir membunuh salah satu dari kami agar bisa mendapatkanmu kembali," jelas Harry tanpa menoleh pada Draco.
"Itu untuk sekarang, belum tentu dia akan sama khawatirnya setelah badai ini," balas Draco terdengar tidak peduli.
Harry menatap Draco sekilas dari sudut matanya. Ia paling benci ini, orang kaya yang selalu mengeluh.
"Apa yang akan kau lakukan jika orang tuamu tidak mau mengambilmu kembali?" tanya Harry terdengar serius sambil menatap pada Draco.
"Apa ya? Mungkin aku akan mengikutimu?"
"Bagaimana jika kami tidak menerimamu?"
"Aku akan memaksa,"
Jawaban santai Draco membuat Harry diam sesaat. Ia masih terus saja menatap manik silver yang sama sekali tidak membalas tatapannya. Dan kemudian kembali buka suara. "Kalau aku jadi kau, aku akan kembali pulang. Biarlah mereka tidak peduli, tapi aku akan tetap kembali,"
Perkataan Harry barusan membuat Draco menoleh padanya. Pemuda berambut platina itu menatap Harry bingung. "Maksudmu? Kau ingin berlagak bijak?"
"Tidak," jawab Harry segera, "aku hanya memberi saran,"
"Saranmu tidak berguna," potong Draco segera, "aku lebih suka di luar sini dari pada tempat membosankan itu. Untuk apa aku pulang jika pada akhirnya mereka tidak peduli apa pun yang terjadi pada anaknya? Hah, aku sial sekali, akan lebih bagus jika mereka bukan orang tuaku,"
"Berhentilah mengeluh!" teriak Harry tepat sebelum Draco bicara lagi. Manik emeraldnya tampak lebih terang dari sebelumnya.
"Damn!" Harry beranjak dari tempatnya dan berjongkok untuk menatap lurus pada Draco, ia kembali buka suara. "Kau hanya bisa mengeluh ya? Apa yang membuatmu berani mengatakan hal seperti itu? Jika mereka mau, mereka sudah membuangmu dari dulu. Tapi mereka masih saja menampung bocah menyebalkan sepertimu hingga bertahun-tahun, dan mereka tidak pernah mengeluh. Dan kalau mereka memang tidak peduli padamu, mereka mungkin sudah menyerah mencarimu setelah dua hari. Tapi Ayahmu, dengan segala kekuasaannya meminta pada anjing-anjing pemerintah itu untuk menemukanmu!" Harry kembali berdiri.
Harry masih menatap Draco yang sekarang hanya bungkam. Draco tidak tau harus membalas apa.
"Berhenti bilang jika kau tidak menginginkan mereka, berhenti berharap mereka menghilang dari kehidupanmu," Harry kembali bersuara, "bisa saja keinginanmu terkabul dan mereka hilang dari kehidupanmu. Dan saat itulah kau baru sadar jika apa yang kau minta itu salah. Kau menyesal, tapi kau tidak bisa melakukan apa-apa. Karena kau yang meminta mereka untuk pergi,"
Draco menundukkan kepalanya. "Kenapa kau–"
"Karena aku menyesali perkataanku," potong Harry sebelum Draco menyelesaikan kalimatnya. Seolah tau apa yang akan ditanyakan oleh Draco.
Draco mengangkat kepalanya. Wajahnya seolah bertanya maksud perkataan Harry.
Harry hanya menghela napas dan kemudian kembali duduk di tempatnya semula. "Aku hanya ingin bebas, tanpa ada orang lain yang mengatur kehidupanku. Dan permintaanku terkabul," nada bicara Harry terdengar berbeda dari sebelumnya, terdengar lemah. "Mereka pergi, dan tidak berguna jika aku terus menunggu mereka. Kau tau kenapa aku mengumpulkan orang-orang ini?" tanya Harry, "mereka sama sepertiku, orang-orang yang kehilangan rumah mereka. Bukan hanya sekedar tempat tinggal, tapi rumah,"
"Aku tau ini konyol karena kami lebih memilih untuk menjadi sampah. Tapi ini pilihan kami, dan kami tidak akan pernah menyesalinya. Hanya ada satu hal yang kami sesali, dan itu hanyalah sebuah permintaan konyol yang menjadi kenyataan," Harry kemudian berdiri dan segera meninggalkan ruangan itu tanpa mau lagi menanggapi teriakan Draco dari belakang.
Draco yang sebenarnya masih kebingungan menatap pintu yang sudah tertutup itu. "Hah, seperti film saja," monolognya.
Draco mengangkat kepalanya menatap langit-langit dan diam untuk waktu yang lama. Merasa lelah, ia menjatuhkan tubuhnya, berbaring di lantai. Sesekali mencoba melonggarkan ikatan pada tangan dan kakinya, tapi tentu hal itu sia-sia
"Jujur saja, aku tidak suka berada di tempat ini," ucapnya entah pada siapa, "dan aku tau jika mereka mengkhawatirkanku. Aku hanya ingin mereka memperhatikanku seperti anak mereka lagi, tanpa ada kata pekerjaan dan sibuk mengganggu waktu keluarga kami. Hanya itu,"
Draco menghela napasnya. Ia kembali terpikirkan dengan perkataan Harry padanya. Alasan mengapa mereka bisa ada di sini, alasan mengapa mereka melakukan hal ini, dan alasan mengapa Harry begitu membencinya.
"Aku tau apa yang kau rasakan, bodoh," ia mendengus.
Draco dengan kedua tangannya yang diikat merasa kesulitan saat mencoba untuk duduk kembali. Dan setelah berhasil duduk, Draco tertawa pelan. "Kau hanya membuatku makin tertarik padamu, dan aku akan menepati janjiku membuatmu jatuh cinta padaku."
.
Sudah berapa lama Draco menghabiskan harinya di dalam ruangan itu? Entahlah, Draco tidak tau, dia malas menghitung, dan ini makin membosankan. Harry mulai tidak mau menemuinya lagi, bahkan Harry tidak peduli saat Draco terus meneriaki namanya hingga membuat semua rekan Harry protes padanya.
Draco menghela napasnya merasa bosan, sangat bosan. "Hah, aku yakin jika wajahku sudah ada di seluruh koran di London," monolognya.
"Oh, tentu saja, bahkan mungkin di seisi UK," tiba-tiba suara yang begitu Draco kenal menanggapi perkataannya tanpa diminta.
Draco akhirnya kembali menampilkan seringainya. "Wah wah, tumben kau mau datang tanpa kuminta, ada apa? Kau kangen?" Draco menggoda Harry yang baru saja duduk di atas meja di depannya.
Harry hanya menatap tajam Draco tanpa membalas perkataan Draco. Untuk beberapa saat, tidak ada dari keduanya yang bicara.
"Kau tidak bosan?" Harry akhirnya memecah keheningan.
Draco mendengus. "Mustahil jika kubilang tidak,"
"Lalu kenapa kau tidak mencoba kabur? Jendela terbuka lebar untukmu," kata Harry sambil menunjuk pada sebuah jendela yang menjadi jalan masuk sinar matahari sore.
Draco mengikuti arah tunjuk Harry. "Aku tidak akan pernah kabur seumur hidupku," balasnya dan kembali menatap Harry, "itu tindakan pengecut," Draco makin melebarkan seringai di akhir kalimatnya.
Harry mendecih. Sedikit tersinggung karena ia dan rekan-rekannya memang terkenal karena kehebatan mereka saat kabur dari kejaran polisi.
"Kabur itu bukan tindakan pengecut, tapi kau memang harus kabur jika ingin bertahan hidup," balas Harry sambil melihat langit yang mulai gelap dari jendela. Menikmati angin sore yang membelai wajahnya.
Draco speechless. Ia diam-diam mengagumi wajah Harry yang begitu menawan dengan sorot yang lembut dari kedua manik emeraldnya. Draco akui, jika ia sudah jatuh cinta pada iris seindah zamrud itu sejak awal.
"Lalu apa kau tidak ingin kabur dari semua ini?" pertanyaan Draco membuyarkan lamunan Harry.
"Maksudmu?"
"Kalian tidak pernah tertangkap oleh para polisi, dan tidak ada pula yang bisa mendapatkan wajah kalian. Bukankah itu artinya mudah jika ingin mencari pekerjaan lain? Orang-orang tidak akan tau jika kalian punya segudang catatan kejahatan," Draco mencoba memberi simpati.
Harry terkekeh. "Astaga, kau tidak mengerti bagaimana dunia ini bekerja, ya?" Harry menghela napasnya, "dunia ini berotak kiri, dan tidak ada satu pun dari kami yang pernah menyelesaikan sekolah kami, lalu apa yang akan kami dapatkan? Hanya pengalaman yang bisa membuat kami tumbuh, bukan teori, dan sayang dunia hanya peduli pada teori,"
"Sejak kapan kau putus sekolah?" tanya Draco lagi.
"Saat aku berumur sepuluh tahun," jawab Harry langsung, "tepat setelah kedua orang tuaku meninggal,"
Draco bisa melihatnya. Sorot mata yang lembut itu perlahan mulai menampakkan rasa sakit. Dan rasa takut.
"Aku bisa menjamin," ucap Draco dengan lantang.
Harry mengernyit. "Menjamin apa?"
"Kau bisa bekerja dengan keluargaku. Aku pastikan kalian mendapat tempat tinggal dan gaji yang tinggi," jelas Draco membuat Harry tertawa.
"Apa kau mengasihani kami? Kasihani dirimu sendiri," balas Harry dan kemudian kembali menatap ke luar jendela. Mencoba menghindari tatapan Draco.
Draco mendengus. "Mulutmu berbicara, tapi matamu sudah menjawab duluan,"
Harry memandang Draco dari sudut matanya. Menjengkelkan melihat seringai lebar di wajah Draco. "Aku tidak suka berutang budi pada orang lain,"
"Kalau kau tidak mau, aku tawarkan pada rekan-rekanmu saja," kata Draco lagi yang akhirnya membuat Harry menoleh lagi padanya.
Draco sedikit terkejut saat melihat wajah itu menatapnya penuh harap. Hanya sepersekian detik, tapi Draco yakin jika wajah itu seolah berkata mohon.
"Aku rasa kau tidak keberatan dengan tawaran itu,"
"Hanya jika mereka mau," tiba-tiba nada suara Harry melemah. "Dan jika mereka mau, jangan pernah membatasi kebebasan mereka,"
Draco lagi-lagi dibuat speechless. Wajah Harry yang menunduk tanpa mau menatapnya, dengan bahu yang tampak lemah dan rapuh. Ia jatuh cinta lagi.
"Aku ingat saat Ginny begitu senang mendapatkan bayaran setelah membantu seorang penjual eskrim, dan juga saat si kembar yang begitu bersemangat menceritakan bahwa seseorang membeli salah satu barang hasil rancangan mereka," Harry memberi jeda, "dan bukan hanya itu saja, sudah sering mereka semua bercerita tentang kebahagiaan mereka setelah bekerja, mendapatkan uang tanpa perlu membobol bank, dan kadang juga ketika mereka mendapatkan teman baru yang sayangnya tidak bisa mereka ajak berkenalan lebih dekat,"
Draco hanya diam mendengarkan, ia tidak berani memotong.
"Aku merasa jika aku adalah orang paling jahat di dunia, tidak membiarkan mereka pergi walau tau jika ada banyak hal di dunia ini yang bisa mereka lakukan. Dan setiap kali aku ingin bilang pada mereka jika mereka boleh pergi, mereka hanya membuatku makin tidak ingin jauh dari mereka. Sungguh egois," Harry mengakhiri perkataannya sambil menghela napas.
"Setidaknya beberapa dari mereka mengerti kan, minta saja pada mereka untuk menyampaikannya pada yang lain," saran Draco.
Harry terkekeh, ia berdiri dan menatap Draco. "Jujur, aku tidak mau teman-temanku tau apa yang aku rasakan, bahkan pada sahabat terbaikku, Ron, aku tidak pernah bicara apa-apa tentang hal yang aku takutkan,"
"So, jika kau menceritakan semua ini, itu artinya aku spesial?" Draco mencoba bercanda. Walau sebenarnya ia serius.
Harry mendengus. "Berharaplah setinggi yang kau bisa, boy," dan kemudian ia segera keluar dari ruangan itu menyisakan Draco sendirian.
Draco masih diam memperhatikan pintu yang sudah menutup. Tersenyum lembut sambil menatap langit-langit.
.
"Come on guys, satu saja yang tertangkap, kita semua mati!" Harry dengan gesit melemparkan karung-karungnya satu persatu pada Seamus. Ia terlihat terburu-buru.
Ron dengan keringat yang membasahi tubuhnya berlari ke arah Harry. "Harry! Orang tua itu mulai mendekat!"
PRANG!
Baru saja Ron menyelesaikan kalimatnya, kaca jendela yang memang sudah retak pecah berkeping-keping. Harry dan semua rekannya yang ada di sana cukup terkejut, saat mendapati sebuah peluru menancap pada dinding.
"Hah, dasar, sudah tua masih saja tidak mau diajak damai. Pakai topeng kalian!" perintah Harry yang langsung dilaksanakan teman-temannya.
"Dasar kalian para badebah!" sebuah teriakan muncul dari luar markas mereka. Seorang polisi diikuti para bawahannya segera menyerbu masuk dengan senjata api di tangan mereka.
"Sangat merepotkan," gumam Harry yang kemudian ikut mengambil senjatanya, beruntung mereka sudah berada di belakang markas, jadi para polisi itu tidak langsung menemukan mereka.
"Ginny dan yang lain cepat pergi! Aku akan segera menyusul, Ron, kau pastikan polisi yang masih terperangkap di gudang tidak bisa keluar, dan Dean, pergi pantau si tau Malfoy itu!" perintah Harry penuh karisma.
Ginny mengangguk dan segera masuk ke mobil diikuti beberapa rekan mereka yang lain. Ia tanpa menoleh ke belakang lagi segera melaju bahkan tidak peduli jika pohon-pohon menghalangi jalannya. Ron juga segera pergi menuju gudang, diikuti dengan Dean yang diam-diam pergi mengawasi sang Tuan besar Malfoy.
Harry mempersiapkan pistol di tangannya, menunggu hingga para polisi itu muncul. Dan tanpa waktu lama, akhirnya beberapa polisi muncul dan langsung mengarahkan pistolnya pada Harry. Pemuda itu tersenyum miring.
Namun baru saja Harry ingin menarik pelatuk miliknya, sebuah tembakan mendarat tepat di bahunya. "A-ah.. ugh..," ia merintih kesakitan, namun tetap berusaha membidik targetnya dengan pistol di tangannya.
"Lepaskan senjatamu dan letakkan tangan di atas kepala!" perintah salah seorang polisi pada Harry.
Harry tertawa. "Aku lebih suka kabur daripada menyerah!" dan Harry segera menarik pelatuk pistolnya.
Namun, dua tembakan yang diberikan Harry hanya memutuskan dua tali yang ada di sana. Dan ketika para polisi itu ingin mengejar Harry yang kabur, tiba-tiba sebuah pohon besar roboh hingga menutupi jalan para polisi, bahkan beberapa pondasi dari gedung usang itu ikut berjatuhan. Hal ini membuat para polisi berseragam itu segera menjauh.
Harry yang masih berlari menoleh ke belakang sesaat, ia tertawa girang. "Ini lebih bagus dari pada membuat seseorang berdarah, kan?" dan terus berlari meninggalkan bekas markas mereka dengan para polisi, dan tentu saja, dengan Draco yang Harry yakin sedang di peluk erat oleh kedua orang tuannya. Harry tersenyum lembut.
"Harry!"
Harry cukup terkejut saat tiba-tiab Ron dan Dean muncul di hadapannya. "Astaga, kupikir kalian para anjing pemerintah itu,"
"Kau tidak apa-apa kan?" tanya Ron khawatir melihat darah yang mengalir dari bahu kiri Harry.
"Tenang saja, ini hanya luka kecil," jawab Harry sambil membuka topengnya.
"Kecil bagimu, tapi selalu membuat kami jantungan," balas Dean.
Dan kemudian mereka bertiga segera pergi menyusul rekan-rekan mereka yang lain.
.
"Drake, apa kau yakin jika kau tidak apa-apa?" tanya Narcissa lagi pada Draco saat mereka sedang menunggu para polisi di mobil mereka.
Draco mengangguk meyakinkan ibunya. "Aku serius Mom, tidak ada yang perlu kau khawatirkan lagi."
"Bagaimana aku tidak khawatir, mereka pasti memperlakukanmu dengan begitu kasar, mereka juga pasti tidak memberimu makan," Narcissa terdengar sangat kesal pada orang-orang yang menyekap putranya.
Ah, andai Narcissa tau jika sebenarnya mereka lah orang-orang baik yang mau menampung bocah menyebalkan seperti Draco.
Draco tersenyum. "Mereka tidak melakukan apa-apa padaku, lihatlah, tidak ada sedikit pun goresan di tubuhku, dan aku juga tidak terlihat kekurangan makan, kan,"
Narcissa masih saja khawatir walau Draco berkata seperti itu. "Maaf ya, kami tidak bisa menjagamu dengan baik," matanya berkaca-kaca sambil mengelus pipi Draco.
Draco yang baru saja ingin membalas perkataan ibunya tiba-tiba merasakan seseorang penepuk pundaknya. Ia berbalik dan mendapati Lucius, ayahnya berdiri di luar mobil. "Father,"
"Mereka semua kabur, tidak ada satu pun yang tertangkap," Lucius memberikan informasi sambil masuk ke dalam mobil dan duduk di samping Draco.
Draco menatap Ayahnya lama. Walau Lucius tampak tenang saat ini, tapi Draco tau, jika pria itu sebenarnya begitu lega dan bahagia. Apalagi ketika ia menemukan Draco, Draco hampir tidak bisa bernapas saat dipeluk oleh Ayahnya.
"Hah, sayang sekali," balas Draco yang diam-diam bersyukur mendengar kabar dari Ayahnya.
"Um, Father, bisakah aku meminta satu hal?" tanya Draco.
"Tentu saja, son,"
"Aku tau jika mereka itu sebenarnya bukan orang jahat, jadi bisakah kau memberikan mereka pekerjaan dan tempat tinggal nantinya?" tanya Draco meminta.
Lucius menjawab begitu lama. "Baiklah, aku akan melakukannya, pastinya setelah mereka tertangkap,"
"No," potong Draco segera, "aku tidak mau para polisi, interpol, atau apa pun itu mengejar mereka, suruh saja para bawahanmu dan bawa mereka langsung padaku. Tanpa ada proses hukum," Draco menekankan kalimat terakhirnya.
Lucius dan Narcissa saling pandang. Narcissa menatap putranya yang tampak begitu yakin dengan permintaannya barusan. "Stockholm Syndrome, huh?"
.
"Harry, apa menurutmu si Tuan muda Malfoy itu akan meminta ayahnya untuk tetap mengejar kita?" tanya George sambil membalut luka Harry.
"Hm, aku rasa tidak," jawab Harry pasti, "aku rasa dia sendiri bosan dengan kita,"
"Tapi aku malah berpikir jika bocah itu pasti akan mencari kita hingga ke ujung dunia, terutama kau, Harry," Ginny yang baru saja keluar dari mobil ikut bergabung.
Harry mengernyit bingung. "Apa maksudmu?"
Ginny tertawa lepas. "Selamat Harry, kau berhasil membuat seorang bocah kaya yang super menyebalkan jatuh cinta padamu,"
Stockholm Syndrome — Complete
