Title: That's The Love Letter

Genre: Romance

Rating: K+

Words: 2k+

Sequel Love Letter


Seperti biasa, Ron, Harry dan Hermione keluar bersama saat ke Hogsmeade. Harry tidak peduli kalau dia akan jadi nyamuk diantara sahabatnya yang tengah berkencan, yang penting dia tidak sendirian. Harry juga memegang prinsip 'Sahabat terbaik adalah mereka yang mengganggu kencan sahabatnya'.

"Di sini kau rupanya,"

Mereka bertiga berhenti saat tiba-tiba Draco Malfoy muncul di depan mereka. Makin membingungkan ketika Draco menghampiri dengan wajah ramah yang sangat langka.

"Aku sudah bilang untuk bertemu di Three Broomstick, kau kemana saja?" perkataan Draco hanya membuat tiga Gryffindor itu kebingungan.

"Maksudmu?" Ron balas bertanya.

"Aku tidak ada urusan denganmu," akhirnya wajah ramah itu kembali digantikan dengan wajah arogannya.

"Bilang saja apa maumu? Tiba-tiba malah sok akrab begini," giliran Harry yang bertanya.

Draco mengernyit menatap Harry. "Kau lupa?"

"Lupa, apa?" tanya Harry bingung. Seingatnya dia memang tidak ada urusan apa-apa dengan pemuda Slytherin di depannya ini.

Draco menghela napas. "Kencan, tentu saja!"

"What?" seru Ron, Harry dan Hermione bersamaan. Ron dan Hermione langsung beralih menatap Harry, meminta penjelasannya.

"Kencan? Kau gila?" Harry menahan diri untuk tidak berteriak sekarang.

"Aku kan sudah bilang, kita kencan akhir pekan ini dan aku akan menunggumu di Three Broomstick," penjelasan Draco masih membuat ketiganya terdiam tidak percaya. "Aku rasa aku menjelaskannya dengan singkat, padat dan jelas di surat itu,"

"Surat? Apa yang—" Harry terdiam seketika. Surat. Kenapa ia baru mengingatnya sekarang?

Bagaimana jika kita keluar bersama akhir pekan besok? Aku akan menunggumu di Three Broomstick.

"Damn!" Harry mengutuk dirinya sendiri dalam hati. "Kalian duluan, ada hal yang perlu aku luruskan di sini," kata Harry pada Ron dan Hermione yang makin dibuat bingung ketika ia dengan buru-buru menarik Draco untuk mengikutinya.

Draco hanya bisa menampilkan seringainya seperti biasa. Harry membawa mereka ke sebuah tempat yang cukup sepi.

"Well, kau lebih suka kencan yang seperti ini, ya?" ucapnya sambil maju selangkah untuk makin medekatkan dirinya pada Harry, namun pemuda berkacamata itu malah mendorongnya mundur.

"Aku tau maksud dari surat yang kau kirimkan," Harry memulai pembicaraan, "Tapi menurutku ada yang salah di sini,"

Draco mengernyit. "Maksudmu?"

"Kenapa kau mengajakku berkencan?" tanya Harry dengan kedua tangan terlipat di dada.

"Karna kau menyukaiku."

Harry tidak tau harus bereaksi seperti apa. Dan makin menyebalkan saat melihat Draco menatapnya seolah jika tidak ada yang salah di sini.

"Aku," Harry menunjuk dirinya sendiri, dan kemudian menunjuk pada Draco, "menyukaimu?"

Draco menghela napasnya. "Apa masih belum mau mengaku?" ia menatap Harry lelah. "Aku tau jika kau hanya sedang gugup sekarang. Jujur saja, Potter, aku suka bagaimana caramu menggambarkan perasaanmu. Kau berusaha untuk menutupinya, namun kau gagal. Aku mendapatkan inti dari pesanmu. Kau menyukaiku,"

Harry butuh waktu yang cukup lama untuk memproses kata demi kata yang diucapkan oleh Draco. Ia mengerti sekarang. "Oh, jadi maksudmu surat yang aku kirimkan kemarin itu adalah surat cinta?" Draco mengangguk. Harry tertawa geli, sungguh lucu. "Selamat, Mr. Malfoy!" serunya diikuti dengan tawa yang keras membuat Draco bingung.

Draco mengernyit tidak suka. "Kenapa?"

"Aku tidak pernah, sekali lagi, tidak pernah menyukaimu," Harry menekankan perkataannya. "Surat itu berisi seratus persen kebencianku padamu. Kau mungkin hanya salah menangkap maksud dari beberapa kalimatnya, Malfoy, karena kau lah yang menyukaiku,"

"Aku memang menyukaimu,"

"Eh?" Harry mengedip beberapa kali. Wajahnya benar-benar kebingungan, berbeda dengan Draco yang tenang-tenang saja.

"Aku memang menyukaimu," Draco kembali mengulang, "bahkan sudah banyak orang yang menyadarinya, dan aku yakin kedua temanmu itu juga pasti tau. Kau yang terlalu bodoh hingga tidak sadar, itu saja,"

Harry memaksakan tawanya. "Kau lucu," Harry mendadak tidak bisa menatap lurus pada Draco yang menatapnya.

Harry makin tidak nyaman dengan suasana ini. "Pokoknya kau hanya salah paham! Aku tidak menyukaimu dan aku tidak akan berkencan denganmu!" dan Harry langsung pergi tanpa menoleh lagi kebelakang. Harry sebenarnya bingung, kenapa dia malah melarikan diri?

Draco yang baru saja ingin mengejar Harry menahan langkahnya. Ia menampilkan seringainya menatap punggung Harry yang mulai menjauh. "Well, kita lihat siapa yang salah paham di sini, Harry Potter,"

.

"Malfoy pasti sudah gila," bisik Hermione pada Harry saat mereka berjalan menuju aula. Ia terus melihat ke belakang, di mana sang Tuan Muda Malfoy terus saja mengikuti mereka. Atau lebih tepatnya, mengikuti Harry.

Harry hanya bisa menghela napas. Sejak pertemuan mereka di Hogsmeade, tepatnya setelah Harry menjelaskan kesalahpahaman tentang surat itu, Draco terus saja mengikutinya, masih menagih kencan yang menurut Harry hanyalah omong kosong. Harry berusaha tidak peduli, ia makin mempercepat langkahnya hingga Hermione sendiri kesulitan menyusul.

Namun Draco tidak mempercepat langkahnya, tetap berjalan di belakang dengan sebuah seringai yang tidak pernah luntur dari wajahnya.

"Kenapa tidak kau turuti saja?"

Pertanyaan Hermione membuat Harry berhenti mendadak. Ia memandang gadis berambut coklat itu tidak percaya. "You are as crazy as him!" balas Harry dan kembali berjalan. Draco masih mengikuti mereka, ingat.

Giliran Hermione yang menghela napas. "Sebenarnya aku yang lebih tersiksa di sini, mendapati wajah menyebalkannya itu berada di sekitarku seharian penuh,"

Harry tidak membalas lagi, ia makin mempercepat langkahnya saat masuk ke aula. Harry langsung duduk di samping Ron yang sudah duluan makan malam.

"Oh, please," desah Hermione lelah. Ia menatap kesal pada Draco yang kini berdiri di depannya, "bahkan saat makan malam?"

Draco hanya angkat bahu. "Mungkin, jika sahabatmu ini masih belum mengatakan ya," dan kemudian Draco langsung duduk di samping Harry. Ia sama sekali tidak peduli jika ia menjadi pusat perhatian sekarang.

Harry mengepalkan tangannya dan kemudian berdiri sambil menghentakkan kaki. Ia dengan sekejap kembali meninggalkan aula.

"Bertaruh kau pasti mengejarnya," ucap Ron yang hanya fokus pada ayam di depannya. Jujur, ia sudah bosan, ia sudah tidak peduli lagi jika nanti sahabatnya itu benar-benar berkencan dengan Draco Malfoy.

"Tentu saja," balas Draco yang langsung mengikuti Harry dengan seringai yang makin lebar.

Draco mengikuti Harry yang terburu-buru dengan tenang. Draco akui jika Harry bodoh. Jika Harry memang tidak ingin diikuti olehnya, bukankah lebih mudah jika Harry langsung ke asrama saja? Dengan berjalan tak tentu arah begini, bukankah sama saja artinya Harry membiarkan Draco terus mengikutinya?

"Baiklah," Harry akhirnya berhenti. Ia berbalik dan menatap Draco yang berdiri tidak jauh darinya, "aku menyerah,"

Draco mengangkat sebelah alisnya. "Sorry?"

"Aku menyerah!" Harry frustrasi. "Tapi bukan berarti aku benar-benar mau berkencan denganmu, mengerti?"

"Tidak," jawab Draco tanpa jeda. "Aku ingin kita berkencan. Bukan sekedar pergi jalan-jalan dan kemudian melupakan semuanya. Aku ingin kita berkencan, sebagai kekasih," Draco mengakhiri perkataannya dengan sebuah senyum di sudut bibirnya sambil berjalan mendekati Harry.

Harry berusaha untuk tidak menarik tongkatnya dan mengucapkan mantra kutukan dari mulutnya. "Berhenti memaksa, Malfoy,"

"Kenapa? Kau kan menyukaiku,"

Harry memutar mata malas. "Berapa kali harus aku bilang? Aku tidak menyukaimu. Sebaliknya, aku sangat membencimu,"

Draco makin menyeringai lebar. "Tidak, kau menyukaiku," balasnya dan kemudian memasukkan tangannya dalam saku, mencari sesuatu, "the proof is in this letter," katanya sambil mengeluarkan sebuah kertas.

Harry kenal betul tulisan tangan yang ada di kertas itu. Itu adalah surat yang ia berikan pada Draco beberapa hari yang lalu.

"Apa? Kertas itu hanya berisi penjelasan jika aku membencimu," ucapnya malas.

Draco menggeleng tidak setuju. "Ada beberapa kalimat yang menarik perhatianku," katanya sambil mengangkat surat itu ke depan wajah Harry. "Get out of my head," Draco memandang Harry sekilas.

"Ya, lalu?" tanya Harry dengan tangan terlipat di dada.

"Ada satu lagi," kata Draco dan kembali membacakan sebuah kalimat yang tertulis di surat itu, "memikirkanmu sedetik saja hampir membuat jantungku meledak,"

Harry mengangkat bahunya, lagi-lagi tidak tau apa yang salah dengan kalimat yang ia tulis.

"Apa kenyataannya memang begini?" Draco bertanya dan Harry mengangguk. Draco hampir tertawa lepas. Harry benar-benar penyihir paling polos yang pernah ia temui.

Harry bingung saat pemuda Malfoy itu malah terkekeh. "Kenapa kau tertawa?"

Jeda yang cukup lama, karena Draco hanya menatap Harry dengan senyum kemenangan di wajahnya. "Ayo kita lihat," ucapnya dan kemudian maju mendekati Harry. Ia sedikit menunduk untuk menyejajarkan wajah mereka. Draco makin tersenyum lebar, "apakah saat ini jantungmu serasa ingin meledak juga?" tanyanya dengan suara yang lebih seperti bisikan.

Harry terdiam sesaat dan kemudian segera mendorong Draco menjauh. "Apa yang kau lakukan, sih?"

Draco tertawa mendapati Harry yang berusaha untuk tidak memandangnya. Manik emerald itu terus saja melihat ke sana ke mari tanpa mau menatapnya. "Kau hanya sedang gugup saat dekat denganku," ucap Draco setelah tawanya reda.

"Sorry?" Harry akhirnya menatap Draco, "aku gugup di dekatmu? Omong kosong apa ini? Kenapa aku harus gugup?"

"Kan aku sudah bilang," Draco menghela napas lelah, "kau menyukaiku,"

Harry mengernyit. "Kau buruk dalam menyimpulkan sesua—"

"Kau tidak bisa berhenti memikirkanku, jantungmu berdebar tak karuan di dekatku," potong Draco segera yang hanya dibalas dengan raut wajah polos Harry. Draco mengacak rambutnya frustrasi. "Kenapa kau bodoh sekali, sih?"

Draco menarik napas dalam. "Aku mungkin salah paham dengan menganggap jika suratmu yang, huh," Draco mendengus, "penuh dengan kebencian ini sebagai surat cinta. Tapi," Draco kembali menyeringai, "kau juga salah paham dengan mengartikan perasaanmu padaku sebagai rasa benci yang sebenarnya rasa suka."

"What?!" Harry benar-benar tidak mengerti dengan cara berpikir Malfoy di depannya. "Kau benar-benar sudah tidak waras,"

"Apa kau tau jika wajahmu sedang memerah sekarang?" ucap Draco langsung tanpa memberi jeda pada perkataan Harry.

"A-ap... lalu memangnya kenapa?" nada suara Harry meninggi. Ia mendadak gugup dan menyadari jika wajahnya memanas sekarang.

Draco masih belum mau menyerah, ia makin mendekatkan wajahnya pada wajah Harry yang makin memerah. Mendengus saat Harry memalingkan wajahnya. Draco juga langsung menahan Harry yang berusaha untuk pergi dari hadapannya.

"Semuanya sudah cukup. Bukan hanya aku yang jatuh cinta di sini, tapi kau juga," Draco menatap manik emerald Harry dengan tenang. "Besok pagi, aku akan menunggumu. Kita kencan besok," dan Draco segera pergi dari hadapan Harry dan menghilang di persimpangan.

Harry hanya diam menatap Draco yang sudah menjauh. Ia menghentakkan kedua kakinya dan langsung berbalik untuk pergi ke asrama. Ah, jangan lupakan dengan puluhan kalimat kutukan Harry untuk Draco Malfoy.

Besoknya, Harry bangun lebih pagi dari biasanya. Bukan karena ia menanti kencannya dengan Draco, tapi karena ia sibuk memikirkan bagaimana caranya untuk menghindari Draco seharian ini.

"Morning Harry," Ron yang baru bangun langsung menyapa Harry, "tumben sudah rapi pagi-pagi sekali, kan ini hari libur," lanjutnya sambil menguap lebar.

Harry hanya menghela napas dan kemudian berdiri di samping ranjang sahabatnya itu. "Ron, kau sudah pernah jatuh cinta kan?"

"Tentu," balas Ron yang kini kembali menarik selimutnya dan mulai menutup matanya.

"Bagaimana kau menyadari jika kau sedang jatuh cinta?"

"Mudah saja," jawab Ron dengan mata masih tertutup, "aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Apa pun yang aku lakukan, pasti hanya berakhir dengan teringat padanya. Lalu ketika bertemu dengannya aku akan begitu gugup. Rasanya ingin lari dari hadapannya, tapi disaat bersamaan, aku ingin dia terus ada di sisiku. Dan yang paling penting, jantungmu serasa ingin meledak entah karena melihatnya atau pun hanya teringat dirinya,"

Penjelasan panjang lebar Ron hanya mendapatkan lemparan bantal dari Harry. Ron langsung terduduk dan menatap Harry bingung sekaligus kesal. "Kau kenapa sih?" tanyanya pada Harry yang sudah berjalan ke luar kamar.

"Kau tidak membantu sama sekali, malah makin memperburuk suasana!" teriak Harry dari luar yang terdengar jelas oleh Ron. Pemuda Weasley itu tidak mau peduli lagi, ia kembali menarik selimutnya dan tidur.

Harry memilih untuk duduk di depan perapian yang masih menyala. Ia terpikirkan dengan apa yang dikatakan oleh Draco semalam dan penjelasan yang diberikan oleh Ron. Ia memang mengalaminya, yang orang-orang bilang sebagai tanda-tanda jatuh cinta. Tapi Harry tidak akan semudah itu mengakuinya! Ia yakin seratus persen jika ia tidak menyukai seorang Draco Malfoy.

... memikirkanmu sedetik saja hampir membuat jantungku meledak ...

"Argh!" Harry mengeram frustrasi. "Kenapa aku harus menulis kalimat seperti itu sih? Dia benar-benar sudah salah paham!"

Harry menghela napas berat. "Dia yang salah paham, bukan aku," gumamnya terdengar begitu lelah.

"... Bukan hanya aku yang jatuh cinta di sini, tapi kau juga,"

Harry mencubit pipinya saat bayangan Draco semalam muncul terus di pikirannya. Apalagi saat Draco yang terus memojokkannya, itu membuatnya gila. "Please, Harry, kau seperti ini karena kau membencinya bukan menyukainya," kata Harry pada dirinya sendiri.

"Harry, apa kau demam?"

Harry menoleh saat mendengar suara Neville. "Demam?" Harry malah balik bertanya pada Neville yang kini berdiri di sampingnya. "Tidak kok,"

"Benarkah?" Neville memastikan, Harry mengangguk. Neville tiba-tiba tersenyum. "Kalau begitu kau mungkin sedang jatuh cinta!"

"Wha—" Harry mau protes, tapi kemudian Neville kembali bicara.

"Wajahmu sudah semerah tomat! Kau pasti sedang memikirkan seseorang yang kau sukai kan?" tebak Neville yang malah menerima lemparan buku dari Harry.

"Don't be silly! I don't like him!" balas Harry sedikit berteriak.

"Dia siapa?" Neville balas bertanya, dan Harry langsung menutup mulutnya rapat-rapat dengan wajah yang makin memerah. Neville makin dibuat bingung saat Harry malah marah padanya.

"Sudahlah! Jangan bahas itu lagi! Aku tidak apa-apa! Aku tidak sedang jatuh cinta!" Harry langsung berbaring di sofa sambil membenamkan wajahnya. Neville sama saja dengan Ron, merusak paginya.

Neville hanya angkat bahu, sama sekali tidak tau alasan kenapa Harry bisa semarah ini. "Oh iya, kau tau, ada Malfoy di luar," ucap Neville kembali memulai perbincangan, "sepertinya dia sedang menunggu seseorang. Aneh bukan? Mendapati seorang Draco Malfoy dengan tenang menunggu di depan asrama Gryffindor,"

Harry akui, untuk kali ini Neville lebih menyebalkan dari Ron. Harry kembali ke posisi duduk dan bertanya. "Kapan kau melihatnya?"

"Saat aku keluar asrama tadi dia sudah ada, dan saat aku kembali, dia juga masih belum pergi," jawab Neville.

"Jadi dia masih ada di depan?" Harry memastikan, dan Neville mengangguk. Harry menghela napas berat. Sungguh, tidak ia sangka hanya karena sebuah surat bisa membuat masalah seperti ini.

"I know you'll hate to hear this. But it looks like he's waiting for you, Harry," Neville sepertinya masih mau membuat Harry kesal pagi ini.

"Maksudmu?" tanya Harry terdengar malas.

"Bukankah dia selalu mengikutimu akhir-akhir ini?" tanya Neville sambil memungut buku yang tadi dilempar Harry. "Kalian ada ken— um, maksudku, rencana hari ini?"

"Bloody hell," desah Harry sambil bersandar, "lebih baik aku tiduran seharian daripada harus bertemu dengannya,"

Neville hanya balas mengangguk mengerti dan akhirnya memilih untuk pergi. Terlalu banyak bertanya bisa-bisa ia kena marah dengan alasan tak jelas lagi.

Lama sekali Harry hanya diam tanpa mau pergi dari tempatnya berbaring saat ini. Anak-anak Gryffindor lainnya sudah kembali dari aula untuk sarapan, dan Harry masih berada di atas sofa.

Hermione yang baru saja masuk langsung menghela napasnya melihat Harry. Ia langsung duduk di samping Harry membuat pemuda berkacamata itu akhirnya duduk. "Dia masih ada di luar," ucap Hermione memulai pembicaraan.

"Dia siapa?" balas Harry malas.

"Kau tau siapa yang aku maksud, Harry,"

Harry menghela napas panjang. "Aku tidak mau menemuinya. Kenapa dia tidak menyerah saja sih?"

Hermione menatap lama pada Harry yang terlihat lemas, dan ia kembali bicara. "Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa kasihan pada Malfoy,"

Harry akhirnya menoleh pada Hermione. "Apa? Kau mau agar aku berbelas kasihan padanya dan kemudian menerima ajakan kencannya? Yang benar saja!"

"Setidaknya jangan biarkan dia sampai bermalam di depan asrama, Harry. Dia mungkin saja akan melakukannya jika kau masih belum mau menemuinya," kata Hermione yang juga sudah mulai lelah. Ia kemudian berdiri, memilih untuk membaca beberapa buku.

Harry diam, merenung sejenak. 'Aku bisa saja menemuinya dan memintanya untuk menyerah, tapi masalahnya aku benar-benar tidak mau menemuinya!' teriak Harry dalam hati.

Harry mendesah frustrasi. 'Apa aku menyukainya? Apa karena itu aku tidak mau menemuinya? Aku tidak tau, dan aku tidak mau tau. Aku membencinya, sangat membencinya,'

Cukup lama Harry hanya diam merenung. Ia berkali-kali menantang apa yang terus saja terpikirkan olehnya. Kenyataan bahwa dia menyukai Draco Malfoy. Dia tidak mau bilang jika itu benar, tapi entah kenapa makin sulit untuk menentangnya. Namun kali ini, dia akan menyerah pada dirinya sendiri.

"Baiklah!" seru Harry sambil berdiri. Matanya terlihat bertekad. Ia langsung berjalan menuju lukisan Fat Lady dan keluar dari asrama Gryffinfor.

Dan dia sama sekali tidak terkejut mendapati Draco berdiri di depannya. Wajah Draco yang sadari tadi kusut akhirnya kembali cerah melihat Harry di depannya.

"Kau akhirnya datang!" Draco sungguh terdengar bersyukur.

Harry mendekati Draco dengan canggung. "Well, ada hal yang harus kau ingat, Malfoy,"

"Yes?"

"Kita hanya sekedar kencan sehari. Tidak lebih dari itu!" ucap Harry menekankan setiap perkataannya. Ia langsung kembali bicara saat Draco ingin protes. "Jika kau tidak mau dan masih bersikeras kita akan kencan sebagai kekasih, aku benar-benar akan membencimu. Aku tidak akan pernah memberikanmu kesempatan untuk mendekatiku, mengerti?"

Draco tampak berpikir. Ia begitu serius dengan hal ini. "Jadi, jika aku setuju, apa itu artinya kau memberiku kesempatan untuk tetap mendekatimu?"

"Wha—" Harry menghela napasnya. Ia menatap Draco pasrah, "ya, kau kuberi kesempatan untuk mendekatiku,"

"Yes!" itu adalah wajah paling girang pertama Draco yang pernah dilihat oleh Harry. Tidak dia sangka, hanya dengan memberi kesempatan untuk mendekatinya, pemuda Mafoy itu bisa sebahagia ini.

"Baiklah, kalau begitu ayo kita pergi kencan sekarang!" ajak Draco yang kelewat bersemangat.

Harry hanya bisa tersenyum. Mau bagaimana lagi, dia sendiri yang menyebabkan hal ini terjadi. Karena selembar surat yang ia berikan pada Draco. Harry mengangguk. "Ya," jawabnya dan agak terkejut saat Draco tiba-tiba menggandeng tangannya.

Pemuda Malfoy itu membalas senyumnya. "Kalau begitu kita sarapan dulu. Aku lapar,"


That's The Love Letter Completed