Title : There's No Way Back
Genre : Angst Romance
Rating: k+
Words: 3k+
"Draco, jangan menangis lagi," ragu, pemuda berkacamata itu mencoba meletakkan tangannya pada pundak yang bergetar karena tak kunjung berhenti menangis. Namun belum sempat ia menyentuh, tangannya ditepis dengan begitu kasar.
"Shut up, Harry!" teriak pemuda dengan rambut platina berantakan itu membuat lawan bicaranya terkejut.
Harry, tetap tidak beranjak dari tempatnya. Matanya mulai memanas dan basah, tanda jika ia juga akan menangis. Namun ia segera menahannya. "Dray, maaf, andai saja saat itu aku—"
"AKU BILANG DIAM!"
Harry merasakan jika dadanya sakit. Manik silver yang selalu bersinar itu menatapnya nyalang. Harry menunduk, tidak sanggup melihat Draco hancur. Hancur karena ulahnya.
"You could have saved her... Kau membiarkannya terbunuh..." suara Draco bergetar. "Kau membiarkan ibuku mati! Kau bisa saja menyelamatkannya! Namun kau membiarkannya mati!" Draco berteriak hingga suaranya hampir habis.
Harry tak dapat menahan air matanya. Tidak. Ia tidak pernah menginginkan seorang pun mati.
Draco masih kesulitan mengatur napasnya, ia kembali bicara. "You were just a stupid fucking coward," kata-kata itu meluncur lemah, "A FUCKING MURDERER!"
Harry menyerah. Dengan rasa sakit yang menyiksanya, ia langsung pergi meninggalkan Draco yang masih menangis. Tidak mencegahnya, tidak memanggilnya, tidak menginginkannya. Ya, Draco tidak menginginkannya lagi, bukankah lebih bagus jika ia pergi?
Dan sejak saat itu, Harry benar-benar pergi. Entah kemana, yang jelas ia tidak mau melihat manik kelabu itu menyiratkan rasa sakit lagi. Namun Harry tidak tau jika kepergiannya hanya membuat Draco makin terpenjara dalam kesendirian.
"Sirius?" Draco terkejut melihat Sirius Black kini berada di ruang tengah Manor keluarganya. "Kapan kau datang?" tanyanya dan ikut duduk di seberang Sirius.
"Baru saja," jawab Sirius sambil melihat sekeliling. Ia menghela napas. "Hampir tiga tahun bagi Lucius, dan hampir setahun bagi Cissy," monolognya menatap langit-langit. Teringat pada saudarinya, Narcissa yang meninggal beberapa bulan lalu. Sirius benar-benar tidak bisa melupakan kejadian itu. Ketika Narcissa nekat ikut dengan Harry yang pergi mengejar salah seorang Death Eater yang masih berkeliaran. Sirius masih ingat betul, saat ia sudah menyusul, ia hanya menemukan Harry yang tidak berhenti menangis sambil mengguncang tubuh Narcissa. Berharap jika wanita itu akan membuka matanya lagi.
Draco menyenderkan punggungnya, dengan susah payah menahan air mata. "Ya. Dan rasanya baru kemarin mereka memarahiku," kata Draco dengan kenangan-kenangan masa lalu yang tiba-tiba muncul.
Sirius menatap Draco iba. Sirius berdiri dan menepuk pundak Draco pelan, ia tersenyum menatap manik kelabu tersebut. "Kau tau nak, mereka akan selalu ada di sini," Sirius menunjuk dada Draco, mencoba menghentikan kesedihan Draco. Walau ia tau jika apa yang ia katakan tidak akan banyak menolong.
Draco mencoba untuk tersenyum. "Thanks, Sirius,"
Sirius hanya mengangguk. "Kalau begitu aku pergi dulu," ucap Sirius pamit.
"Sirius," panggil Draco membuat Sirius kembali berbalik, "um, mana Harry? Sudah lama aku tidak bertemu dengannya,"
Sirius diam untuk beberapa saat hingga akhirnya menjawab. "Sibuk seperti biasa. Tapi dia baik-baik saja kok, dan kapan-kapan ayo kita semua makan malam bersama."
Draco tersenyum dan mengangguk. Dan Sirius segera meninggalkan Malfoy Manor yang begitu luas. Terlalu luas untuk satu orang, itu kata Draco.
Draco menundukkan wajahnya. Ia memukul meja yang ada di depannya berkali-kali dengan pandangan mata yang kosong. Ia sangat benci dengan ini. Menjadi sendiri. Tanpa ada siapa pun di sisinya. Bahkan senyum manis yang selalu menghangatkan hatinya juga tidak ada. Ia tidak tau kemana perginya, ia tidak tau harus mencarinya kemana dan itu membuatnya menyesal. Kenapa kata-kata itu keluar dari mulutnya? Kenapa ia membiarkannya pergi? Kenapa ia tidak bersandar pada pundak itu? Kenapa ia tidak memeluk tubuh penuh kasih itu? Kenapa ia malah melukai hatinya?
"Harry..." panggil Draco yang hanya memenuhi ruangan. Ia ingin pemuda itu kembali. Menemaninya di sini dan tidak akan meninggalkannya. Menariknya keluar dari kesendirian yang sudah terlalu lama menyiksanya.
Draco akhirnya memutuskan untuk pergi. Percuma jika dia terus berharap namun hanya diam. Ia segera berkemas, bersiap menemui beberapa orang yang Draco yakin pasti tau di mana Harry sekarang.
Draco sudah sampai di kementerian sihir. Ia segera masuk dan mencari seseorang yang sudah lama tidak ia temui, mengingat jika ia lebih banyak menghabiskan waktu di Manor.
Manik silver Draco yang sibuk menjelajah akhirnya mendapati sosok gadis yang sedari tadi ia cari-cari. Ia agak ragu untuk menghampirinya saat melihat raut wajahnya yang begitu serius dan khawatir saat bicara dengan seseorang. Setelah lawan bicara sang gadis pergi dengan terburu-buru, barulah Draco menghampirinya.
"Hermione!" panggilnya membuat gadis itu menoleh.
Hermione yang mendengar namanya terpanggil begitu terkejut mendapati Draco yang kini berjalan ke arahnya. "Draco, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Hermione saat Draco sudah berada di depannya.
"Memangnya tidak boleh?"
"Bukannya begitu," jawab Hermione sambil berusaha tersenyum. Ia tau betapa terlukanya Draco, makanya ketika ia melihat Draco keluar dari Manor, itu sungguh membuatnya terkejut sekaligus bahagia.
"Apa ada yang perlu aku bantu?" tanya Hermione.
"Well, aku hanya ingin tau di mana Harry," balas Draco yang entah kenapa membuat raut wajah Hermione berubah. "Dia sudah lama tidak mengunjungiku, aku juga tidak tau bagaimana harus menghubunginya. Dan, entah kenapa, tapi aku merasa khawatir setiap kali memikirkannya."
Hermione mengalihkan pandangannya dari Draco. Ia panik sekarang. Satu masalah belum selesai, dan sekarang keadaan makin memburuk.
"Hermione?" Draco kembali bertanya saat gadis Grenger itu tak kunjung menjawab. "Hei, sungguh tidak terjadi apa-apa pada Harry, kan?" tanya Draco yang kini kebingungan melihat air muka Hermione.
"Aku, itu, Draco aku sama khawatirnya denganmu," akhirnya Hermione tidak bisa menyembunyikan raut paniknya. "Komunikasi kami dengan Harry tiba-tiba terputus selama beberapa hari ini. Ia sudah lamamenjalankan tugas, tapi ini pertama kalinya kami tidak bisa menghubunginya! Dia seolah menghilang begitu saja, aku tidak tau apa yang terjadi padanya..." Hermione seperti ingin menangis di akhir perkataannya.
Draco tidak jauh berbeda, bahkan ia lebih panik. "K-kau pasti bercanda kan? Harry, dia pasti baik-baik saja, kan?" Draco bertanya, begitu menuntut.
"Aku.." Hermione lagi-lagi bingung, apakah ia harus memberitahu Draco tentang hal ini. "Sebenarnya, beberapa waktu lalu patronus Harry muncul. Dia memberitahu kami tentang keberadaannya saat ini, namun kami tidak tau pasti apakah dia benar-benar ada di sana atau tidak. Patronus miliknya menghilang seketika setelah itu."
Draco lagi-lagi panik. Jelas Harry benar-benar membutuhkan bantuan saat ini. "Dimana? Dimana dia sekarang?" Draco memegang pundak Hermione, memaksa gadis itu untuk menjawab.
Hermione menggeleng. "Aku tidak akan memberitahumu, aku tau kau akan menyusulnya. Tenang saja Draco, Auror lainnya sudah menyusul," Hermione berucap dengan hati-hati. Ia tau jika Draco itu keras kepala, jadi ia harus bicara sebaik mungkin. Namun baru saja Hermione ingin kembali bicara, Draco sudah melepaskan pegangannya, membuatnya bingung.
Draco menghela napas. "Baiklah, sekali pun aku tetap pergi, mereka pasti akan memaksaku untuk kembali," ucap Draco. Ia yakin sekali jika Ron pasti ikut untuk mencari Harry.
Hermione menepuk pundak Draco pelan. "Draco, aku yakin Harry baik-baik saja. Dia pasti akan kembali, dia juga pasti merindukanmu. Pasti dia akan langsung menemuimu saat sudah kembali." kata Hermione lembut.
"No, Hermione," ucap Draco lirih. "Dia tidak akan kembali padaku. Aku sudah menyakitinya," dengan langkah berat, Draco segera berbalik meninggalkan Hermione yang tampaknya kini khawatir padanya.
Draco berhenti sejenak. "Aku harus menyusulnya," dan dalam sekejap, Draco sudah ber-apparate menuju tempat Harry.
Jangan tanya bagaimana Draco bisa tau di mana Harry. Tentu ia tidak sebodoh itu hingga tidak mengambil kesempatan untuk memasuki pikiran Hermione. Beruntung ia pernah belajar Legilimency dengan Profesor Snape.
Dalam hitungan detik, Draco sudah berada di tengah hutan yang rimbun. Hari yang sudah mulai gelap membuat hutan tampak jauh lebih menyeramkan. Draco melangkahkan kakinya diantara semak yang menghalangi jalannya. Ia tidak pernah sekali pun berhenti memanggil nama Harry. Namun sebanyak apa pun dia memanggil, tidak ada yang menyahut.
Draco yang mulai kelelahan langsung berdiri tegap saat mendapati sebuah cahaya biru terang mendekatinya. Ia mengenalnya. Patronus berbentuk rusa jantan itu pastilah milik Harry. Rusa ia segera berbalik dan berlari setelah menemukan Draco. Draco tau jika ia harus mengikutinya.
'Harry, bertahanlah. Kumohon, untukku,'
Draco bisa merasakan jika jantungnya hampir berhenti berdetak saat manik kelabunya menemukan sosok yang sedari tadi dicari-cari. "Harry!" ia mempercepat larinya dan langsung memeluk tubuh Harry yang terduduk di bawah pohon dengan luka yang sudah memenuhi tubuhnya.
Harry yang kini berada dalam pelukan Draco segera membalas pelukannya. "Dray? What are you doing here?" napasnya teputus-putus, jelas jika ia benar-benar berjuang untuk tetap hidup.
Draco melepaskan pelukan mereka dan menatap Harry. Ia yakin jika rasa panas yang mengalir di wajahnya adalah air mata. Draco mengelus wajah Harry lembut membuat pemuda Potter itu sedikit meringis saat Draco menyentuh luka di wajahnya. "Apa yang aku lakukan disini?" beo Draco. Ia tidak langsung menjawab, ia menatap begitu lama pada manik hijau yang menatapnya dengan penuh kasih sayang. "Aku bodoh telah membiarkanmu pergi begitu saja, Harry. Maafkan aku. Aku tidak mau kau pergi dariku lagi. Aku begitu kesepian dan tersiksa. Maafkan aku,"
Harry tersenyum. "Jangan meminta maaf, malah aku yang seharusnya meminta maaf," balas Harry, "jika saja aku bisa melindungi ibumu, kau tidak akan sendirian,"
"Kau salah, Harry," Draco membantah, "malah aku makin tersiksa jika kau juga pergi. Aku tidak tau apa yang aku ucapkan saat itu. Pikiranku kacau. Aku hanya takut, dan rasa takut itu membuatku menyakitimu. Aku— maafkan aku, Harry..." lagi-lagi Draco tidak bisa menahan air matanya.
Harry dengan cepat menghapus air mata Draco. Ia tidak mau melihat Draco menangis lagi. Ia ikut hancur saat melihat Draco seperti ini. Harry segera memeluknya dan membiarkan Draco menangis di pundaknya.
"It's okay now, I'm here, I'll never leave you again. Don't cry, it's okay," Harry menepuk pundak itu pelan dan terus berkata jika semuanya baik-baik saja. Tidak ada lagi yang perlu ditangisi.
"Wah wah, siapa orang baik hati yang mau menolongmu, Potter?"
Sebuah suara menginterupsi. Harry segera melepaskan pelukannya dan bersiap mengambil tongkatnya, namun Draco menahannya. Baru saja Harry ingin protes, ia langsung diam.
Draco menatap tajam pada pria yang berdiri tidak jauh dari mereka. Draco mengingatnya, Lewis Burton, salah seorang Death Eater yang berhasil kabur dan begitu setia pada kegelapan, tidak peduli jika Tuannya sudah mati. Draco yakin, pasti dialah yang membuat Harry tak berdaya seperti ini. Dan Draco makin menatapnya nyalang, karena dia tidak akan pernah lupa jika pria itulah yang telah membunuh ibunya.
"Biar aku saja, aku sungguh ingin mengahabisinya." geram Draco yang sudah mengambil tongkatnya dan menggenggamnya begitu erat.
"Draco, tenang. Jangan gegabah. Dia lebih hebat dari yang kau pikirkan," Harry mencoba membuat Draco menjadi sedikit lebih tenang.
Draco tau jika Burton pasti berbahaya. Dia berhasil membuat Harry sampai babak belur begini, jelas jika kemampuannya tidak main-main. Draco kembali menghadap pada Harry. "Harry, aku akan mengantarmu pulang setelah ini," ucap Draco lembut membuat Harry tersenyum.
"Cukup basa-basinya!" dan dengan teriakan, Burton langsung meluncurkan serangannya.
Beruntung Draco waspada dan langsung menangkis serangannya. Draco segera berdiri dan membalas. Ia mendecih benci saat Death Eater yang sedang dilawannya itu kini malah meledeknya sambil berlari menjauh. Draco tau jika pria itu ingin ia mengikutinya.
Draco baru akan melangkah, namun ia berhenti dan berbalik menatap Harry. "Harry, tetap di sini, aku bisa menanganinya sendiri." Perintah Draco saat Harry mencoba untuk berdiri.
"Tapi Draco—"
"No, Harry!" Draco menatap Harry serius. "Apa yang bisa kau lakukan dengan tubuhmu yang sekarang ini? Berdiri saja kau kesulitan. Aku tidak mau kau terluka lagi, aku tidak mau, Harry," kata Draco dengan tatapan lembutnya.
Harry memandang Draco lama. Ia tau betapa khawatirnya pemuda Malfoy itu padanya. "Baiklah, tapi berhentilah membuat wajah sedih itu. Aku tidak suka,"
Draco tersenyum lembut. "Kalau begitu kau juga harus berhenti membuatku sedih. Jangan pernah meninggalkanku, maka aku tidak akan pernah sedih,"
Draco kembali berdiri dan segera pergi untuk menyelesaikan urusannya dengan Death Eater yang sepertinya ingin main-main dengannya. Harry hanya bisa menatap punggung Draco yang makin menjauh. Ia mencoba menggerakkan tangannya yang terasa kaku, dan hal itu sukses membuat seluruh tubuhnya merasa perih.
"Damn," Harry tidak sadar jika setetes air matanya mengalir. Rasa sakit di tubuhnya benar-benar membunuh.
Tidak jauh dari tempat Harry, Draco tidak bisa berhenti menengok sekeliling. Ia kehilangan jejak Burton. "Jangan hanya bisa sembunyi, coward!" teriak Draco.
"Hahahah!" tiba-tiba sebuah suara tawa menggelegar di tengah hutan. Draco langsung waspada. "Marah karena aku membunuh ibumu?"
Draco mengeram. Ia menggenggam kuat-kuat tongkat sihirnya.
"Tutup mulutmu, brengsek!" dengan cepat Draco mengarahkan tongkatnya dan menyerang Burton.
Sayang serangannya meleset, Burton tertawa makin kencang dan membalas serangan Draco tanpa ampun. Draco kesulitan menghindari serangan-serangan yang ditujukan padanya.
Draco bersembunyi di balik sebuah pohon, mengatur napasnya yang memburu. Ia memegang pundak sebelah kanannya yang terasa perih akibat serangan yang tidak sempat ia hindari. Tidak salah Harry dibuat tak berdaya melawan Lewis Burton. Draco tidak ingat apakah Burton pernah mendapatkan perhatian Voldemort, yang pasti Voldemort rugi telah menyia-nyiakan pria berbahaya ini. Draco dengan hati-hati menoleh ke belakang, mencari lawannya yang sudah menghilang lagi. "Damn! Kemana lagi pengecut itu?"
"Jangan menyebutku pengecut!"
Draco terkejut bukan main saat orang yang dicari-carinya itu sudah berada tepat di depannya. Ia terpaksa mundur.
Wajah penuh luka itu kembali tertawa. Ia kembali mengarahkan tongkatnya dan berteriak. "Crucio—"
"Expelliarmus!" Draco balas berteriak lebih dahulu. "Sectumsempra!" ia melontarkan mantra kedua. Burton yang berdiri cukup jauh darinya langsung jatuh dengan tubuh penuh darah.
Draco menjatuhkan tubuhnya hingga berlutut di tanah. Ia masih merasakan perih di pundaknya.
"Draco?"
Draco menoleh saat mendengar suara lembut Harry memanggilnya. "Harry! Kenapa kau kemari? Aku sudah bilang untuk diam saja menungguku!" Draco kesulitan untuk berjalan menuju Harry yang kini menyeret paksa kedua kakinya untuk berjalan.
Harry menggeleng. "Dan kau pikir aku akan mendengarkanmu?"
Draco tersenyum di sudut bibirnya. Tentu saja Harry tidak akan diam tanpa melakukan apa pun tidak peduli jika nyawanya sudah di ujung tanduk sekali pun.
"Are you okay?" tanya Harry melihat Draco yang kini terduduk lemas sambil menggenggam erat lengan kanannya. Ia dengan susah payah duduk di depan Draco.
Draco hanya balas tersenyum. "Khawatirkan dirimu sendiri," katanya sambil melepaskan kacamata Harry yang sebelah lensanya sudah retak. Ia kemudian beralih mengelus lembut pipi Harry dan tidak berniat untuk melepaskan pandangannya dari manik emerald Harry.
"Draco," cicit Harry memanggil Draco.
"Hm?" Draco meminta Harry untuk melanjutkan perkataannya, karena Harry masih saja diam. Seolah ia tidak sanggup untuk sekedar bicara saja.
Harry menarik napas panjang. "Sorry..."
Draco mengernyit mendengar permintaan maaf Harry. Draco tau jika Harry sedang menahan air matanya. "Aku tidak mau mendengarnya lagi." Draco berucap tegas. Ia menarik tangannya dari wajah Harry, hanya untuk beralih menggenggam erat tangan Harry yang bergetar. "Aku tidak mau menyakitimu, namun aku melakukannya. Aku penjahatnya disini,"
Harry membalas genggaman tangan Draco. "Aku hanya— tidak mau membuatmu hancur lagi..."
Draco bisa merasakan jika dadanya begitu sesak melihat air mata yang akhirnya mengalir membasahi wajah Harry. Ia menggenggam tangan Harry makin erat. Harry tidak tau seberapa berharga dirinya bagi Draco. Harry tidak tau jika tidak ada dirinya, Draco makin hancur. Harry tidak tau jika Draco hanya membutuhkannya.
Draco perlahan tersenyum, menatap lurus pada netra emerald Harry yang tidak mau menatapnya. "Harry..."
"Bastard!"
Harry dan Draco terlonjak kaget mendengar teriakan memekakkan itu. Mereka berdua tak habis pikir, bagaimana mungkin Burton masih bisa berdiri dengan tubuh yang sudah bermandikan darah. Bahkan seingat Draco saat ia dilemparkan mantra Sectumsempra oleh Harry, untuk meminta tolong saja ia tidak sanggup. Namun melihat Burton yang masih menatap mereka dengan nyalang, Draco mengakui kehebatannya.
"Biar aku buat si brengsek itu tidak bisa bicara lagi," kata Draco geram melihat Burton yang masih bisa menyeringai pada Mereka.
Harry segera menahan lengan Draco. "Sayangnya, seorang Gryffindor selalu datang pada bahaya itu sendiri,"
Ingin sekali rasanya Draco memeluk pemuda yang menahan lengannya itu, memaksanya untuk diam dan menunggu hingga akhirnya mereka bisa pulang bersama. Namun siapa yang bisa menghentikan seorang Harry Potter? "Harry, kau benar-benar keras kepala," ia hanya bisa menghela napas pada akhirnya.
"Kalian terlalu banyak drama! Crucio!" teriak Burton murka sambil mengarahkan tongkatnya.
Harry dan Draco segera menghindar. Harry sedikit meringis saat merasakan jika kakinya hampir saja putus hanya karena ia melompat, namun ia tetap menahannya. Dan Draco kini benar-benar dibuat marah. Ia segera berdiri dan mengarahkan tongkatnya pada Burton, melemparkan berbagai mantra dan kutukan yang sayangnya berhasil dihindari oleh sang Death Eater.
"Lemah! Kau pikir serangan seperti itu bisa menghentikanku? Ha! Dasar bocah! Crucio!" Burton menyerang seperti orang gila. "Avada Kedavra!" teriaknya lagi saat Draco tiba-tiba saja tergelincir.
Nasib baik masih memihak Draco, ia berhasil menghalang kutukan itu.
Burton mendengus. "Kenapa kau masih berusaha melawan? Bukankah kau merindukan ibumu? Aku dengan baik hati akan mengantarmu menemuinya,"
Draco tidak bisa berhenti menatap tajam pria di depannya. Ia marah, begitu marah, namun Draco tau jika ia harus manahan dirinya. Lagipula, kakinya terlalu lemas untuk bergerak. Ia bersandar di sebuah pohon sambil mengacungkan tongkatnya pada Burton, namun tetap saja, Death Eater itu menghindari semua serangannya.
"Expelliarmus!" teriak Burton yang berhasil membuat tongkat milik Draco lepas dari pegangannya. Ia tertawa hingga menampilkan deretan giginya. "Ini adalah saat terbaik bagimu untuk mati, bocah,"
Draco tidak membalas, ia hanya bisa merasakan jika tubuhnya mulai merosot ke bawah. Sungguh, kedua kakinya sudah tidak sanggup lagi untuk berdiri.
"Kau masih harus melawanku!" sebuah suara menginterupsi. Harry yang masih kesulitan memaksa dirinya untuk berdiri. Ia segera memungut tongkatnya yang tergeletak di tanah, dan dengan susah payah, ia berjalan selangkah. "Dari awal, lawanmu itu aku, jadi ayo kita selesaikan saja pertarungan ini,"
Burton memandang Harry tanpa minat. "Kau masih mau melawanku? Dasar, sebaiknya aku bunuh saja kau!"
"Aku yang akan membunuhmu!" teriak Draco lantang.
Burton menyeringai. Mendapatkan hiburan baru. "Akan lebih seru jika aku yang membunuhmu duluan. Avada Kedavra!" teriak Burton mengangkat tongkat sihirnya.
Draco tidak bisa menghindar, ia tidak memiliki tongkatnya dan kedua kakinya juga tidak bisa diajak kerjasama. Tamat riwayatnya sekarang. Namun bukan itu yang terjadi. Kilatan cahaya itu tidak tertuju padanya.
"Harry!" Draco tidak ingat lagi jika kedua kakinya sudah lemas, dia sudah tidak peduli lagi jika seluruh tubuhnya serasa ingin hancur. Ia tidak percaya dan tidak ingin percaya. Tubuh itu terjatuh di tanah.
"Harry? Harry!" Draco tidak bisa berhenti memanggil nama pemuda yang kini berada dalam pelukannya. "Harry, please!" Draco menangkup wajah yang tidak akan pernah lagi memberikan senyum itu, air matanya mengalir membasahi wajah kaku Harry.
Draco terus memeluk tubuh itu erat, menangis, dan terus memintanya agar kembali. Ia tidak peduli lagi dengan sekitarnya, ia hanya ingin Harry. Ia tidak peduli saat Burton sudah pergi dari hadapannya, ia juga tidak peduli saat mendengar beberapa orang mendekatinya. Ia yakin jika mereka adalah para Auror.
"Ada apa ini?" teriak seseorang saat sudah berada di dekat Harry dan Draco. Ia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat menyadari siapa pemuda berambut hitam yang kini sedang ditangisi oleh sang Malfoy.
"Lewis Burton! Dia ada di sana!" teriak pria lainnya, langsung pergi menyusul Burton dan segera diikuti oleh rekan-rekannya.
Hanya satu rekannya yang tidak ikut pergi. Pemuda berambut merah itu terpaku di tempatnya. Lututnya melemas, ia dipaksa untuk duduk di tanah. "Harry..." Ron tidak perlu bertanya pada Draco apa yang terjadi. Ia sudah tau jawabannya. Kedua telapak tangan Ron menutupi seluruh wajahnya, mustahil ia tidak menangis.
Draco sama saja. Ia memeluk tubuh yang sudah tidak bergerak itu makin erat. Ia meminta maaf, meminta agar pemuda itu kembali, semua emosinya bercampur. Draco sungguh tidak peduli dengan apapun, ia hanya menginginkan raga yang ia peluk ini akan balas memeluknya, dan mengatakan jika semua akan baik-baik saja. Ia tidak peduli pada seorang Auror yang memintanya membawa jasad Harry dari sana, ia tidak mendengar mereka, ia tidak akan bergerak. Ia tidak akan pernah menyadarinya lagi, senyum manis itu tidak akan pernah ia lihat lagi, tatapan penuh kasih itu tidak akan pernah ia dapatkan lagi. Hanya satu hal yang Draco tau sekarang. Hanya dalam hitungan detik, ia kembali sendiri.
There's No Way Back — Completed
.
.
.
A/N
Hola~~ jumpa lagi~~
Gimana cerita kali ini? Iya... Sad ending itu emang kampret banget... Tapi kapan lagi kan? Masa yang manis manis terus, nanti diabetes lagi...
Dan makasih banyak buat yang selalu nunggu dan dukung cerita aku ini:) nggak nyangka udah sejauh ini...
Oke! Sampai jumpa di next chapter ya!
Bye bye!
