Chapter 6
Pagi ini cuaca sedang tak bersahabat.. Hujan turun dengan sangat deras disertai angin yang bertiup kencang. Banyak orang yang mengeluhkannya, awal yang buruk untuk memulai hari. Hujan membawa hawa lesu khususnya bagi mereka para pekerja dan siswa sekolah. Mereka bukannya bersemangat tapi malah mengantuk.
Hinata yang baru tiba di kantor mengeluhkan sepatunya yang basah kemasukan air. Ia membawa payung, tapi tetap tak dapat melindungi bagian bawah tubuhnya. Saat ia pergi tadi memang langit sudah sangat gelap, makanya ia membawa payung dari rumah. Tak lama setelah bus yang ia tumpangi berjalan, Hujan tiba-tiba turun dengan derasnya menyebabkan jalanan digenangi air. Bahkan sampai ia memasuki gedung perusahaan pun hujan tak juga berhenti.
Tenten yang baru tiba langsung menyapa Hinata yang masih mengomel sendiri.
"Pagi Hinata~"
Hinata yang melihat kedatangan Tenten membungkukkan badannya singkat dan membalas sapaan Tenten.
"Pagi senpai~ Hujan dipagi hari benar-benar membuat mood jelek ya senpai." Hinata melepas sepatunya dan berganti dengan sandal santai yang memang ia simpan di bawah mejanya. Tenten yang baru datang langsung duduk di mejanya dan membalas ucapan Hinata dengan senyuman kecil.
"Ya.. mau bagaimana lagi" Tenten mengecek kembali berkas yang ada di mejanya. Ia berniat untuk melanjutkan laporannya yang semalam tertunda. Dengan menyalakan komputernya, Tenten mulai membuka file laporan yang belum rampung.
Hinata hanya ber-hmm ria menanggapi Tenten. Ia bangkit dari mejanya berniat untuk membuat kopi di pantry ia juga tak lupa menawari Tenten yang dibalas anggukan oleh gadis berambut cokelat tersebut.
Setelah kembali dari pantry, Hinata meletakkan segelas kopi panas di meja Tenten.
"Silakan senpai~"
"Terimakasih Hinata~ kau memang rekan yang terbaik!" Balas Tenten seraya mengacungkan jempol dengan senyuman di wajahnya.
Hinata tertawa kecil sambil melambaikan tangan di depan wajahnya. Ia duduk dan meletakkan gelas kopinya di meja.
'ring ring~'
Hinata meraih ponselnya yang berdering. Nomor tak dikenal, ia awalnya enggan untuk menjawabnya. Ia meletakkan kembali ponsel itu di atas meja. Namun panggilan itu tak juga berakhir, akhirnya Hinata pun menjawab panggilan itu.
"halo.. dengan siapa?"
'...'
"Benar.. ada apa, pak?"
'...'
Hinata melotot, Ia menutup mulutnya yang terbuka.
"Saya akan segera kesana sekarang!"
Napas Hinata memburu, ia segera bangkit dari kursi dan mengemasi barangnya. Tenten yang tadi mendengar Hinata suara lantang Hinata saat berbicara di telepon pun heran dan menanyai Hinata.
"Ada apa Hinata? mengapa kau terlihat begitu panik?" Tenten menghampiri Hinata yang kini matanya memerah menahan tangis.
"A-aku harus pergi sekarang senpai! t-tolong beritahu pada pak Sasori bahwa aku.. aku izin untuk hari ini!" Hinata tak dapat menahan lagi, tangisnya pecah dan ia segera berlari menuju lift untuk segera meninggalkan kantor.
Tenten sangat terkejut dan penasaran akan apa yang sebenarnya terjadi. Ia yakin sesuatu yang buruk pasti telah terjadi. Ia akan memberitahu Sasori, sang kepala divisi tentang keabsenan Hinata nanti.
.
.
Hinata berlarian di lantai 1 menuju luar gedung. Sasori yang saat itu baru masuk ke dalam gedung melihatnya dan merasa heran mengapa Hinata berlarian di dalam gedung dengan terus mengusap matanya.
"Hinata! tunggu!" Sasori mengejar Hinata yang akan keluar, Hinata berhenti dan menangis di depan Sasori. Ia menatap Sasori dengan tatapan yang sangat menyedihkan.
"Ada apa?" Tanya Sasori lagi.
Orang-orang yang ada di lantai 1 pun memperhatikan mereka.
Hinata yang sesenggukan mencoba untuk menjawab Sasori dengan suara yang terbata, ia berkata, "Pak, S-saya harus segera ke rumah sakit s-sekarang!"
"Kenapa? apa yang terjadi? siapa yang sakit?" Sasori menghujaninya dengan pertanyaan. Namun ia segera menyadari bahwa Hinata mungkin tak dapat menjawabnya sekarang. Maka ia menawari Hinata untuk mengantarkannya ke rumah sakit. Tanpa pikir panjang, Hinata menyetujuinya. Ia hanya ingin agar sampai di rumah sakit secepatnya.
Di luar, hujan sudah mulai reda. Hinata dan Sasori segera bergegas ke parkiran menuju mobil Sasori. Mereka berdua masuk dan Sasori segera melajukan mobilnya menuju Rumah sakit yang telah disebutkan oleh Hinata tadi.
.
.
.
Sesampainya di rumah sakit, tanpa berlama-lama Hinata segera turun dari mobil dan berlari menuju sebuah kamar pasien. Hinata tadi mendapat telepon dari kepolisian yang menginformasikan bahwa Hanabi mengalami kecelakaan tabrak lari saat ia hendak berangkat sekolah.
Hinata melihat beberapa polisi yang sedang berjaga di depan sebuah kamar pasien.
"Pak polisi!" Hinata mengatur napasnya yang terengah-engah
"Apakah anda nona Hinata hyuuga?" Tanya salah seorang polisi itu.
"Benar! Saya kakak dari Hanabi. bagaimana keadaan adik saya pak??" Hinata mulai menangis dengan keras
Sasori baru muncul dan mulai menenangkan Hinata yang sedang menangis di hadapan para polisi.
"Hinata tenanglah." Sasori merangkul tubuh lemah Hinata dan mengusap pundaknya berusaha untuk menenangkannya.
"Nona, adik anda sedang berada di dalam kamar perawatan. Para dokter sedang memeriksa keadaan adik anda. Seperti yang kami katakan tadi, adik anda mengalami tabrak lari saat ia sedang menyeberang jalan menuju sekolahnya. Kami sedang menyelidiki kendaraan yang menabrak adik anda dan kami berjanji akan menangkap pelakunya." Terang salah satu polisi pada Hinata. Sasori menatap kasihan pada Hinata yang masih menangis sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
"Terimakasih sudah membawa adik rekan saya ke rumah sakit pak, dan mohon bantuannya untuk segera menangkap pelaku tabrak lari itu." Sasori berucap mewakili Hinata yang tak kuasa menahan tangisnya. Ia tak menyangka Hanabi akan mengalami ini. Padahal pagi tadi tak ada firasat apapun, namun tuhan rupanya sedang ingin memberi ujian pada Hinata dan adiknya.
"Baik, kami pamit tuan dan nona. Kami akan segera mengabari anda nanti"
Sasori mengangguk dan mempersilakan para polisi itu pergi.
Hinata dibawa duduk oleh Sasori. Ia masih berusaha menenangkan Hinata. Sebagai atasan, Sasori sedikit mengetahui kehidupan Hinata yang telah ditinggal oleh orangtuanya dan hanya tinggal berdua bersama adik perempuannya. Ia merasa kasihan pada gadis muda yang sedang rapuh di sampingnya ini. Ia mengerti Hinata pasti merasa sangat terpukul akan kejadian yang sangat tiba-tiba ini.
Tak ada yang berbicara, Sasori hanya sesekali mengusap punggung Hinata. Tubuhnya bergetar sesenggukan. Sasori jadi tak tega melihatnya..
'ring ring'
Ponsel di saku celana Sasori berdering. Ia segera mengambilnya dan melihat nama pemanggilnya. Itu adalah panggilan dari asistennya, ia diminta untuk segera ke kantor sekarang karena Urashiki mencarinya.
Setelah menutup panggilan, Sasori kembali menatap Hinata yang kini sudah melepas telapak tangan dari wajahnya. Hinata menatap Sasori dengan pandangan sendu.
"Hinata... maafkan aku, aku harus segera ke kantor sekarang. Ada urusan penting, aku berjanji akan datang lagi kesini setelah urusanku selesai." Sasori menyibak rambut Hinata yang menghalangi sebagian wajahnya.
"Terimakasih pak, terimakasih sudah menemani saya untuk datang kesini. saya sangat menghargai itu pak. terimakasih.." Ucap Hinata lirih. Sasori mengangguk dan mengatakan bahwa itu bukanlah masalah.
Ia segera bangkit dan berpamitan pada Hinata. Ia berjanji akan datang nanti, Hinata membalasnya dengan senyum kecil.
.
.
.
Seorang dokter keluar dari ruangan dimana Hanabi sedang ditangani. Hinata langsung bangkit dan menghampiri dokter tersebut.
"Dokter! bagaimana keadaan adik saya?"
Sang dokter memperbaiki letak kacamatanya.
"Pasien dalam keadaan kritis, kami harus segera mengambil tindakan operasi pada otaknya. ia mengalami benturan yang cukup keras di bagian kepala yang menyebabkan ia mengalami cedera yang cukup serius di bagian kepalanya. Anda harus segera mengurus administrasinya, saya permisi." Sang dokter wanita itu segera menjauh dari ruangan Hanabi. Hinata bertambah histeris, ia mana punya uang sebanyak itu...
dengan langkah gontai ia berjalan menuju bagian administrasi dan mengambil formulir persetujuan untuk tindakan operasi bagi adiknya. Setelah ia melihat biayanya, matanya melotot terkejut dengan biaya yang sangat besar itu. Hampir sama dengan seluruh hutang Neji beserta bunganya. Namun yang Hinata pedulikan saat ini adalah kesembuhan Hanabi.
.
.
.
"Halo, Tuan... Saya.. saya menerima t-tawaran anda y-yang waktu itu" Hinata terbata berbicara dengan seseorang di seberang sana. Kini ia berada di luar rumah sakit, adiknya sudah dipindahkan ke ruang operasi. Ia berdo'a agar adiknya diberi kesembuhan dan keselamatan. Ia berharap operasinya berjalan dengan lancar.
Ia berada di sebuah kafe tak jauh dari rumah sakit tempat Hanabi dirawat.
'...'
"Tuan harus memberi saya uang dimuka. Saya butuh uang itu sekarang.." Lirihnya
'...'
"Saya akan mengirimkan lokasi saya sekarang pada anda." Hinata menutup teleponnya sepihak. Ia tadi berbicara pada Toneri. Ia memutuskan untuk menerima tawaran tak masuk akal dari Toneri. Ia tak punya pilihan lain, ia butuh uang yang sangat besar sekarang. Ia tak peduli apapun, ia hanya ingin kesembuhan adiknya. Setelah ia mengirim lokasinya pada Toneri, ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya dan mulai menangis lagi.
Tak butuh waktu lama bagi Toneri untuk sampai di kafe yang Hinata sebutkan tadi. Wajahnya terlihat sangat cerah, dengan senyum lebar ia menghampiri meja Hinata. Mata Hinata terlihat memerah dan sembab. makeupnya sedikit luntur dan penampilannya agak...berantakan. Toneri mengangkat alisnya melihat keadaan Hinata saat ini.
"Hinata?" panggilnya.
Hinata mendongakkan kepalanya dan mempersilakan Toneri duduk di depannya.
"Tuan, apakah Tuan membawa uangnya?" Tanya Hinata tanpa basa basi. Toneri mengangguk dan meletakkan koper berisi uang di atas meja.
Ia menatap tajam pada Hinata, mencoba untuk mencari jawaban dari gadis itu.
Hinata mulai menangis lagi, Toneri yang tak tega melihatnya seperti itu pun bangkit dan segera memeluk Hinata. "Apa yang terjadi?" Tanyanya khawatir.
Hinata sambil sesenggukan mendorong pelan tubuh pria didepannya ini mencoba melepaskan pelukan darinya.
"Adik saya... adik saya kecelakaan dan harus segera di operasi.. itulah mengapa saya menyetujui tawaran anda itu..." Hinata berhenti menangis. Namun air matanya masih terlihat mengalir dari sudut matanya.
Toneri kembali duduk setelah memberikan beberapa lembar tissue pada Hinata.
Hinata mengusap air matanya hingga kering. Ia tertunduk di hadapan Toneri. Keputusannya sudah bulat, ia telah menyetujui tawaran Toneri untuk menjadi budak seksnya. Sebenarnya Hinata sangatlah takut, namun karena adik kesayangannya ia rela mengorbankan diri.
.
.
.
.
Toneri dan Hinata sedang duduk menunggu di depan ruang operasi, sudah sejam yang lalu mereka meninggalkan kafe dan melunasi biaya operasi Hanabi. Kini mereka menunggu hasilnya. Hinata berharap kesembuhan bagi Hanabi. Toneri sedari tadi setia menemani Hinata. Tak ada keluarga yang mendampingi, maka ia harus berada di sisinya saat ini terlebih secara tak langsung saat ini Hinata adalah 'miliknya'.
Para suster yang berlalu lalang disekitar koridor rumah sakit mencuri pandang pada sosok Toneri, mereka berbisik-bisik dan terdengar cekikikan. Hinata merasa risih akan hal itu , namun ia tak begitu memperdulikannya.
.
30 menit kemudian, seorang dokter keluar dari ruang operasi.
Hinata segera bangkit dan menanyakan adiknya.
"Operasinya berjalan dengan lancar, nona Hanabi akan dipindahkan ke ruang perawatan. Anda tidak perlu khawatir. Kita hanya perlu menunggu hingga adik anda siuman." Dokter blonde itu tersenyum dan meninggalkan Hinata yang membungkuk sambil mengucapkan terimakasih.
Toneri bangkit dan merangkul Hinata yang menangis lega.
Tak lama, para perawat keluar dengan mendorong ranjang Hanabi. Hinata hendak melihat adiknya dan mengikutinya namun salah seorang perawat menghentikannya dan memintanya untuk menunggu hingga adiknya siuman baru diperbolehkan untuk menjenguk. Hinata dan Toneri tetap mengikuti kemana para perawat membawa adiknya. Sampailah mereka di depan sebuah kamar privat. Namun lagi-lagi mereka ditahan oleh salah seorang perawat untuk tak ikut masuk ke dalam. Hinata dan Toneri hanya mengintip di balik pintu yang transparan.
Toneri membawa Hinata untuk duduk di kursi tunggu.
"Kita akan menunggu Hanabi siuman." Toneri buka suara, Hinata mengangguk.
"Aku akan mengabari kepala divisimu tentang ini" Lanjutnya.
"Pak Sasori sudah tau, bahkan beliau yang tadi mengantarkan saya kesini, Tuan" Balas Hinata.
Toneri tampak terkejut namun ia berpura-pura tidak peduli. Ia hanya mengangguk. Mereka berdua kembali terdiam..
"Hinata, ini sudah waktunya makan siang. Bagaimana kalau kita keluar untuk cari makan?" Tawar Toneri
Hinata menggeleng.
"Saya akan menunggu Hanabi sadar, tuan." Balasnya sambil tersenyum simpul
"Tidak bisa! kau harus makan!"
Hinata sedikit terkejut dengan nada bicara Toneri.
Toneri yang menyadari itu langsung berdehem dan melanjutkan, "Kau butuh makan agar kau bertenaga. Aku akan membelikanmu makanan, kau mau apa? aku tak tau makanan kesukaanmu." Ucapnya seraya bangkit. Hinata pun mengalah, sejujurnya ia merasa lapar...
"Saya mau sushi saja tuan. terimakasih"
"Baiklah.. oh ya, jangan terlalu kaku begitu dong.. kau bisa berbicar santai padaku.. dan.. jangan panggil aku tuan di luar kantor. panggil aku dengan namaku, okay?" Toneri bangkit dan mengusap pipi Hinata pelan. Hinata hanya diam saja lalu mengangguk singkat.
Toneri segera pergi untuk membeli makanan.
Ponsel Hinata berdering, itu panggilan dari Tenten.
"Halo, Senpai... Ah, iya pak Sasori yang memberitahu ya.., adik saya baru selesai di operasi.."
'...'
"Tak apa senpai, di kantor pasti sedang sibuk ya.. maaf ya saya tiba-tiba harus izin..."
'...'
"Baik, baik senpai.. terimakasih"
Hinata menutup panggilan dari Tenten dan menaruh ponselnya ke dalam tas, saat ia hendak berdiri ia terkejut mendapati Toneri yang berdiri tepat di hadapannya.
"Tu- Toneri! kau membuatku kaget.." Ucapnya seraya bangkit dari kursi. Toneri diam tak menanggapi.
"Kau mau kemana?" Tanyanya setelah meletakkan bungkusan makanan di kursi.
"Aku.. mau ke toilet sebentar, permisi." Hinata masih merasa sedikit aneh berbicara santai begini pada Toneri, namun ia harus membiasakan diri karena Toneri yang memintanya.
Hinata berjalan menuju ke toilet rumah sakit. Sepanjang perjalanan ia terus membatin, mengapa ia akhir-akhir ini bersikap lebih lembut pada Toneri.. padahal di awal-awal mereka bertemu, Hinata bahkan berani memaki-makinya. Apakah karena Hinata akhirnya tau bahwa Toneri adalah boss di perusahan ia bekerja atau... karena Toneri telah membantunya dua kali...
Ia mempercepat langkahnya menuju toilet dan segera menyelesaikan urusannya di sana.
.
.
.
.
.
"Tidak usah tuan, ah maksudku Toneri.. aku bisa makan sendiri.." Hinata menolak saat Toneri hendak menyuapinya Potongan sushi. Toneri cemberut dan tetap memaksa agar Hinata mau membuka mulutnya.
'Hah... kekanakan sekali pria ini' Batin Hinata.
Dengan berat hati ia pun membuka mulutnya dan menerima suapan dari Toneri.
Setelah selesai makan, Toneri bangkit untuk membuang sampah sisa makan mereka.
Hinata malu. ya. Dia sangat malu. Semua orang yang lewat di sekitar tempat dimana Hinata dan Toneri berada melihat adegan suap menyuap mereka. Bahkan Hinata sempat mendengar beberapa perawat yang lalu lalang berbisik-bisik mengatakan bahwa mereka terlihat serasi, dan menerka-nerka bahwa mereka adalah pasangan suami istri yang baru menikah dan sedang di mabuk asmara... haha lucu sekali, Hinata miris mengingat hubungannya dengan Toneri hanya sebatas boss dan karyawan, atau... master dan budak seksnya... Hinata membayangkan apa yang akan terjadi nanti bila Toneri menagih janjinya.. 'Astaga.. mati aku!'
.
.
.
.
Hanabi telah siuman satu jam yang lalu. Hinata saat ini berada di dalam ruangan tempat Hanabi dirawat. Baru saja rekan-rekan kerja Hinata meninggalkan tempat ini. Hinata terharu ternyata rekan-rekan kerjanya peduli padanya dan juga adiknya. Kalau Tenten tak perlu ditanya lagi, mereka sangat akrab. Sebelum para rekan kerjanya termasuk Tenten datang menjenguk, Toneri sudah terlebih dahulu pergi. Untung tadi Tenten memberitahunya kalau mereka akan datang, jadi ia bisa memberitahu Toneri untuk segera pergi dari ruangan itu. Ia tak mau rekan kerjanya malah mengira yang macam-macam.. biar bagaimanapun Toneri adalah boss mereka. Dan Hinata adalah karyawan baru disana. akan beredar gossip yang tidak-tidak kalau karyawan lain memergokinya sedang bersama Hinata.
.
.
Jam menunjukkan pukul 6 sore, Toneri telah kembali ke dalam ruangan Hanabi dan menemui Hinata di sana. Ia duduk di sofa ruangan sambil bermain ponsel sedangkan Hinata duduk di samping ranjang Hanabi dan mengelus lengannya. Hanabi saat ini sedang tertidur setelah tadi diberi makan oleh Hinata.
Seseorang mengetuk pintu dan Hinata membukanya, tadi ia sudah melihat dari bagian transparan di pintu bahwa orang yang mengetuk adalah Sasori. Ia mempersilakan Sasori untuk masuk. Saat Sasori masuk, ia terkejut melihat Toneri sedang duduk di sofa. Hinata menepuk jidatnya. Ia lupa bahwa Toneri ada di dalam... 'Aduh mampus aku'
"Toneri?? ngapain kamu di sini?" Sasori menunjuk-nunjuk Toneri dengan tidak sopannya. Hinata kaget, mengapa Sasori berani bersikap begitu pada Toneri.
Toneri yang mendengar suara Sasori pun hanya menanggapinya dengan malas.
"Aku menemani Hinata." Ada perasaan aneh saat Sasori muncul. Toneri merasa tak suka Sasori datang berkunjung..
"Ada hubungan apa kau dengan Hinata?" Tanya Sasori menyelidik sambil duduk di samping Toneri.
Hinata membiarkan mereka berdua berbincang. dan ia kembali duduk di samping ranjang adiknya.
'Pak Sasori ini mau menjenguk adikku atau berbicara pada orang mesum ini sih..'
"Bukan urusanmu. mengapa kau datang??" Tanya Toneri dengan tidak santainya.
Seakan teringat sesuatu, Sasori menepuk jidatnya dan bangkit menuju kursi Hinata dan memberikan sekantong buah yang tadi ia bawa.
"Maaf, gara-gara melihat Toneri aku jadi lupa tujuan utamaku kesini" Sasori tertawa pelan.
"Tidak ada apa-apa pak, saya berterimakasih karena bapak meluangkan waktu untuk menjenguk adik saya. dan saya berterimakasih sekali loh untuk yang tadi pagi.." Hinata tersenyum tulus sambil menerima sekantong buah dari Sasori.
"Ah itu bukan apa-apa."
"Adikmu sudah siuman?" Lanjutnya.
"Sudah pak, ia hanya tertidur saat ini." Balas Hinata seraya mengusap lengan adiknya yang tertidur.
"Silakan duduk pak" Ucap Hinata seraya mempersilakan Sasori untuk duduk.
"Oh iya, kalian terlihat akrab ya pak ." lanjutnya sambil tersenyum.
"Haha, kami adalah teman semasa kuliah." Balas sasori.
Hinata hanya ber-oh ria menanggapinya.
.
.
.
.
Bersambung..
