Disclaimer : BoBoiBoy Galaxy milik Monsta Studio, cerita dan karakter original milikku.
Main Genre: Thriller/Action/Mystery
Others : Friendship-Family
Warning! OOC! Elemental as Siblings, humanoid alien and robot, OC etc.
•••
Sebenarnya Halilintar sudah terbiasa begadang. Jam tidurnya memang sejak awal tidak teratur. Ia bahkan dapat seharian penuh membuka mata lebar-lebar di depan komputer demi pekerjaannya. Kondisi itu mungkin sudah mampu menggeser rekor tidak tidur seharian milik Solar.
Akan tetapi, itu untuk keadaan tertentu dan jelas alasannya. Berbeda dengan sekarang, Halilintar tidak dapat terlelap dikarenakan ada hal lain mengganggu pikirannya. Padahal, dia sedang butuh untuk merehatkan tubuhnya setelah perjalanan cukup jauh antara Kota Hilir dan Pulau Rintis. Namun, tampaknya keadaan tidak memberinya izin. Kalau begini terus, dia perlu sesuatu.
Halilintar bangkit dari acara tiduran kemudian mengusap wajahnya kasar.
"Aku perlu minum kopi."
Benar, dia butuh secangkir kafein tersebut agar beban di kepalanya sedikit ringan.
Ketika ia keluar dari kamar, suasananya tampak hening. Tidak ada aktivitas apa pun selain suara kucing bergaduh satu sama lain di luar sana menjadi alunan melodi tengah malam. Belum lagi lampu temaran yang memang sengaja Gempa nyalakan.
Alasannya simpel. Karena untuk berhemat.
Mengingat itu, helaan napas pelan lolos dari bibir Halilintar. Ia tidak tahu harus bersyukur atau meringis dengan betapa hematnya seorang Gempa. Namun, ya sudahlah. Selama itu membuatnya senang Halilintar tidak masalah.
Suara derap langkah kaki terdengar ketika Halilintar turun dari anak tangga menuju lantai bawah. Bersamaan dengan itu, kedua alisnya bertaut heran kala cahaya temaram masih terang di dekat dapur. Tanpa sadar Halilintar mempercepat langkah kakinya hingga akhirnya tiba di dapur.
Dari ambang dapur, Halilintar mendapati seseorang berdiri membelakangi. Tangannya bergerak seakan sedang mengaduk sesuatu. Aroma yang sangat dikenali olehnya tercium dari jarak yang cukup jauh itu. Meskipun tidak terlalu terang, tetapi Halilintar tahu siapa yang tengah malam seperti ini malah membuat kopi.
"Solar," panggilnya.
Orang itu tersentak, menandakan bahwa tebakan Halilintar benar. Ia perlahan berbalik ke arahnya.
"Eh, Kak Hali. Belum tidur?" Solar bertanya basa-basi.
"Harusnya itu pertanyaanku. Tengah malam begini bikin kopi. Begadang lagi?" tebak Halilintar berdiri di sebelah Solar.
"Mau gimana lagi?" Solar mengangkat bahunya tak acuh, lalu melirik sang kakak sulung. "Pekerjaanku banyak yang belum beres. Kalau terus dibiarkan akan semakin bertambah. Itu merepotkan tahu," keluhnya.
Halilintar mengambil cangkir, lalu diisi bubuk kopi kemudian ditambahkan sedikit gula.
"Aku sudah pernah bilang jangan mengambil banyak pekerjaan. Fokus utamamu itu kuliah sekarang."
Solar berbalik sambil bersandar pada meja konter. "Agak geli mendengar kalimat itu justru lolos dari bibir orang dengan pekerjaan menggunung. Aku terpukau, Kak Hali," sindir Solar seraya terkekeh kecil, lalu meneguk sedikit kopi di tangannya. Alisnya dikernyitkan. "Ck, pahit."
"Biasanya juga bikin cappuccino," cetus Halilintar.
"Mencoba hal baru."
"Dan ternyata tidak cocok?"
Solar mendelik sinis. "Berisik."
Tak ada balasan dari Halilintar. Pemuda itu sudah lebih dulu beranjak dari dapur dengan secangkir kopi hitam di tangannya.
"Mau ke mana?"
Halilintar berhenti, lalu menoleh sedikit. "Kenapa? Masih ada hal perlu dibicarakan?" tebaknya.
Solar terdiam sebentar, lalu menggeleng. "Tidak ada."
•••
Bohong.
Halilintar tahu kalau adiknya itu tidak pandai berbohong.
Dia bilang tidak ada pembicaraan lagi, tetapi apa yang terjadi sekarang? Adik bungsunya itu justru duduk tenang di sofa tepat di sebelah kanannya. Belum lagi raut wajahnya tampak seolah tidak ada apa-apa.
"Kau bilang nggak ada."
"Memang nggak ada. Kenapa kau sepertinya curiga sekali, Kak Hali?" Solar menaruh cangkirnya di atas meja, lalu melirik sang kakak lewat ekor matanya.
"Masalahnya tumben sekali sejak aku pulang, kau mendekatiku terus. Padahal, tiga bulan kau mana pernah begini. Malah terlihat seperti orang dengan dendam pribadi." Halilintar berujar datar, lalu meminum kopi hitamnya. Keningnya sedikit berkerut saat cairan hitam pekat dicecap lidahnya. "Ck, harusnya tadi nggak pakai gula saja."
Solar mencibir. "Justru itu bagus. Biar hidupmu ada manis-manisnya walaupun sedikit."
Delikan mata kesal Halilintar dilayangkan pada sang adik. Meski begitu, ia tidak lagi berkomentar soal kopi kemanisannya. Lagipula itu memang kesalahan dia sendiri karena melamun sedikit.
Cangkir kopi itu tidak ditaruh, melainkan ia pegang. Sedangkan tangannya yang satu lagi mengambil remote lalu menyalakan televisi.
Solar berdecak sebal. "Kenapa nyalain TV sih?"
"Biar nggak sepi. Mengobrol bersamamu tidak ada bedanya dengan patung."
"Itu harusnya kalimatku ya, Kak."
"Bodo amat." Halilintar membalas cuek dan kembali fokus menonton televisi. Siaran tengah malam tidak begitu beragam selain berita atau film yang dikhususkan untuk orang-orang dewasa. Seperti berjenis gore atau bahkan penuh aksi berdarah.
Itu bukan masalah. Setidaknya bukan siaran horror atau Halilintar tidak akan pernah bisa tidur tenang kemudian.
Sulung dan bungsu dari tujuh bersaudara itu akhirnya terdiam untuk sementara. Solar yang awalnya mencibir pun turut ikut menonton. Bahkan matanya tidak berpaling sedikit pun dari layar kaca yang kini menampilkan film bergenre laga dari barat.
"Hei, Solar."
Solar menyahut tanpa menoleh. "Apa?"
"Sebenarnya ada hal ingin kau ketahui, bukan? Tentang ayah?" tebak Halilintar ketika adiknya itu menolah dengan sorot terkejut.
"Kak, aku-" Perkataannya terhenti saat Halilintar mengangkat telapak tangannya, tanda agar dia berhenti bicara.
"Aku tahu. Tidak perlu dijelaskan." Halilintar meniup kepulan asap dari kopinya yang sebenarnya sudah mendingin, itu hanya refleks. "Solar, aku tidak melarang pekerjaanmu sekarang. Selain dapat membantuku dalam beberapa hal, itu juga memang hobimu. Tapi, satu aja."
Halilintar memandang sejenak pada kopi di tangannya. Air di dalamnya memantulkan bayang wajah yang begitu serius. Namun, netranya melembutkan sorotnya perlahan.
"Kadang terlalu terlalu banyak mengetahui sesuatu itu tidak baik. Selain membuat overthinking, juga jadi alasan kepercayaanmu pada orang lain terganggu."
Terkadang keingintahuan berlebih dapat menimbulkan dua hal. Entah itu bersifat positif atau bisa jadi negatif.
"Jika memang dampaknya sebesar itu, kenapa kau tetap lanjut? Bukannya itu merugikanmu sendiri, Kak?" Solar masih teguh ingin mendapatkan jawaban pasti.
Namun, bukan jawaban yang Solar dapat melainkan tatapan yang sangat jarang Halilintar perlihatkan pada siapapun. Ketika sorot itu muncul, artinya Halilintar ingin jika orang tersebut mampu memahami alasannya.
Biasanya hanya Taufan dan Gempa yang sering melihat sisi lembut kakak sulung mereka. Tapi kini, kakak yang bagaikan musuh bebuyutannya itu memperlihatkan padanya.
"Ada hal yang tidak bisa dikatakan secara gamblang alasannya, Solar. Termasuk aku. Kenapa? Ketika kau mengetahui hal yang seharusnya tak diketahui, apalagi kalau itu hanya membuatmu sedih dikemudian hari."
Halilintar menaruh cangkir kopi di tangannya ke atas meja sebelum melanjutkan kalimatnya.
"Karena apa? Hal itu akan membuyarkan fokusmu. Sesuatu yang tadinya terarah malah berubah. Ingat, hati manusia kadang akan mudah terdistraksi jika ada pemicunya. Bagaiman kalau itu negatif?" Ia menarik napas pelan.
"Aku tidak mau membayangkan jika hal buruk menimpa keluarga kita lagi. Maka dari itu, tolong sekali saja dengarkan apa kata kakakmu ini." Halilintar menoleh padanya. "Jangan sampai ada berita buruk datang dari kalian."
Kedua sudut bibirnya melengkung ke atas membentuk senyuman kecil nan manis.
Solar mengerjapkan matanya. Ia nyaris terlena dengan senyuman sang kakak sulung, terlalu kaget.
"Solar?" Nada suaranya sudah berubah kembali. Dingin dan datar.
Apa barusan itu hanya ilusi? Solar menggeleng, menyadarkan dirinya. Ia menatap Halilintar sejenak, lalu mengangguk, "... Paham," katanya pelan.
"Bagus."
Keduanya terdiam kembali. Televisi kini menayangkan bagian akhir dari film laga yang sebenarnya tidak benar-benar ditonton mengingat keduanya larut dalam pembicaraan serta pikiran masing-masing yang melanglang buana.
Namun, keadaan tersebut tak berlangsung lama sampai Solar mengatakan sesuatu.
"Omong-omong, Kak."
"Apa?"
"Kau kesambet di mana? Tumben sekali bisa berkata bijak begitu. Tidak mungkin ini Kak Gem, kan?"
Perempatan imajiner muncul di pelipis Halilintar. Senyum kaku di bibirnya karena menahan kesal.
"Kak Hali? Ini memang kau, kan?"
"Menurutmu?"
Tenang, Halilintar harus tenang.
"Seperti jawaban tadi. Aku meragukan itu."
CTAK!
"Selain itu, kapan coba seorang Halilintar bin Amato bisa senyum manis? Tidak mungkin."
CTAK!
"Tapi, kalaupun memang sungguh Kak Hali, ini berita yang patut dibagikan."
Baiklah.
Sudah cukup.
Tidak ada kata tenang lagi di kamus Halilintar sekarang. Ia mengepalkan tangan kanannya lalu melayangkan sebuah pukulan telak pada kepala Solar sebagai bentuk pelampiasan kekesalan.
BUGH!
"ARGHHHH SAKITTT!"
Setelah itu, Halilintar beranjak dari ruang keluarga sambil membawa kopinya dan kembali menaiki tangga menuju kamarnya. Tidak peduli kalau adik bungsunya saat ini sedang meringis kesakitan.
"KAK HALI JANGAN PERGI BEGITU SAJA!"
"Jangan berteriak, masih dini hari."
"WOYLAH!"
"SOLAR JANGAN BERISIK DI JAM DUA MALAM BEGINI!" Seruan itu berasal dari kamar Gempa. Agaknya dia terganggu karena suara teriakan Solar.
"MAAF KAK GEM!"
Pembicaraan itu berakhir dengan baik. Meskipun ada cekcok sedikit, tapi tidak masalah.
•••
Di suatu tempat, tampak seseorang berdiri sambil menatap pria paruh baya yang kini sudah tergeletak. Ada luka menganga di bagian leher dan perut serta beberapa sayatan kecil pada lengannya.
"Mari mulai kembali permainan lamannya."
•••
To be continued
Hello!
Bagaimana dengan chapter sekarang?
