Chapter 7
(Mulai dari sini bahasa kayaknya mulai banyak pakai bahasa gaul dan sifat Hinata jadi lebih pemalu dari chapter sebelum-sebelumnya dan tidak kasar lagi)
Sudah tiga bulan berlalu sejak kejadian kecelakaan yang dialami Hanabi. Pelaku tabrak lari sudah ditangkap dan kini mendekam di penjara. Hanabi sudah mulai pulih, ia pun sudah kembali belajar di sekolah seperti biasa. Hubungan antara Toneri dan Hinata belum terlalu intens, Toneri pun belum melakukan apa-apa pada Hinata karena ia mengerti bagaimana sibuknya Hinata bekerja sambil mengurus adiknya pasca operasi. Sebenarnya Toneri sudah tak tahan ingin menerkam Hinata setiap saat. Namun entah mengapa ia selalu berusaha menahan diri pada wanita itu.
Hinata baru tiba di kantor, ia datang pagi-pagi sekali. Bahkan rekan satu divisinya belum ada yang datang.
Hinata sengaja datang terlebih dahulu untuk memeriksa laporan yang ia susun semalam sebelum menyerahkannya pada atasannya, Sasori.
30 menit berlalu, semua rekan kerja Hinata telah hadir, termasuk Tenten yang sangat dekat dengannya. Tenten banyak membantunya mengurus Hanabi. Bahkan tak jarang setelah pulang kerja ia menyempatkan diri untuk mampir dan membantu Hinata memasak.
"Selamat pagi pak Sasori!" Sapa beberapa rekan kerja Hinata. Hinata yang tak menyadari kehadiran Sasori pun segera bangkit dan mengucap salam pada atasannya itu. Sasori mengangguk dan berhenti di depan Hinata. Ia bertanya mengenai kabar Hanabi. Setelah berbasa-basi, Sasori segera meninggalkan meja Hinata dan masuk ke ruangannya.
"Ppssst, Hinata.. Kau merasa kalau pak Sasori itu perhatian sama kamu gak?" Tenten sedikit berbisik pada Hinata.
Hinata menaikkan sebelah alisnya dan menggeleng.
"Hmmm? Tidak tuh senpai.. perasaan senpai saja, kali.." Hinata tertawa kecil menanggapinya. Tenten mendengus pelan, "Semua orang membicarakannya loh Hinata... jangan-jangan beliau suka sama kamu!" Balas Tenten excited.
"Tidak mungkin lah senpai... pak Sasori baik pada kita semua kok.." Hinata bangkit dari kursinya.
"Kalau dia nembak kamu, kamu bakal terima gak?" Tenten tak henti-hentinya menggoda Hinata hingga pipinya perlahan memerah
"Ah, senpai.. mana mungkin.. oh iya, aku mau antar laporan ini pada pak Sasori dulu ya, senpai." Hinata berlalu dan Tenten tertawa karena ia puas menggoda Hinata.
"Permisi pak." Hinata mengetuk pintu ruangan Sasori yang dibalas anggukan oleh Sasori dari dalam. Ruangan Sasori transparan, jadi ia dapat melihat Sasori dari luar. Setelah masuk, ia memberikan map berisi laporan yang telah rampung ia kerjakan.
"Saya mau menyerahkan laporan keuangan bulan ini, pak."
"Baik, letakkan di atas meja." Perintah Sasori sambil tersenyum menatap Hinata.
Hinata membungkukkan badannya seraya pamit.
"Hinata... kau sakit? wajahmu kelihatan sangat merah. kamu demam ya?." Tanya Sasori seraya bangkit dari kursinya dan menghampiri Hinata. Hinata yang barusan digoda oleh Tenten jadi membayangkan yang tidak-tidak. "Ah, T-tidak pak! saya baik-baik saja.. saya permisi dulu pak." Hinata buru-buru keluar dari ruangan Sasori. Sasori menyerngit heran dengan sikap Hinata yang sedari tadi berusaha menyembunyikan raut wajahnya di depan Sasori. 'Apa benar dia baik-baik saja?' Batin Sasori khawatir.
.
.
.
.
Sasori berjalan menuju meja Hinata. Ia berdehem melihat Hinata yang sedang berkutat dengan komputernya.
"Eh, S-selamat siang pak!" Sapa Hinata sambil berdiri.
"Selamat siang Hinata. Saya hanya mau menyampaikan bahwa Tuan Toneri memanggilmu untuk menghadap di jam makan siang nanti. Saya permisi." Sambil tersenyum tipis, ia berlalu pergi dari hadapan Hinata.
Hinata menatap punggung Sasori yang menjauh sambil menggigit jarinya, ia bertanya-tanya ada apa Toneri memanggilnya ya..
Ini sudah memasuki jam makan siang. Hinata sekarang berada di dalam lift menuju kantor Toneri di lantai 25.
Sesampainya di depan pintu ruangan Toneri, ia pun mengetuknya dan tak lama kemudian pintu itu dibuka oleh Zetsu, sang sekretaris dari pimpinan perusahaan ini.
"Silakan masuk, nona Hinata, Tuan Toneri sudah menunggu. Saya permisi." Ucap Zetsu seraya tersenyum sesaat setelah membukakan pintu dan segera berlalu bahkan sebelum Hinata sempat membalas ucapannya. Hinata menghembuskan napas karena diabaikan oleh Zetsu.
"Tuan memanggil saya?" Hinata masuk sembari menutup pintu setelahnya.
"Benar sayangku.. ayolah kalau kita sedang berdua, jangan panggil tuan, dong. panggil Toneri aja ya." Balas Toneri yang langsung berjalan menghampiri Hinata.
Toneri memang akhir-akhir ini memanggilnya dengan sebutan 'sayang' saat mereka sedang berdua saja. Hinata belum terlalu terbiasa namun ia harus membiasakannya. Toneri benar-benar menepati janjinya, ia memberi uang bulanan pada Hinata yang jumlahnya lumayan besar. Padahal ia belum juga berbuat terlalu jauh pada Hinata selain mungkin memeluknya atau memanggilnya sayang. Kebiasaannya tidur dengan para wanita belum berubah, namun ia sedikit mengurangi kebiasannya itu sejak Hinata menyetujui tawarannya.
"Iya, maksud saya Toneri.. kenapa anda memanggil saya?" Hinata mencoba untuk menetralkan degub jantungnya yang entah mengapa setiap ia berduaan dengan Toneri ia menjadi gelisah.
"Butuh waktu untuk ngobrol santai sama aku ya, Sayang.." Toneri memeluk Hinata dari belakang. Hinata hanya diam saja
"Aku mau makan bareng kamu.. tadi aku udah pesen makan untuk kita berdua." Lanjutnya sambil melepaskan pelukannya dari Hinata. Ia membimbing Hinata untuk duduk di sofa yang ternyata sudah terdapat makanan di atas meja.
"Ah tapi saya.. aku bawa bekal dari rumah..." Hinata duduk dan menjawab Toneri sambil menunduk.
"Kamu bawa bekal? lain kali gak perlu bawa bekal lagi, makan sama aku disini."Ucap Toneri tegas.
"Nanti bekal kamu berikan aja sama satpam atau OB."Lanjutnya.
Hinata mengangguk sebagai jawaban. Ia malas berdebat dengan Toneri.
Toneri mulai membuka bungkusan makanan yang ada di depan mereka.
"Kamu suapin aku ya sayang!" Titah Toneri.
Hinata hanya mengangguk dan mulai menyuapi Toneri sambil ia sesekali menyuapkan makanan ke mulutnya sendiri. Makanannya berbeda.. jadi sendoknya pun berbeda.hihi.
Mereka berdua sudah selesai makan dan kini hanya duduk dan mengobrol santai.
"Hinata, kamu sebenarnya aku panggil kesini bukan hanya untuk menemaniku makan siang aja." Ucap Toneri
"Ada apa?" Hinata memasang raut penasaran.
Toneri bangkit dan berjalan menuju meja kerjanya. Hinata masih menunggu jawaban dari Toneri.
Toneri mendudukkan dirinya di kursi kebanggaanya dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
"Mulai besok kamu pindah ke sini, jadi sekretarisku." Ucapnya.
Hinata terkejut lalu membalas, "Tapi.. bukannya pak Zetsu adalah sekretarismu? apa beliau akan resign?" Hinata bangkit menuju meja Toneri.
"Saya tidak mau ada tapi-tapian. Mulai besok kamu sekretaris saya. mengerti?" Toneri menatap tajam Hinata. Nyali gadis itu menciut, ia tak berani melawan lagi. Toneri berbicara formal berarti ia serius dan tak ingin dibantah.
"B-baik tuan." Hinata mengangguk cepat.
"Bagus, itu baru kesayanganku." Toneri tersenyum licik.
.
.
.
.
.
"Kenapa wajahmu lesu begitu, Hinata?" Tanya Tenten pada Hinata yang baru kembali dari lantai 25
Hinata masih diam belum menjawab sampai Tenten kembali bertanya, "Kamu habis dimarahi Tuan Toneri ya? ada masalah apa? monster itu membentakmu ya?" Pertanyaan itu bertubi-tubi membuat Hinata menarik napas dalam-dalam sebelum menjawabnya.
"Saya tidak dimarahi tuan Toneri, senpai.. melainkan mulai besok saya akan menjadi sekretarisnya."Jawabnya pelan.
"APA??" Tenten berteriak yang membuat Hinata menutup mulut Tenten dengan telapak tangannya.
"Ssstt senpai jangan teriak-teriak nanti orang-orang dengar..."
"Maaf! aku terkejut!" Tenten mendekatkan kursinya ke kursi Hinata.
"Aku tak mau terpisah dari senpai..."Lirih Hinata. Ia tak berbohong, ia memang merasa sangat dekat dan nyaman bekerja bersama Tenten namun ia juga khawatir kalau ia pindah ke ruangan Toneri... apakah ia akan aman berada di sana..
"Denganku atau dengan pak Sasori? hahaha" Tenten lagi-lagi menggoda Hinata.
"Hinata! ini kesempatan bagus untuk karirmu! Aku yakin tuan Toneri telah melihat potensimu dan memilihmu untuk menjadi sekretaris pribadinya! aku terkejut tapi selamat ya Hinata!" lanjutnya sembari menjulurkan tangannya untuk menjabat tangan Hinata.
Hinata memerah , sejak kejadian Hanabi, Sasori dan ia memang menjadi lebih dekat. Dan sepertinya Hinata ada rasa ke Sasori...
"Tapi senpai... Aku belum siap nih untuk pindah posisi.. mana mendadak pula kan" Hinata menunduk seraya menyembunyikan pipi merahnya.
"Terima saja kesempatan emas tidak datang dua kali!." Tenten mencolek bahu Hinata. "Pak Sasori dari tadi melihat ke arah sini tuh" Sambungnya sembari melirik ke arah kantor Sasori. Hinata mendongak dan pandangan mereka bertemu. Sasori langsung membuang muka dan mengambil sebuah map di mejanya lalu terlihat membolak-baliknya. Hinata pun begitu, ia langsung melihat ke arah lain. "Tuhkan, kalian ini saling suka atau gimana sih?" Goda Tenten. "Ih senpai, gak ada ah.." Hinata malu.
Keduanya tertawa lalu kembali sibuk dengan urusan masing-masing.
.
.
.
Jam pulang kantor akhirnya tiba. Hinata bersiap untuk membereskan barang-barangnya sedangkan Tenten sudah beranjak duluan meninggalkan ruangan kantor. Ia terlihat terburu-buru namun sempat untuk berpamitan pada Hinata.
Beberapa rekan kerja Hinata juga sudah mulai berangsur keluar. Begitupun Sasori, ia terlihat sudah meninggalkan ruangan pribadinya.
Hinata berdiri di luar gedung perusahaan untuk mencari taksi, selama ini ia sering diantarkan pulang oleh Toneri meski tidak setiap hari.
"Hinata, menunggu taksi?" Sasori dari dalam mobilnya menyapa Hinata yang tengah berdiri sendirian.
"Ah, Iya pak" Jawabnya sambil tersenyum.
"Ayo masuk, saya antar kamu pulang." Sasori meminta Hinata untuk masuk ke mobilnya.
"Ah baiklah, maaf merepotkan ya pak" Hinata tersenyum lalu berjalan masuk ke dalam mobil Sasori. Dari kejauhan, tampak Toneri yang menatap tajam ke arah mereka berdua. tangannya mengepal dan ia segera masuk ke dalam mobilnya.
.
.
"Kamu diminta oleh Toneri untuk menjadi sekretarisnya, kan" Sasori buka suara .
Hinata terkejut bagaimana Sasori bisa tau... ah mereka berdua berteman dan lagi, Sasori adalah kepala divisi Hinata... pasti Toneri memberitahukan Sasori terlebih dahulu.
"Iya pak, besok saya sudah pindah ke sana. maaf tadi saya belum memberitahukan pada anda, padahal anda adalah atasan saya." Jawab Hinata pelan.
Sasori tak menjawab. Ia kembali fokus ke jalanan.
"Nanti berhenti di simpang itu saja, pak" Tunjuk Hinata ke arah depan gang yang cukup sempit.
"Baiklah" Jawab Sasori.
Setelah meminggirkan mobilnya, Hinata turun dan mengucapkan terimakasih. Sasori tadinya menawari untuk mengantarkannya sampai depan rumah, namun Hinata menolaknya. Ia tak mau merepotkan Sasori lagi. Beliau pasti lelah, pikirnya. Meskipun sebenarnya hatinya merasa senang bisa bersama dengan Sasori... hehe
Sasori melajukan mobilnya saat Hinata sudah mulai memasuki gang menuju rumahnya. Ini baru pukul 5.30 jadi jalanan belum terlalu sepi dan gelap.
Saat Hinata hampir berada di tengah gang, terdengar suara seseorang memanggilnya.
"Hinata!"
Hinata menengok ke belakang dan mendapati Toneri sedang berjalan tergesa ke arahnya sambil menenteng dua kantong plastik yang Hinata tak bisa menebak isinya apa. Hinata menunggu hingga Toneri akhirnya berada di hadapannya.
"Kenapa kau pulang dengan Sasori??" Tanyanya tajam sambil menyodorkan satu kantong plastik ke arah Hinata. Hinata heran namun menerimanya dan menjawab "Tadi pak sasori melihatku sendirian menunggu taksi, jadi beliau datang dan menawariku tumpangan."
"Kau bisa telpon aku! aku pasti akan mengantarmu! bukan malah pulang berduaan sama Sasori" Toneri marah-marah.
Hinata diam saja. Ia baru tau kalau Toneri ini tipe-tipe pencemburu yang menyebalkan. Padahal mereka saja bukanlah pasangan kekasih...
"maaf" Hinata hanya meminta maaf.
Mereka berdua berjalan menuju rumah Hinata. Hanabi pasti sudah menunggu Hinata pulang dari tadi.
.
.
.
Hinata, Hanabi beserta Toneri sedang menikmati makan malam bersama. Hanabi senang dengan kehadiran Toneri di sini, suasana jadi sedikit ramai. Karena biasanya ia hanya akan makan berdua dengan sang kakak.
"Kak Toneri sering-sering mampir ya.. Hanabi seneng kalau ada kak Toneri di sini" Hanabi nyengir sambil membawa tumpukan piring kotor menuju wastafel. Hinata sedang mencuci piring sedangkan Toneri masih duduk di meja makan.
"Kakak akan berusaha untuk sering datang." Jawab Toneri sambil tersenyum.
Setelah Hinata dan Hanabi selesai mencuci piring, mereka bertiga berkumpul di ruang tengah untuk berbincang-bincang. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, Hanabi pamit untuk tidur duluan karena besok pagi ia ada ulangan jadi ia tak mau terlambat datang ke sekolah. Tinggallah Hinata berdua dengan Toneri. Mereka tak banyak bicara, hanya Toneri yang mengingatkan bahwa mulai besok Hinata sudah menjadi sekretarisnya.
Tak lama kemudian Toneri pamit untuk pergi. Hinata mengantarkannya sampai ke depan rumah. Sebelum Toneri melangkah lebih jauh, ia berbalik dan memeluk Hinata lalu mengecup singkat pipinya. Hinata terkejut namun ia tak menolak. Ia tau cepat atau lambat Toneri pasti akan menagih janjinya... biar bagaimanapun Hinata sudah sepakat untuk menjadi mainan si Toneri meskipun mereka belum 'melakukannya'
.
.
.
.
.
.
Hinata saat ini berada di ruangan Toneri. Mulai hari ini, ia resmi menjadi sekretaris pria tampan nan mesum itu.
"Aku seneng deh akhirnya bisa berduaan sama kamu kayak gini." Toneri memeluk Hinata dari belakang. Hinata sedang duduk memeriksa beberapa file di meja kerja barunya namun Toneri sedari tadi tak hentinya mengganggunya dengan memeluknya atau menciumi pipinya.
Hinata sedikit risih namun ia hanya diam saja. Paling kalau sudah bosan, Toneri akan berhenti sendiri. batinnya. Salah besar... Toneri bahkan sekarang mulai menciumi leher Hinata dan menggigit kecil di sana. Hinata melenguh. Ia berhenti mengetik di komputernya dan menahan tangan Toneri yang berusaha melepaskan kancing kemejanya.
"T-Toneri.. jangan." Lirihnya
"Kenapa? kau lupa kalau kau ini milikku? Aku menginginkanmu dan kau harus menurutiku."Toneri meneruskan kegiatannya menyesapi leher Hinata.
Hinata terdiam, lalu ia mencoba untuk menghentikan tindakan Toneri lagi. Jujur ia belum siap untuk saat ini.
"Kenapa? kau belum siap? aku sudah menunggumu selama 3 bulan." Toneri ngambek dan pergi menjauhi Hinata. Ia merasa tak puas kalau meneruskan kegiatannya yang padahal Hinata belum menginginkannya. Ia kecewa karena keinginannya untuk bercinta di kantor gagal.
"B-bukan begitu... aku janji aku tak akan menolaknya lain kali.. aku hanya... aku harus bersiap dan.. ini di kantor, aku gak mau orang lain memergoki kita.." Ucap Hinata lirih.
Toneri mempertimbangkan ucapan Hinata dan dengan berat hati menyetujuinya.
"Tapi... aku mau merasakan dadamu sekarang... aku sedang benar-benar ingin." Toneri kembali mendekati Hinata dan berdiri tepat di hadapan gadis itu.
Hinata kalang kabut, ia harus berbuat apa... Dasar pria cabul. pikirnya.
Hinata terdiam cukup lama lalu membuka suara, "B-baiklah aku akan membiarkanmu bermain dengan... dengan dadaku. tapi janji tidak lebih dari ini." Hinata memerah setelah mengatakan itu. Toneri tersenyum sumringah mendengarnya. Ia segera menuju pintu dan menguncinya.
Hinata kini duduk di sofa panjang di dekat jendela kaca. Kini ia menanggalkan satu persatu kancing kemejanya dengan tangan yang bergetar.
"Relax sayang~ mari aku bantu." Toneri yang tak sabaran segera membuka dua kancing yang tersisa. Payudara montok milik Hinata membusung dengan indahnya. Meski masih tertutup dengan bra biru berenda milik Hinata, namun Toneri sudah sangat bernafsu untuk segera melahapnya. Ia membuka pengait bra Hinata dan kini terpampanglah Buah dada polos Hinata tanpa halangan apapun dengan puting berwarna pink yang benar-benar seksi.
Hinata sangat malu dan gugup. Pipinya memerah sudah seperti kepiting rebus. Ia berusaha menutupi dada besarnya dengan melipat kedua tangannya di depan dada.
Toneri menyingkirkan tangan Hinata lalu mulai menelusuri lekuk indah buah dadanya itu. Ia mulai mengelus, meremas serta memelintir puting Hinata yang mulai mengeras. Hinata merasa geli dan sakit di saat yang bersamaan.
"Ahhh" satu lenguhan lolos dari mulut Hinata. Kepalanya mendongak ke atas dadanya membusung setiap kali Toneri mempermainkannya. Badannya sedikit menggeliat akibat perbuatan Toneri.
Toneri mulai melahap puting kanan Hinata dan masih memainkan puting sebelah kirinya. Ia menyusu pada Hinata yang kini sedang memejamkan matanya keenakan. Jujur ini adalah pertama kalinya Hinata merasakan sensasi ini. Kini Toneri menjilati putingnya secara bergantian dan meremas gemas kedua payudaranya. Sesekali ia memijit pelan dengan gerakan melingkar dikeduanya secara bergantian.
Tak hanya itu, ia juga sesekali mengecup dan melahap bibir Hinata penuh nafsu. Mempermainkan lidahnya hingga liurnya mengalir ke dagu Hinata. Lehernya pun tak luput dari jilatan dan gigitannya yang meninggalkan bercak kemerahan di sana. Toneri sedang menandai daerah kekuasannya.
Desahan Hinata mulai keluar tak terkontrol membuat Toneri bernafsu setengah mati. Sesuatu milik Toneri pun mulai mengeras di bawah sana. Ia berusaha menyelinapkan tangan kanannya ke dalam rok Hinata yang langsung ditahan oleh gadis itu. Hinata melihat Toneri yang kini menatapnya namun tangan kirinya tak berhenti bermain di payudaranya. "J-jangan lebih dari i-ini.. kau sudah ahh b-berjanji tadi.." Hinata terengah ketika mengatakannya. Toneri langsung mengeluarkan tangannya dari rok Hinata dan kembali melahap payudaranya, membuat tanda merah lain di sekitar sana. Bisa Hinata rasakan basah di bawah sana namun ia menahan diri dari nafsu yang mulai menguasai. Ia membelai rambut Toneri yang masih sibuk menyusu padanya. Lenguhan-lenguhan penuh nafsu lolos dari mulut keduanya hingga terdengar suara ketukan pintu membuyarkan semuanya. Mereka terdiam, Toneri mengerang kecil dan dengan enggan melepaskan Hinata yang langsung mengancing asal bra nya dan segera berlari ke toilet untuk membenahi penampilannya yang berantakan. sesampainya di toilet, ia melihat dirinya di pantulan cermin, lipsticknya belepotan yang segera ia hapus dengan menggunakan tissue. Dan ia dapat melihat dengan jelas bercak kemerahan di sekitar leher dan payudaranya. Pipinya memerah melihat itu. Hinata mengatur nafasnya yang masih memburu akibat perlakuan dari Toneri tadi sambil mengancingkan kembali kemejanya.
Toneri sudah berdiri di depan pintu dan bersiap untuk membukanya. Ia tadi sempat menghapus jejak lipstick Hinata dari bibirnya.
Pintu di buka dan terlihatlah Zetsu sedang berdiri di sana. Zetsu dapat melihat raut wajah kesal yang kentara dari wajah CEO nya ini.
"P-permisi Tuan, saya hanya ingin mengambil beberapa barang saya yang tertinggal." Ucapnya gugup.
Toneri menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
"Mengapa tidak kau bereskan dari semalam, bodoh! cepatlah dan ambil semua barangmu!" Toneri berjalan menuju kursinya dan langsung duduk di sana.
Zetsu hanya diam. Ia tak melihat sekretaris penggantinya di sana, namun ia cuek saja. Ia lebih memilih untuk segera menyelesaikan urusannya dan keluar dari ruangan Toneri secepatnya.
.
.
Toneri mengetuk pintu kamar mandi, ia mengatakan bahwa Hinata sudah bisa keluar sekarang. Hinata membuka pintu dan keluar dengan malu-malu. Wajahnya yang memerah berusaha ia tutupi dengan menunduk.
Toneri memperhatikan sikapnya dan mengelus rambut Hinata lembut.
"Jangan khawatir, tak akan ada yang tau tentang hubungan kita." Ucapnya pelan.
Hinata masih menunduk dan hanya diam tak membalas perkataan Toneri.
Toneri kembali ke mejanya, begitupun Hinata. Hinata kini sedang memperbaiki makeupnya dan menyemprotkan parfum ke tubuhnya. Pipinya lagi-lagi memerah mengingat kejadian tadi. Meskipun ia tau Toneri melakukannya tanpa cinta dan hanya karena nafsu namun tetap saja, ia belum pernah melakukan ini sebelumnya. Membiarkan seorang pria melihat salah satu bagian privasinya dan menyentuhnya.. Hinata bukannya tak pernah berciuman sebelumnya, namun ia tak pernah melakukannya lebih dari sekedar ciuman di bibir. Dulu ia melakukannya dengan pacarnya, namun hubungan mereka tak berjalan lama. Mereka sudah putus sejak Hinata mulai memasuki semester akhir kuliahnya dan ia menjomblo sejak saat itu.
.
.
.
Jam kantor sudah berakhir, hanya ada beberapa karyawan saja yang masih tinggal karena lembur. Hinata dan Toneri sudah masuk ke dalam mobil dan bersiap untuk meninggalkan gedung.
Hinata lebih banyak diam dan begitupun juga Toneri. Ia hanya fokus menyetir. Tiba-tiba ponselnya berdering, Ternyata itu dari Pain. Ia segera mengangkatnya dan berbicara melalui earphone.
Setelah menutup panggilan, Toneri menepikan mobilnya.
"Ada apa?" Tanya Hinata heran.
"Aku gak bisa mengantarmu. kau pulang naik taksi aja ya, aku ada urusan mendadak. Lagian ini masih jam 6, masih banyak taksi lalu lalang kan?" Balas Toneri.
Hinata diam. Namun kemudian ia membuka seatbeltnya dan bersiap untuk turun. Sebelum Hinata Turun, Toneri memberinya beberapa lembar uang, untuk ongkos taksi katanya.
Hinata pun menerima uang itu dan segera turun lalu menutup pintu mobil Toneri. Dengan segera Toneri menancap gas dan pergi meninggalkan Hinata seorang diri di pinggir jalan.
Hinata membuang napas kasar , ia kesal diperlakukan seperti ini oleh Toneri. Namun segera ia menyadarkan dirinya bahwa ia bukanlah orang spesial bagi Toneri dan Hinata harus selalu sadar bahwa Toneri hanya melihatnya sebagai objek pemuas nafsunya..
.
.
.
.
.
Bersambung..
