Periode sebelum Yaya kembali normal.
Basecamp bawah tanah yang sengaja dibuat untuk kepentingan, kini ramai oleh orang-orang. Mereka dudukdi pinggir agar lebih leluasa membiarkan Yaya kecil berlarian ke segala arah dengan tawa bahagia khas anak-anak. Di belakangnya ada tiga orang berwajah serupa yang beralih tugas menjadi pengasuh. Mereka ikut bermain seolah-olah penculik dan bersiap menangkap Yaya kecil. tentu saja anak itu merasa senang dan berlari secepat mungkin.
"Kemari anak manis, akku punya banyak permen untukmu," ujar Blaze membujuk. Ia benar-benar mirip penculik.
"Tidak mau!" tolak Yaya.
Terakhir kali makan permwn giginya sakit sekali sampai semalaman di kediaman Tok Aba dia menangis kencang. Para Elemental dibuat kalang kabut guna menenangkan. Mulai sejak itu Yaya kecil kemusuhan dengan makanan bernama permen. Kecuali pemberian Shielda. Mamanya itu akan memberi gula kapas padanya.
"Ey kenapa begitu? Aku juga membawakanmu cemilan lainnya lho!"
Taufan pun ikut bicara sambil berlari mengejar Yaya bersama Duri dan Blaze. Sedangkan Gempa berusaha menghentikan ketiganya walaupun sama sekali tak didengarkan. Ia pun akhirnya memilih duduk pasrah di lantai.
"Tidak mau! Cemilan apa pula itu?"
Yaya masih ingat dengan jelas ketika bersama Taufan akan selalu memberikannya makanan. Entah apa pun itu. Ia senang-senang saja karena itu diberikan secara gratis. Namun, karena terlalu sering Taufan bahkan tanpa sadar memberikakn biskuit Yaya pada gadis kecil itu. Membuatnya jatuh pingsan selama seharian penuh.
Ya, meskipun kondisi kesadarannya tidak seratus persen, tetapi Yaya telah merasakan biskuit buatannya sendiri.
Sejak saat itu, Yaya tidak percaya apa pun yang diberikan TTM padanya yang mana patut dipertanyakan kelayakannya atau tidak.
"Kalau begitu jangan lari terus hei! Bagaimana kalau kau nanti terjatuh!" peringat Blaze sedikit khawatir.
Gais kecil berkepala merah muda itu sedikit menengok ke belakang dan mengejek ketiga orang itu sambil meleletkan lidahnya. Karena tidak melihat ke depan, tanpa sengaja Yaya menabrak sesuatu hingga jatuh terduduk.
"Eh? Yaya, kau tidak apa-apa?"
Suara berat itu mampir di rungu si mungil. Perlahan ia mendongakkan kepala, melihat apa yang sebenarnya dia tabrak barusan. Hal yang dilihat Yaya adalah manusia bertubuh tinggi dengan mata merah tajam tengah menatap cemas padanya. Kedua tangan itu terulur bersiap mengangkat Yaya. Namun, anak itu malah mencebikkan bibirnya, bergetar pelan dan matanya berkaca-kaca. Siap menumpahkan air matanya.
Perempuan di sebelah pria itu membulatkan mata dan dengan sigap membawa Yaya ke dalam gendongannya. Ia kemudian melempar delikan sebal pada semua orang di ruangan tersebut. Terutama pada empat orang yang berkejaran dengan Yaya. Merka seketika meringis sambil mengusap tengkuk canggung.
Plak!
"Aduh!" Kaizo meringis saaat lengannya dipukul kencang. "Kenapa memukulku? Apa salahku?"
"Berhenti menatap anak kecil seperti Yaya dengan tajam begitu.kau menakutinya," ujar Shielda.
Kaizo berkedip beberapa kali dengan ekspresi bodoh. Pandangannya kembali pada Yaya kecil dalam gendongan Shielda. Benar saja, anak itu mengeratkan pelukannya dan membenamkan wajahnya pada bahu Shielda. seolah takut untuk sekadar melihat padanya.
"Yaya."
Yaya menoleh perlahan sambil sesekali terisak kecil. Pipi tembam itu memerah dengan bekas air mata masih ada di sana. Dia terlihat mengemaskan setelah menangis, membuat siapa pun yang melihat ingin sekali memeluk anak kecil tersebut.
Dan mereka hampir saja bergerak mendekat kalau saja tidak mendapatkan pelototan tajam dari Kaizo.
Ayah gadungan protektif!
Shielda menggeleng pelan dengan tingkah para pria itu dan memilih berjalan menuju salah satu sofa. Ia menaruh tas jinjing di tangannya ke atas meja. Barang-barang di dalam sana di keluarkan satu persatu. Mulai dari biskuit, botol air minum dan mangkuk bulat tertutup.
Shielda mendudukkan Yaya di sebelahnya. "Nah sekarang kita makan dulu. Kebetulan aku membuat smoothies blueberrry dirumah khusus unutukmu."
Shielda mengatakan itu dengan wajah ceria. Tidak menyadari ada orang yang pundung dengan aura suram tak jauh dari sana.
Fang menautkan alisnya heran. "Kenapa dengan wajahmu itu? Suram sekali."
"Diam. Jangan ajak aku bicara," balas Sai muram.
Mendapat balasan seperti itu, Fang tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Sedangkan Yaya bertepuk tangan kecil. Senyum polosnya kembali timbul setelah dibuat hampir menangis oleh ayah gadungannya.
"Aya mau! Aya mau!" serunya senang.
Shielda terkekeh kecil sambil mengellus kepala anak itu. "Baiklah, baik. Ingin makan sendiri atau aku suapi?"
"Suapi!"
"Hei!"
Di sisi lain, ada sebagian orang berkerumun. Salah satu dari mereka berseru pelan tak terima. Raut mukanya tampak sangat keruh dikarenakan sejak tadi tidak mendapatkan waktu untuk bermain bersama Yaya. Kedua tangannya bersedekap di depan dada dan memalingkan wajahnya ke samping dengan kesal.
Di sebelahnya ada Gopal yang melempar tatapan malas. Tangannya tiba-tiba saja diangkat dan memukul belakang kepala Halilintar keras. Membuat pemuda berseru kesakitan.
"ADUH! KENAPA KAUA MEMUKULKU!?" Halilintar melotot marah.
Gopal memasang cengiran sambil berekringat dingin. Ia baru sadar jika orang yang barusan dipukulnya adalah s pemarah Halilintar. Namun, dengan cepat ia berkilah. "Agar kau sadar."
"Kau pikir aku ini gila apa?"
Sepertinya Gopal salah bicara. Ia baru saja ingin membalas, tetapi malah didahului oleh Ice.
"Tapi kami menganggapmu terkadang sering gila, Kak Hali," ujar Ice polos.
"Kalian--"
Halilintar terperangah tak percaya dengan perkataan barusan. Ketika akan membalas, suara deheman dari arah belakang mengalihkan perhatiannya. Saat dia berbalik, Kaizo sudah duduk di sebelahnya dengan sorot mata malas.
"Ehem!"
"Eh, Bang Kai? Ada apa?" tanya Gopal berusaha tersenyum walaupun hasilnya jadi aneh. Aura pria itu tampak mengerikan saat ini.
Kaizo menaikkan sebelah alisnya. "Hm? Tidak ada apa-apa. Hanya saja aku punya permintaan pada kalian semua. Bolehkah?"
Meskipun tidak mengerti mengapa Kaizo berkata begitu, mereka tetap mengangguk setuju. Hingga seketika sebuah firasat tidak menyenangkan hinggap di benak mereka ketika sebuah senyum kecil tersungging di bibir Kaizo.
"Kalian jangan sering bertingkah aneh atau berbuat macam-macam pada Yaya kecil atauaku akan meneror kalian di mana pun. Bahkan jika itu harus lewat ponsel. Terutama untukmu, Hali," ujar Kaizo tenang, lalu beranjak dari sebelah Halilintar tanpa peduli jika sekumpulam pemuda itu terdiam mematung.
"Itu kenapa dia ..." Solar berujar pelan, masih syok.
Gempa menggeleng pelan sambil menyentuh keningnya. "Aku sudah lelah."
"Lupakan soal itu. Kenapa diantara kita semua yanng menjadi pengasuh Yaya, hanya aku yang dia peringatkan?" Halilintar tidak terima.
"Kau memang patut diwaspadai, Kak. Kadang kalau lepas pantau kami bisa saja kau malah mengganggu Yaya," timpal Taufan enteng.
"Kau!'
"Tapi menurut kalian apa yang dikatakan oleh bang Kaizo itu serius atau tidak?" tanya Blaze berusaha menormalkan raut muka anehnya.
"Kupikir iya ..." Ice menyahut lemah.
"Itu benar ..." Sisanya membenarkan ucapan Ice.
Fang yang sedari tadi memerhatikan percakapan barusan menengok pada Halilintar yang masih terdiam dengan kepala tertunduk. Ia berusaha menahan tawa karena tahu alasan mengapa Kaizo berujar demikian.
Ayolah, meskipun Halilintar itu pendiam dan dingin dari luar akan sangat berbeda jika itu dengan Yaya. Dia bisa berubah jadi pria paling drama. Bahkan selalu berusaha memeluk Yaya. Walaupun akan berakhir kena bogem mentah.
Entah apa alasan kenapa dia bersikap begitu. Karena setiap ditanya, Halilintar selalu bilang Yaya manis dan lucu ketika sumbu di kepalanya tersulut. Ia tidak peduli meski harus berdebat dulu. Meskipun pada akhirnya Halilintar akan memilih mengalah.
Dia tipikal laki-laki yang akan mengalah pada pasangannya nanti. Tentu saja setelah melewati banyak drama.
Ying menepuk bahu Halilintar. "Hei, Hali."
"Apa?" balasnya bertanya.
"Kau tidak masalah dengan kalimat kak Kai tadi?"
Halilintar mengangkat kepalanya dan menatap Ying dengan kening berkerut. Merasa jika pertanyaan itu aneh. "Memangnya kenapa? Bagiku itu bukan masalah."
"Benarkah?"
Halilintar menggeleng pelan. "Tidak usah cemas. Aku sama sekali tidak masalah dengan itu. Lagi pula, itu hal wajar bagi orang tua yang khawatir pada anaknya," ujar Halilintar santai. Padahal tadi aura suram menguar dari tubuhnya karena merasa Yaya menghabiskan waktu bersama Shielda.
Namun, sepertinya dia mulai berpikir lebih jernih setelah mendapatkan pukulan dari Gopal. Ternyata itu berguna. Mungkin lain kali cara seperti itu mampu membuat Halilintar waras ketika dia mulai bertingkah.
Kalau memang punya asuransi dan nyawamu ada sembilan. Silakan lakukan adegan tersebut selama Halilintar tidak emosi.
Ying menautkan alisnya heran. "Orang tua?"
"Tanyakan saja pada yang lain. Melihat bagaimana bang Kai pada Yaya kecil, mereka pasti akan setuju dengan ucapanku jika dia dan Shielda sudah seperti orang tua untuk Yaya. Lihat saja bagaimana keadaan di sana," jelas Halilintar sambil menunjuk sofa di mana ketiga orang yang dimaksud berada.
Serentak mereka mengikuti arah yang ditunjuk Hlailintar.
Benar saja, di sana seperti ada sebuah keluarga kecil. Shielda tampak menyuapi Yaya dengan makanan serta Kaizo berceloteh entah apa pun itu dan sesekali memelototi mereka ketika sadar kalau sedang diperhatikan.
Halilintar membalas pelototan itu dengan tatapan tanya. Padahal isi kepalanya sedang menyusun rencana agar bisa mengambil Yaya dari mereka.
Astaga.
Namun, pelototan Kaizo terhenti saat suara lembut Shielda terdengar sedang berbicara dengan Yaya.
"Aya jangan pernah berdekatan dengan pria dingin seperti Kaizo dan Hali, ya? Mereka itu seram kalau sedang berada di tempat sama. Mata mereka melotot dan harus dihindari," ujarnya memberi wejangan.
Kaizo dan Halilintar melotot tak terima.
"HEI!"
Namun dengan polosnya Yaya menjawab itu dengan anggukan kepala.
*
Akhirnya bisa menulis extra chapter untuk book ini. Anyway, do you miss me?
