Chara (c) M.K / Story (c) Wangtta / typo(s) maybe
"Apa yang Sasuke-kun pikirkan kkkk,"
"Aku tak menyangka retakan jalan sekecil itu bisa membahayakan orang,"
"Nah, sudah selesai,"
Sasuke merenggangkan jemarinya yang terbalut perban putih. Lumayan nyeri daripada sebelumnya. Sebelumnya ia menderita mendapati tangannya tertusuk duri-duri katus. Itu semua akibat Sasuke tersandung retakan jalan pada taman sekolah.
Entah apa yang terjadi padanya, seperti bukan dirinya sendiri. Sasuke yang teliti, berhati-hati pada apapun tapi mengapa hanya karena lalai pada jalanan, tangannya berakhir meremas sebuah katus. Dan kenapa harus katus yang ditanam oleh pihak tukang kebun sekolah. Seharusnya sebuah taman ditanamani bunga-bunga yang cantik.
"Sasuke-kun, mau permen?" tanya Hinata lembut.
Sasuke sedikit membelalakkan matanya, "Hinata,"
Hinata terkekeh memotong kalimat Sasuke karena dia tau apa yang akan dikatakan Sasuke, dari tatapan Sasuke, "Aku membelinya, tadi," Hinata mengeluarkan lollipop dari sakunya.
Sepasang mata Hinata menatap Sasuke. Sepasang mata yang menatap lembut tersebut terasa mengintimidasi Sasuke agar menerima permen tersebut. Sweatdrop, perlahan Sasuke mengambil lollipop dari tangan Hinata.
"A-a, makasih,"
Sasuke berusaha membuka bungkus lollipop rasa blueberry. Menderita setengah hidup, bungkus lollipop menguji ketangguhan telapak tangan Sasuke yang terkena katus. Sasuke baru menyadarinya sekarang bahwa pembungkus pada setiap permen lollipop terbilang rapat dan ketat.
Hinata yang menyaksikan penderitaan Sasuke pun simpati, "Biarkan aku membantumu," Hinata mengulurkan tangannya.
Sasuke pun merasa malu tapi mau bagaimana lagi. Dengan ragu-ragu ia memberikan permen itu pada Hinata. Hinata menerimanya lalu langsung ia buka pembungkus tersebut. Hinata mengembalikan permen itu pada Sasuke.
"Makasih." Sasuke memasukan permen ke dalam mulutnya.
Disisi lain, Hinata merapikan peralatan P3K milik Sakura—yang tadi sempat Hinata pinjam untuk kelengkapan esktrakurikuler basket, Hinata berperan sebagai assistant manager dan hal kecil seperti kecelakaan pasti terjadi kapan saja maka dari itu Hinata selalu setia meminjam peralatan P3K.
Hinata mengira bahwa P3K yang ia bawa pasti ada gunanya, tentu saja pelanggan setia P3K adalah Naruto tetapi kali ini ia tidak menyangka Sasuke menadapati kesialan—meremas katus. Sesuatu kebetulan terjadi sebab Hinata berada di tempat kejadian. Maka dari itu Hinata tak mampu menahan kekehannya. Berandai-andai jika hal ini terjadi pada Naruto, sudah pasti mulut Naruto bagaikan disel yang terus berkerja mengeluarkan suara yang sangat bising.
Dan sekarang Hinata harus kembali secepat mungkin ke gedung olahraga. Hampir saja Hinata lupa tujuannya karena bangku yang ia duduki bersama Sasuke menyuguhkan pemandangan taman sekolah, yang menurut Hinata menghanyutkan.
Hinata beranjak dari bangkunya, kedua tangannya menggenggam gagang kotak P3K seraya menatap Sasuke, "Sasuke-kun, aku duluan, eumm," Hinata tersenyum seraya menunduk pada Sasuke.
"Hn."
Hinata melangkah meninggalkan Sasuke. Sasuke pun sudah tak punya urusan lagi dengan bangku taman, ia beranjak dari bangku, menyembunyikan kedua telapak tangannya di dalam saku celana. Kini mereka saling berjalan berlawanan arah.
Shwss~ terdengar embusan angin, angin tersebut cukup kencang hingga menerpa dedaunan. Entah kenapa Sasuke dan Hinata berhenti secara bersamaan. Mendongakkan kepala mereka ke langit, tiba-tiba sinar matahari merepa wajah mereka. Hinata tersenyum melihat langit yang cerah serta menikmati rasanya angin bermain-main pada rambutnya yang tergerai, bergoyang-goyang seirama.
Sasuke menghancurkan permen dalam sekali gertakan. Sasuke menatap datar langit. Lalu ia tersadarkan bahwa ujian sebentar lagi begitu juga liburan musim panas. Ia berpikir waktunya untuk belajar bertambah kemudian beristirahat sepuasnya untuk menghemat energinya. Hal yang melelahkan baginya sebagai pelajar, tapi cukup adil dengan adanya liburan.
.
.
.
.
"Tidak tidak tidak tidaaakkk~" dumel Ino yang duduk di sebelah Hinata.
Sudah lama Ino menenggelamkan kepalanya di dalam tangan yang ia dekapkan. Itu karena Ino frustrasi dengan ujian yang akan diadakan minggu depan, dan catatan milik Ino kurang lengkap. Ia bisa saja merangkum catatan bersama Hinata, saat ini juga namun adanya tekanan kata 'ujian' Ino menyerah karena ia sadar bahwa mencatat pun tetap saja nilainya jelek.
Harusnya liburan panjang semacam ini tidak perlu dibarengi dengan ujian. Hanya membuang-buang waktu bagi ino.
Hinata yang terlihat rajin merangkum catatan kini mulai lelah. Ia mengusap kedua matanya, berhenti menulis, beristirahat sejenak memandangi hasil catatannya. Hinata menghela napas-dan itu terdengar berat, yang ia duga berjam-jam mencatat akan segera berakhir, ternyata setelah membalik lembar berikutnya masih banyak materi menunggunya.
Huruf-huruf pada kalimat di buku itu seperti bangkit, mereka, para huruf yang tidak beraturan kini melompat-lompat kegirangan. bersuara 'nyi-nyi-nyi'. Seolah-olah huruf-huruf itu meneror Hinata.
Hinata yang melihat ilusi otaknya mulai ketakutan. Ia menyatukan jemari-jemarinya, ia amankan pada sandaran dadanya. Menatap ngeri melihat ilusinya.
Kedua kakinya berusaha mendorong kursi mundur, menjaga jarak pada huruf-huruf itu. Tiba-tiba terlihat huruf 'O' yang kian lama bertambah besar dan terlihat mempunyai gigi-gigi tajam yang siap melahap Hinata.
"Yamateeee!" teriak Hinata histeris seraya melindungi kepalanya.
Ino pun mendongakkan kepalanya, ia tau apa yang terjadi pada Hinata. Itu wajar terjadi pada Hinata, orang yang tadinya setia bergelut pada materi. Teriakan Hinata menjadi tanda bahwa Hinata mencapai batas kejenuhannya. Bisa ditebak dengan mudah bagi Ino, apalagi bayang-bayang biru gelap disertai garis-garis di kening Hinata, dan jangan lupa dengan mata Hinata yang sekarang berkantung.
Ino beranjak dari bangku, kedua pahanya mendorong bangkunya menjauh. Kemudian merampas buku catatan terkutuk milik Hinata.
"Shine!(neraka/matilah)" suara Ino meraung kasar-berat, terdengar seperti suara setan yang sedang murka ditambah lagi api-api yang mebara disekitar tubuh Ino serta tatapan mata setajam pedang.
Ino menyobek buku catatan Hinata menjadi kepingan-kepingan kecil. Secara ajaib kepingan kertas tersebut terbakar tersumut oleh api amarah Ino. Jatuh di atas meja seperti hujan api. Sekarang terlihat menjadi lautan api.
Srttt! Naruto-orang yang datang begitu saja bersama tabung merah- penyemprot pemadan kebakaran. Naruto memadamkan api pada meja lalu api pada kepala Ino. Sekarang rambut Ino terlihat tertimbun busa yang berbentuk sebuah gunung rata dengan salju-putih.
"Oi, Ino, kau mau membakar kelas kita?"
Naruto kini duduk pada bangku, tanpa membalik arah bangku agar ia bisa menumpangkan kedua tangannya pada sandaran bangku.
"Naruto-kun, Ino sedang frustrasi dengan ujian," Hinata berusaha memperingati Naruto agar Naruto berhati-hati mengucapkan sesuatu pada Ino.
"Ah, benar juga," Naruto terlihat sedikit terkejut, "aku baru saja lupa ujian tapi sekarang ingat lagi, argh~" dengus Naruto kasar.
Ino melipat kedua tangannya ke dada, "Lihat jam ujian kita makin lama makin menipis, bagaimana bisa hal ini terjadi," protes Ino.
"Lulusan tahun ini banyak yang masuk di universitas unggulan, jadi para guru beramsumsi murid-murid sekarang cerdas," ceritanya Hinata.
"Tambah, bagian paling buruk jadwal remidi bertepatan festival kembang api, erghh~!" dengus Ino.
"Lihat, belajar keras percuma, ujung-ujungnya tetap saja remidi. Payah sekali, kenapa harus jatuh ditanggal penting, padahal aku sudah membeli yukata baru untuk pergi melihat kembang api. Sia-sia aku menghabiskan uang yang ternyata barang yang aku beli tidak dipakai." Ino mengacak-ngacak poni miring kebanggaannya, "Arghhh, arghh!"
Hinata teringat sesuatu, "Naruto-kun," panggil Hinata. Naruto menoleh pada Hinata.
"Naruto-kun bisa mengajari kita?" pinta Hinata yang tersisip pada pertanyaannya.
Hinata memberi isyarat pada Naruto melalui sepasang matanya. Memohon sangat agar mendapat pelajaran dari Naruto.
"Akh? Aku?!" ulang Naruto sambil menuding dirinya sendiri. Ia mana mungkin percaya pada pendengarnya.
"A-ano, ujian Naruto-kun kemarin aku lihat bagus, jadi aku meminta ban-bantuan," jelas Hinata ragu.
"Maaf, Hinata, aku hanya beruntung dan aku tidak tau hasil ulangan nanti akan bagus atau jelek," tolak Naruto. Wajahnya memperlihatkan seberapa ia menyesal tidak dapat andalkan.
"Kemungkinan besar aku tidak bisa lihat kembang apa apalagi ikut liburan ekstrakurikuler," cetus Hinata panik.
"Akh, iya, aku lupa soal piknik," ekspresi Naruto berubah gepeng-mata tertutup datar begitu juga mulut, tambah bayang-bayang gelap di keningnya.
"Baka," caci Ino, "selama ini yang diotakmu hanya uap dan darah,"
"Ck, aku tidak tau denganmu tapi aku mau mencari bantuan," Ino beranjak dari bangkunya sesudah berkata pada Naruto.
"Ayo Hinata, kita pergi," ajak Ino. Ino kini berjalan pelan sembari menunggu Hinata menyusul.
Hinata berdiri, "Tunggu, Ino, sebentar lagi masuk," cegah Hinata dari tempatnya.
Ino berhenti lalu menoleh ke arah Hinata, "Tidak akan lama," bujuk Ino.
Keberuntungan menghampiri mereka, mendapati Sasori bersama Deidara, kakak kelas mereka yang terkenal keterampilannya. Mereka kebetulan lewat di korido kelas tingkat satu, daerah kelas Hinata. Langsung saja Ino berlari keluar kelas memanggil mereka.
"Senpai!" seru Ino yang tengah berlari pelan.
Mereka berdua berhenti ditempat menunggu Ino. Hinata kini ikut menyusul. Baik Sasori maupun Deidara penasaran sebab apa Ino menghentikan mereka.
"Senpai," ulang Ino yang sudah berdiri di depan mereka bersama Hinata.
Sasori sesikit menaikkan alis, "Hm, ada apa?"
Ino dengan tegas menyatukan telapak tangannya seiring menundukan kepala, sebagai tanda Ino sungguh-sungguh meminta sesuatu.
"Senpai, bantu kami belajar untuk ujian," mohonnya, lalu Ino mendongakkan kepalanya.
Deidara tersenyum simpul, "Aku bisa bantu, tapi pelajaran seni,"
"Aku juga," tambah Sasori.
Dilemma melanda dua gadis, "Kita perlu bantuan pelajaran matematika, senpai bisa menolong kami?" mohon Hinata memelas yang disisipkan pada pertanyaannya.
Sasori yang merasa sedikit kasihan, memberikan solusi, "Dengar, aku tau seberapa hebat aku dipelajaran matematika, serius, kehebatan ku dimatematika adalah beruntung. Matematika, itu, diluar kepala jadi bagaimana aku menjelaskan pada kalian sedangkan aku saja sebenarnya tidak paham."
"Apalagi aku, jika kalian tanya," sanggah Deidara.
Sasori menganggukkan kepalanya sebagai tanda pernyataan bahwa yang diucapkan Deidara adalah benar, "Aku sarankan kalian minta bantuan Pein atau Itachi. Karena mereka kamusnya matematika."
"Makasih sarannya, senpai," sahut lemah Ino. Iya tentu saja, kelas tingkat 3 ada di lantai atas, itu berarti mereka harus menaiki 4 tangga, entah mereka mau menerima permintaan Ino serta Hinata, atau tidak. Seandainya mendapat penolakan lagi, sama dengan membuang tenaga.
"Maaf ya," ujar Deidara disertai.
"Maaf mengganggu senpai," ujar Ino.
Deidara menjawabnya lewat senyum. Sasori bersama Deidara kembali melanjutkan perjalanan.
Ino melipat kedua tangannya di depan dadanya, melirik Hinata, Hinata menanggapi Ino, mengeluarkan dengusan kemudian menundukkan kepala. Mereka benar-benar lelah.
.
.
.
.
Seusai pelajaran sekolah mereka, Ino dan Hinata mengunjungi ruangan sastra yang terletak di lantai 4. Lantai khusus untuk organisasi sekolahan. Lantai tersebut cukup ramai dihari jumat tapi hari senin hanya beberapa bahkan terlihat sepi.
Hinata bertanya pada dirinya sendiri, penasaran dengan sosok Itachi berada di ruangan sastra, tanpa teman-orang di sekitarnya. Terutama ia seorang kakak tingkat yang terlihat mencolok, dalam artian sering dikelilingi temann-temannya begitu juga penggemarnya. Bagaimana bisa Itachi mendapatkan waktunya menyendiri.
"Ini ruangannya?" tanya Ino.
"Iya, ini," sahut Hinata kurang yakin.
Dari luar ruangan terdengar suara gaduh. Muncul kecurigaan. Bukannya Itachi sendirian, tanya Hinata pada dirinya.
Ino memberikan diri membuka pintu. Dan mereka berdua tercengang melihat siapa yang di dalam, begitu juga yang di dalam ruangan. Sepasang mata mereka tertuju pada Ino dan Hinata. Mental Ino turun drastis, tak terkecuali Hinata, Ino yang biasanya dikenal mempunyai keberanian tinggi sekarang berusaha keluar dari atmosfer itu. Hinata hendak bersembunyi di belakang punggung Ino, akan tetapi tangan Ino lebih cepat menarik lengan Hinata.
Menarik paksa tubuh Hinata, maju ke depan. Hinata kian panik, ia berusaha kembali ke belakang namun sayang Ino menutup pintu serta menahan pintu tersebut agar Hinata tidak bisa keluar. Hinata panik, "Ino!" panggil Hinata ketakutan.
"Maaf Hinata! Maaf! Tapi kamu harus membujuk Itachi-senpai!" sahut Ino bersalah seraya menahan pintu.
"Ino~" duk! Duk! Duk! Panggil Hinata memelas sambil mengetuk pintu.
"Hyuuga?" seseorang dari belakang menyebut nama Hinata.
Suara itu semakin memperburuk suasana pikiran Hinata. Tentu saja Hinata gugup, banyaknya orang di dalam ruangan ditambah semuanya laki-laki yang rata-rata Hinata belum mengenal namanya. Hinata hanya mampu berbalik, menundukkan kepala menghindari kontak mata antara orang-orang, yang saat ini kedua mata mereka tertuju pada sosok Hinata.
Ruangan sunyi seketika. Seolah-olah mencengangkan napas Hinata. Hinata kesusahan menelan saliva, seakan kerongkongannya bedah tersiksa akibat kering. Manakala tubuhnya melemas, merusak kondisi mentalnya.
"Hyuuga," panggil orang yang sama.
Hinata tersentak, ia mundur pelan-pelan, menyeret kasar sepatunya. Wajah Hinata memerah, "Sumimasen," Hinata menunduk 90' serta meremas lututnya, "Uchia-san, bisakah membantukamipelajaranmatematika, kalautidakbisatidakapaapa," cerocos Hinata secepat mungkin tanpa memberi jarak pada ucapannya.
"Baiklah."
Hinata mendongakkan kepalanya, matanya membealak. "Ha!?"
Itachi tersenyum simpul, sedangkan anggota lain, Hidan, Konan, Toneri dan Gaara terkekeh melihat tingkah spontan Hinata. Hinata hanya bisa bersemu merah menghadapinya.
TBC
