4

.

.

.

Kereta menuju desa kecil Hiroshima. Digerbong 3, Hinata bersama tim basket sekolah sibuk mengobrol bersama. Mereka didampingi pembimbing, Yamato, beliau yang tengah sibuk memanggil nama anggota.

Walaupun di dalam kereta tak terdengar suara gemuruh kereta, Hinata mendengarnya. Kepekaan telinganya karena perut Hinata kosong. Dia lupa sarapan hingga tiba-tiba ia serasa mual. Kini Hinata sadar dirinya mabuk darat setelah mengingat, dia bangun kesiangan, berlari dari rumah dalam kondisi perut kosong.

Yamato yang telah selesai mengabsen pun duduk di depan Hinata. Dia memberikan papan absen kepada Hinata.

Yamato tersentak mendapati kedua mata Hinata berputar.

"Hinata-kun, daijobu?" cemas Yamato seraya menempelkan telapak tangannya di pundak Hinata.

"Ha-I, sensei~" jawabnya lunglai.

Titik keringat keluar dipelipis Yamato. Orang dari jauh pun bisa tau bahwa Hinata kenapa-napa. Apalagi raut Hinata tersirat jelas kondisinya.

"Kau, kenapa Hinata-kun, matamu berputar-putar?"

Hinata memaksa bibirnya tersenyum. Berat tetapi Hinata tak ingin membuat dirinya yang kelaparan ini terlihat konyol.

"Hehe . . saya lupa sarapan," ujar Hinata sedikit terkekeh, menyembunyikan rasa malunya.

Dan Yamato ber-oh didalam hati. Ia tersenyum kepada Hinata, senyuman mengartikan tak perlu malu. Kemudian Yamato memanggil Naruto dari tempatnya.

"Oi, Naruto,"

"Ha-i!" sahut Naruto semangat dari tempatnya. Naruto beranjak, menghampiri temapt Yamato.

Dia kini berdiri di sebelah Yamato—yang duduk. Naruto bisa melihat Hinata duduk di depan Yamato. Wajah Hinata memerah walapun ada sedikit kesan pucat.

"Ada apa sensei?"

"Kau kan selalu membawa cemilan kemana-mana, sepertinya cemilanmu dapat menolong Hinata."

Hinata menutup wajahnya. Mendengar kalimat Yamato, Hinata sangat malu mendapati dirinya yang polos dan kikuk. Naruto sebagai laki-laki dengan kepekaan tipis hanya mengangguk mantap. Berbalik ke temapt duduknya, merogoh laci atas untuk mengambil tas abu kecilnya.

Kini tas tersebut di tangan Naruto. Naruto menghampiri Hinata. Dia duduk di sebelah Yamato, lalu memberikan tas berisi cemilan kepada Hinata.

"Silahkan Hinata!" cengir Naruto sampai matanya tertutup, membentuk senyuman cembung bulan.

Ragu-ragu tapi mantap Hinata meraih tas 'surga' tersebut. Tas Naruto berada di pangkuan Hinata. Hinata menunduk seraya berkata, "Idatakimasu~" malu-malu kucing waktu Hinata mengambil roti melon di tas itu.

Hinata melahap roti melon. Seketika aura bunga meledak lalu berhamburan disekitarnya. Pipi Hinata tersipu merah muda, bahagia dapat merasakan roti melon kesukaannya.

Menyaksikan Hinata makan tiba-tiba Naruto salah tingkah. Ia mengingat sesuatu yang membuatnya senang, nyaris terkekeh.

Dengan keberaniannya Naruto berkata pada Hinata, "Hm!" suara tenggorokan Naruto yang terdengar dibuat-buat. Suara itu sejujurnya sebuah sinyal untuk menarik perhatian Hinata. Hinata pun terpancing menoleh ke arah Naruto.

Gugup. Terlihat jelas Naruto gugup.

"Ano-sa(anu) . ." Naruto melirik ke atas menghindari tatapan Hinata. Takut Hinata mampu menebaknya.

"Ada apa Naruto-kun?" tanya Hinata yang tidak mengetahui tingkah Naruto yang janggal.

"Jadi … " Naruto menatap Hinata, "klub menjahit hari ini juga ada di pondok " selesai berkata Naruto menoleh ke kaca seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Mereka dan kita tahun ini dapat jadwal sama," jelas Hinata. Naruto beranjak menuju kursinya, kepalanya sedikit menunduk, tangannya bersembunyi di saku celana. Entah mengapa Naruto tersenyum senang.

"Soka." Ucap Naruto saat beranjak.

.

.

.

"Sasuke," panggil Itachi dari belakang Sasuke.

Sasuke tengah menonton TV di ruang tengah. Dimeja Sasuke menyajikan jeruk ditemani teh dingin. Musim panas ini dia memilih di rumah. Sasuke yang dikenal anak pintar memilih enggan bergabung dengan kegiatan eskul sekolah, terutama organisasi siswa.

Musim panas yang terkenal musim penuh petualang, tidak dapat Sasuke rasakan. Ada beberapa siswa yang tidak ikut kegiatan sekolah namun waktu musim panas tiba mereka bekerja paruh waktu. Sekedar mengumpulkan uang untuk acara liburan musim panas mereka sendiri, festival akhir musim panas yang ramai kembang api dan sebagainya.

Sasuke akan di rumah sendirian selama 2 hari tanpa aniki-nya. Itachi berencana pergi ke kuil bersejarah bersama klub sastranya. Selain berkunjung mereka mencari inspirasi—sama yang dilakukan oleh klub lain, untuk persiapan festival budaya-pensi.

Tahun lalu klub sastra menerbitkan buku. Tahun ini Itachi dan kawan-kawan memastikan apa yang akan mereka persembahkan.

Sasuke tau hal seperti itu terlalu menyita waktu.

"Nani," sahut Sasuke datar tanpa menoleh.

Itachi sudah siap berangkat terlihat dari busana khas pendaki serta tas ransel yang sudah jelas berat menggantung di punggu.

"Aku pergi dulu," pamitnya.

"Ki-o tsukete (hati-hati)" sahut Sasuke.

Itachi yang selesai menali sepatu tengah memandang kepala Sasuke. Sasuke benar-benar terlihat menganggur. Ini membuat Itachi cemas.

"Kau yakin tidak ingin bergabung eskul sekolah," uji Itachi. Sasuke diam menghiraukan perkataan Itachi.

"Tetapi kalau dipikir-pikir kau yang selalu menyendiri ini tidak masalah bila aku pergi,"

Sasuke menoleh ke belakang karena tersinggu, "Nani utten no (ngomong apa sih),"

Yang terdengar suara pintu tertutup. Bukan kata tapi dari situ Itachi menggoda Sasuke.

Suasana ruangan menjadi sepi walaupun TV menyala. Tiap perkata tak ada yang masuk ditelinga Sasuke..

Tubuhnya tertidur terlentang menghadap langit atap. Langit atap yang biasa saja, pondasi terlihat, seperti rumah traditional pada umuumnya.

Ting~!

"Sasuke-kun bukan orang seperti itu!" seru Hinata yang berkaca-kaca hingga matanya memerah dan pipinya merona.

Entah mengapa Hinata muncul begitu saja. Disaat tidak ada hal yang terpikirkan, mengapa Hinata muncul begitu saja dibenaknya. Suara dimana Hinata membela Sasuke, padahal dirinya masa bodoh dengan perkataan orang lain. Tapi ….

Raut wajah Hinata yang merona merah. Bibir Hinata bergetar. Mata memerah yang nyaris menitikan airmata.

Pemandangan itu meskipun ia pernah lihat pada wajah orang lain, hanya Hinata yang menurutnya . . .

"Kawaii . . ." gumam Sasuke.

Tanpa sada bibirnya berucap. Setelah beberapa detik ia sadar apa yang ia katakan, wajah datarnya tiba-tiba berubah memerah diiring matanya membelalak, frustasi, sedikit tak karuan. Dirinya sendiri terkejut mengapa bisa bibirnya mengatakan kalimat tersebut.

.

.

.

"Yahoo!" seru Naruto saat lompat dari bus.

Bus khusus yang disiapkan sekolah untuk menjemput setiap murid. Berkat bus itu kegiatan liburan yang dijatah setiap club sekolahan, dapat berhemat. Uang jatah pesangon dapat digunakan untuk ditabung sisanya atau digunakan berbelanja barang yang dibutuhkan

Hinata sebagai manager tim basket menggunakan sisa uang membeli daging. Daging itu berada box yang tengah ia bawa menuju pondok.

Pondok itu terbuat dari kayu kokoh. Bangunannya terlihat tua dari segi arsitektur, namun di dalam pondok itu sangat elegan. Hinata dan tim basket yang masih tingkat 1, murid baru, tercengah melihat penampakan tata ruang pondok ini.

Pembimbing menghampiri admin. Dia mengurus data hadir, selesai mendata penjaga pondok memberinya kunci kamar. Yamato pun membagikan pada anggotanya.

Mereka mendapat 3 kamar. 1 kamar cukup luas untuk 8 orang, kamar pondok berbentuk lonjong, luas, tersedia lemari yang menyimpan kasur lipat. 2 kamar sisa untuk Yamato dan Hinata. Kamar yang luasnya seperti kamar rumah biasanya.

Para laki-laki berlari semangat menuju kamar mereka. Hinata menitipkan daging kepada pelayan pondok, sementara Yamato menyibukan diri berbincang dengan pembimbing klub jahit dan rajut.

Kamar mereka dia lantai dua. Ketika mereka sampai, di balkon, Sakura dan klub menjahit terlihat akan turun.

"Sakura!" seru Naruto. Teman-temannya meninggalkan Naruto, tetap berjalan menuju kamar.

Kamar klub basket menghadap ke timur sedangkan kamar klub jahit dan rajut manghadap ke barat. Mereka hanya akan berpapasan saat hendak menuruni tangga.

"Ino," sapa Naruto seraya melambai tangan.

"Kalian baru saja sampai," cetus Ino.

"Kalian juga?" tanya Naruto semangat.

"Kami sudah datang jam 6 pagi," jawab Sakura.

"Nani?" Naruto terkejut.

"Tadi ramalan cuaca bilang akan ada hujan jadi kami berangkat awal. Terntaya tidak jadi hujan," kesal Sakura.

Mulut Sakura terus mendumel. Mau tidak mau Naruto mendengar keluh kesal Sakura, pemandangan ini membuat batasan antara mereka dengan orang lain. Waktu mereka berdua berbicara seperti dunia milik mereka berdua.

Wajah datar Ino terlihat iri. Ino turun sendiri, dia yakin mereka berdua tidak sadar bahwa dirinya menghilang di sana. Ino bertanya-tanya mengapa dirinya menyaksikan mereka membuat hatinya sesak.

.

.

Hinata meletakkan tasnya. Ia rebahan di kasur lipat yang telah sengaja ditata—dibukakan. Ia mengeluarkan ponsel di saku roknya. Ia mendapati pesan dari toneri.

'Hinata-hime ^^

Bagaimana liburan klub kalian,,,

Semoga kamu menikmatinya. '

Pesan dari Toneri. Toneri meminjamkan ponselnya pada Hinata sejak Hinata berkata akan akan membalas budi kebaikan Toneri yang berhasil menemukan Hanabi saat kabur.

Jemari Hinata mengetik kalimat. Selesai mengetik ia mengirim pesan tersebut. Toneri yang di tempat lain tersipu membaca balasan Hinata.

Hinata meletakkan ponselnya di lantai. Kini Hinata menutup matanya.

'Musim panas~

Musim panas terkenal ujinyali, cerita horror, festival budaya, festival olahraga dan pacar baru. . . '

Hinata membuka matanya. Pipinya bersemu merah.

Mengingat di Jepang kebanyakan anak remaja di musim panas mengalami cerita cinta. Banyak dari mereka yang mendapatkan kekasih sewaktu liburan. Entah itu jatuh cinta, jadian dengan teman atau kenalan baru ditempat mereka liburan.

Jantung Hinata berdebar. . .

Kedua tangan Hinata menahan dada supaya jantung tak lompat.

'Apakah aku akan bertemu seseorang orang?' bisiknya manis dibenaknya.

'Apakah perasaanku tersampaikan?'

Ting-ting~

Suara lonceng angin yang di pasang di balkon seolah menjawab pertanyaan Hinata..

.

.

.

Selamat tahun baru 2023

Salam kenal, mohon bantuannya.