Disclaimer: Cerita ini milik saya, semua karakter Inuyasha milik Rumiko Takahashi, saya hanya meminjam nama mereka. Saya tidak mengambil keuntungan dari penulisan cerita ini dan tulisan ini hanya sebagai hiburan semata.

Summary: Pemandangan yang pertama kali dilihat Kagome setelah membuka matanya ialah Sesshōmaru. Untuk pertama kalinya, ia melihat kristal bening di pelupuk kilau keemasan Sang Daiyōkai Penguasa Wilayah Barat tersebut.

Warning! Tulisan ini mengandung tema sensitif dan muatan konten dewasa. Bagi pembaca yang belum cukup umur atau tidak nyaman dengan konten tersebut, dianjurkan untuk TIDAK MEMBACANYA. Diharapkan kebijaksanaan pembaca.


Ku percaya alam pun berbahasa

Ada makna di balik semua pertanda

Firasat ini rasa rindukah ataukah tanda bahaya

Aku tak peduli, ku terus berlari

Firasat — Raisa


"Sejujurnya aku ingin bermain dengan kalian, tapi kali ini tidak bisa. Aku baru mendapat tugas dari kakekku. Kurasa lain kali, Maaf ya," Paham akan implikasi yang tersirat atas tawaran yang diajukan, gadis bermahkotakan kelamnya malam berhasil menoreh keheningan yang menyekat rumah kediaman Higurashi menuturkan dengan lembut, bersarung sesal. Ia memegang gagang telepon seraya menempelkannya di indra pendengarannya, sedang kaki kanannya ia angkat sedikit lantas dibenturkan ke lantai, mencipta gerakan ritmis berulang. Meski sudah menunaikan rangkaian tes akhir jenjang sekolah menengah atas selama hampir dua minggu dan momen paling didamba para siswa telah datang menjemput, Kagome justru tidak antusias menyambut, ada pijar kerinduan yang meletup di netra biru keabuan miliknya.

"Ah sayang sekali." Intonasi mitra tutur yang berada di seberang terdengar menurun, " kenapa kakek tidak melepaskanmu kali ini? Padahal jarang sekali kita bisa berkumpul dan jalan-jalan bersama, karena kau sering sakit dan tidak masuk sekolah."

Higurashi Kagome menggedikkan bahu, biarpun sang mitra tutur tak melihat gerakan itu dan tiada kalimat negasi terujar dalam menanggapi tuturan sang sahabat, Eri, perihal acapkali ia mangkir sekolah. "Entahlah, kalian tahu sendiri bagaimana kakekku jika sudah bertitah, tidak ada yang bisa membantah, bahkan mengajaknya berdebat pun sia-sia. Kakek benar-benar teguh sekali pada pendiriannya,"

Ada rahasia yang tak bisa dibaginya dengan bebas, berjalinan erat akan ketidakhadiran sulung Higurashi di sekolah, sebuah alasan yang mengharuskannya melompati waktu bolak-balik ke Zaman Sengoku, sekalipun ia sudah meriwayatkan beberapa petualangan epiknya melawan siluman pada ketiga sahabatnya, tetapi mereka begitu antusias kala membahas kisah asmara bertepuk sebelah tangan yang dialaminya. Gadis yang baru saja menginjak usia delapan belas tahun beberapa minggu lalu itu rupanya memikul beban berat, setelah melakukan penjelajahan waktu, ia harus mengumpulkan benda sebesar kelereng berwarna merah muda keunguan, shikon no tama, di tempat asing—walaupun kelak akan dikenal sebagai cikal bakal negeri matahari terbit. Pasalnya, ialah akar dari segala benang kerumitan yang terjadi dan sudah menjadi tugasnya bertanggung jawab memperbaiki kesalahan.

"Ah kau benar, tiba-tiba aku teringat kejadian sepulang sekolah beberapa hari lalu saat bertanya tentang rencana kuliah, ugh ... aku jadi merinding kala mengingatnya kembali,"

Mendengar hal tersebut, gadis bermanik unik hanya mampu mengeratkan gigi seolah lawan bicara dapat mengindra ekspresi yang tertampil di wajah cantiknya, kini dirajai oleh rasa bersalah, "Maafkan aku, sebagai gantinya bagaimana kalau besok sepulang sekolah kita jalan-jalan ke WcDonald? Aku yang akan mentraktir kalian," tawar Kagome menanti jawab penuh harap.

Tidak butuh waktu lama bagi gadis yang sudah menjadi sahabatnya sejak sekolah menengah pertama itu menentukan pilihan, "Baiklah. Sampai jumpa besok, Kagome,"

Tut. Panggilan berakhir ditandai dengan suara abstrak yang khas. Diletakkannya gagang telepon di tempat semula, membuatnya tidak menyadari sesosok figur dengan apron melekat di tubuh bagian depan mendekat ke arahnya.

"Siapa?"

Hanya satu kalimat tanya yang sanggup membuat anak gadisnya terkesiap, menyadari kehadirannya lantas berseru, "Mama!"

"Mama sudah memanggilmu berulang kali dan tak ada jawab darimu, karenanya mama mendekat.

"Maaf," Nada yang terlontar dari bibir Kagome melemah dan bibirnya menyunggingkan senyum kikuk.

"Siapa?" tanya wanita bernama lengkap Higurashi Yoriko mengulang.

"Eri- chan,"

"Kagome, apa terjadi sesuatu di antara kalian? Kalian bertengkar?" cecar Yoriko penuh selidik, sebelah alis menanjak buah keheranan atas perangai sang anak, "Tidak seperti biasanya kau berbohong kepada teman-temanmu,"

Gelengan kepala terayun, "Mereka mengajakku jalan-jalan, tapi aku menolaknya,"

"Kenapa?"

Senyum menawan melengkung, bertahan hingga beberapa waktu, avonturir muda itu bagaikan meninting kosakata yang tepat 'tuk dilisankan. "Sesungguhnya yang kukatakan tidak sepenuhnya bohong ..." Ia sengaja menggantungkan kalimat yang hendak diujarkan, "Kakek memang menyuruhku untuk membersihkan gudang yang ada di loteng, sedangkan alasan sebenarnya aku menolak ajakan Eri dan Yuka sangat sederhana, aku ingin berada di rumah, hanya itu. Kupikir, tak ada salahnya sesekali menjadi anak baik dengan membantu kakek bersih-bersih, mama memasak sekaligus menyiapkan makan malam, dan tentu saja mempersiapkan barang-barangku," paparnya, berkas kebahagiaan menjalar, dan pipinya bersemu merah—tersipu setelah menyuarakan isi hati.

Tiada tanggapan dari sang Ibu, wanita berambut pendek itu hanya memoroskan atensi pada sosok elok yang terpancang. Membaca reaksi yang terlukis di wajah sang ibu tiada tanda-tanda kecurigaan pun amarah, Kagome memilih 'tuk melanjutkan, "Aku merasa bersalah sekali pada Mama, Kakek, dan Sōta. Tiap kali aku pulang, aku jarang menghabiskan waktu bersama kalian, justru sibuk berbelanja demi persiapan kembali ke sana sekaligus jalan-jalan bersama Eri dan Yuka. Padahal ketika di sana, aku merindukan kalian dan berharap bisa pulang secepatnya, aku yakin kalian di sini juga merindukan pun mengkhawatirkan aku, tapi sesampainya di sini aku justru ..." lidah tak bertulangnya tak lagi mampu meneruskan, rasa bersalah bercampur sesal mengaduk perutnya bagian bawah.

Langkah wanita yang senantiasa dipanggil dengan sebutan Mama oleh Higurashi Kagome menjemput, menyulut nalurinya sebagai seorang ibu, membawa ke dalam dekap hangat menentramkan, sedang jemarinya mengelus-elus punggung putri tertuanya, "Anak mama sudah dewasa rupanya, tak terasa sebentar lagi kau akan duduk di bangku kuliah. Rasanya baru kemarin mengantarmu ke taman kanak-kanak dan kau menangis kala mama hendak pergi,"

"Benarkah aku seperti itu?"

"Hm," Yoriko mengangguk, mencipta bulan sabit di kedua matanya.

Samar-samar, begitu nama Kagome digaungkan oleh lelaki yang sudah kenyang makan asam garam kehidupan, dua wanita itu menatap lekat objek yang hanya berjarak tak lebih dari tiga puluh sentimeter sembari merenggangkan peluk, terkikik geli hingga kristal bening menitik di ekor netra. Tak ingin membuat amarah sang kakek memuncak, gadis cantik itu mendekat, sebuah intruksi dilayangkan, mengharuskannya 'tuk memindah beberapa barang ke loteng.

Hanya membutuhkan waktu singkat memindahkan barang-barang yang dikehendaki sang kakek. Kaki jenjang Higurashi Kagome menuruni anak tangga, indra penglihatannya merekam kejadian lelaki yang surainya t'lah bercampur uban itu tengah membersihkan benda dari dalam kotak, menguarkan aroma khas, seolah menantikan kehadirannya. Mengamati bagaimana jemari keriput itu membelai gerabah bermotifkan bunga plum, terbersit pertanyaan impulsif, melengkungkan kedua sudut bibir ranumnya, "Kakek, bolehkah aku memindah beberapa barangku yang sudah tak terpakai di sana?"

Hanya sebuah angguk yang diberikan Kakek Higurashi, berbuntut lompatan selebrasi kecil dan pekik kegembiraan dari sang cucu. Tak berselang lama, suara abstrak nan khas bagaimana kaki berjumpa dengan lantai kayu ruangan teratas telah merajai kediaman Higurashi. Entah sudah berapa kali gadis berusia delapan belas tahun itu naik turun dari kamar ke gudang yang berada di loteng rumahnya, senyum terlukis di paras eloknya dan sesekali ia menggumamkan lagu riang kala kedua tangannya sibuk membawa segunung barang-barang. Perbedaan yang ditampilkan Kagome hari ini memicu kuriositas tinggi sang ibu—dibuat bertanya-tanya keheranan atas perilaku anak sulungnya di hari libur yang seringkali memilih 'tuk berjalan-jalan melepas penat bersama teman-temannya. Namun, kali ini berbeda. Tak seperti biasanya, pikiran itu langsung terlintas di benaknya kala mengamati sang anak.

Jemari Kagome menari lincah dalam memilih serta memilah barang-barang yang sudah tak terpakai di rak—berniat 'tuk meletakkannya di gudang, tetapi justru menemu ruang kecil yang belum pernah dimasukinya. Ia membeku di ambang pintu, ada kemilau takjub menari-nari dalam biji mata biru kelabu gadis itu saat menyaksikan pemandangan di bilik yang terdapat di lantai teratas rumahnya. Bagai tertampar keras, pemikirannya terhadap bilik gudang di loteng kotor terbukti salah, ruang itu justru nampak rapi dan terawat. Terdapat dua gudang yang digunakan di kediaman Keluarga Higurashi berdasarkan fungsi penyimpanannya, pertama gudang yang terletak di loteng dimanfaatkan untuk menyimpan buku-buku serta dokumen lainnya, sedangkan gudang berukuran besar yang berada di samping kuil keramat difungsikan untuk menyimpan segala barang tak terpakai hingga dibuat sekat untuk menyimpan pusaka dan barang-barang antik milik sang kakek.

Higurashi Kagome, gadis bersurai hitam legam yang tak jemu menyudahi ketakjuban melihat panorama tersebut, melangkahkan kaki. Kekagumannya bertambah saat jemarinya menyisir permukaan dinding yang menampilkan genealogi keluarganya sejak nenek moyang.

"Tidak mungkin! Bagaimana bisa..." Kalimatnya menggantung sebagai buah terperanjat, sedang netranya membulat sempurna menyaksikan apa yang tertampil di hadapannya, lantas menghentikan pergerakan jari-jemari yang menyisir partisi. Ia tak mempercayai apa yang baru saja ditangkap oleh indra penglihatannya, bagaimana mungkin namanya dan nama kakeknya tertulis dua kali dalam susur gasur tersebut?

Gadis berperawakan ideal tersebut menarik langkah, tubuhnya bergetar hebat, tangannya mencari pegangan untuk menjaga keseimbangan, tangan kanan membekap mulut. Suara abstrak tercipta sewaktu ia jatuh terduduk, sedang uap yang mengembun di antara bulu mata lentiknya alhasil merembah di pipi. Masih membungkam dalam posisi itu, ia berusaha memahaminya kendati berujung tak menemu jawab, akhirnya memilih bangkit dan berperilaku seolah tidak terjadi apa-apa walau tubuhnya tak dapat memungkiri keterkejutannya biarpun kepalanya berjubal kemelitan.


Ada satu momen yang senantiasa dirindu Higurashi Kagome sewaktu dirinya berada di Zaman Sengoku, kegiatan rutin seusai makan malam keluarga, mereka memilih berkumpul di ruang keluarga seraya menyaksikan acara televisi, diliputi obrolan ringan dan tawa renyah—sesekali menikmati buah-buahan atau makanan ringan. Tidak ada keistimewaan dari agenda itu, seperti sekarang ini—berbaring dalam pangkuan sang ibu, ia memilih mendengarkan kakek dan adik laki-lakinya berdebat atas tayangan berita dari salah satu stasiun nasional, mengamati bagaimana lelaki beruban itu menjelaskan sejarah yang telah dilalui pun diketahuinya, sesekali senyum bangga terukir di wajah. Detik itulah gadis yang merelakan masa mudanya menyelami waktu, yakin bahwa hal sederhana tersebut mempunyai andil dalam membentuk sifat hangat sekaligus sensibilitas yang dimilikinya.

"Mama, apakah genealogi keluarga kita yang ada di dinding bilik kecil di loteng itu sudah dimuat dari waktu yang lama?" tanyanya mendongak, berhasrat menyaksikan bagaimana tanggapan wanita yang ia tanyai itu.

Higurashi Yoriko tak langsung merespons, justru menyunggingkan senyum, menyodorkan potongan enigma, meninggalkan Kagome yang masih mencari jawab maksud dari senyum penuh arti ibunya. "Hm, tentu saja. Ada apa, Kagome?"

Menggeleng, lidah tak bertulang Kagome membisu, dibelenggu kepelikan sedang dendrit-dendrit di kepalanya masih berusaha mencerna sejarah dari sulalah yang baru diketahuinya beberapa saat lalu. Ia harus mengubur dalam-dalam rasa takut yang mulai merayap, pantang baginya menimbulkan kekhawatiran tak berdasar untuk keluarganya, kepergiannya ke masa lampau sudah cukup membawa kepedihan tiada ujung—jika boleh memilih dia akan senang hati untuk tidak melompati waktu dan menikmati masa mudanya seperti remaja seusianya, tetapi benang takdirnya telah terjalin rumit dengan benda sebesar kelereng berwarna merah muda keunguan itu, shikon no tama.

"Tanyalah pada kakek yang lebih paham akan hal itu," imbuh wanita bersurai pendek tersenyum hangat sambil membelai mahkota legam putrinya.

"Kakek, silsilah keluarga kita itu sudah lamakah berada di loteng? Bisakah kakek menceritakan padaku tentang leluhur-leluhur kita?" Kagome berusaha menetralkan suaranya.

"Tak perlu berkata seperti itu, aku bisa mengisahkannya dengan detail sesuai yang tertulis dan arsip pribadi keluarga kita,"

"Woah, sampai ada arsip pribadi yang mencatat itu?" Kagome bangkit dari posisinya sebagai buah ketakjuban.

Higurashi Tokio mengangguk mantap, kemilau bangga terbias dari netra keemasannya yang bersemu cokelat, "Tentu saja,"

"Sepertinya membutuhkan waktu cukup panjang tuk mendengar kisah epik dari susur galur keluarga kita, sayangnya aku tak bisa mendengarkannya dalam waktu dekat, aku ada janji bersama teman-temanku dan setelahnya aku harus kembali ke Sengoku. Aku sudah berjanji pada Inuyasha akan kembali setelah ujianku selesai,"

"Kapanpun kau mau, Kagome, kakek bisa menceritakannya,"

"Lalu, Kakek ... mengapa nama kakek dan juga namaku tertulis dua kali? Apa aku diberi nama yang sama dengan leluhurku dengan harapan aku bisa mencontoh kebaikan mereka atau semacamnya? Sungguh, aku baru mengetahuinya, mempunyai leluhur darah biru dengan nama yang sama pun milik kakek! Perbedaanya nama mereka tidak mewakili keluarga tertentu, hanya tertulis nama dan wilayah mereka berkuasa."

"Hm, semacam itulah,"

Sejenak gadis yang penuh kuriositas tinggi itu bergeming, memilih kosakata, dan menelan saliva kepayahan, karena sebagian besar dari dirinya masih tak mempercayai dengan apa yang disaksikannya siang tadi, bahkan ia menganggap hal itu durjana. "Kakek, semua yang tertulis di situ apakah benar adanya? Bagaimana kalau ada kesalahan penulisan atau semacamnya?"

Sosok tertua dalam Keluarga Higurashi itu menggeleng, berdeham dan nadanya terdengar lebih serius, "Apa yang tertulis dalam genealogi tersebut dilindungi oleh mantra kuno dari leluhur kita zaman dulu,"

Alis Kagome menanjak kali pertamanya mendengar hal itu, "Mantra kuno?"

"Mantra yang sangat kuat, dapat menuliskan informasi secara akurat dan otomatis. Kakek pun mengetahuinya dari dokumen yang ada,"

Gadis bermanik safir kelabu nan menarik hati itu menundukkan kepala, detik itulah mereka menyadari bahwa Higurashi Kagome tengah mengendapkan sesuatu. Terdapat rangkaian sir yang diharap selalu menjadi klandestin, tetapi acapkali manusia lupa bahwa tiada yang abadi bahkan untuk rahasia sekalipun, akhirnya detak waktulah yang menjawab segalanya.

Dilema melanda, Keluarga Higurashi berkehendak menanti waktu yang tepat guna memberitahu segalanya pada Kagome, tapi keengganan menghinggapi jikalau sambutan gadis itu tak sesuai imaji kala mencernanya. Kagome juga tak bisa menceritakan simpul yang saling melilit rapi di kepalanya, pun tak mungkin baginya mengurai punding. Tetapi, shikon miko tersebut enggan berpangku tangan sementara dirinya terbelenggu akan ikatan takdir, sesungguhnya ia belum bisa menerima sepenuhnya isi yang tertampil dalam genealogi.

Mempertimbangkan skala probabilitas yang ada, beberapa hal dinilai tak logis oleh Kagome, selain namanya dan sang kakek tertulis dua kali, laksana bom waktu bersembunyi siap menguncang kehidupannya. Andaikata hal itu meledak, bagaimanakah ia akan bereaksi dan siapkah dirinya menghadapi kehidupan yang penuh guncangan?

"Kakak mengapa tiba-tiba tertarik pada itu?" tanya Sōta, bocah yang masih duduk di sekolah dasar, mendongak keheranan menatap wajah rupawan kakaknya.

Menggeleng lesu, Kagome menjawab, "Aku baru mengetahuinya tadi siang, sewaktu bersih-bersih,"

"Tidak seperti biasanya kakak mau bersih-bersih," celetuk Sōta sarkas.

Terhibur dari kekhawatirannya, biji mata Kagome menyipit—enggan kalah 'tuk mencemooh sang adik, "Daripada kau, hanya tahu bermain gim saja dan juga Buyo." Si kucing yang disebut justru menjilat tubuhnya dengan manja.

Tokio mengulas senyum melihat interaksi kedua cucunya, berdeham sejenak demi mengatur suara supaya terdengar lebih serius, "Kagome, jika waktunya telah tiba kelak dan kau diharuskan untuk memilih, ingatlah untuk mengambil keputusan yang tepat demi kebahagiaan semua orang, bukan untuk dirimu saja. Ingatlah bagaimana orang-orang terdekatmu berkorban dan berjuang. Kakek yakin kau akan bijak dalam mengambil langkah, memperhitungkan orang-orang di sekelilingmu, terlebih orang yang kau anggap berharga. Kakek percaya padamu,"

"Hm, aku akan mengingatnya," sahut Kagome mantap, lantas menoleh kepada persona di belakangnya, "Mama, bolehkah malam ini aku tidur denganmu?"

" Ish, kakak kan sudah besar," cibir Sōta melirik malas, "jangan bilang kakak takut tidur sendirian," lanjutnya.

"Oh, lihatlah dirimu sendiri, Sōta! Karena kau takut mengambil Buyo di sumur keramat, akulah yang harus turun tangan dan berujung masuk ke Sengoku," Kagome mengoreksi sebal, "lagipula tidak ada salahnya untuk tidur dengan Mama, kau akan paham dengan perkataanku jika kaulah yang pergi ke Sengoku. Berbaik hatilah padaku selagi aku ada di sini, jangan sampai kau merindukanku selagi aku berada di sana,"

Yoriko hanya tersenyum geli melihat tingkah laku kedua anaknya, yang tak pernah absen dari pertikaian kecil sewaktu bersama dan saling mencari tatkala salah satunya pergi, "Sudah, sudah. Sōta, tidak boleh seperti itu, ingat perkataan Mama beberapa hari lalu, 'kan? Mama masih belum lupa kau menangisi kakakmu yang tak kunjung pulang, karena kau ingin kakakmu mengerjakan tugas sekolahmu."

"Nah kan ..."cibir Kagome.

"Seharusnya Mama jangan membeberkan hal itu, memalukan," bocah itu lantas mengambil Buyo, membalikkan badan dari kakak perempuannya.

Tokio menitikkan kristal bening, semasa mengamati kehangatan interaksi kakak beradik yang senantiasa memperdebatkan hal kecil. Di bingkai matanya, sosok Higurashi Kagome telah menjadi perempuan dewasa dibandingkan gadis seusianya dan figurnya selalu bisa mencairkan suasana sedingin musim salju pun sepanas hamparan gurun. Sanubarinya menghangat, kebanggaan tersendiri bisa mendampingi tumbuh kembangnya, mengajari bagaimana menentukan benar dan salah dalam setiap langkahnya. Dihapusnya bulir mata dengan lembut, berharap tiada yang menyadarinya.

"Kakek mengapa menangis?" Pertanyaan Kagome sontak membuat poros atensi berpindah pada lelaki yang telah dipenuhi uban.

"Kakek hanya mengantuk. Aku akan tidur terlebih dahulu, mataku sudah tidak kuat lagi," dusta Tokio bangkit dari posisinya.

"Selamat malam, Kakek," koor tiga orang, mengamati punggung bungkuk Higurashi Tokio.

Lelaki penjaga kuil Higurashi itu terpaksa berbohong, kerinduan terhadap seseorang yang tak lagi berada di sampingnya telah bertakhta. Setibanya di kamar yang notabenenya selalu menjadi ruang ternyaman sekaligus menyimpan banyak kisah pun rahasia bagi sang pemilik, ia duduk di bibir ranjang, memusatkan atensi pada sebingkai potret yang terabadikan dalam figura. Netra telanjangnya kembali meneropong rupawan sang belahan jiwa.

"Cucu kita sudah tumbuh dewasa, kau senantiasa mengawasi dan menjaganya dari sana, 'kan? Maaf atas ketidakcakapanku yang hanya bisa mewariskan segala kemalangan serta beban berat padanya," monolognya seolah-olah figur tersebut dapat memahami pun membalas ujarannya, melalui ekor mata, diliriknya potret yang berdiri di samping, "Aku yakin kau akan langsung mengenalinya begitu bersua dengan Kagome," sambungnya, di waktu yang bersamaan daun pintu diketuk, kepala Yoriko menyembul dan mendekat, mendudukan diri di samping sang ayah.

"Mungkin sudah saatnya kita memberitahu Kagome yang sebenarnya," menyelang, menepuk bahu bungkuk perlahan, menawarkan ketenangan. Keduanya menatap lukisan yang tergantung di tembok, menampilkan figur yang disayanginya.


"Kagome!" seru Yuka lantang, melambaikan tangan pada sosok yang berdiri di ambang pintu.

Kedua sudut bibirnya bersunggingan, menerbitkan ekspresi menawan di wajah gadis Higurashi, tiada perubahan berarti dari tempat kesukaannya berkumpul dengan kedua sahabatnya, pun menjadi salah satu yang dirindunya sewaktu ia berada di zaman penuh peperangan yang terjadi kurang lebih lima ratus tahun silam. WcDonald selalu ramai, tak kenal fajar telah mencakar langit ataukah rembulan tengah bertakhta, meski begitu rumah makan cepat saji ini menjadi favorit anak muda. Ia mendudukkan diri di tengah kedua sahabatnya yang sudah menunggunya beberapa waktu lalu, sebab guru sejarahnya ditengarai menjadi penyebab keterlambatannya.

"Hei kenapa kalian yang membelikan untukku? Bukankah kita sudah sepakat bahwa akulah yang mentraktir kalian?" protes Kagome, melihat makanan sudah tersaji di hadapannya.

"Lupakan hal itu, ada hal yang lebih mendesak 'tuk dibahas," Jemari Yuka menampik udara kosong, air mukanya berubah lebih serius, kedua tangan berada di atas meja menyangga wajah cantiknya.

Sebelah alis shikon miko tersebut menanjak, laksana mengukir tanda tanya.

Eri menyipitkan netranya, "Kakek menyuruhmu melakukan apa? Jangan bilang sesuatu yang berat dan cukup menyiksa?"

Menggeleng, ia menilai reaksi teman-temannya sedikit berlebihan, ada rasa bersalah menelusup dalam saubari usai berdusta kemarin, mengharuskan Kagome menampilkan senyum, "Tidak seekstrem yang kalian bayangkan. Kakek hanya menyuruhku untuk membersihkan gudang dan kalian tahu sendiri 'kan seberapa banyak pusaka beserta peralatan ibadah lainnya? Maka dari itu, cukup memakan waktu," sahutnya meringis.

"Kakek tidak seperti biasanya, menyuruhmu bersih-bersih hingga melarangmu bermain dengan kita? Apa itu ada kaitannya dengan kejadian sebelumnya?" tanya Eri penuh selidik.

"Ah benar, sepertinya karena hal itu," Yuka menimpali lesu.

"Apa maksud kalian?" Gadis yang melompati waktu itu mengalihkan pandang ke kiri dan kanan, raut kebingungan mendominasi.

"Jangan bilang kau lupa kejadian sore itu,"

"Sore itu?" Sulung Higurashi tersebut masih berusaha menggali ingatannya, "Ah ..." tambahnya memperoleh memori peristiwa yang dimaksud oleh teman akrabnya, kepalanya menyengguk.

"Aku masih merinding kalau ingat kejadian itu," celetuk Yuka, gadis yang penuh akan kuriositas.

Gadis bersurai pendek dan duduk di sebelah kiri Kagome menyetujui, "Kita hanya membahas rencana kuliah saja, aku masih tidak paham mengapa Kakek Higurashi naik pitam, dan itu sangat menakutkan. Itu pertama kalinya beliau marah,"

"Benar, bukankah itu hal wajar untuk dibicarakan gadis yang hendak lulus dari sekolah menengah atas? Lagipula kita tidak membahas topik tabu denganmu,"

"Waktu Kakek Higurashi marah besar kala itu ..." Eri menerawang jauh, merunut kembali lembar-lembar memori di saraf kepalanya, "rasanya kita telah melakukan kesalahan besar dengan membahas atau bahkan memprovokasimu 'tuk melakukan hal tabu atau semacamnya,"

"Itu pertama kalinya Kakek Higurashi marah kepada kita,"

Higurashi Kagome hanya meringis mendengar cerita kedua sahabatnya, selama ini tak pernah terbersit bahwa ia akan memahat rasa gentar untuk mereka. Namun, praduganya terbukti salah, sesal menyelam ke lautan terdalam lubuk hati. "Maafkan aku dan juga aku meminta maaf atas nama kakek. Tetapi, aku yakin bahwa kakek tidak bermaksud demikian, hanya saja belakangan ini ia menjadi lebih protektif terutama padaku,"

"Kau tidak melakukan kesalahan, 'kan?"

Avonturir dari dua masa yang berbeda itu menggeleng, "Rasanya ada sesuatu yang disembunyikan oleh kakek."

Saat teman-temannya mulai membicarakan figur tertua dalam keluarganya tersebut, Kagome hanya mengangguk mengiyakan kala mendengarnya tanpa benar-benar memperhatikan apa yang dibahas, sedang kemelut saraf kecil di kepalanya terpusat pada sosok yang menjadi bahan diskusi. Ada hal janggal mengenai sosok itu, tak peduli bagaimana ia memandang, terdapat percik kebenaran yang tersampul masa, tetapi ia tak dapat mengerti apa itu. Namun, mengatahui ada fakta disembunyikan, membangkitkan gelegak yang tak mampu diungkapkan, seolah-olah segalanya bercampur jadi satu dan ia sulit mengurainya.

Sanubari Kagome berpikir ada keganjilan yang tak bisa dipungkiri, lantas membawa dirinya 'tuk undur diri dari teman-temannya, menyisakan ekspresi penuh tanda tanya dari mereka. Jarum jam yang melingkar di tangan kirinya telah menunjukkan pukul empat sore, itu berarti hanya tersisa waktu kurang lebih satu jam di masa ini sebelum ia kembali ke Sengoku, sedang perjalanan dari tempat ia berada sekarang menuju rumah memakan waktu kurang lebih setengah jam.

Ia mendengus teringat hanya tiga puluh menit waktunya untu sekadar berbincang dengan keluarganya, pun itu belum dikurangi persiapan yang harus dilakukan. Sejujurnya bisa saja ia menunda keberangkatannya melompat ke lima ratus tahun silam, tapi ia takut jika terlampau lama di sini, keberadaannya beserta benda sebesar kelereng berwana merah muda keungunguan tersebut hanya membawa petaka beruntun, ditambah ia tak tahu kekacauan apa yang ia tinggalkan di masa peperangan itu.

Setibanya di kediaman Higurashi, sulung bernetra unik tersebut langsung menaiki tangga menuju kamar, mengambil segala perbekalan yang t'lah ia siapkan 'tuk kembali ke masa lima ratus tahun silam, tas ransel kuning berukuran besar yang sudah menemaninya berpetualang melompati waktu. Ketika menuruni tangga, dengan sigap ia singgah di dapur dan tangannya menyambar bekal yang disiapkan sang ibu.

T'lah menjadi rutinitas baru semenjak gadis yang tengah duduk di bangku sekolah menengah atas itu meloncati waktu, saban ia hendak kembali ke masa lampau seluruh keluarga telah bersiap 'tuk melepas kepergiaannya di ruang tamu, menanti dan mengantarkannya menuju kuil keramat—sebuah kuil kecil yang telah hadir jauh sebelum Kagome lahir, dipercaya sebagai penghubung linimasa. Di samping kuil berukuran tiga kali lima meter tersebut, berdirilah dengan angkuh pohon suci yang dinilai oleh Sulung Higurashi sebagai unsur lain penyambung zaman, sebab ia menyaksikan pohon yang sama di Sengoku dengan lokasi sama—memancang tak jauh dari sumur pemakan tulang.

Keheningan menyekat, mengantarkan kepergian gadis yang harus memikul beban berat itu menuju kuil bersejarah—setidaknya bagi keluarga besar Higurashi. Pun, ia tak paham mengapa kali ini terasa lebih berat seolah mendung menyelimuti, siap menumpahkan segala rindu dendam yang telah lama dibendung. Dalam kebisuannya, hatinya terasa berat 'tuk berpisah dengan keluarga, masih tertanam kerinduan yang belum usai, dan sewaktu masanya tiba bagi Higurashi Kagome berpamitan, dipeluknya satu per satu anggota keluarganya dengan erat, menyampaikan pesan diriingi canda seperti biasa kendati ia tahu jikalau nadanya berbeda, memendam kepiluan yang tak ia mengerti padahal biasanya ia tidak seperti ini.

"Jangan lupa pesanku waktu itu," Lelaki yang surainya dipenuhi uban itu mengingatkan.

Sulung Higurashi mengangguk mantap, "Hm. Kakek juga, jangan lupa janji kakek untuk menceritakan sejarah keluarga kita setelah aku kembali,"

Mendengar penuturan sang cucu, Tokio tersenyum, "Baiklah. Kembalilah dengan selamat, cucuku sayang," Dipeluknya cucu perempuan dengan erat. Baginya, gadis yang berada dalam dekapannya akan selalu mengingatkannya pada sosok yang tak lagi ada di sampingnya—istrinya, 'tuk menyaksikan tumbuh kembang keturunan mereka. Pun, rasa sesal merajai, sebab ia tak mampu mewariskan hal mewah tau berharga, selain kemalangan berantai pada satu-satunya cucu perempuannya itu.

Kagome berusaha semaksimal mungkin membentengi kristal bening agar tak tumpah begitu saja di luar kehendak. "Aku pergi dahulu," pamitnya melepas dekap sang kakek, menuruni anak tangga dan masuk ke dalam sumur dangkal, dan dalam sekejap mata dikelilingi sinar menyilaukan mata berwarna merah muda keunguan, ia mendarat dengan selamat.

Ia tak lantas bangkit, justru berdiam dalam posisi memeluk lutut, lubuk hatinya kembali terasa berat, kerinduan dan sesal mendekap. Ada hasrat bersama keluarga, sebuah lubang kekosongan yang menganga, ia yakin kehampaan itu akan tergantikan begitu saja kala bersama teman-temannya, tetapi ketika ia sendiri ... ia yakin bulir matanya akan terjun bebas di pipi dan dalam waktu singkat menganak sungai, menyuarakan kerinduan tak terperi yang terhalang oleh waktu. Akan tetapi, nuraninya terketuk hebat, benda sebesar kelereng yang menjadi liontin kalungnya itu mengalun seirama dengan detak jantungnya, laksana cambuk pengingat tugas yang belum ia tunaikan.

Kedatangan Higurashi Kagome di Zaman Sengoku selalu disambut oleh beberapa ekor kupu-kupu putih dengan kemilau cahaya menyejukkan, memicu abai sejenak dari perannya terhadap shikon no tama. Teruntuk gadis berusia delapan belas tahun itu adalah hal unik, sejak kemunculannya pertama kali di sini, seekor kupu-kupu putihlah yang menyambut sekaligus menuntunnya 'tuk keluar dari sumur pemakan tulang, berkatnya ia mengetahui di bagian dinding terdapat sulur berbunga yang menyelimuti tangga, seolah ia bukanlah avonturir pertama di Sengoku. Lantas, dipanjatnya tangga itu penuh kehati-hatian, kendati waktu belum sepenuhnya ditelan oleh rembulan yang tak sabar untuk duduk di peraduan, sinar mentari rasanya tak dapat menerobosnya.

Selain teman-teman yang baik dan pengertian terhadapnya meski terbentang perbedaan signifikan, ada hal lain yang berhasil membuat gadis Higurashi itu kerasan tinggal di zaman peperangan, yakni hawa yang sejuk dan tiada polusi udara seperti di Tokyo, bahkan semilir angin menjelang petang jua terasa lebih segar.

Avonturir waktu yang mengantongi gelar miko dari warga itu menghentikan langkah kakinya, indra penglihatannya justru terfokus pada kemunculan sosok yang tak pernah ia duga akan dijumpainya di seberang hutan dalam perjalanannya menuju ke kediaman Nenek Kaede. Ia pun tak yakin apa yang dilakukan oleh figur yang membatu di sana, sedang benang-benang senyap terajut rapi, tiada interlokusi yang terjadi, tatkala keduanya beradu tatap dengan sinkron, gugup menjalari Kagome.


Pendar rembulan menyelinap ke dalam ruangan, memberikan penerangan alami pada temaram ruang berisikan tuan rumah dan dua tamu wanitanya. Shoji—pintu geser tradisional khas Jepang—berderit, menyisakan suara khas nan abstrak bagaimana kerangka berlapis kertas pada pintu bersinggungan dengan rel kayu di lantai, diiringi oleh kehadiran tiga orang pelayan menunduk, 'tuk menunaikan tugas—menyajikan minuman beserta makanan. Seusai menunaikan tugas, mereka mengundurkan diri tanpa berani melakukan kontak mata secara langsung kepada sang tuan ataupun kedua tamu, sebab dinilai tidak sopan dan menyalahi aturan—yang berarti sama saja memohon untuk diakhiri hidupnya.

Sudah menjadi tugas dasar bagi mereka untuk 'tak mencuri dengar pun menyaksikan' apa yang terjadi dalam kediaman bangsawan, mulut mereka harus terkunci rapat bahkan saat berada dalam ancaman dan nyawa menjadi taruhan—tugas yang berlaku sama dengan yang ada di dalam istana kekaisaran, meski indra mereka merekamnya dengan jelas. Itulah mengapa ketiga pelayan tersebut berusaha secepatnya untuk melenggang pergi, membiarkan sang tuan 'tuk melanjutkan kepentingannya tanpa ada gangguan.

Sebagaimana kediaman mewah kalangan bangsawan pada umumnya, kediaman bergaya shinden-zukuri milik Kagewaki Naraku tak bisa dipandang sebelah mata, yang tak kalah megahnya dengan istana kekaisaran. Tak berhenti di situ, pamor Keluarga Kagewaki kian melambung tinggi di golongan orang berstatus sosial tinggi setelah berulang kali berjasa dalam pemerintahan. Kastil pribadi yang terdiri dari banyak bangunan dengan lorong-lorong beratap serta berlantai kayu tersebut, menjadi penghubung antar bangunan. Di sisi sebelah kiri terdapat tanah lapang yang dimanfaatkan sebagai taman asri, terdapat kolam buatan yang membelah taman menjadi dua sisi secara simteris. Bangunan utama merupakan pusat dari rumah besar berbenteng itu, dan penjagaan ketat dikerahkan di segala sisi.

"Mengapa kau menyeringai?" Tuturan yang mengawali diskusi sepeninggal pelayan itu memecah keheningan, walau tak yakin sudah seberapa jauh langkah mereka menjauhi ruangan itu. "Apakah ada hal menarik perhatianmu?" lanjutnya mengerling seraya menyeruput teh dengan tenang.

"Hmph," Embusan napas kasar terdengar lantang, seolah disengaja guna kedua mitra tuturnya mampu mengindranya, bagaimana aksi sederhanya mengandung selip rasa meremehkan yang cukup mendominasi, "rupanya mereka mempunyai senjata untuk melawan kita,"

"Senjata? Yōkai?"

Figur yang menjadi mitra tuturnya justru menyeringai, menggeleng ringan lantas menyeruput secawan teh dengan tenang, netranya menatap kosong—bersua jemu, "Seorang anak."


Pojok Penulis:

Melalui ini, saya bermaksud menyematkan beberapa catatan kecil mengenai tulisan ini. Pertama, Higurashi Yuriko. Berhubung di manga pun anime tidak ada pembahasan nama ibu Kagome (atau mungkin saya yang melewatkannya), maka saya membuat nama untuk karakternya yang menurut saya pribadi sesuai—walaupun saya tidak yakin apakah teman-teman sependapat dengan saya.

Kedua, Higurashi Tokio. Berhubung di manga pun anime tidak ada pembahasan nama kakek Kagome (atau mungkin saya yang melewatkannya), maka saya membuat nama untuk karakternya yang menurut saya pribadi sesuai—walaupun saya tidak yakin apakah teman-teman sependapat dengan saya.

Ketiga, inspirasi (tambahan) dalam menulis. Sumber inspirasi untuk menulis kali ini berasal dari AmethystDragonPrompt yang disematkan di pinterest dan berikut isi prompt-nya.

A weapon? A monster?

A child.

Keempat, daftar lagu. Berikut daftar lagu yang menemani proses kreatif hingga penyuntingan, pun yang menjadi inspirasi dalam menulis cerita ini:

· My Everything – NCT U

· Like I'm Gonna Lose You – Henry feat. Lee Hi

· At My Worst – Pink Sweat$ feat. Kehlani

· I.O.U – NCT U

· 가끔 미치도록 네가 안고 싶어질 때가 있어 (Sometimes I want to hug you like crazy) - Autumn Vacation

· Fukai Mori – Do As Infinity

· Dear You – Lee Hi

· ONLY – Lee Hi

· In Case You Didn't Know – Boyce Avenue

· First Love – Utada Hikaru

· You're Still The One – Shania Twain

· Nothing's Gonna Change My Love For You – Westlife

· It's you – MAX feat. Keshi

· Perfect (Original by Ed Sheeran) – Tyler Ward Lisa Cimorelli

· Move Mood Mode – TAEYONG feat. WENDY

Kelima sekaligus yang terakhir, saya meminta maaf baru bisa mempublikasikan tulisan ini setelah sekian lama (yang pada awalnya diharapkan bisa publikasi setiap dua minggu sekali), nyatanya rencana berujung menjadi wacana semata. Semoga tulisan ini bisa menjadi oasis bagi yang menantikannya dan menjadi hiburan tersendiri bagi kalian.

Saya ucapkan terima kasih pada siapa pun yang sudah menyempatkan waktu untuk membaca dan mengapresiasi tulisan ini.

Salam hangat,

Emma Griselda, 2023/08/28.