Oke, untuk chapter kelima langsung aku update ya!
Happy reading! :D
Normal POV
Tenten tertunduk dan saat melihat ke bawah, dia baru sadar bahwa bagian depan tubuhnya terekspos begitu jelas di depan Neji.
"Kyaaaaaaaaa!" Jerit Tenten dan dia menyingkir dari pangkuan Neji sambil menutupi bagian depan tubuhnya dengan jaket kulit Neji yang menggantung di tubuhnya.
"Neji, apakah kau melihat… seluruh tubuhku?" Isak Tenten.
"Iya Ten." Jawab Neji lirih.
"Kau… kau tidak akan melakukan apapun padaku kan?" tanya Tenten ketakutan.
Neji hanya menyeringai dan tertawa geli.
"Ten, jika aku memang ingin melakukan itu padamu, aku sudah melakukannya sejak kau memelukku tadi."
Tenten hanya memandang Neji heran.
"Kau bukan homo kan Neji?" tanya Tenten polos.
Pelipis Neji berkedut, homo?
"Aku straight Ten. Aku menyukai perempuan. Jika tidak, aku tak akan menciummu tadi." Jawab Neji sambil menahan tawa. Tenten kalau sedang salting memang sangat lucu.
"Oh, maaf. Kukira…" Tenten meminta maaf, tetapi dipotong oleh Neji.
"Tenang Ten, banyak yang mengira aku homo karena aku jarang menunjukkan ketertarikan kepada perempuan." Kata Neji geli.
"Tapi kenapa kau…?" Tenten tidak melanjutkan pertanyaannya.
"Kenapa aku tidak melecehkanmu seperti para bodyguard Gaara tadi? Aku masih punya hati dan harga diri sebagai seorang laki-laki Ten. Aku tidak akan melakukan itu kepada perempuan kecuali aku memang mencintainya dan perempuan itu juga mencintaiku serta mengizinkanku untuk melakukannya." Jelas Neji.
Tenten menatap Neji dengan terpesona,"Kau benar-benar pria yang baik dan gentle ya."
Mendengar pujian Tenten barusan, cukup membuat Neji salah tingkah. Untuk menutupinya, Neji mengelus kepala Tenten dan berkata,"Sudah lah Ten, lupakan kejadian mengerikan tadi. Pakailah jaketku itu dan aku akan membuatkanmu teh hangat untukmu."
"Tunggu dulu, tuan Hyuuga. Kau terluka setelah dihajar Gaara, izinkan aku mengobatimu dulu, baru kau boleh membuatkanku teh hangat." Perintah Tenten sambil memegang tangan Neji yang mengelus kepalanya.
Neji yang mendengar nada final dari Tenten hanya bisa menghela nafas dan menurut. Setelah Tenten memakai jaket kulit Neji yang sangat amat terlalu kebesaran untuknya (Neji tersenyum sendiri melihat Tenten yang terlihat begitu mungil dalam jaketnya), Tenten mengambil kotak obat di tasnya dan seplastik es batu dari kulkas. Lalu Tenten duduk di sofa dan menyuruh Neji tetap duduk di lantai, supaya Tenten lebih mudah dalam memeriksa dan mengobati luka di wajah Neji, karena Neji terlalu tinggi untuk Tenten. Bahkan dalam posisi duduk pun, puncak kepala Tenten hanya sampai di dagu Neji.
"Kau tinggi sekali Neji. Badanmu juga besar sekali, lihatlah, panjang tanganku hanya ¾ panjang tanganmu. Aku sampai terlihat tenggelam dalam jaketmu." Komentar Tenten sambil mengompres lebam di wajah dan bibir Neji menggunakan es yang dibungkus dengan kain bersih di dapur.
"Tapi aku suka melihatmu mengenakan jaketku Ten, kau terlihat begitu imut dan mungil di dalamnya." Kata Neji menyeringai jahil padanya.
Mendengar Neji menggodanya, Tenten memberikan usapan kecil ke kepala Neji sambil tertawa. Lalu dia melanjutkan mengompres wajah Neji.
"Berapa tinggi badanmu, Neji?" tanya Tenten.
"195 cm." Jawabnya.
"Wah, kau tinggi sekali, Neji! Pantas aku hanya setinggi bahumu! Padahal aku tergolong tinggi untuk wanita Jepang." Komentar Tenten.
"Memang berapa tinggi badanmu Ten?" tanya Neji.
"163 cm." jawab Tenten.
"Tidak berbeda jauh dengan Hinata-sama. Walaupun Hinata-sama lebih pendek sedikit." Kata Neji.
"Hinata-chan tingginya 160 cm pas. Aku pernah iseng menghitung tinggi badan kami bersama-sama. Omong-omong, dengan tubuh setinggi itu, apa kau tidak kesulitan mencari pakaian dan sepatu, Neji? Mengingat tinggi badanmu jauh diatas rata-rata tinggi badan laki-laki di Jepang." Tanya Tenten yang sekarang sudah mengoleskan krim anti memar pada wajah Neji. Untungnya, memarnya tidak terlalu parah.
"Hahaha, aku tidak pernah membeli pakaian di Jepang, Ten. Setahun sekali di musim panas, biasanya aku mengambil cuti untuk pulang ke Jerman selama 2 minggu dan membeli pakaian dan baju disana. Jika di Jepang, aku harus ke penjahit khusus dan biayanya cukup mahal." Jelas Neji.
"Nah sudah selesai, Neji! Seharusnya dalam waktu 3 sampai 4 hari memarmu akan hilang. Hidung dan mulutmu juga sudah tidak mengeluarkan darah lagi, aman!" Kata Tenten puas.
"Thanks, Ten." Kata Neji dengan senyum simpulnya. Ketika akan berdiri, Neji merasa perutnya masih sedikit nyeri akibat dipukul Gaara dan ekspresi wajah Neji yang sedikit kesakitan tertangkap oleh mata awas Tenten.
"Gaara juga memukulmu di perut, Neji?"
"Iya, Ten"
Tenten hanya menghela nafas dan berkata,"Baiklah, kau berbaringlah di sofa. Aku akan memeriksamu. Maaf jika aku membuka kaosmu, aku harus melihat memar di perutmu."
Neji menurut. Dia berbaring di sofa dan Tenten memeriksa memar di perutnya dengan seksama. Tersirat sedikit kekhawatiran di wajah Tenten ketika dia memeriksa memar di perut Neji, lalu dia mengambil stetoskop dan memeriksa dada dan perut Neji.
"Memar di perutmu agak parah Neji. Untungnya tidak sampai menimbulkan luka dalam, tetapi kau harus meminum obat pereda nyeri untuk mengurangi rasa sakit di memarmu. Dan untuk memarnya, aku akan mengompresmu selama beberapa hari dan memperbannya. Selain itu, kau tidak boleh banyak bergerak dan harus beristirahat beberapa hari ke depan." Kata Tenten setelah memeriksa memar di perut Neji. Neji terkejut mendengarnya.
"Tetapi 3 hari lagi konferensinya akan dimulai Ten, aku tidak bisa beristirahat selama itu." Keluh Neji.
"Hmph, baiklah kau bisa mengikuti konferensi itu, tetapi kau tidak boleh terlalu banyak bergerak selama dua hari ke depan. Oke?" Saran Tenten.
"Baiklah, terima kasih bu dokter." Jawab Neji dengan senyuman langkanya sambil mengusap kepala Tenten.
Tenten tersipu malu ketika Neji mengusap kepalanya. Untuk menyembunyikan rasa grogi-nya, Tenten bergegas mengambil es batu baru dan mengompres memar di perut Neji. Harus Tenten akui, untuk ukuran orang yang berumur 30 tahun ke atas, badan Neji tergolong bugar dan langsing.
"Badanmu bagus, Neji. Perutmu juga sixpack, kau nge-gym?" tanya Tenten sambil mengompres perut Neji.
"Ketika di Jerman iya Ten, tetapi semenjak aku pindah ke Jepang, aku tidak sempat nge-gym. Paling hanya sit-up dan push-up 100 kali serta angkat beban sepulang kerja atau treadmill. Dan weekend jogging, hanya itu. Tubuhmu juga indah Ten, kau olahraga apa?"
"Hahaha, dulu sebelum koas aku latihan pilates dan berenang, Neji. Kalau sekarang, aku hanya bisa melakukannya saat weekend, karena aku harus stand by di rumah sakit dari pagi hingga malam." Jawab Tenten.
Pantas kulitnya begitu indah, berwarna cokelat, batin Neji. Ya, kulit Tenten memang cenderung berwarna kecoklatan, bahkan lebih gelap dari Neji. Berkebalikan dengan Neji yang sangat putih, bahkan cenderung pucat dan terlalu putih untuk laki-laki.
"Nah sudah selesai, Neji! Memarmu sementara aku tutup dengan kain kasa, tapi tiap hari harus diganti dan usahakan jangan terkena air ya. Aku akan mengompres memarmu 3 kali sehari selama 2 hari ke depan, setelah itu baru kita bisa melepas kain kassamu dan mengoleskan salep untuk menghilangkan memarnya. Dan kau harus meminum obat pereda nyeri sampai sakit di memarmu itu hilang, oke?" Kata Tenten seperti seorang ibu yang menasehati anaknya yang bandel.
"Baik bu dokter." Jawab Neji pasrah.
Tenten kemudian mencari sesuatu di tasnya, sesaat kemudian dia mengeluarkan kotak biskuit vanilla yang diberikan Neji di pesawat tadi dan paracetamol. Lalu dia menyerahkannya pada Neji.
"Eh, ini untuk apa Ten?" tanya Neji bingung.
"Makanlah itu, lalu minum paracetamolnya." Perintah Tenten. Jika sudah menjalankan tugasnya sebagai seorang dokter, Tenten memang terkenal sangat tegas dan cerewet.
Neji mengikuti perintah Tenten. Setelah Neji selesai meminum paracetamolnya, dilihatnya Tenten sedang mengompres bibirnya dengan es batu sambil bercermin di kamar.
Tenten's POV
Ah, dasar Gaara sialan! Bibirku jadi sedikit bengkak karena ulahnya! Mana salepnya tidak bisa digunakan di bibir, kelihatannya selama beberapa hari ini aku harus rela berbibir bengkak seperti ini. Tapi paling tidak, lukaku tidak separah Neji.
Gaara benar-benar keterlaluan! Apa maksudnya menyuruhku menginap bersama Neji? Apa dia merencanakan sesuatu?Aku harus lebih berhati-hati, jangan sampai aku kecolongan lagi, seperti saat dia merampas harta dan perusahaan ayah. Apalagi sekarang dia sudah berani menyuruh anak buahnya untuk menodaiku. Walaupun sebenarnya aku bersyukur karena aku menginap dengan Neji yang memperlakukanku dengan baik, bukan dengan pria menyebalkan itu.
Neji, harus kuakui, dia benar-benar pria yang baik, sangat gentleman. Dibalik kesan dingin dan sombongnya, dia ternyata teman yang menyenangkan dan perhatian, setidaknya untukku. Sebab Sakura pernah bercerita padaku, setiap dia bertemu dengan Neji di pesta keluarga Uchiha, Neji hampir tidak pernah bicara padanya dan dia tidak pernah melihatnya tersenyum.
Kukira Neji bukan tipe orang yang gampang dekat dengan orang lain, tetapi denganku, dia terlihat nyaman dan membuka dirinya padaku. Dia bahkan mencium bibirku, ciuman paling hangat dan panas yang pernah kurasakan. Aku pernah berciuman dengan Gaara sebelumnya, namun hanya sekali saat resepsi pernikahan kami dan itupun hanya ciuman singkat, tanpa hasrat dan cinta seperti ciuman Neji kepadaku…
Seandainya Neji yang menjadi suamiku, bukan Gaara, mungkin aku akan lebih aman dan bahagia. Meskipun Neji jelas tidak sekaya maupun seberkuasa Gaara…
Tiba-tiba Neji meletakkan segelas air putih di meja rias. Entah kenapa hatiku berdesir ketika dia mendekatiku dari belakang dan memegang bahuku.
"Terima kasih telah mengobatiku, Bu Dokter. Apakah air putih ini cukup untuk membayar pengobatanku?" Candanya sambil menyeringai jahil padaku.
Aku melotot padanya,"Enak saja, Tuan Hyuuga! Biaya pengobatan dariku mahal, tahu! Minimal kau harus mentraktirku di restoran Michelin Star!" Balasku menanggapi candaannya.
Mendadak dia memelukku dari belakang seraya berbisik di telingaku,"Apa ini juga tidak cukup, Dokter Tenten?"
Wajahku langsung terlihat memerah seperti tomat di cermin, jantungku berdegup begitu dia memelukku, aku hanya tersipu malu dan menunduk.
"Berarti ini cukup untuk membayar biaya pengobatanku," kata Neji sambil tersenyum nakal padaku di cermin. Aku terhenyak dan memukul pahanya.
"Hei, enak saja! Jelas tidak cukup lah! Kalau ditambah pelukan seperti ini, biayanya bertambah Tuan Hyuuga!" kataku jengkel.
Dia akhirnya melepas pelukannya dan hanya terkekeh melihat wajahku. Lalu dia bertanya,"Sudah selesai mengompres lukamu sendiri, Bu Dokter?"
"Hm."
"Kau tidak menggunakan salepnya?"
"Tidak Neji. Salep ini tidak boleh dipakai di bibir dan mata." Jawabku sambil membereskan peralatan kompresnya.
"Kau mau makan lagi Ten? Atau minum sesuatu?"
"Tidak Neji, air putih ini cukup kok. Aku ingin langsung mandi dan tidur saja. By the way, terima kasih untuk air putihnya ya." Kataku tersenyum padanya. Dia hanya membalas senyumku sekilas lalu keluar dari kamar. Aku meminum air putih yang diberikan olehnya, kemudian ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhku.
Ketika aku sudah selesai mandi dan keluar kamar mandi, Neji sedang menaruh bantal dan selimut di sofa.
"Neji, kau tidak berniat tidur di sofa kan malam ini?" Tanyaku.
"Iya Ten."
"Tapi lukamu lebih parah dariku, Neji! Aku saja yang tidur di sofa, kau tidur saja di ranjang."
"Tidak, Ten. Aku yang laki-laki disini, jika malam-malam ada yang menyusup bagaimana? Itu berbahaya untukmu. Apalagi di sini sepi sekali dan kita hanya dikelilingi oleh hutan." Bantah Neji, ini perasaanku saja atau nada bicara Neji agak sedikit dingin dan meninggi?
"Tapi luka memarmu…" kata-kataku terhenti karena tindakan mendadak Neji yang memojokkanku ke dinding dan menatapku dengan pandangan mengintimidasi.
"Tenten Mitsashi, kau bisa memilih, aku tidur di sofa dan kau tidur di kamar, atau kita berdua tidur seranjang! Aku tidak mau jika kau yang tidur di sofa dan aku di kamar! Paham?" kata Neji dengan nada kasar yang dingin.
Jujur aku agak takut padanya saat ini. Aku paham dia bermaksud baik dan tidak ingin membuatku sakit atau merasa tidak nyaman karena tidur di sofa. Namun entah kenapa, nada dingin dan pandangan matanya yang menusuk itu, benar-benar membuat hatiku sakit. Padahal jika Gaara yang melakukannya, aku akan memaki dan memprotesnya.
"Baiklah Neji, aku…aku akan tidur di kamar dan kau…kau bisa tidur di sofa." Jawabku seraya menitikkan air mata.
Sepertinya dia tidak tega melihatku menangis, karena setelah aku menjawabnya, dia langsung memelukku dan mengusap kepala dan punggungku.
"Ten, kenapa kau menangis?" bisiknya lembut. Cara bicaranya perlahan mulai hangat dan tidak sedingin tadi.
"Tidak, hanya.. aku hanya takut…hiks… kau menakutkan jika marah, Neji… dan cara bicaramu…hiks… menyakiti perasaanku." Jawabku tersedu. Jujur aku tidak mengerti dengan diriku sendiri, jika Gaara dan orang lain yang berbicara seperti itu padaku, aku pasti sudah naik pitam dan mendebat mereka. Entah kenapa dengan Neji, aku justru sakit hati dan menangis karenanya.
"Tenten, tatap mataku." Pintanya dengan halus.
Aku menatap ke mata amnethyst-nya yang indah itu, sesaat aku merasa melayang ketika menatap matanya dan tenggelam dalam pesonanya…
"Maafkan jika aku menyakitimu, Ten. Mengertilah, aku hanya berusaha untuk melindungi dan menjagamu, aku tidak bermaksud melukaimu. Baiklah, aku tidak akan bicara dengan nada seperti itu lagi, namun kau juga harus menurutiku jika itu menyangkut keselamatanmu, oke?" katanya lirih sambil memegang kedua pipiku dengan lembut.
Aku hanya mengangguk lembut dan tersenyum padanya, dan dia membalas senyumku, indah sekali. Dan secara tidak sadar, aku memeluk lehernya dan membawa wajahnya yang rupawan itu ke arahku, lalu…
Aku mencium lembut bibir tipisnya, membalas ciuman hangat yang dia berikan padaku tadi. Dia menyambut ciumanku dengan mengakses lidahku dan mengabsen gigiku. Aku tak sanggup menahan hasratku lagi padanya karena jajahan dan lumatan yang dia lakukan pada mulut dan bibirku. Aku secara refleks melingkarkan kedua kakiku di pinggangnya dan dia semakin agresif dengan ciumannya dan menekan tubuhku di dinding dengan tubuhnya, sampai-sampai aku dapat merasakan dadanya yang bidang dan perut sixpack nya menekan tubuh bagian atasku serta bagian bawah tubuhnya yang mulai menegang…
Kemudian mendadak dia melepaskan ciumannya dan menatapku deengan tatapan rindu dan sendu, seperti menahan hasrat laki-lakinya padaku.
"Maaf Ten, tolong jangan lanjutkan… Aku tidak ingin merusakmu, Ten. Tolong mengertilah." Ucapnya pelan.
Perlahan aku menurunkan kakiku dari pinggangnya dan melepas pelukanku di lehernya.
"Tidak apa-apa, Neji. Maafkan aku juga yang terlalu terbawa perasaan." Kataku lirih.
Dia mengelus ubun-ubun kepalaku dengan penuh kasih sayang dan tersenyum indah padaku.
"Tidurlah Ten , istirahatlah. Hari ini pasti sangat melelahkan dan berat bagimu." Katanya halus.
Aku mengangguk dan tersenyum simpul padanya, lalu mengambil koper dan tasku untuk kubawa ke kamar. Dia membantuku mengangkat koper dan tasku ke kamar. Setelah mengucapkan "selamat tidur", dia menutup pintu kamarku. Aku mengambil piyama dari koper, lalu mengganti bathrobe-ku yang sudah berantakan dan nyaris terlepas ikatannya akibat perbuatan kami barusan.
Normal POV
Tenten mematikan lampu, namun dia tidak bisa langsung tidur malam itu. Dia menangis dan menyalahkan takdirnya, kenapa dia harus bertemu dengan pria yang tepat, yang begitu menjaga dan melindungi dirinya, tetapi di saat dia sendiri sudah terikat pernikahan dengan pria yang tidak mencintainya dan sering melakukan kekerasan padanya. Tenten berusaha menangis dengan suara sepelan mungkin supaya Neji yang sedang mandi tidak mendengarnya menangis. Tenten tidak ingin Neji tahu bahwa Tenten menangisi dirinya, yang mustahil untuk dimiliki.
Karena terlalu tenggelam dalam tangisannya, Tenten tidak menyadari bahwa diantara suara shower kamar mandi, sayup-sayup terdengar suara erangan tertahan Neji yang sedang masturbasi karena Neji sudah tidak sanggup menahan hasrat lelakinya lagi sejak Neji mencium bibir Tenten pertama kali. Setelah melepaskan hasrat lelakinya itu, Neji merutuki dirinya sendiri yang tidak mampu menahan nafsunya dan nyaris menodai Tenten, wanita yang dia kagumi dan dia cintai sejak pindah ke Jepang, walaupun dia sendiri baru menyadari perasaannya hari ini.
Neji menyadari bahwa dia sudah mencintai Tenten terlalu dalam, namun Neji paham bahwa dia tidak mungkin bisa menggapai Tenten yang sudah menjadi istri Gaara, salah satu konglomerat ternama yang juga memilki koneksi dengan dunia bawah tanah Jepang. Taruhannya dan risikonya terlalu besar, belum ditambah dengan masalah Matsuri yang sepertinya belum dilupakan sepenuhnya oleh Gaara. Untuk saat ini, Neji hanya bisa menunjukkan perasaan cintanya pada Tenten dengan sikap protektifnya dan perhatiannya. Dan Neji cukup yakin, dari sikap dan perilaku Tenten hari ini, Tenten mulai membalas perasaan cintanya, meskipun Tenten berusaha tidak menunjukkannya dan menutupinya karena dia adalah istri orang lain.
"Maafkan aku yang begitu terlambat datang dalam hidupmu, Hime. Seandainya aku menyadarinya sejak awal, lebih keras menolak Matsuri, dan meminta Hinata-sama untuk mengenalkanku padamu, mungkin sekarang kita sudah menikah, hidup bahagia bersama anak-anak kita, dan kau tidak perlu mengalami penderitaan sebesar ini." Bisik Neji yang menangis menyesali nasibnya di bawah pancuran shower.
o0o
To Be Continued...
Oke, untuk chapter selanjutnya, akan bercerita tentang keseharian Neji dan Tenten selama di Swiss. Kira-kira mereka bakal ngapain aja ya, berdua doang selama sebulan di Swiss?
Stay tuned terus ya!
