"Kamu sudah ingat?"
Itu adalah sebuah pertanyaan yang dilontarkan oleh Sasori pada Deidara saat musim panas, ketika keduanya sedang menikmati festival kembang api. Hari itu Deidara tidak mengerti maksud dari pertanyaan itu.
"Ingat apa danna?"
"Gapapa."
Deidara memiringkan kepalanya bingung, ada sedikit rasa penasaran apa maksudnya bertanya seperti itu, tetapi Deidara memlih untuk tidak memikirkannya. Deidara memperhatikan Sasori yang kembali fokus menonton kembang api.
"Danna."
"Apa?" Sasori menoleh ke Deidara.
Deidara memberikan senyum lima jari pada Sasori, Sasori hanya memandangi Deidara saja, tidak ada perubahan ekspresi di wajahnya.
"Hmph, sudahlah lupakan saja."
.
.
.
Remember
Pairing: Sasori x Deidara
SELAMAT MEMBACA
Deidara mengubek-ubek tasnya dengn heboh, saat dia suah mendapatkan benda yag dia cari, Deidara langsung mengeluarkan tangannya dari dalam tas. "DANNA! LIHAT! MAHAKARYAKU YANG BARU! Un." Deidara memperlihatkan karya seni yang terbuat dari tanah liat berbentuk burung pada Sasori, seperti biasa, senyum lebar menghiasi wajah.
"Bagus." Hanya itu kata yang terucap.
Walaupun reaksi Sasori kelihatan biasa saja saat melihat karya Deidara, itu tidak membuat Deidara tidak senang, ada rasa seperti itu sedikit, tetapi Sasori selalu minim reaksi terhadap apapun.
"Danna."
"Deidara."
Deidara terkejut tiba-tiba dipanggil Sasori, mereka berdua saling bertatapan beberapa detik, lalu pipi Deidara tiba-tiba merona, salah tingkah, tangannya menggaruk tengkuk belakangnya.
"Jangan liat aku kaya gitu dong danna, jadi malu."
Sebelah alis Sasori terangkat, heran. Dia cuman manggil doang tetapi Deidara udah salah tingkah duluan.
"Aku cuman penasaran kenapa sekarang rambutmu dibiarin panjang, awal kita ketemu pendek," kata Sasori sembari meraih beberapa helai rambut Deidara dan mengusapnya lembut.
"Eh?" Mata biru Deidara melirik ke samping, dia berpikir keras untuk mencari jawaban yang cocok. "Soal itu ... itu ... hahaha ... lagi males potong rambut aja kok danna."
"Begitu ..."
Deidara menggaruk tengkuk belakangnya lagi sambil tertawa renyah, sebenarnya Deidara tidak mau mengataan yang sebenanya, dia memanjangkan rambutnya karena danna-nya ini. Waktu mereka kali bertemu, Deidara sadar Sasori selalu memperhatikan rambutnya dan Sasori pernah berkata kalau rammbutnya pirangnya ini sangat cantik, berkat pujian itu Deidara memutuskan untuk memanjangkan rambutnya. Satu lagi, Sasori pernah berkata padanya waktu rambutnya masih pendek seleher.
"Sekarang kamu lebih suka rambut pendek?"
Pertanyaan itu kadang sedikit mengganggu Deidara, karena waktu itu Deidara ingat betul dia belum pernah bertemu dengan Sasori sama sekali dalam hidupnya, mereka beru bertemu saat kuliah kebetulan satu fakultas dan pernah satu kelas, itu saja. Tidak lebih.
Namun Sasori mengatakan itu seolah mereka pernah bertemu sebelumnya dan Sasori juga pernah bertanya perihal karya seni tanah liatnya. Sasori melontarkan pertanyaan konyol tentang itu, apakah karyanya itu bisa meledak atau tidak?
Deidara mendapat pertanyaan itu langsung bingung banget waktu itu. Kenapa bis Sasori berpikir demikian ke karya seninya, dia tidak pernah kepikiran soal itu, kalau dia mau membuat sesuatu yang meledak atau sedang dengan sebuah ledakan lebih baik dia memilih jurusan teknik nuklir.
Deidara pernah bertanya balilk kenapa Sasori bisa bertanya seperti padanya dan reaksi Sasori adalah ...
"Ah ... kamu engga inget?"
"Inget apa danna?"
"Gapapa, lupain aja."
"Ehhh? ..."
Semenjak itu Deidara penasaran banget, beberapa kali Deidara iseng bertanya beberapa kali ke Sasori tetapi Sasori selalu mengganti topiknya dan membiarkan Deidara penasaran, setelah itu Deidara memilih untuk tidak bertanya lagi, Deidara sadar setiap kali dia bertanya perihal itu ekspresi datar Sasori berubah sendu.
"Danna."
"Apa?"
"Danna minggu depan bakal tampil lagi di gedung opera? Un."
"Ya, di kota ini gedung paling mewah dan sering menjadi tempat acara pertunjukan cuman tempat itu."
"Gitu ya, terus kenapa danna engga latihan? Biasanya kalau udah deket danna sering latihan sampe dispen."
"Lagi males aja."
"Tum ... ben."
Sasori menengok ke Deidara. "Kenapa? Kamu penasaran?"
Deidara meloncat kaget. "Eng ... ENGGAK KOK! Un."
"Hmm ..." Sasori kembali melihat lurus ke depan. "Jadi kamu beneran engga inget?"
"Soal itu ... maksud danna apa?"
Sasori menghela nafas panjang, kayaknya percuma saja. Deidara tidak akan pernah mengungatnya. Sasori menggaruk kasar di kepala, dia tidak harus berharap Deidara mengunga masa lalunya, cukup dirinya saja, kalau Deidara mengingat masa lalunya mungkin sifatnya tidak akan seceria sekarang, maksudnya pasti akan ada waktu Deidara mengingat kematiannya dan itu bisa menghapus senyum dari wajahnya,
Deidara memperhatikan Sasori yang mulai aneh tingkahnya. "Danna gapapa? Un."
"Gapapa kok."
Dahi Deidara berkerut. "Bener? Un."
"Iya," balasnya dengan ketus.
Tak lama Sasori membuka telapak tangan. "Tanganmu."
"Untuk apa? Un."
"Taro aja."
Deidara mengikuti perkataan Sasori, dia menaruh tangan kirinya ke atas telapak tangan kanan Sasori. "Terus apa?"
Sasori menggenggamnya dengan erat. Deidara memperhatikan tangannya, seolah menunggu sesuatu terjadi.
"Ayo pulang, udah sore."
"Eh?"
"Mau sekalian makan malam? Aku yang traktir."
"Ga ... ga usah danna, un."
"Yasudah."
Keduanya berdiri, mata coklat Sasori memperhatikan Deidara tanpa berkedip.
"Apalagi danna ...?"
"Ayo senyum."
"Danna hari ini aneh."
"Senyum."
"Iya deh iya ... begini?"
Deidara memberikan senyum terbaiknya pada Sasori. Sasori mengangguk pelan.
"Tersenyumlah terus."
Tiba-tiba tangan kiri Sasori terangkat, tangan kirinya menangkup wajah Deidara, jempolnya mengusp pelan pipi Deidara.
"Danna ...?"
"Gapapa, ayo."
