Disclaimer: Bungou Stray Dogs adalah ciptaan Asagiri Kafka dan Harukawa Sango, The Pillow Book adalah karya Sei Shonagon, 'Kiyohara Nagiko' dipercaya sebagai salah satu kemungkinan nama asli dari Sei Shonagon, Author tidak mengambil keuntungan.
Warning: Agak slow burn, Dazai x OC, alur canon (manga, anime, novel), sebisa mungkin tidak mary-sue.
.
.
Osamu Dazai and His Sun
by Fei Mei
.
Chapter 4
.
.
Nyeri luar biasa menghujam kakinya, Nagiko spontan menjerit. Dia masih berusaha agar suara teriakannya tidak terlalu keras, karena teringat bahwa adanya kemungkinan orang lain mendengar suara dari gang ini dan penasaran lalu datang sehingga malah tambah korban. Dan selain suaranya sendiri, ia juga bisa mendengar suara Junichiro yang memanggil nama adiknya. Pandangan Nagiko berkunang-kunang, ia tidak tahu apa yang terjadi pada Naomi sampai sang kakak menjerit begitu. Tapi perlahan Nagiko bisa mendengar suara rintihan Naomi, membuatnya lega bahwa gadis yang lebih muda darinya itu memang masih disana. Tinggal suara Atsushi-kun, Nagiko sama sekali tidak mendengarnya. Ia masih memegang kakinya yang sakit, berusaha agar matanya bisa melihat dengan jelas untuk mencari juniornya.
"—harus kuperiksakan ke Yosano-sensei." Suara parau Junichiro terdengar lagi. "A-aku harus membawanya ke ruang medis! Atsushi, tolong angkat kakinya—Nagiko-san?! Nagiko-san—"
"—cukup sampai disitu." Suara Higuchi terdengar lagi, lebih dingin dari sebelumnya. "Aku sudah menyelidikimu dan tahu kamu bukan personel tempur."
Nagiko semakin berkeringat dingin sambil terus menggigit lengannya sendiri agar tidak berteriak. Ia jadi tersadar alasan kenapa sejak awal Higuchi memberi permintaan penyelidikan itu pada Junichiro. Memang, sih, saat ini anak itu menjalani tugas karena disuruh Kunikida-san, tapi tetap saja awalnya dia meminta staf untuk menghubungi Junichiro dan bukannya agen senior seperti Kunikida-san misalnya.
"Bagaimana kalau kubuat kamu menyusul adikmu yang heroik itu?" tawar Higuchi dingin.
"Berani-beraninya begundal sepertimu melukai Naomi!" raung Junichiro. "Light Snow!" Beberapa detik kemudian, suaranya terdengar lagi. "Atsushi, bawa Nagiko-san mundur, biar aku yang membunuhnya!"
Mungkin sekitar tiga detik kemudian barulah Nagiko mendengar derap kaki yang cepat menghampirinya. Dugaannya adalah Atsushi-kun, karena siapa pun yang menghampirinya langsung buru-buru membantu gadis itu bangun. Tapi, Nagiko tidak bisa melihat seberapa parah luka yang didapatnya, yang pasti Atsushi-kun memutuskan untuk menggendongnya untuk dibawa ke pinggir, bukannya memapah.
Tidak lama kemudian Nagiko bisa mendengar suara tembakan pistol beruntun lagi. Dan ketika suara tembakan itu berhenti, Nagiko akhirnya sudah mulai bisa mengatur nafasnya. Pandangannya masih mengabur, tapi setidaknya dia sudah bisa minta Atsushi-kun untuk membantunya melepas blazer yang ia kenakan dan membebatnya ke kakinya yang terluka.
"Lalu, pinggangmu, bagaimana?" tanya Atsushi-kun kemudian.
"P-pinggang?" engah Nagiko. Sakit yang paling parah hanya di kakinya, masa iya dia tidak sadar pinggangnya kena juga?
Entah apa yang dipakai Atsushi-kun, tapi gadis itu bisa merasakan adanya gumpalan kain yang dipakaikan anak itu untuk menekan pinggangnya.
"Mati kau!" raung Junichiro.
Nagiko bisa mendengar erangan Higuchi, kemudian suara batuk maskulin. Tidak lama kemudian, Nagiko dibuat ngeri karena telinganya menangkap suara erangan Junichiro.
"Takutlah pada kematian," kata sebuah suara. Nagiko belum pernah mendengar suara itu sebelumnya, tapi tampak cocok dengan suara batuk maskulin yang sebelumnya terdengar. "Takutlah membunuh, sebab orang yang mengharapkan kematian akan sama-sama diharapkan juga oleh kematian."
Orang itu batuk-batuk lagi, dan Nagiko juga bisa mendengar suara seperti ada bacokan halus bersamaan dengan raungan Junichiro yang kesakitan.
"Ini pertama kalinya kita bertemu, ya. Namaku Akutagawa. Sama seperti gadis disana, aku hanyalah seekor anjing hina Port Mafia," kata orang itu lagi.
Buru-buru lengan Nagiko mencari-cari Atsushi-kun. Mungkin sadar akan itu, lengan kurus itu menyambut tangan Nagiko. "A-Atsushi, pergilah—hubungi yang lain—b-beritahu yang terjadi—"
"T-tapi!"
"Akutagawa senpai! Prioritaskan kesehatan senpai! Urusan disini biar saya sendiri—"
Lalu Nagiko mendengar suara tamparan keras.
"Kita diperintahkan untuk menangkap Manusia Harimau hidup-hidup, apa jadinya kalau kau menembak mati semuanya? Dasar tidak berguna," ujar Akutagawa keras.
"Manusia Harimau? Menangkap hidup-hidup? Kalian …?" tanya Atsushi-kun.
"Aslinya tujuan kami adalah kau seorang, Manusia Harimau," jawab Akutagawa. "Rekan-rekanmu yang terkapar itu, hanya orang yang terseret jadi korban gara-gara kamu."
"Gara-gara aku—"
Nagiko mengeratkan genggaman tangannya. "Tidak—Atsushi, j-jangan dengarkan dia, kamu—kamu harus pergi dari sini—"
"Itu karmamu, Manusia Harimau," lanjut Akutagawa. "Kau itu, hanya dengan terus hidup, telah merugikan manusia di sekitarmu. Kau sendiri pun samar-samar mengingatnya, bukan?"
"Atsushi—"
"Rashomon!"
Mungkin aslinya Akutagawa memang hanya ingin menyerang Atsushi-kun saja, tapi karena kebetulan anak itu ada di dekatnya, Nagiko kena serang juga. Tidak parah sama sekali, tapi gadis itu jadi merasakan cabikan di tubuhnya.
Nagiko tidak lagi bisa merasakan Atsushi-kun di dekatnya, jadi mungkin itu berarti anak itu berhasil terhempas. Suara Junichiro terdengar lagi, menyuruh anak baru itu untuk segera kabur. Tapi, bahkan setelah dua orang seniornya menyuruh kabur, Atsushi-kun masih berada disana. Nagiko mendengar suara perkelahian, bahkan pekikan sakit anak itu. Sampai akhirnya gadis itu bisa mendengar suara raungan harimau. Samar-samar Nagiko bisa melihat seekor harimau putih besar hendak menyerang sesuatu—atau seseorang, yang serba hitam. Kemudian Nagiko memekik, karena ia seperti melihat harimau itu—Atsushi-kun seperti terbelah oleh sesuatu yang berwarna hitam.
"Light snow!"
Lalu Nagiko menghembus nafas lega sesaat, karena sadar yang dilihatnya itu hanya ilusi dari Junichiro. Si Hitam kembali ancang-ancang, dan Nagiko bisa melihat sekilas Atsushi-kun yang dalam wujud setengah harimau hendak saling serang lagi.
Nagiko ingin berteriak agar juniornya berhenti, tapi suaranya kalah cepat dengan suara penyelamatnya.
"Yak, cukup sampai disitu!" Itu. Itu suara Dazai-san.
"Kamu yang dari agensi detektif!" sahut Higuchi. "Kenapa ada disini!?"
"Aku suka penasaran terhadap kegiatan wanita cantik, sih, makanya aku diam-diam menguping," jawab Dazai-san santai.
"Alat penyadap suara?!" pekik Higuchi kaget.
"Kalau begitu, sejak awal kau sudah membaca rencanaku?!"
"Begitulah~" Kemudian Dazai-san berjongkok di samping Atsushi-kun. "Bangun, dong, Atsushi, aku ogah kalau harus pulang sambil menggotong empat orang sekaligus."
"Tu-tunggu dulu, aku tidak boleh membiarkanmu pulang hidup-hidup!" seru Higuchi lagi.
Lalu suara kekehan bercampur batuk dari Akutagawa terdengar. "Jangan, Higuchi, kamu tidak akan bisa menang."
"Tapi, Akutagawa senpai!"
"Dazai, kali ini kami akan mundur," kata Akutagawa. "Tapi, kami, Port Mafia inilah yang akan mendapatkan kepala si Manusia Harimau."
"Kenapa?"
"Sederhana saja, manusia harimau itu dihargai tujuh miliar Yen di pasar gelap, itu jumlah yang lebih dari cukup untuk mengendalikan dunia hitam."
"Oooh, tawaran yang bagus, dong!" sahut Dazai-san.
"Dazai-san!" tegur Nagiko cepat, karena sebal dengan pemuda itu yang terlalu santai.
Tawa riang Dazai-san terdengar sambil menghampiri keponakan bosnya. "Maaf, Sayang, aku hanya ingin mencairkan suasana yang kelewat tegang tadi."
"Kelak aku akan berkunjung lagi ke kantor agensi detektif," kata Akutagawa kemudian. "Saat itu, sebaiknya kalian serahkan saja Si Tujuh Miliar Yen itu dengan patuh. Jika tidak—"
"—mau bertarung? Dengan agensi detektif? Syukurlah kau enerjik," tangan Dazai-san, sambil ia merapikan pakaian Nagiko, terutama roknya. "Coba saja, kalau memang bisa." Suara pemuda itu terdengar sangat dingin pada kalimat terakhir, dan itu pertama kalinya Nagiko mendengar Dazai-san begitu. Spontan dengan tangan yang gemetar karena masih menahan sakit, gadis itu meremas pinggir jas Dazai-san. Mau tak mau pemuda itu menoleh pada si gadis, menatapnya lembut sambil menyambut tangan yang meremas jasnya. "Tidurlah sekarang, ya?"
Nagiko menggeleng lemah. "N-nanti saja, menyingkir d-dari sini dulu."
Dazai-san tersenyum kecil dan mengangguk, lalu menggendong gadis itu dan berdiri. Berbeda dengan Kak Akiko yang selalu mengenakan stocking, Nagiko kurang nyaman mengenakannya, terutama di daerah paha. Karenanya, mungkin ingin sekalian membiarkan gadis itu tidur kapanpun, Dazai-san memastikan salah satu tangan yang menggendongnya itu mengenai kulit kakinya saat ini.
"Beraninya agensi detektif kecil berlagak, kami adalah sisi gelap kota ini!" sahut Higuchi lagi. "Kami menaungi puluhan perusahaan di bawah grup kami dan telah menyebarkan akar kukuh di sektor pemerintahan dan perekonomian kota ini! Sementara kalian cuma agensi detektif beranggotakan belasan orang—akan kami buat kalian beserta kantor kalian jadi abu dan lenyap dalam kurang dari tiga hari! Tidak ada orang yang bisa bertahan hidup setelah menentang kami!"
Nagiko yang ada dalam dekapan Dazai-san bisa merasakan bahwa pemuda yang menggendongnya ini tidak ketakutan sama sekali mendengar perkataan lawannya. Sedangkan Nagiko sendiri, saat ini tidak tahu harus lebih takut pada ancaman Higuchi atau pada fakta saat ini ia dan ketiga temannya sedang terancam kehilangan terlalu banyak darah.
Tetapi kemudian Nagiko bisa merasa Dazai-san malah menghela.
"Kalau cuma itu, sih, aku sudah tahu," kata Dazai-san kemudian.
"Benar, kau jelas lebih tahu daripada orang luar lainnya—" timpal Akutagawa dingin. "—Dazai, eks mafia."
Mata coklat Nagiko membulat mendengarnya. Sedetik kemudian, akhirnya dia pingsan juga.
.
.
.
.
Sejak awal, tampang Fukuzawa Yukichi memang setegas itu. Bagi yang tidak pernah melihatnya sehari-hari, mungkin orang akan berpikir bahwa bos Agensi Detektif Bersenjata itu sedang antara takut jarum atau malah takut darah. Padahal tidak keduanya. Fakta bahwa ia sangat mengawatirkan keponakannya itu yang membuat rahangnya makin keras ketika Dokter Yosano mengambil darahnya untuk bisa didonorkan pada Nagiko.
Padahal Sang Dokter sudah meminta atasannya agar lebih merilekskan tubuhnya supaya darahnya lebih mudah diambil, tapi tetap saja, Yukichi tidak akan bisa rileks mengingat anak perempuan kakaknya terbaring lemah kehilangan banyak darah.
"Yosano-sensei," ujar Yukichi. "Kau tahu bahwa aku sudah memberi izin jika kamu ingin mengobati Nagiko dengan cara yang sama seperti yang biasa kau lakukan pada rekan kerja kita yang lain, kan?"
Dokter perempuan itu menghela dan tersenyum pahit. "Aku sama sekali tidak tega menyakiti orang yang sudah kuanggap seperti adikku sendiri. Walau nantinya akan lebih mudah untuk kuobati, tapi aku tidak tega. Tiap dia diantar datang kepadaku sehabis berusaha membuat dirinya sendiri pingsan secara ekstrim saja sudah membuat hatiku hancur. Jika Naomi tidak sekarat, aku juga hanya akan merawatnya dengan biasa saja."
"Tapi—"
"Pak Fukuzawa, saat ini aku bukan hanya dokter karena kemampuan spesialku, tapi aku juga punya surat izin praktek medis. Aku telah mengoperasi Nagiko sebaik mungkin. Jika ada sesuatu yang terjadi nanti, aku akan pakai kemampuan khususku. Anda tidak perlu cemas," tutur Dokter Yosano.
Rahang Yukichi melunak. Ia percaya dokter ini mampu membuat keponakannya sembuh, ia hanya terlalu khawatir memikirkan gadis itu yang sempat kesakitan. Selama ini gadis itu tidak pernah terluka parah sampai perlu perawatan medis ketika sedang mengurus kasus. Tapi, mungkin hari ini memang bukan hari yang baik bagi Nagiko, Atsushi, dan Tanizaki Bersaudara, karena pas sekali semuanya terluka parah—yang paling parah adalah Naomi, sebenarnya, tapi mungkin karena Nagiko adalah keluarga kandungnya sehingga Yukichi paling mencemaskan gadis itu saat ini.
"Selesai," kata Dokter Yosano, perlahan menarik jarum dari tangan Yukichi. "Sekarang tinggal ditranfusikan ke Nagi."
Yukichi mengangguk. Perlahan ia bangkit dari sofa tempatnya berbaring, menunggu dokter perempuan ini berberes, lalu keluar dari ruangannya dan sama-sama menuju ruang kesehatan. Secemasnya Yukichi, ia tetap berjalan di belakang Dokter Yosano, ia tidak ingin memperlambat atau menghalangi Sang Dokter untuk bertemu dengan pasiennya.
Pintu ruang kesehatan memang tidak tertutup rapat karena sengaja. Ada Naomi, Atsushi, dan Nagiko yang berbaring di ranjang yang masing-masing terpisah oleh tirai, serta ada Junichiro di sofa. Kasihan jika ada yang keluar-masuk ruangan dan keempat pasien itu harus terganggu dengan suara buka-tutup pintu, makanya daun pintunya tidak tertutup rapat.
Jadi pelan-pelan Yukichi mendorong pintu ruang kesehatan, mempersilakan Dokter Yosano yang tangannya penuh untuk masuk duluan. Mereka berjalan pelan menuju bilik tirai paling ujung, dimana Nagiko dibiarkan istirahat disana. Tirai di bilik itu tidak ditarik sampai benar-benar tertutup, sehingga Yukichi hanya perlu menyibak pelan tanpa suara tirai itu agar mereka bisa masuk.
Tapi rahang Yukichi kembali mengeras melihat pemandangan dalam bilik tirai keponakannya.
—Dazai mencium kening keponakannya yang sedang tidak sadarkan diri. Lalu pemuda itu menatap lembut Nagiko. Mungkin Yukichi salah menginterpretasikan ekspresi Dazai, tapi partner Kunikida itu tampak ingin menangis.
Pemandangan itu langsung berhenti karena Dokter Yosano berdeham. Sontak Dazai menoleh. Pemuda itu mengerjap, lalu menyengir seperti biasa.
"Ah, Yosano-sensei sudah datang rupanya!" ujar Dazai riang, ia agak menyingkir dari samping Si Pasien. "Obat biusnya masih bekerja, tampaknya."
"Begitu?" tanya Yosano.
Dazai mengangguk, membiarkan Sang Dokter mengambil tempatnya di samping Nagiko. "Daritadi aku gak megang tangannya, dan dia masih tidak sadarkan diri, tuh."
"Aku akan memasang transfusi darah pada Nagiko sekarang," tutur Yosano. "Pak Fukuzawa, Anda harus banyak minum air setelah banyak darah kuambil."
Yukichi menggumam 'mm' pelan, lalu memicingkan mata pada Dazai. "Ikut aku, Dazai."
Pemuda itu mengerjap. "Tapi nanti kalau—"
"Kalau Nagiko terbangun dan Yosano-sensei berpikir dia butuh tidur, dia akan memanggilmu," tegas Yukichi.
Dazai menatap Nagiko sekali lagi. "Baiklah."
Jadi Yukichi dan Dazai keluar dari ruang kesehatan, kembali ke ruang Presdir setelah ia mengambil satu botol besar air mineral. Yukichi duduk di bangkunya, mulai menuang air ke gelas dan meminumnya. Setelah dirasa yakin, barulah ia menanyakan sesuatu pada pemuda yang diundangnya ikut ke ruangan itu.
"Nagiko adalah keponakanku, sejak kedua orangtuanya meninggal, kuanggap dia seperti putriku. Aku peduli pada semua staf agensi, tapi Nagiko adalah keluarga yang sedarah denganku," tutur Yukichi. "Dazai, bagimu, Nagiko itu siapamu?"
Bawahannya ini tidak tampak terkejut, mungkin sudah menebak bahwa suatu hari ia akan harus menghadapi pertanyaan seperti ini. Jadi Dazai tersenyum kecil. "Matahari."
"Apa?"
"Matahariku," ulang Dazai. "Satu-satunya dan tidak tergantikan."
"Kamu tahu bahwa alasan kenapa aku belum menebasmu itu karena Nagiko membutuhkanmu agar dia bisa terlelap, kan?"
Dazai tersenyum tipis. "Tentu saya tahu."
"Dan jika suatu saat Nagiko bisa mengendalikan kemampuan The Pillow Book, kamu tahu itu berarti dia tidak akan membutuhkanmu lagi untuk bisa terlelap, kan?"
Senyum itu masih disana, tapi Yukichi bisa melihat ekspresi sedih bawahannya. "Itu tidak masalah. Saya rasa Kiyohara Nagiko akan tetap menjadi Nagiko yang sekarang saya kenal."
Yukichi meminum airnya lagi, sambil menimbang-nimbang apakah ia harus menanyakan soal apa yang dilihatnya di ruang kesehatan tadi atau tidak. Ketika ia menelan air mineral di mulutnya sampai air di gelasnya habis, ia memutuskan bahwa ia perlu tahu.
"Dazai, kenapa kamu mencium keponakanku?"
Cengiran atau senyuman tidak tampak di wajah pemuda itu. Mata Dazai sempat menyiratkan keterkejutan, tapi kemudian ia menatap lurus mata bosnya.
"Pak Presdir, bukan hanya anda yang menyayangi Nagiko."
.
.
.
.
Nagiko terbangun perlahan.
Hal pertama yang langsung ia rasakan adalah pegal di sekujur tubuhnya. Saat dia hendak menggerakkan tubuhnya, ia teringat bahwa kakinya habis kena tembak. Hal kedua yang ia rasakan adalah genggaman tangan Dazai-san yang tertidur di kursi, dengan kepalanya menumpang di ranjang. Lalu ia jadi teringat, hal terakhir yang ia dengar sebelum akhirnya pingsan sehabis Dazai-san menghentikan pertarungan Atsushi-kun dan Akutagawa adalah—
"—Nagi?" gumam Dazai-san, yang perlahan membuka matanya juga. Matanya berbinar dan mulutnya menyunggingkan senyum sembari membantu Nagiko yang hendak dudu. "Kamu baik-baik saja? Kakimu terasa sakit?"
"Um, masih sakit, tapi tidak kurasa sudah lebih baik," jawab Nagiko pelan sambil terus memerhatikan pemuda itu. "Dazai-san?"
"Hmm?"
"Saat pertama kali kita bertemu, itu Dazai-san baru keluar dari Port Mafia?"
Senyum Dazai-san sirna. " … Ah, kamu sempat mendengarnya, ya?" Nagiko mengangguk. "Berarti Nagi sudah tidak bisa ikut main tebak-tebakan untuk memperebutkan 700.000 Yen, lho!" Gadis itu tidak memberi reaksi lain selain tetap menatap lurus padanya. Jadi Dazai-san tersenyum pahit. "Iya, dulu aku eksekutif termuda di Port Mafia, lalu aku keluar dari sana. Menyanggupi untuk menganggur selama dua tahun agar setelahnya Pak Taneda memberi rekomendasi agar agensi ini menerimaku."
" …oh."
"Nagi," ujar Dazai-san lembut. "Kamu tidak takut padaku?"
"Eh?"
"Kamu masih membiarkanku menggenggam tanganmu, lho."
Nagiko menunduk, melihat tangan kanannya masih erat dengan tangan besar pemuda di sebelahnya. "Kenapa aku harus takut?"
"Saat aku jadi anggota Mafia, aku sudah membunuh banyak orang, lho."
Lalu Nagiko memiringkan kepalanya sambil kembali menatap Dazai-san. "Lalu, memangnya kenapa?"
" … eh?"
Gadis itu mengenggam tangan Dazai-san dengan kedua tangan. "Dazai-san yang sekarang, sudah bukan yang waktu masih di Port Mafia, kan? Dazai-san yang sekarang tidak membunuh orang, melainkan menolong orang, kan? Jika aku jadi takut padamu, orang-orang yang telah kau bunuh juga bukannya akan kembali hidup, kan?"
Dazai-san tercengang.
"Aku memang terkejut saat tahu Dazai-san eks Mafia," lanjut Nagiko. "Kupikir yang lain juga akan terkejut. Tapi, Dazai-san yang ini sudah menghentikan pertarungan Atsushi-kun dengan seorang Mafia. Sebenarnya, kalau dari awal bertemu Dazai-san langsung mengaku bekas orang Mafia, mungkin aku tidak akan percaya, karena setelahnya Dazai-san selalu membantuku terlelap saat kuhubungi."
Lalu pemuda itu terkekeh halus. Nagiko dibuatnya bingung terutama karena mata Dazai-san tampak berkaca-kaca. Dengan satu tangan yang tidak dipegang gadis itu, Dazai-san memainkan sebentar rambut gadis itu di bagian kanan, kemudian mengusap pipi Nagiko lembut. "Nagi, besok kencan, yuk?"
Gadis itu sontak mengerucutkan bibirnya. "Jangan kebawa suasana gitu, deh." Dazai-san kembali terkekeh. Nagiko mengernyit saat sekilas ia melihat bekas lebam di pipi kiri pemuda itu. Spontan ia menyentuh pipi itu dengan jemarinya. "Ini kenapa?"
Kekehannya terhenti. Sambil tersenyum kecil Dazai-san menangkap jari kurus Nagiko agar tidak menyentuhnya lebih lanjut. "Tadi aku nabrak tembok karena jalan sambil meleng."
'Nabrak tembok tapi lebam di pipinya bisa kayak gitu?' pikir Nagiko, tapi suara yang keluar dari mulunya hanya sekedar 'oh' pelan.
"Tapi yang soal kencan itu aku serius, Nagi. Atau kamu mau bunuh diri bareng—"
Langsung gadis itu meninju pelan lengan pemuda di sampingnya.
.
.
Bersambung
.
.
