"Tidak boleh," kata Kak Akiko tegas.
"Hanya sebentar, aku akan menggendongnya biar tidak usah berjalan—"
Sang Dokter berkacak pinggang. "—tidak boleh," katanya, memotong perkataan Dazai-san. "Bahkan Ranpo-san sampai menyarankan agar hari ini Nagiko istirahat di apartemennya saja."
"Ah, kalau Ranpo-san saja sampai bilang begitu, menyerahlah, Dazai-san," ujar Nagiko, lalu menyengir. "Lagipula kemarin aku sudah bilang tidak tertarik untuk pergi kencan denganmu."
Dazai-san cemberut. "Tapi—"
"Kemarin pamannya baru menampar pipi kirimu, sekarang kau ingin aku sebagai dokternya menampar pipi kananmu?"
Nagiko menyerngit pada pemuda itu. "Pamanku menamparmu?" Kak Akiko mengerjap, ia menatap pada Nagiko dan Dazai-san bergantian. "Pipi Dazai-san yang lebam kemarin? Kau bilang karena menabrak dinding?"
"Ada nyamuk di pipiku, jadi Pak Fukuzawa membunuhnya untukku dengan menampar pipiku. Bukan hal besar," jawab Dazai-san enteng. "Yosano-sensei—"
Kak Akiko melipat tangan di depan dada. "Bawa. Nagiko. Pulang. Ke apartemennya."
Dazai-san mematung, Nagiko menyengir lebar lagi. Akhirnya Dazai-san menyerah, menggendong gadis itu hati-hati untuk didudukkan di kursi roda.
Pemuda itu baru membuka pintu ruang kesehatan ketika tiba-tiba muncul Kunikida-san yang hendak masuk, mungkin maksudnya tadi Si Kacamata juga ingin membuka pintu dari luar tapi keduluan partnertnya dari dalam.
"Oh, Nagiko sudah sehat? Mau kemana?" tanya Kunikida-san saat melihat keponakan bosnya.
"Kaki dan pinggangku masih sakit, tapi selebihnya baik-baik saja," jawab Nagiko, "Dazai-san akan mengantarku pulang."
Kunikida-san mengangguk lalu membetulkan kacamatanya, ia menoleh pada bilik tirai di sebelah bilik Nagiko. "Atsushi?"
"Dia hanya tidak sadarkan diri," jawab Kak Akiko. "Sejak awal dia tidak ada luka sama sekali, mungkin kemampuan regenerasi dari si Harimau sangat efektif untuknya."
Lagi Si Kacamata mengangguk. "Yosano-sensei, ada klien untukmu di ruang tamu, biar saya disini menunggu Atsushi bangun."
"Baiklah," balas Kak Akiko, lalu memicingkan mata pada Dazai-san lagi. "Ingat, Dazai, bawa Nagiko langsung pulang ke apartemennya."
.
.
Disclaimer: Bungou Stray Dogs adalah ciptaan Asagiri Kafka dan Harukawa Sango, The Pillow Book adalah karya Sei Shonagon, 'Kiyohara Nagiko' dipercaya sebagai salah satu kemungkinan nama asli dari Sei Shonagon, Author tidak mengambil keuntungan.
Warning: Agak slow burn, Dazai x OC, alur canon (manga, anime, novel), sebisa mungkin tidak mary-sue.
.
.
Osamu Dazai and His Sun
by Fei Mei
.
Chapter 5
.
.
Dazai-san menaruh sebotol air besar di nakas samping ranjang, serta beberapa buku disana, tak lupa beberapa cemilan yang Ranpo-san berikan sebelum mereka keluar dari gedung kantor. Pemuda itu memastikan telah menaruh barang-barang yang mungkin akan sering dicari Nagiko di samping ranjang, karena gadis itu bakal kesulitan naik-turun ranjang dengan kaki yang masih dibalut perban.
"Kamu tidak perlu menjagaiku disini, Dazai-san," kata Nagiko, ketika pemuda itu mengambil kursi untuk duduk di samping ranjang yang diduduki pemilik bilik apartemen ini.
"Aku lebih suka menemanimu disini daripada diteriaki Kunikida-kun," balas Dazai-san, membuat Nagiko terkekeh. "Eh, rasanya beda sekali kalau aku duduk di kursi. Biasanya aku akan ada di ranjang denganmu."
Nagiko mengangguk sambil tersenyum. "Aku pun kaget, kukira tadinya Dazai-san akan ikut duduk di sampingku di ranjang."
Lalu Dazai-san menyengir lebar. Ia bangkit dari kursi dan duduk di ranjang, di sebelah kiri Nagiko—mungkin ia tidak mau di sebelah kanannya karena yang terluka di Nagiko adalah bagian sebelah kanan. Gadis itu tertawa geli terhadap pemuda di sisinya.
Cengiran Dazai-san berubah menjadi senyum lembut. "Kamu tidak mau tidur lagi?"
"Aku sudah cukup tidur dari kemarin. Obat bius Aki-nee bekerja baik, dan setelahnya Dazai-san memegangiku di malam hari."
Dazai-san cemberut. "Kemarin itu adalah kegiatan tidur bersama yang paling tidak enak. Biasanya aku bisa tidur memelukmu di atas ranjang, tapi ranjang rawat Yosano-sensei terlalu sempit untuk dua orang terlentang sekaligus. Jadinya yang bisa ikut kamu tidur di ranjang hanya tangan dan kepalaku."
Lagi Nagiko tertawa. Ia berusaha agar tidak terlalu terbahak-bahak, karena pinggangnya masih agak sakit kalau ia tertawa. "Tapi, tidakkah Dazai-san bosan kalau disini? Tidak ada buku tentang bunuh diri di tempatku, lho."
"Hmm, iya sih," kata Dazai-san, sambil melihat rak-rak buku yang ada di kamar Nagiko dengan kerlingan matanya. "Tapi tidak apa, sih, biar kamu bisa langsung memegangku kalau ingin istirahat."
"Sudah kubilang, aku sudah banyak istirahat dari kemarin," balas Nagiko. "Lakukan yang biasa Dazai-san lakukan saja, nanti aku akan menghubungimu kalau aku ingin tidur."
Pemuda itu menghela, lalu turun dari ranjang. "Aku akan kembali dengan makan siangmu nanti, ya?" Nagiko mengangguk dan tersenyum. "Mau kuambilin apa, gak, biar Nagi gak usah turun dari ranjang?"
Kali ini Nagiko menggeleng. "Nakasku sudah penuh, Dazai-san, lihat?"
"Oke, hubungi aku nanti, ya?"
"Iya, tolong sekalian kunci pintu depan, Dazai-san."
Dazai-san menyahut 'oke' sebelum akhirnya keluar dari kamar. Tidak lama kemudian Nagiko mendengar suara pintu depannya tertutup serta 'klik' yang cukup jelas—mungkin karena bilik rumahnya sepi.
Selain Paman Yukichi, Nagiko memang memberikan kunci cadangan pada Dazai-san juga. Kalau pamannya, mungkin sudah jelas untuk jaga-jaga saja. Tapi untuk pemuda satu itu, hanya biar Dazai-san mudah datang ke apartemennya saat ingin menemani Nagiko tidur. Sebelum tinggal sendiri, saat masih tinggal dengan Paman Yukichi, Dazai-san harus memanjat pagar dan melewati taman agar bisa mengetuk pintu teras kamar Nagiko.
Ting!
Suara notifikasi ponsel Nagiko terdengar. Gadis itu mengambil ponsel di nakas, melihat notifikasi adanya pesan masuk dari Kunikida-san di grup kantor agensi.
'Dari Kunikida-san
Bagi yang sedang di luar kantor, kalau sedang menganggur, tolong bantu beres-beres. Barusan ada kelompok Mafia yang melakukan serangan mendadak.'
Nagiko terkejut membacanya, langsung saja ia mengetik sesuatu disana.
'Dari Nagiko
Kalian baik-baik saja?'
'Dari Kunikida-san
Tentu saja, mereka bisa kami atasi dengan mudah, tapi beres-beres dan membetulkan kantor yang menjadi masalah. Nagiko istirahat saja.'
'Dari Kak Akiko
Ingin memastikan, kamu sudah ada di rumah, kan, Nagiko?'
'Dari Nagiko
Sudah, Aki-nee.
Kunikida-san, perlu kupesankan bahan bangunan atau apa secara daring?'
'Dari Kunikida-san
Boleh juga, akan kukirim daftar yang kita butuhkan padamu, ya.'
Tidak lama kemudian Nagiko menerima pesan pribadi dari si Kacamata. Dibukanya pesan itu, ternyata Kunikida-san telah memotret tulisan di catatannya dan mengirim foto tersebut ke akun Nagiko. Gadis itu mengangguk sendiri, lalu merutuk sendiri dalam hati karena teringat bahwa dia harus turun dari ranjang untuk mengambil laptopnya—tentu saja dia tidak kepikiran untuk meminta Dazai-san untuk menaruh gawai satu itu di dekatnya, karena dia berpikir bahwa satu-satunya gawai yang ia butuhkan saat ini hanyalah ponselnya.
Jadi Nagiko menghembus nafas perlahan sebelum nekad bergeser dan menurunkan kakinya ke lantai. Setelah kedua kakinya menapak sempurna di lantai, ia mulai memisahkan tubuhnya dari ranjang dan berdiri.
Oke. Dia memang tidak bisa bertumpu pada dua kaki karena kaki kanannya masih terasa ngilu, tapi setidaknya kaki kirinya bisa membuatnya berdiri. Lalu Nagiko mulai melangkah timpang menuju meja kerja yang masih ada di kamar tidurnya. Rasa lega meluap dalam hatinya saat ia tiba di meja, terutama karena memang samar-samar ia bisa merasa sakit di pinggangnya juga.
Daripada kembali ke ranjang, Nagiko memutuskan untuk menggunakan laptopnya di meja itu saja. Jadi dia duduk di kursi dan mulai menyalakan gawai itu, lalu langsung mencari dan memesan tiap barang yang ada di daftar yang dikirimkan Kunikida-san. Setelah selesai, Nagiko baru teringat bahwa seharusnya malam ini dia dan Kenji-kun mengurus kasus penjualan obat terlarang. Gadis itu langsung mengambil ponsel yang memang dibawanya juga saat berjalan ke meja kerja.
.
'Kepada Kak Akiko
Aki-nee, aku lupa, harusnya aku menangkap pelaku penjualan obat illegal dengan Kenji-kun malam ini.'
'Dari Kak Akiko
Sudah kutanyakan. Katanya, Kunikida-kun yang akan pergi dengan Kenji nanti malam.'
.
Nagiko menghela lega membaca pesan Kak Akiko. Lalu ia agak terkejut karena ponselnya berdering, memamerkan nama 'Atsushi-kun' sebagai penelepon. Mengernyit, tapi kemudian ia mengangkat panggilan itu.
"Halo? Atsushi-kun?"
"Anu, Nagiko-san?" sahut yang di seberang. "Kami menemukan Dazai-san di sungai."
Gadis itu kicep. " … hah?"
"Iya, jadi, anu, saya ikut Ranpo-san mengurus kasus pembunuhan di pinggir sungai. Lalu polisi menemukan tubuh lain di sungai, kami kira itu adalah korban kedua, tapi ternyata Dazai-san."
Bulu kuduk Nagiko berdiri. " … masih hidup?"
"Eh? Masih, Dazai-san malah sekarang sedang meratapi korban yang yang polisi temukan di sungai ini, yang adalah seorang perempuan.'
Nagiko kembali kicep. Ia sempat kaget karena Anak Baru itu mengabarinya tentang mereka menemukan Dazai-san di sungai. Dari cara bicaranya, Nagiko sempat berpikir yang aneh-aneh, makanya sekarang dia malah jadi penat sendiri.
"Ah? Atsushi-kun, lagi teleponan sama siapa?" Itu suara Dazai-san, tertangkap di telepon.
"Anu, Nagiko-san," jawab Atsushi-kun.
"Heee, pinjam! Pinjam!" sahut Dazai-san. "Halo? Nagi? Kangen aku?"
Keponakan bos ADB itu menghela lalu tersenyum dingin. "Halo Dazai-san, sayang sekali ya, percobaan bunuh dirimu gagal lagi kali ini."
"Sayangkuuu, jangan gitu dooong!"
Sialan, sudah sempat kepikiran yang jelek-jelek.
.
.
'Kepada Dazai-san,
Naomi sudah datang membawakanku makan siang, jadi Dazai-san tidak perlu membawakanku makan lagi.'
Beberapa saat setelah pesan itu terkirim, Nagiko mendapat balasan dari pemuda itu berisi stiker emoticon menangis sebanyak tiga kali. Gadis itu langsung terkekeh melihatnya.
"Dazai-san selalu cepat membalas pesan Nagi-san, ya?" tanya Naomi sambil menyiapkan makanan yang dia bawa.
"Tidak selalu kok," jawab Nagiko sambil menaruh ponselnya di nakas. "Kalau dia sedang memegang ponsel, mungkin akan langsung dia balas. Kalau tidak, ya bakal tidak."
"Heee, tapi Kunikida-san bilang dia paling malas mengirim pesan pada Dazai-san, karena balasnya bakal lama banget, jadi mending ditelepon, begitu."
Nagiko tertawa. "Yah, sepertinya Dazai-san memang senang menggoda Kunikida-san, sedangkan Kunikida-san sendiri terlalu berharap langsung mendapat balasan ketika mengirim pesan, kan?"
"Ah, benar juga!" Naomi pun ikut tertawa, lalu ia menyodorkan piring yang sudah ia isi makanan pada Nagiko.
"Bagaimana keadaanmu dan kakakmu?" tanya Nagiko kemudian sambil menerima piring itu.
Naomi mengambil kursi lalu duduk di samping ranjang yang ditempati Nagiko. "Kalau aku, mungkin karena memang sudah sekarat, makanya Yosano-sensei langsung memakai kemampuannya untuk menyembuhkanku, jadinya aku sudah tidak merasa sakit sama sekali. Kalau kakak, sebenarnya juga sudah tidak ada luka sama sekali berkat sensei, kok, tapi dia masih agak trauma karena cara pengobatan Yosano-sensei."
Nagiko sontak merinding. "Dia harus disiksa Aki-nee dulu, ya?"
Tamunya mengangguk. "Empat kali," bisiknya.
Masih Nagiko merinding. Dari dulu Nagiko memang sudah tahu syarat agar Kak Akiko bisa menggunakan kemampuannya, tapi tidak pernah sekalipun dokter perempuan itu menyiksa Nagiko untuk bisa disembuhkan. Keponakan bos ADB itu baru disembuhkan dengan kemampuan khusus Kak Akiko ketika memang sudah dalam kondisi sekarat. Sedangkan, jika luka Nagiko tidak membuatnya antara hidup dan mati, seperti kemarin, dokter satu itu lebih ingin merawat lukanya secara normal saja. Padahal, baik Nagiko dan Paman Yukichi sudah memberi izin jika Kak Akiko menggunakan kemampuan istimewanya yang diawali dengan melukai Nagiko dulu—tapi dokter perempuan itu tetap tidak mau.
"Kakak bukan ngeri sama Akutagawa, malah ngeri dengan pengobatan dari Yosano-sensei," ujar Naomi, lalu adiknya Junichiro ini tersipu. "Tapi Naomi jadi makin gemas pada kakak! Apa Naomi sesekali cosplay jadi dokter sesekali, ya?"
Lalu Nagiko sweatdrop sambil mengunyah makanannya. "Ah, iya, apa kamu sudah cek keadaan kantor?"
Naomi mengangguk. "Mereka memutuskan untuk mengurus jendela duluan, jadi begitu Naomi datang, semua kaca jendela sudah diganti yang baru. Selebihnya Naomi gak begitu perhatiin, soalnya Naomi langsung ke ruangan Pak Fukuzawa untuk pinjam kunci, Naomi langsung beli makan di restoran di bawah kantor dan membawanya kesini. Ah, lalu kupikir Kakak juga tidak ke kantor hari ini, masih belum berani bertemu muka dengan Yosano-sensei."
"Aduh, separah itu takutnya?"
"Naomi sih, belum pernah disiksa Yosano-sensei."
"Wah, sama, dong!"
Mata Naomi berbinar. "Jangan-jangan memang Yosano-sensei tidak bakal menyiksa perempuan?"
"Yah, tapi sebagai gantinya kakiku masih terasa sakit sekarang," ringis Nagiko, sambil menyerahkan piring kosong pada gadis di sampingnya.
"Resikonya menyebalkan yaaa …," gumam Naomi, lalu berdiri dari kursinya. "Sisa makanannya mau kutaruh di dapur atau di meja kerja?"
"Di dapur saja," jawab Nagiko. "Aku sudah bisa jalan sedikit-sedikit kok, obat penahan sakit dari Aki-nee ampuh."
"Okeee. Ah, habis itu, Nagi-san butuh dibawakan sesuatu?"
"Tidak usah, tidak apa."
"Kalau begitu, habis taruh ini di dapur, aku akan langsung pulang saja, ya?"
Nagiko menyengir. "Sudah kangen kakakmu, ya?"
Langsung saja sirat bahagia Naomi keluar. "Aaah tentu saja! Naomi selalu merindukan Kakak kalau sedang tidak bareng!" Lalu gadis SMA itu menoleh pada pemilik bilik apartemen ini sambil menyengir. "Sama seperti Dazai-san, hobinya selain mencoba bunuh diri, ya adalah kangen pada Nagi-san."
"N-Naomi!"
.
.
Dazai-san muncul di apartemen Nagiko saat mulai gelap, kukuh bilang ingin menemani tidur walau sudah dibilang bahwa Si Gadis sedang tidak merasa lelah. Bahkan pemuda itu masih tidak meninggalkan bilik apartemen ini sampai esok siangnya.
Obat yang diberikan Kak Akiko sangat ampuh, dia menjadi dokter bukan hanya karena kemampuan khususnya, melainkan memang karena punya pengetahuan melimpah soal bidang medis. Kaki Nagiko masih nyeri, tapi selang sehari setelah operasi pengangkatan peluru pada kakinya, kini gadis itu sudah bisa berjalan tanpa terlalu tertatih seperti kemarin. Lecet-lecet ringan karena sempat kena Rashomon juga sudah baik-baik saja. Pinggangnya yang memang sejak awal tidak separah kakinya sudah tidak sakit lagi sekarang—tapi masih agak terasa nyeri tiap kali tertawa akan guyonan Dazai-san.
Karena tubuhnya sudah jauh lebih baik dari hari sebelumnya, Nagiko melulu menyuruh pemuda yang hanya setahun lebih tua darinya itu untuk pulang ke apartemen sendiri atau setidaknya pergi ke kantor. Dan Dazai-san selalu menolak. Pemuda itu bahkan dengan intens selalu berada di samping ranjang, dan tidak mau membiarkan gadis itu turun dari tempat tidur selain untuk ke kamar mandi.
"Dazai-san, internet di kantor lebih cepat, lho," ujar Nagiko ketika melihat Dazai-san menonton video dengan laptop gadis itu.
Pemuda di sebelahnya menyengir padanya. "Tapi di kantor gak ada kamu."
Nagiko manyun, lalu menyibak pelan selimut yang menutupi kedua kakinya. "Kalau begitu, aku akan ke kantor."
Dazai-san panik sesaat. "Eeeh, jangan! Nanti kalau ada serangan mendadak ke kantor lagi, gimana? Belum tentu aku bisa langsung gendong kamu untuk kabur!"
"Aku bakal sembunyi di kolong meja sambil Dazai-san membantu yang lain mengusir para penyerang yang datang," cibir Nagiko.
Giliran pemuda itu yang manyun. "Aku lebih mending kabur ke sungai sih, siapa tahu bisa hanyut lalu tewas."
Lalu keponakan bos ADB itu menyengir lebar. "Yang kemarin itu gagal, lho."
"Iiih, jangan diingetin, dong, move on!"
Nagiko terkekeh, dan mau tak mau Dazai-san tertawa kecil juga. Kemudian ia menghela dan mematikan laptop Nagiko, menaruhnya lagi gawai itu di meja kerja. Ketika ia kembali ke sisi gadis itu, ia tidak lagi duduk di kursi, melainkan malah di ranjang, berdempetan dengan yang punya rumah.
"Sudah mulai siang, kamu mau makan apa?" tanya pemuda itu lembut.
"Hm, aku belum kepikiran," jawab Nagiko. "Dazai-san maunya apa?"
"Mau bunuh diri bareng kamu—aduh!" Dazai-san langsung agak merintih karena gadis di sebelahnya spontan menyikut lengannya. "Mentang-mentang gak bisa serang pakai kaki, sekarang pakai tangan, ya, Sayang."
Lalu Nagiko merona, meninju pelan lengan lelaki di sampingnya. "Sudah berjuta kali kubilang, jangan panggil aku begitu!"
Dazai-san tersenyum kecil padanya sambil mengusap pelan lengan yang telah kena serang dua kali tadi. "Kamu selalu menggemaskan kalau kupanggil begitu, jangan salahin aku, dong."
Gadis itu setengah cemberut sambil melipat tangan di dada, membuang muka dengan wajah yang masih merona. Melihat Nagiko seperti itu, Dazai-san merasa makin gemas, jadi dia memeluk gadis itu dari samping sambil berusaha jangan sampai kena pinggangnya.
"Sayaaang, jangan ngambek, dooong," bujuk pemuda itu.
Nagiko setengah memberontak di pelukan Dazai-san. "Aku enggak ngambek! Lepasin aku, Dazai-san—"
"—heee, tapi saat tidur, hampir selalu kamu duluan loh yang masuk ke dekapanku, sampai pagi pula," tutur Dazai-san sambil menyengir lebar. "Dulu, waktu awal-awal tidur bareng aja tanganku sampai keram di pagi harinya, untung sekarang udah terbiasa, enggak keram lagi. Tapi sebagai gantinya kalau gak tidur bareng kamu, tanganku jadi terasa kosong—aduh!"
Dengan space yang seadanya, Nagiko masih mampu meninju pelan dada pemuda yang masih kukuh dengan pelukannya. Gadis itu masih cemberut dengan wajah merona. Sehari-hari, terutama kalau sedang berdua, Dazai-san memang cukup sering menggodanya, tapi Nagiko akan bisa kabur dari ruangan seperti untuk kerja atau apa. Namun, saat ini, dengan kaki yang belum sembuh benar dan tubuh yang masih terkunci di kedua tangan pemuda satu itu, Nagiko tidak bisa lari kemana-mana.
"Jangan cemberut melulu, lama-lama kucium, nih—"
—BRAK. "DAZAI!"
Baik si pemilik nama maupun si pemilik rumah sama-sama terkejut dan langsung menoleh ke pintu kamar yang habis dibanting. Rona merah di pipi Nagiko perlahan lenyap bersamaan dengan terlepasnya pelukan Dazai-san saat mereka melihat ada Paman Yukichi dengan Kunikida-san disana. Berarti, daritadi, saking sibuknya dengan godaan Si Maniak Bunuh Diri, mereka sama-sama tidak mendengar suara kunci dan pintu depan yang terbuka.
Perlahan Dazai-san turun dari ranjang, mengangkat kedua tangannya. Paman Yukichi menatapnya dengan tajam, seakan-akan punya kemampuan untuk memusnahkan orang yang dia pelototi.
"Hati yang gembira adalah obat yang paling manjur, kan? Makanya saya menggodai dia," ujar Dazai-san enteng, membuat Nagiko merona lagi dan membuang muka.
Kunikida-san langsung menarik kasar tangan partnernya. "Ikut aku urus kasus, ayo!" Selanjutnya dia menoleh pada bosnya. "Kami berangkat, Pak Presdir." Lalu pada Nagiko. "Kami permisi, Nagiko."
Nagiko mengangguk pada Si Kacamata, membiarkan Kunikida-san dengan kasar menyeret Dazai-san yang masih berusaha bilang 'dadah!' untuk keluar dari apartemennya. Ketika ia sudah mendengar suara pintu depan yang tertutup, barulah Paman Yukichi menaruh kantong besar di meja kerja, lalu menghampiri ranjang dan duduk di kursi yang sebelumnya sempat diduduki Dazai-san juga.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Paman Yukichi rendah, masih dengan wajah galak.
Sejujurnya Nagiko tidak begitu paham pamannya menanyakan apanya yang baik-baik saja. Apakah tentang lukanya? Atau tentang bagaimana Dazai-san tertangkap basah memeluknya di atas ranjang? Tapi karena untuk keduanya memang Nagiko merasa baik-baik saja, jadi dia mengangguk sebagai jawaban.
Paman Yukichi menghela pelan, lalu raut wajahnya melunak. "Aku bawa makan siang. Dan setelah kita bisa minum teh."
Nagiko tersenyum senang. "Paman sudah makan?"
"Belum, kamu?" Keponakannya menggeleng. "Kusiapkan, biar kita makan bersama."
.
.
Bersambung
.
.
"And do you also imagine no one is going to see you in here? How could you all be so careless?"
"But everyone in here is quite used to seeing us."
– The Pillow Book, Sei Shonagon
.
.
