Gray-man (c) Hoshino Katsura

Story by Chesee-ssu

Rate: T

Warning: standar applied

Saya tidak mendapat keuntungan apapun dalam pembuatan fanfiksi ini, kecuali kepuasan batin melihat otp saya berlayar XD /ga


"Selain aku, siapa lagi yang tahu?"

Lavi membuang napasnya, pusing bukan kepalang. Tatapan maut dari Kanda sudah cukup membuatnya takut.

"Allen," jawab Lavi dengan nada rendah. "Dia ... tahu dari awal. Tentang benang merah ini ... juga Tyki."

Kanda terdiam. Wajahnya menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak menyangka akan mendengar hal ini dari mulut Lavi sekarang.

Semua yang diceritakan oleh si oranye beberapa menit lalu bagai mimpi baginya. Namun, karena sudah melihat kenyataannya, masa Kanda harus menyangkal?

Lavi bahkan bisa melihat benang merahnya yang putus. Dengan enggan Kanda pun akhirnya menceritakan perihal masa lalu.

Menguak masa lalu yang tak menyenangkan, pastinya akan membuat diri tidak nyaman. Begitu juga dengan Kanda.

Lavi baru tahu kalau Kanda adalah hasil dari eksperimen Kuro no Kyoudan. Dia sama sekali tidak berkedip ketika lelaki itu menceritakan segala kepedihan yang terjadi dalam hidupnya.

Sejujurnya, bahkan bagi Lavi sendiri, Kanda yang bercerita padanya adalah sebuah keajaiban. Biasanya pria itu hanya bisa menggerutu tidak jelas, atau bahkan mengancam untuk membunuhnya.

Semua yang dikatakan oleh Kanda membuat Lavi makin menyadari betapa bodohnya para manusia ini.

Kanda terpisah oleh kekasihnya karena percobaan konyol ini. Pantas saja kalau lelakiitu melihat bunga teratai, wajahnya langsung sendu.

Mirip dengan Krory yang kalau melihat bunga mawar, wajahnya seperti mau menangis.

Kehilangan orang yang dicinta, pasti rasanya sakit bukan main.

"Jadi, dia namanya Alma?" Lavi sekali lagi memastikan, dibalas anggukan oleh Kanda.

"Aku dan dia ... padahal sudah berjanji akan pensiun menjadi exorcist, menjalankan hidup biasa-biasa saja dan menanam bunga matahari."

Mata Kanda menatap ke arah langit. Lavi melihat mata gelap itu penuh sinar harapan saat dia menceritakan seluruh kisah Alma.

Ah ... pantas saja benang merah pria itu putus. Ternyata bukan Tyki yang melakukannya.

Entah kenapa dia merasa lega setelah mengetahui kalau bukan Tyki yang melakukannya.

"Kau sendiri bagaimana?"

Lavi menatap Kanda dengan bingung.

"Suatu saat nanti, kau akan bertarung melawannya. Melawan takdirmu," Kanda menjelaskan, tatapan matanya jadi menajam. "Apakah kau sudah siap?"

Lavi mengangguk mantap. "Tentu saja aku sudah siap!"

"Bahkan jika itu artinya dia mati di depan matamu?"

Senyuman lebar dan anggukan penuh percaya diri itu seketika memudar. Lavi sendiri bahkan tidak terpikir kalau Tyki akan mati semudah itu.

Namun, bagaimanapun juga, Tyki musuh mereka, orang-orang pasti menginginkannya untuk mati.

Kalau Tyki mati, bagaimana dengan Lavi?

Membayangkannya saja, Lavi tanpa sadar mencengkeram dadanya erat.

Kanda menatap Lavi dengan tatapan tak terdefinisi, lalu berkata,

"Kau takut kehilangannya, Baka Usagi."


Sudah tiga bulan berlalu sejak saat itu, pertemuannya dengan Tyki di kota saat itu menjadi yang terakhir.

Hari-harinya hanya sibuk untuk membaca, berlatih, dan mengajari Timothy.

Selama tiga bulan terakhir ini, Timothy benar-benar mampu mengikuti arahannya dengan baik. Jika terus diasah, mungkin anak itu akan melampauinya suatu hari nanti.

Anak itu berbeda dengannya, Timothy tidak semudah itu muak kepada manusia. Sudah beberapa kali dia melihat perang di depan mata, tapi sepertinya anak itu tidak goyah.

Malah, sepertinya hatinya makin menyukai manusia.

Terkadang, selama tiga bulan ini, Lavi tanpa sadar selalu menengok ke arah tembok atau lantai. Dia merasa konyol, tapi dia sendiri menyadari bahwa dia cukup rindu dengan kehadiran Tyki yang datang tiba-tiba.

Biasanya pria itu bakal tiba-tiba muncul dari tembok atau lantai, mengajaknya ngobrol sebentar di balkon sebelum menghilang lagi.

Dulu, waktu awal-awal, Lavi suka menyelinap ke balkon karena dipaksa oleh Tyki yang diam-diam masuk ke kamarnya.

Sekarang, entah mengapa semenjak penyerangan para Noah dan perang yang bisa terjadi kapan saja, Tyki tidak pernah datang lagi.

Tentu saja, bagaimana mungkin pria itu bisa sesuka hati datang. Pasti keluarganya juga akan mengawasi, 'kan?

Duh, sepertinya Lavi terlalu sering bersamanya, sehingga sekarang dia seperti orang yang menginginkan kekasihnya kembali.

Si kelinci menatap benang merah yang makin menebal di tangannya. Wajahnya merengut sebal.

"Sial, malah makin menebal!" ujar Lavi kesal. "Andai saja aku punya kekuatan memotong benang seperti Tyki! Duh, kenapa malah pria mengesalkan itu, sih, yang dapat kekuatan luar biasa begitu!"

Melihat benang merah yang bergoyang lembut, Lavi jadi berpikir cukup lama.

Kalau dia punya kekuatan untuk memotong benang merah, apakah dia yakin akan memutuskan takdirnya?

Kalaupun dia memotongnya, apa yang akan terjadi? Apakah dia dan Tyki takkan bertemu? Apakah dia akan menjadi sedih dan menggila seperti orang-orang yang Tyki potong benang merahnya?

Lavi membuang napas, untuk pertama kalinya tak bisa berpikir. Terasa buntu tiap kali dia mencoba menerka-nerka.

Namun, bibir pria itu melengkung naik, mata sehijau daun itu menatap benang merahnya penuh arti.

Ya, bagaimanapun semua sudah terjadi, untuk apa dipikirkan lagi.

Lagipula, dia juga tidak menyesal bertemu dengan Tyki.

Walau pria itu cukup mengesalkan, sih. Aneh juga.

Lavi menutup matanya, merasakan detak jantungnya yang begitu tenang saat dia memikirkan Tyki.


"Komui-san! KOMUI-SAN!"

Wajah sang finder begitu ketakutan. Dia menatap Komui dengan horor sebelum jatuh tersungkur dengan mata terbelalak.

Di belakang finder yang ambruk, sosok dengan stigmata beserta kulit abu-abu tersenyum lebar di depan Komui.

Sosok itu mendekati Komui, berucap dengan nada penuh keramahan.

"Halo."