Naruto hanya milik Masashi Kishimoto
Saya hanya meminjam karakternya.
"Ino-san, aku mau membantumu. Asalkan kau dapat memastikan perlindungan untukku dan anakku."
Lalu,
Kilatan cahaya berwarna merah datang dari segala arah.
Pekik pesakitan mulai terdengar menghampiri. Detik itu juga Ino tahu, bahwa tempat yang dipijaknya kini berusaha untuk di ledakkan oleh seseorang.
DAAAR...
Mata Ino terbuka dengan lebar, jantungnya berdebar dengan cepat saat mimpi itu datang. Lalu, matanya meliar ke segala sudut yang tampak gelap namun masih bisa ia kenali karena masuknya sedikit cahaya ke dalam ruangan itu.
Perlahan Ino menetralkan alur nafasnya ketika menyadari bahwa ia berada di kamarnya. Hidup di luar desa itu sangat keras, terlebih untuk Ino yang menjalani misi penyamaran berbulan-bulan.
Tok... Tok...
"Sudah bangun, nak?" gedoran dari pintu kamar terdengar lirih, sehalus suara Ibunya.
Ino duduk sambil menyeka keringat yang timbul di keningnya. Ia ingat, bahwa dia sudah berada di desa dari seminggu yang lalu. Seharusnya dia sudah aman karena berada di rumahnya.
"Sudah bu." Sahutnya dengan suara sedikit tinggi.
"Kalau begitu, segera keluar ya. Kita sarapan bersama." Suara Ibunya terdengar jauh membuat Ino beranjak dari kasurnya untuk menghidupkan lampu.
Ino melirik ke arah jam yang tergantung di dekat meja riasnya.
'Masih ada sedikit waktu sebelum matahari tinggi.'
Ino membatin sambil membuka pakaiannya dan menggantinya dengan pakaian olahraga. Tidak lupa, ia pergi ke kamar mandi untuk sekedar menyikat giginya.
"Mau berolahraga dulu?" tanya Mitari—ibunya Ino saat ia melihat anaknya keluar dari kamar dengan pakaian yang cukup rapi.
Ino mengangguk, mengambil segelas air dari tangan ibunya. "Ibu sarapan saja terlebih dahulu."
"Baiklah. Hari ini kau jadikan membersihkan ruangan ayahmu?"
"Tentu. Aku melakukan pekerjaan itu hari ini. Aku pergi bu." Ino berpamitan, tidak lupa meninggalkan kecupan di pipi sang Ibu.
Semenjak Ino pulang tanpa ayahnya saat Perang Dunia dulu, Ibunya sampai saat ini masih belum bisa sepenuhnya menerima fakta bahwa sang suami telah tiada. Ia tidak bisa mengatakan bahwa Ibunya gila. Hanya saja, Ibunya tidak ingin membuang sesuatu yang berkaitan dengan kenangan ayahnya. Contohnya saja ruangan kerja milik sang Ayah yang dari dulu tidak pernah diubah ataupun di rapikan dengan layak, semua dibiarkan tergeletak sama seperti saat terakhir ayahnya masuk ke dalam ruangan tersebut.
Jujur, Ino iri dengan ayahnya yang bisa mendapatkan cinta yang begitu tulus dari Ibunya. Kapan ya, cinta yang tulus dan positif datang kepada dirinya? Selama berada di luar desa, Ino begitu banyak melihat pengkhianatan yang sangat kejam sampai ia tidak berani berharap.
Mengharapkan Sasuke pun sangat melelahkan. Terlebih saat Ino tahu bagaimana endingnya. Ia tidak bisa bersama dengan Sasuke Uchiha apapun yang terjadi. Ia sangat takut.
"Satu menit tujuh belas detik, lebih cepat dari yang terakhir kalinya." Sebuah suara memecahkan konsentrasi Ino yang sedang menarik nafas sebanyak-banyaknya.
"Akan membantu jika seseorang mengejarku." Ino menjawab akrab dengan terengah-engah. Dirinya membungkuk dengan tangan yang memegang lututnya. Ino bersama temannya sepakat untuk berlari mengelilingi tempat latihan yang sering ia pakai semasa Genin dulu.
"Kita ini Ninja, Ino. Kita tahu kecepatan dan batas alami kita." Sangkal orang itu dengan santai. Mereka berdua seperti teman lama. Sangat akrab dan dekat.
"Ya aku tahu. Ini hanya peralihan." Ino membalas sekenanya.
"Hahh... kita harus melakukan ini setiap pagi."
"Ayolah Genma-san. Aku tidak bisa melakukan ini nantinya dan kau tahu itu." Bantah Ino sambil melihat ke arah Tokubetsu Jonin pengawal Hokage tersebut. Ia melakukan sedikit pendinginan agar badannya tidak terlalu kaku.
"Jika aku tidak mengenalmu, aku akan mengatakan dengan lantang bahwa kau memiliki masalah dengan komitmen." Sahut Genma yang masih setia menatap Ino dengan mata malasnya.
"Untung kau tahu aku dengan baik." Jawabnya, lalu melihat-lihat ke sekitar. Sambil tersenyum canggung Ino kembali melanjutkan ucapannya sambil memegang pinggangnya. "Kita seharusnya tidak boleh bertemu seperti ini."
"Aku tahu. Tapi kita harus berbicara mengenai beberapa hal. Kau ingin sarapan?" Genma bertanya tanpa konteks apa-pun.
Masih dengan terengah, Ino membatin, memohon maaf kepada Ibunya yang tidak bisa menepati janjinya untuk sarapan di rumah.
"Ya, boleh."
...
Sesampainya Ino di rumah, ia langsung pergi ke ruang kerja ayahnya untuk merapikan tempat tersebut. Ia sedikit tertarik dengan setumpuk kertas di sudut ruangan, pas di samping lemari.
Ino mengambil selembar kertas tersebut, lalu keningnya berkerut ketika membaca penggalan kalimat yang tertera. Bergerak efisien, Ino merapikan ruangan yang sebenarnya tidak terlalu kotor itu.
Tidak banyak yang diubah, hanya memastikan tidak ada debu yang menempel di ruangan. Biasanya, Ibu yang membereskan ruangan itu sambil mengingat setiap kenangan manis mereka. Hanya saja, saat ini Ino sedang dalam masa santai. Jadi begitulah ia mengemban tugas tersebut.
Ketika selesai mandi dan membersihkan diri, Ino duduk dengan santai di ruang keluarga. Ibunya tidak tampak karena sedang menjaga toko. Semenjak kepulangannya ke desa, Ino memang tidak lagi mengambil alih toko bunga keluarganya. Itu sudah menjadi rutinitas sang Ibu. Bercengkerama dengan para pelanggan membuat kehidupan yang di jalani tidak begitu berat. Tidak lupa juga, ia mengambil setumpuk kertas dari ruang kerja ayahnya.
Psikologi manusia, manusia berdasarkan sifatnya, manusia menghancurkan dunia.
Sepenggal judul dari berkas yang di ambil membuatnya tertarik. Ayahnya adalah seorang pemimpin dan interogator handal di Konoha Torture and Interrogation Force. Melalui teknik turun-temurun klannya, beliau dapat memasuki pikiran tersangka atau penjahat yang berada di Konoha untuk mendapatkan informasi dalam ingatan targetnya.
Tapi, setelah membaca lembaran kertas yang ia ambil. Ino tidak menyangka ayahnya sedang menyusun sebuah jurnal untuk menganalisis investigasi kriminal. Dapat ia lihat bahwa beberapa tumpukan kertas tersebut juga berisi wawancaranya dengan para kriminal dan nukenin yang berhasil di tangkap oleh desa.
Untuk apa ayahnya menyusun jurnal seperti ini disaat ia bisa menyusup masuk ke dalam pikiran tersangka?
Tok... Tok...
"Ino?" ujar seseorang mengagetkannya dalam lamunan.
Menoleh ke asal suara, ada rasa terkejut dalam ucapannya. "Shikamaru? Kenapa kau bisa berada di sini?" ujarnya merujuk kepada 'masuk ke dalam rumah.'
Karena rumahnya menyatu dengan toko bunga keluarga, apabila ada seseorang yang mencari dirinya harus melewati toko tersebut. Biasanya juga, ibunya selalu memanggilnya apabila ada seseorang yang ingin bertemu.
"Bibi menyuruhku masuk karena toko sedang ramai. Apa yang kau lakukan?" Jujur, Shikamaru sedikit merindukan teman satu timnya ini. Terakhir mereka bertemu adalah saat ia datang ke kantor Hokage untuk meminta cuti.
"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu!" Ino berdalih sambil menutup kertasnya dan menyuruh Shikamaru untuk duduk. "Ada perlu apa kemari?"
"Mau makan di luar?" ajak Shikamaru yang berarti ada hal penting yang ingin ia sampaikan.
.
.
.
"Namida Kobayashi akan datang." Shikamaru memulai pembicaraan di jalanan yang cukup luas dan agak jauh dari toko-toko. Rumahnya berada jauh dari jalan protokol sehingga berdampingan dengan masyarakat sipil lainnya.
"Namida siapa?" balas Ino sambil ikut berhenti karena Shikamaru.
"Reporter dari Konoha Press."
"Ahh... media berita. Reporter, Jurnalis." Ino bergumam malas.
"Kenapa? Namida Kobayashi itu baik." Kini Shikamaru yang bingung melihat Ino begitu kesal.
Berteman dari saat masih berada dalam kandungan, membuat Shikamaru tahu ada yang berbeda dari Ino. Bagaimana mengatakannya, Ino banyak berubah semenjak pulang dari misi terakhirnya. Dia begitu sensitif dan mudah tersulut emosi.
Ada yang buruk, hal yang baik dari dalam diri Ino pun juga hadir. Perempuan itu lebih berwawasan luas, selalu mengerti apabila ia membahas tentang desa maupun politik. Perihal yang sedang Shikamaru geluti saat ini.
Ino tersenyum tipis dan mengamit lengan Shikamaru. "Baik apabila seorang reporter tidak memberikan masalah untukku. Demi Dewa-Dewi, aku nyaris mati dan penyamaranku hampir terbongkar gara-gara mereka." Gumamnya kecil.
"Kau? Di Negara Sunyi?" Ino mengangguk.
"Aku pikir Media Berita yang pertama kali mencetuskannya adalah Konohagakure. Terus kenapa kau begitu kesal? Hokage meresmikannya agar masyarakat sipil mengetahui tugas pemerintahan."
"Shikamaru saranku, kau berdiskusi dengan Rokudaime Hokage untuk mengikat media tersebut dalam peraturan agar mereka tidak seenaknya. Dengan dalih kebebasan berpendapat mereka bisa seenaknya menyebarkan berita yang seharusnya tidak untuk di sampaikan ke publik. Aku yang memesan." Ujar Ino saat mereka tiba di kedai Bento Q. Sudah menjadi kebiasaan mereka untuk membagi tugas saat makan bersama. Ino dan Chouji memesan makanan sedangkan Shikamaru yang mencari tempat. "Kau masih seperti yang biasakan?"
"Yep."
"Mari kita kesampingkan hal itu." Setibanya Ino di tempat duduk, Shikamaru melanjutkan pembicaraannya. "Ada hal yang lebih penting."
Ino menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi dengan menatap Shikamaru yang mengambil alat makan dan menuangkan minum ke dalam cangkir untuk mereka berdua.
"Kantor mendapatkan sebuah paket." Ujar Shikamaru setelah terdiam beberapa saat. "Paket tersebut berasal dari desa Igami.
"Igami? Desa bagian utara yang berbatasan dengan Negara Api?"
Shikamaru mengangguk, "Paket tersebut berisi sebuah foto bergambar jejeran anak yang meninggal dengan mengenaskan. Sebagian dari mereka merupakan anak-anak deari Ngara Api."
Mata Ino membulat seolah tidak percaya. "Desa Igami belum termasuk ke dalam aliansi dan..."
"Kemungkinan konflik lama akan diungkit kembali. Selama ini kita hanya gencatan senjata."
Badan Ino seketika merinding, "Jangan mengatakan hal itu, mendengarnya saja sudah membuat lelah."
"Tim sedang mencoba untuk mencari keabsahan gambar tersebut. Sampai saat itu terjadi semoga desa baik-baik saja." Ujar Shikamaru sambil menggumamkan terima kasih kepada bibi yang mengantarkan pesanan.
Ino tidak melakukan apa-pun. Hanya diam memandang Shikamaru dengan ragu.
"Katakan saja."
Ino terperangah "Ya?"
"Yang ada di pikiranmu. Katakan saja."
"Oh.. hmm.. Shikamaru, desa berada dalam Aliansi Perdamaian. Apabila gambar tersebut memang benar adanya dan terjadi konflik, negara lain tidak akan tinggal diam, mereka pasti akan membantu kita dan itu hal yang paling tidak aku inginkan. Jadi, biarkan Hokage yang memutuskan. Saat ini, dia adalah orang yang paling rasional untuk memutuskannya."
Shikamaru menarik nafas lelah. "Aku tahu."
"Dan jangan mendesaknya. Jika kau mendesaknya..."
"Aku akan kehilangan dirinya. Aku tahu, Ino." Shikamaru mendengus mengeluarkan tawanya dan mereka mulai menyantap makanannya.
Saat sedang menyeruput kuah Sup Miso, Ino tersedak nyaris mati saat Shikamaru mengatakan sesuatu hal yang mengejutkannya dengan begitu santai.
Menarik nafas, Ino mengambil kasar cangkir yang diberikan oleh Shikamaru kemudian membantingnya dengan pelan. Walaupun plastik, dia tidak ingin mendapatkan risiko untuk mengganti rugi. "Aku pikir kau tahu." Balas seadanya.
"Kau pikir Hokage mau mengatakan hal semacam itu kepadaku? Itu masalah personal."
Ino menatap datar. "Atau... kami memang tidak sepenting itu.
Ino menarik nafasnya sejenak sambil tersenyum setan. Ia tahu bagaimana cara membalasnya.
"Bagaimana dengan Temari? Apa kau sudah menyatakan perasaanmu?"
"Temari? Apa? Hei!" ujaran Shikamaru membuat Ino menyeringai.
"Begitulah saat kau menanyakan hal tadi. Itu masalah personal." Shikamaru hanya membalas dengan cibiran.
Ino mengernyitkan dahinya. "Tapi, aku serius dengan perkataanku Shikamaru. Kau pasti mengetahui tentang Temari yang menyukaimu bukan? Begitupun sebaliknya dengan kau."
Shikamaru berdeham, semburat merah kecil terbit di pipinya. "Aku sedang memikirkannya."
Ucapan yang menyiratkan sesuatu membuat Ino hanya mengangguk, menampilkan smirk nya. "Belum bisa memutuskannya kah..."
"Kau seolah bisa saja memutuskannya. Dia sangat merindukanmu tahu." Cibirnya kesal. Ino yang sekarang, mampu memojokkannya dengan permainan kata.
"Aku bingung. Bagaimana bisa kau mengetahuinya?"
"Gelagat? Sifat? Dan data. Kau pergi misi berdua dengannya tiga tahun yang lalu. Ditambah dengan reaksinya saat kau datang menemuinya." jawab Shikamaru.
Sesaat Ino menyadari ucapan yang Shikamaru sampaikan. Sifat dan data. Menarik nafasnya sejenak, Ino akhirnya mengetahui apa yang diinginkan ayahnya dengan berkas tadi. Tim Interogator biasanya hanya akan menunggu saat penjahat itu ditangkap. Tapi, ayahnya ingin mengembangkannya dengan turun ke lapangan. Menyusun profil dengan data yang lengkap serta mempelajari sikap dan sifatnya, Inoichi berharap agar suatu saat nanti tidak hanya klan Yamanaka yang dapat diandalkan untuk interogator, tapi siapa saja yang tertarik untuk mempelajarinya.
"Jadi, apa kau tertarik untuk kembali?" Shikamaru ahli dalam mengalihkan pembicaraan saat ia melihat Ino tidak membalas ucapannya tadi.
"Kembali?" See? Mereka teman yang sangat cocok bukan? Shikamaru yang ahli dalam mengalihkan pembicaraan dengan Ino yang mudah teralihkan.
"Konoha Torture and Interrogation Force. Divisi yang sekarang di pimpin oleh Ibiki Morino?"
Ino menggigiti bibirnya sambil menggelengkan kepala, "Aku tidak tahu."
"Tidak tahu?"
"Shizune-san menawariku untuk bekerja di Konoha Hospital beberapa hari yang lalu dan juga Konoha Barrier Team sedang kekurangan orang."
"Jangan gila dengan mengambil semua pekerjaan. Kau terlihat serakah dengan uang."
"Pfffttt." Dengus Ino kesal dengan sindiran Shikamaru. "Aku belum bisa menjawab sekarang. Aku akan mencari tahu terlebih dahulu. Lagian surat kerjaku belum turun."
"Itu karena kau belum memutuskannya. Pilihanmu itu lebih diutamakan daripada Hokage yang menentukan."
"Aku tahu."
.
.
.
"Ino, besok temani ibu belanja ya, Nak. Kau belum bekerja bukan?" ibunya yang sedang duduk menonton televisi bertanya kepada Ino yang sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk.
"Iya bu. Besok aku menemani Ibu. Aku tidur duluan ya." Ujarnya yang sudah berada di pintu kamar.
Ino tersentak, nyaris berteriak kala melihat seseorang yang sedang duduk manis di pinggiran kasurnya.
"Ada apa Ino?" Ibunya kembali bertanya saat medengar bisikan terkejut dari anakanya.
"Tidak ada apa-apa bu. Hanya kecoak terbang." Ujarnya sinis sambil menutup pintu kamarnya.
"Apa tidak ada pintu masuk yang lebih layak?" desisnya kesal.
"Ibumu akan bertanya kalau aku masuk lewat pintu utama."
Ino menarik nafas, mencoba menurunkan tensi nafasnya. Ia hanya sedikit terkejut dengan kedatangannya.
"Hokage." Ujarnya sedikit memohon.
"Kakashi. Kakashi Hatake, Ino." Ujar Kakashi sambil menyandarkan dirinya di kepala ranjang.
Lupakan tentang Sasuke. Kakashi Hatake adalah seseorang yang pernah dekat dengannya, hanya untuk mencoba melupakan Sasuke Uchiha dan dia baru menyadari, itu juga merupakan sebuah kesalahan. Sekarang, semuanya menjadi sangat sulit.
Sejenak, kalau dipikir-pikir, Ino adalah wanita yang sangat jahat.
.
.
.
TBC
Note's:
Alur cerita ini akan sangat lambat. Jadi, bisa dibilang, buku ini menceritakan kehidupan Ino yang menakjubkan pada masa blank period. Aku sudah memikirkan konflik dan cara penyelesaiannya, cuma sepertinya akan sangat berbeda dari yang ada di anime maupun manga, karena perlahan aku mau membuat cerita ini mulai memasuki era modern.
Dan,
Aku juga mempublish cerita ini di wattpad, wkwk
Pertamanya sih mau publish di tempat ini. Cuma, karena web ini ribet, harus update melalui laptop, jadi untuk pertama kalinya aku update di wattpad. Mager ya wak sebenarnya karena harus buka laptop.
Untuk segi cerita tentu berbeda sedikit. kalau di wattpad itu crossover AOT, kalau disini pure cerita Ino dan Sasuke dengan segala denial dan kebimbangannya, maklumlah masa-masa muda yang indah.
Dan,
Kekurangannya, ini tidak bisa membalas komentar yaa. Ribet, tapi gapapa. Jadi sepertinya aku akan membalas di sini...
Komentar Unlocked: (Walaupun cuma 3 komentar, tapi aku seneng loh ^^)
PhiruFi: Hallo penulis favoritkuhh, terima kasih ya sudah mendukung cerita aku ini heheh. Hmm, ya rencanaku mau membuat SasuIno ini terlihat menyedihkan. Semoga tersampaikan deh rasa sedihnya, karena di satu sisi aku ingin membuat Ino itu seorang wanita karir yang kuat, dan cemerlang. Jadi bingung hehe. Aneh kah kalau based on novel?
kchi77327: Iya nih. Kamu baca juga di WP ya?
Azzura Yamanaka: Terima kasih karena telah membaca cerita ini^^
