Yours
by don't try to escape
NaruSasu fanfic - a Naruto Fanfiction
Disclaimer: They're all belong to Masashi Kishimoto, i don't take any financial benefits from this.
Read in ur own risk, no copycat please.
Also, happy reading?
.
Sedari awal Uchiha Sasuke menikmati karirnya menjadi guru. Menurutnya, itu salah satu passion dalam hidupnya, walau ia temukan terlampau terlambat ketika dadakan mengambil jurusan pendidikan. Sarjana pendidikan tidaklah seburuk itu, pikirnya walau sebenarnya Fugaku, ayahnya menentangnya.
Begitu pun ia tahu betul, ia bukanlah sosok yang menyukai anak-anak. Baginya, anak kecil itu merepotkan dan menyebalkan, dan Sasuke lebih benci membayangkan terjebak untuk mengajari anak kecil yang sering kali melakukan hal yang sebaliknya dari yang diajarkan. Namun seiring waktu mengajar anak sekolah menengah atas, ia pun tahu. Sebenarnya, mereka tak begitu jauh berbeda; anak kecil maupun remaja. Mereka tak terhitung anak kecil lagi, namun beranjak dewasa mereka sama menyebalkannya, sama-sama menentang apa yang diajarkan, dan berlaku sebaliknya.
Darisana, ia pun belajar banyak dan mengambil hikmah dari setiap pembelajaran dan kian tahun mengajarnya berlalu. Setahun, dua tahun cukup untuk membuat Sasuke yang tak begitu suka bicara sudah cukup piawai untuk belajar mengajar remaja tanggung, lebih tepatnya mengontrol emosi dan tetap profesional. Karena kebanyakan dari mereka lebih sering berisik tapi otaknya kosong, dan sebagian hanya pura-pura mendengarkan tapi pikirannya melalang buana.
Pada tahun ketiga lalu keempat Sasuke pun mulai mempertanyakan karirnya. Gajinya memang cukup besar disana, dan peranannya juga cukup penting karna dia mengajar beberapa mata pelajaran disana jadi ia cukup sibuk berkutat di bidangnya, namun kian lama itu tidak membuatnya senang lagi. Terkadang ia mempertanyakan apa yang salah dengannya, apa ia hanya bosan semata dan butuh refreshing atau seharusnya ia mengambil sarjana lagi agar bisa mengajar di kelas mata perkuliahan sebagai dosen, namun setelah dipikir lagi toh anak kuliahan juga pergaulannya sama saja; bebas. Dan lagi, tak banyak hal yang bisa ia lakukan karena ia tak ada hak mencampurinya, bahkan guru BK pun punya batas untuk mengontrol kehidupan murid didik sebatas sekolah. Jadi, apa gunanya juga.
Memang pada dasarnya mengajar itu bukan hal yang mudah, tapi tidak sesulit itu juga untuk dijalani. Lagi, tak semua hal harus dimengerti olehnya, ia tahu betul. Begitu pikirnya, sampai sosok itu datang.
Sosok yang dimaksud adalah anak tanggung baru gede berotak udang selaras dengan rambut pirang terangnya. Dari hari pertamanya masuk, setiap ditegur guru perihal warna rambut yang mencolok ia selalu mengelak bahwa ia tidak mengecat rambutnya. Ia hanya mengakui dengan santai kalau ia ada keturunan blasteran dari orang tuanya, namun siapa yang percaya jika ia bahkan hanya bisa berbicara dalam satu bahasa.
Lantas, ia menjadi bulan-bulanan murid lain serta langganan dihukum guru karena dikira berbohong dan pamer, sampai saat pembagian rapor kelas per semester pertama yang menggemparkan.
Waktu itu, Sasuke ingat betul di ruang guru begitu heboh membicarakan orang tua Uzumaki Naruto yang ternyata memang orang asing. Ibunya yang asli jepang berambut merah terang selaras dengan tampilan fashionablenya, nampak serasi berdampingan dengan ayahnya yang keturunan orang asing dengan setelan formal. Ternyata benar, Naruto mewarisi gen bule ayahnya sepenuhnya; identik dari fisik.
Setelah semester pertama usai dengan kehebohan, semester kedua pun menyambut. Dari sana, sedikit banyak Sasuke secara sadar tak sadar lebih sering memperhatikan Naruto daripada murid didiknya yg lain. Entah karena rambut pirangnya yang begitu mencolok terang ketika terkena bias cahaya matahari atau karena safir biru cerahnya yang mencuri perhatiannya, selalu nampak begitu tenang dan dalam apapun ekspresi wajahnya; yang kian di dominasi dengan kekehan jenaka hasil mempermalukan dirinya sendiri.
Beberapa kali pun ia berakhir tercekat, buyar lamunannya dikala murid lain beranjak padanya untuk sekadar mengumpulkan tugas atau bertanya materi yang tidak mengerti. Seingatnya, hampir semua murid pernah bertanya atau berinteraksi dengannya barangkali sekali, namun dengannya ia belum pernah. Entah karena hal itu membuat Sasuke jadi lebih penasaran dan menaruh atensi lebih terhadapnya, atau memang tak banyak objek yang menurutnya semenarik itu untuk diperhatikan secara konstan. Bagaimana pun, diam-diam itu membuatnya lebih bersemangat mengajar daripada sebelumnya. Bosannya hilang, mengajar pun terasa lebih cepat, tak sadar ia jadi lebih menantikan untuk mengajar di kelas ini.
Tapi kian ditelisik, Sasuke pun makin tergelitik. Seiring berjalannya waktu, sebenarnya cukup banyak alasan untuknya membangun obrolan layaknya murid dan guru pada umumnya. Membahas kurang lebih pembelajaran selama dua semester kebelakang contohnya. Sasuke meyakini wajah tampannya terlalu tak sinkron dengan kebodohan itu. Maksudnya, apa ia benar terlalu bodoh untuk menempati ranking terakhir berturut-turut? Atau ia hanya pura-pura bodoh saja mengingat beberapa kali celetukannya perihal logis masuk di akal.
Terkadang, sifatnya juga nampak membingungkan. Di suatu waktu ia bisa meluap euforianya seperti orang bodoh, di sisi lain ia bisa diam dan tenang tak tersentuh. Dominan di wajahnya cerah, dengan cengiran dan kekehan jenaka. Di lain waktu, air mukanya santai dan tenang, mengalir dan menghanyutkan. Dan keanehan lainnya, ia selalu mengenakan kaos santai di balik kemejanya apapun musimnya. Kaosnya beragam, kadang berlengan panjang yang harus digelung setengah sampai siku agar tidak ditegur guru, tapi lebih sering berlengan pendek; yang mana lebih mencuri perhatian dengan beberapa balutan plester dan bekas luka yang bergantian posisinya.
Mengingat banyak hal yang terasa normal tapi ganjil baginya, itu juga yang menggerakkan hatinya untuk membangun hubungan secara personal. Biasanya, Sasuke bukanlah tipe guru yang suka ikut campur masalah murid didiknya, baik internal maupun non internal; walaupun memang secara akademis nampaknya ia memang perlu dibimbing lebih. Namun tentu saja, Sasuke tidak akan menawarkannya secara langsung, sampai tak disangka alam semesta harus bertindak untuknya.
Sasuke menggelung lengan kemejanya sedikit, melihat jam tangan hitam yang bertengger di tangan kirinya. Sudah saatnya ganti jam pelajaran, kelas dibubarkan dan murid mulai berbenah keluar kelas untuk berganti pakaian olahraga. Ia sendiri belum bergeming dari tempatnya, masih memeriksa tugas yang diberikannya kemarin.
"Woohoo!"
Teriakan dari lapangan outdoor di tengah sekolah memekik kencang, menandakan kelas olahraga telah dimulai. Onyxnya refleks menoleh ke jendela dan menyisir murid dari kelasnya, namun tak menemukan yang dicari. Lantas heran, ia kembali memalingkan wajah ke kelas; pantas saja, ternyata dia masih disini.
Akhirnya ia bangkit berdiri, berjalan menuju bangku paling belakang. Dari dekat sosok pirang itu tertidur dengan tangan bersidekap. Angin semilir yang berembus dari jendela di sebelahnya, meniup lembut surai pirang dan menyentuh bahu bidangnya. Kedua matanya terpejam rileks, tak seperti kala ia biasa memperhatikannya.
Melihatnya begitu damai, ia jadi tak sampai hati menegurnya. Mengurungkan niat membangunkannya, Sasuke hendak beranjak pergi tepat ketika interupsi datang.
"Ada apa Pak?"
Ia menoleh ke belakang, mendapati Naruto dengan mata setengah terpejam berbicara. Suaranya terdengar lebih berat daripada biasanya, mungkin efek bangun tidur.
"Kalau sakit ke UKS. Jangan bolos."
Tegasnya singkat, namun terlampau cukup panjang untuk ukuran orang acuh tak acuh sepertinya; yang biasanya bahkan tak peduli apa murid tersebut ijin atau tidak masuk kelas.
"Ohh. Haha. Aku ga bawa baju olahraga." Jawabnya santai, sembari menguap dan merenggangkan badannya. "Oke, ijin ke UKS dulu." Sambungnya bangkit berdiri, lalu berjalan melewatinya.
Sasuke mematung menatap punggungnya sampai hilang dibalik pintu. Hidungnya tergelitik, sosoknya sudah pergi namun aroma citrus segar itu masih terbayang. Entah memang ia sewangi itu, atau memang penciumannya yang terlampau tajam.
Hendak beranjak, sekilat onyx Sasuke menangkap sesuatu di kolong mejanya. Termenung heran dalam hati bertanya namun tak ada jawaban. Finalnya, ia memutuskan tak mau ikut campur. Biarlah, toh bukan urusannya.
Pikirnya begitu, tak selaras dengan langkahnya yang menuju UKS.
Entah memanfaatkan jam kosong mengajarnya atau hal itu memang terlalu mengganjal untuk dipendam, ia berakhir mengetuk pintu UKS dan langsung memasukinya tanpa menunggu jawaban.
Nihil. Tak ada dokter penjaga yang biasa berjaga, bilik tirai pun terbuka menandakan tak ada orang, terkecuali bilik paling belakang.
Tirai bilik itu tertutup rapat, namun desiran angin dari jendela yang dibuka menarik perhatiannya. Ia berjalan mendekat, masih tak bisa melihat siluet dibalik tirai putih pekat itu.
"Aku baik-baik aja. Cuma perlu tidur kok."
Pede sekali, pikirnya. Bahkan, ketika ia tak tahu lawan bicaranya siapa.
"..."
Sasuke sengaja tak menjawab, sedikit bimbang apa pantas ia konfrontasi begini di UKS. Apa lebih baik ia diam saja, dan anggap tak pernah tahu? Semuanya akan lebih mudah kalau begitu, tak perlu repot-repot begini.
"Ahh. Nee, pak Sasuke. Apa kau melihatnya?"
Sasuke tak jadi pergi, intimidasi terselubung itu membuatnya tercekat diam. Tahu darimana, ini dirinya? Sial, kenapa ia jadi seperti penguntit yang tertangkap basah?
"Itu urusanmu. Kalau--"
"Yaa, yaa. Aku tahuu. Pak, apa kau berminat juga?"
Selaan itu menyembur lancar, membuatnya tak habis pikir. Apa dia sudah gila menawarkan seperti itu? Dahinya menyerngit heran, menatap tirai itu sangsi.
"Tidak."
Jawaban singkat itu dibalas kekehan jenaka, seakan tak ambil pusing. Hembusan nafasnya beradu dengan decitan ranjang, tirai pun disingkap empu. Ia duduk di sisi ranjang dengan kulit tan eksotisnya bersinar diterpa bias sinar dari jendela, sementara surai pirangnya berhembus lembut seiring desiran angin.
Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang lebih berdesir.
Kemeja terbuka dengan dasi berantakan dan kaos yang tersingkap, menampilkan abs perutnya. Turun sedikit kebawah, gesper sabuknya terlepas dengan resleting dan kaitnya yang dipasang asal. Salah tarik sedikit, bisa terekspos.
Sial, ia tak mau mengakuinya tapi kalau saja ini bukan muridnya..
"Hmm? Suka liatnya?"
"Apanya?" Refleksnya menjawab spontan.
Kekeh lagi, namun terasa tengil menggoda. "Apa ya?"
Safir biru itu bertemu dengan onyx gelap. Beradu sekejap, saling bertukar kilatan aneh. Sasuke ingin memalingkan pandangan, namun sulit. Apalagi, ketika jemari tan itu menarik belt loopnya.
"Ini?"
Klek, kancingnya terlepas, menyisakan resletingnya yang setengah terbuka. Mengekspos logo celana boxer dibaliknya.
"Kau..!"
Sial, darahnya semakin berdesir naik. Makin lama dilihat, makin seksi. Tak dilihat, sayang juga. Bibirnya kelu, kian tak sinkron dengan otaknya. Ia berdeham serak menahan gejolak, susah payah berpaling hendak beranjak pergi.
"Oh? Sori." Seringai seksi itu seakan mengajaknya, sembari meledek pertahanannya. "Bercanda kok. Hehe."
Shit! Onyx Sasuke mendelik bengis, bergegas pergi kesal karena dipermainkan. Memang sedari awal ia harusnya tak kesini, tak perlu ikut campur yang bukan urusannya. Ya, jadi ia tak perlu menyadari, bahwa ia memang tertarik dengan muridnya sendiri. Lebih banyak, dari yang ia duga.
.
"Pak, pak. Maaf, apa ini udah bener?"
Lamunannya buyar seketika, terkesiap menyadari ia sudah berada di kelas lagi. Waktu terasa begitu cepat, atau memang ia terlalu sibuk tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Sasuke melirik sekilas, menilik bukunya sejenak. "Udah."
"Oke pak, makasih."
Murid bersurai coklat itu beranjak pergi, duduk tepat di seberang kursi murid yang menyebabkan ia melamun seharian ini. Empunya tak ada, dan ia bersyukur tidak harus melihatnya setidaknya sampai hari ini usai, pikirnya naif.
Klek. Pintu terbuka dan dibiarkan terbuka. Dilewati begitu saja, si pirang hanya melempar senyum ganjil.
Ah sial. Alam semesta memang tidak pernah berpihak kepadanya.
.
Kring kringg.
Sejam setelahnya bel berdering nyaring. Jam pelajaran terakhir telah usai, namun terasa lebih lama dari biasanya baginya.
Ketua kelas bangkit berdiri dan memberi salam, disusul murid lain yang berdiri lalu membungkuk rendah. Semuanya, kecuali si pirang yang membungkuk ala kadar dan lagi, nyaris ada kontak mata.
Setelah mengecek beberapa lembar kertas ujian tadi, Sasuke memilih melanjutkan sisanya di rumah. Ia pun bergegas berbenah, dengan kelas yang sudah mulai kosong. Beberapa murid lainnya sudah beranjak pergi, menyisakan dirinya dan si pirang.
Naruto menyampirkan ranselnya di sebelah bahu dan hendak melewatinya, tapi akhirnya menengok.
"Butuh bantuan?" Naruto berujar santai, tanpa rasa bersalah.
"Tidak." Tukasnya cepat, sembari menata tumpukan dokumen dan kertas jadi satu bagian.
"Gapapa, saya santai kok."
"Gausah."
"Yakin?"
Sasuke mendelik heran, menatapnya tajam. Sulit rasanya menghiraukan orang yang membuatmu kepikiran selama beberapa jam terakhir. Namun, ia tetap harus membuat batasan.
"Iya." Jeda panjang, akhirnya dijawab.
"Nah iya kan, sini." Senyumnya dengan sigap merebut tumpukan dokumen itu. Pemaksaan terselubung berhasil.
"..."
"Bapak mau langsung pulang? Atau nyimpen ini dulu di ruang guru?" Tanyanya lagi, sembari berjalan berdampingan di lorong sekolah, melewati lorong kelas lain yang sudah kosong.
"Saya ada acara. Taruh aja di ruang guru." Sasuke menjawab cepat, sembari mengetik sesuatu di ponselnya.
Naruto mengerling, menaikkan satu alisnya. "Oh, acara apa? Baru saya mau ajak tadi."
Sasuke menoleh menyerngitkan dahi, apa katanya?
"Iya, bukannya bapak penasaran?" Selanya, tepat ketika mulutnya berkatup ingin membuka suara.
"Apa?"
Naruto berdeham, sebentar lagi berbelok memasuki ruang guru. "Hmm, itu yg bapak liat tadi."
Seketika langkah Sasuke terhenti. Naruto pun berhenti beberapa langkah di depannya, lalu menoleh.
"Kenapa? Bapak ada alesan kan kenapa ga laporin saya ke guru BK?"
Onyx beradu dengan safir lagi. Sasuke kian diam terpaku, lantas bingung menjawab apa. Ia mengantongi ponselnya lalu menatap lamat-lamat murid di hadapannya ini. Astaga, bahkan setelah kontak langsung dengan matanya, ekspresinya masih sulit terbaca. Apa yang ia harapkan dari orang yang gap umur satu dekade dengannya?
"Saya duluan." Cari aman, mengamankan diri dan pekerjaannya Sasuke coba berkelit pergi. Baru selangkah, lengannya sudah ditahan si pirang.
Naruto maju, mendekat mengikis jarak diantara mereka. Tubuh mereka hampir terhimpit, namun Sasuke terlalu kelu untuk bergeming. Bulu kuduknya meremang, ketika Naruto membisikkan sesuatu. Dengan nada rendah, sangat pelan seperti desisan, dan hembusan nafasnya yang agak berat. Menggelitik instingnya, membangkitkan yang tidak seharusnya.
Sasuke menelan salivanya kasar, tenggorokannya kering dan otaknya nyaris konslet.
Shit! Cobaan apalagi ini, pikirnya kalut.
.
.
.
To be continued?
