Nagiko memutuskan untuk tetap datang ke kantor meski kakinya masih belum pulih benar. Dia sudah tidak tertatih saat berjalan, kok. Hari itu ia memutuskan untuk mengenakan stocking gelap di dalam rok agar menutupi perban di kakinya. Ada gerakan tertentu yang membuat rasa nyeri timbul, tapi tidak masalah. Lagipula, ia juga sudah kebosanan kalau hanya di apartemennya. Alasan lainnya mungkin karena Dazai-san bisa-bisa bolos terus dan menggunakan dirinya sebagai alasan tidak datang ke kantor.

Tetapi laporan Atsushi-kun pada Kunikida-kun pagi itu membuat Nagiko mengernyit dan menoleh pada anak itu.

"Dazai hilang?" ulang Kunikida-san terhadap laporan Si Anak Baru.

Atsushi-kun mengangguk cemas. "Dazai-san tidak mengangkat telepon, sepertinya tidak pulang ke rumahnya juga."

Kunikida-san menoleh pada Nagiko. "Dia ke tempatmu semalam?"

Nagiko menggeleng. "Dazai-san keluar dari apartemenku saat masih terang, tidak kembali ke tempatku karena kubilang aku tidak ingin tidur."

"Kapan terakhir kali dia menghubungimu?" tanya Ranpo-san.

Langsung Nagiko mengambil ponselnya, melihat pesan terakhir yang dikirim Dazai-san padanya. Pesan itu hanya berisi 'Yaaaahh' dengan beberapa stiker emoticon menangis. Jadi awalnya Dazai-san menanyakan lagi tentang apakah Nagiko benar tidak ingin tidur dengannya malam itu, dan Nagiko membalas 'aku sudah cukup banyak istirahat, Dazai-san sendiri harus istirahat juga'. Dan pesan terakhir Dazai-san muncul di ponsel Nagiko sekitar pukul tujuh malam.

"Jam tujuh malam kemarin," jawab Nagiko.

"Coba kamu telepon, Nagiko, biasanya Dazai langsung jawab kalau itu kamu," ujar Kunikida-san.

Nagiko mengangguk dan menurut. Ia menghubungi nomor Dazai-san. Tidak diangkat oleh pemilik nomor, jadi gadis itu mencoba sekali lagi. Ketika untuk kedua kalinya ia mendengar perkataan 'nomor yang Anda hubungi sedang tidak aktif atau di luar jangkauan', Nagiko menggeleng pada kedua seniornya.

Kunikida-san menghela. "Paling di sungai lagi, kan?"

"Bukannya sedang mengubur diri?" timpal Kenji-kun.

"Paling di penjara lagi," kata Ranpo-san tidak mau kalah.

"Tapi, mempertimbangkan insiden tempo hari, siapa tahu Dazai-san dibunuh oleh mafia…," ujar Atsushi-kun lalu melirik pada Nagiko.

Nagiko paham lirikan itu, ia pun sempat kepikiran hal demikian. Lagipula, sesuai kata Kunikida-san, biasanya Dazai-san akan langsung menjawab panggilan teleponnya, tapi kali ini sampai dua kali tidak terjawab dan belum ada telepon balik dari nomornya. Yah, mungkin saja Dazai-san sedang sibuk melakukan sesuatu yang membuatnya tidak bisa menjawab telepon. Seperti, misalnya sedang mandi, begitu.

"Kau bodoh, ya?" ujar Kunikida-san. "Kemampuannya mendeteksi bahaya serta daya hidupnya itu sudah sengeri mimpi buruk. Dia adalah lelaki yang belum pernah mati satu kali pun meski sudah sebanyak itu mencoba membunuh diri, lho." Nagiko mengangguk setuju. "Mana mungkin mafia sanggup membunuh orang yang bahkan tak bisa dibunuh oleh dirinya sendiri itu?"

Sempat Nagiko berpikir bahwa mungkin kemampuan mengerikan milik orang yang bernama Akutagawa itu mungkin mampu melukai Dazai-san. Tapi ia teringat, bahwa saat Dazai-san menghentikan pertarungan Akutagawa dengan Atsushi-kun, pemuda itu hanya perlu menyentuh Rashomon saja untuk melumpuhkan kemampuan khusus Si Mafia. Namun, sepertinya akan lain cerita jika mafia yang menyerangnya tidak menggunakan kemampuan khusus.

Ketika Nagiko antara cemas dan tidak mengenai Dazai-san, tampaknya Atsushi-kun malah sangat cemas. Yah, Nagiko dan anggota Agensi Detektif Bersenjata lainnya sudah lumayan terbiasa dengan hilangnya Dazai-san sementara waktu, sih—tapi ini pertama kalinya panggilan telepon Nagiko sampai diacuhkan—, beda dengan Atsushi yang baru mengalaminya sekarang.

"Tapi—"

"—Biar aku yang menyelidikinya."

Ah, itu suara Junichiro. Nagiko tersenyum pada pemuda yang baru tiba itu. Seingatnya, sama seperti dirinya, kakak Naomi itu juga baru hari ini masuk kantor sejak kejadian Higuchi dan Akutagawa.

"Tanizaki, kau baik-baik saja?!" sahut Atsushi-kun kaget.

Kunikida-san membetulkan posisi kacamatanya. "Ini hasil pengobatan Yosano-sensei, ya…." Junichiro terkekeh gugup sebagai jawaban. "Tanizaki, berapa kali kamu dibedah?"

"Ukh." Junichiro mematung sejenak. " … empat kali."

Nagiko, Kenji-kun, Ranpo-san, dan Kunikida-san yang paham hanya bisa turut bersimpati—Nagiko sudah tahu dari Naomi, sih, tapi mendengar langsung dari mulut korbannya terasa lebih kasihan lagi. Atsushi-kun yang tidak tahu apa-apa hanya kebingungan. Menurut yang ia dengar, kemampuan regenerasi dari Si Harimau sangat baik, sehingga pemuda itu tidak membutuhkan perawatan medis sama sekali dari Kak Akiko.

"Atsushi," ujar Junichiro sambil meringkuk di lantai. "Satu-satunya hal yang jangan pernah kau lakukan di agensi detektif ini adalah membiarkan dirimu terluka."

"Eh?" Atsushi-kun masih bingung. Tapi dengan kemampuan Si Harimau, mungkin dia tidak bakal pernah merasakan kemampuan Kak Akiko.

"Untuk kali ini, salahmu sendiri yang tidak langsung kabur," kata Kunikida-san. "Tepat begitu, tahu lawanmu mafia."

"Kunikida-san, sebelum kami sempat kabur, Higuchi menembak kami duluan," sahut Nagiko, yang sebenarnya juga adalah korban Higuchi, tapi bukan korban Kak Akiko. "Sekalipun kami memutuskan untuk menjauh sebelum dia menembak, tetap saja Higuchi itu bawa dua pistol, entah bagaimana kami akan masih tetap bisa terluka disana."

Junichiro dan Atsushi-kun mengangguk setuju.

"Yang Kunikida maksud itu namanya kemampuan mendeteksi bahaya, alias kemampuan untuk bisa langsung kabur begitu merasa situasi gawat," ujar Ranpo-san yang ada di samping Nagiko lalu melihat jam sakunya. "Misalnya, sepuluh detik dari sekarang …."

"Eh?"

Nagiko mendengar suara sepatu heels Kak Akiko dengan jelas mendekati ruang kantor. Ia melirik jam Ranpo-san, lalu kepikiran bahwa biasanya kalau dokter perempuan ini datang ke kantor di jam segini, maka akan ada dua kemungkinan: yang pertama dia akan butuh orang untuk ikut dia belanja dan membawa semua belanjaannya, yang kedua adalah dia sedang ingin kelinci percobaan untuk ramuan obat baru. Nagiko dan Naomi tidak pernah menjadi korban—mungkin karena Kak Akiko tidak rela menyakiti sesama perempuan dalam bentuk apapun—, jadi Nagiko tidak merasa ini adalah hal yang berbahaya untuknya. Tapi Ranpo-san yang sudah buru-buru bersembunyi di kolong meja, menarik-narik ujung rok gadis itu, menyuruhnya ikut sembunyi diam-diam juga. Bingung, tapi Nagiko menurut juga.

Dari kolong meja, Nagiko bisa mendengar suara pintu kantor terbuka, diikuti suara Kak Akiko yang menguap.

"Aku kelamaan tidur," keluh Kak Akiko.

"Yosano-san," sapa Atsushi-kun.

"Ah, kau Atsushi si Anak Baru, ya," balas Kak Akiko. "Apa kau sedang terluka?"

"Ah, tidak," jawab Atsushi-kun pelan.

Nagiko mendengar decihan Kak Akiko, mau tak mau ia terkekeh halus bersama Ranpo-san di sebelahnya.

"Omong-omong," kata Si Dokter. "Aku berniat minta tolong seseorang buat membawakan barang belanjaanku. Tapi, sepertinya disini cuma ada kau seorang, ya."

"… EH?!" Atsushi kaget. "Tunggu—mana yang lain—EH?!"

Ranpo-san sudah sangat kesulitan untuk menahan tawanya. Untungnya tidak butuh waktu lama sampai mereka mendengar Atsushi sudah keluar dari ruang kantor bersama Kak Akiko. Nagiko mengintip dari samping meja, dan melihat bahwa memang keduanya sudah tidak ada.

"Kak Akiko sudah keluar," lapor Nagiko, dan keempat rekan kerjanya keluar dari persembunyian masing-masing.

Kunikida-san langsung kembali ke mejanya. "Jadwalku terlalu padat hari ini, tidak bisa diganggu gugat dengan urusan belanja."

"Kalau aku sih, hanya malas!" sahut Kenji-kun.

Ranpo-san mengangkat tangan. "Aku juga!"

Junichiro terkekeh lalu ia menghampiri Nagiko. "Anu, aku mau coba ke apartemen Dazai-san, Nagiko-san mau ikut?"

"Aku—"

"—jangan mondar-mandir dulu, kakimu masih diperban, kan?" tepis Ranpo-san.

"Ah, benar juga…," gumam Junichiro.

"Maaf ya …," balas Nagiko, merasa bersalah. Tapi kemudian ia mengaduk tasnya, mengambil sebuah kunci dan menyerahkannya pada Junichiro. "Ini kunci cadangan apartemen Dazai-san."

Pemuda itu tersenyum menerimanya, mengucapkan terima kasih, lalu pergi.

.


.

Disclaimer: Bungou Stray Dogs adalah ciptaan Asagiri Kafka dan Harukawa Sango, The Pillow Book adalah karya Sei Shonagon, 'Kiyohara Nagiko' dipercaya sebagai salah satu kemungkinan nama asli dari Sei Shonagon, Author tidak mengambil keuntungan.

Warning: Agak slow burn, Dazai x OC, alur canon (manga, anime, novel), sebisa mungkin tidak mary-sue.

.

.

Osamu Dazai and His Sun
by Fei Mei

.

Chapter 6

.


.

Nagiko melirik isi ponselnya, masih tidak ada tanda dihubungi oleh Dazai-san. Ketika Kak Akiko pergi belanja dengan Atsushi-kun, gadis itu mengirim pesan singkat pada Dazai-san, hanya menanyakan keberadaannya. Sampai lewat jam istirahat, ia masih belum dapat kabar dari pemuda itu, mau tak mau Nagiko jadi khawatir.

Ranpo-san yang ada di sebelahnya mungkin mulai gerah karena aura kecemasan yang samar-samar mencuat dari gadis itu, jadi dia menyodorkan sebungkus kecil permen. "Nagiko, jangan terlalu khawatir begitu, emut ini dan tenanglah sedikit."

Gadis itu menoleh, menggumam terima kasih pelan sambil mengambil yang disodorkan. Nagiko membuka bungkusannya dan memasukkannya ke dalam mulut.

"Dazai-san masih belum bisa dihubungi," gumam Nagiko.

"Kunikida sudah bilang kalau Dazai tidak bakal bisa dibunuh siapa-siapa karena bahkan dia tidak pernah berhasil mencabut nyawanya sendiri, kan?" ingat Ranpo-san.

Nagiko mengangguk-angguk. Tapi fakta bahwa ia tidak dapat kabar apa-apa tentang pemuda itu masih menghantui pikirannya.

Ranpo-san menghela. "Heran, kok, kamu masih belum resmi jadian sama Dazai, sih?"

Sontak permen dalam mulut Nagiko tertelan bulat-bulat, lalu mulai terbatuk. Laki-laki di sebelahnya hanya tertawa, tapi kemudian menyodorkan air juga. Belum sempat Nagiko mengangkat suara, pintu kantor terbuka kasar, menampilkan Atsushi-kun terengah-engah seorang diri.

"Atsushi-kun? Ada apa?" tanya Nagiko.

"Anu—ah," Atsushi-kun langsung menoleh pada Kunikida-san. "K-Kunikida-san, anu, tolong sebentar!"

Si Kacamata menyerngit, tapi melihat Atsushi-kun seperti buru-buru, Kunikida-san langsung bangkit dari kursinya dan ikut Anak Baru itu keluar.

"Hm, tidak Dazai, tidak bocah itu, sama saja," gumam Ranpo-san.

Nagiko menoleh. "Apanya?"

"Sama-sama bawa orang yang bermasalah."

"Eh?"

"Coba kumpulkan koran selama seminggu kemarin, Kunikida akan membutuhkannya untuk diperlihatkan ke Atsushi," pinta Ranpo-san.

Nagiko bingung, sebenarnya, tapi dia menurut saja karena yang meminta adalah seorang Edogawa Ranpo. Benar juga, tidak sampai setengah jam sejak Atsushi-kun kembali, Kunikida datang lagi ke ruang kantor menanyakan seorang staf perempuan kalau mereka masih menyimpan koran bekas.

"Kunikida-san," panggil Nagiko. "Sudah kupilihkan koran yang selama seminggu ini."

Si Kacamata dengan cepat menghampiri meja Nagiko, lalu mulai membolak-balik lembar koran paling atas. "Ah iya—" Ia menghentikan kegiatan itu, merogoh saku celananya, mengambil ponsel flip dengan gantungan kelinci. Kunikida-san membuka bagian belakang gawai itu, mengambil baterenya dan menyodorkan pada Nagiko. "Tolong simpankan dulu."

Gadis itu menurut. Mengambil baterenya dan menaruh di laci meja. "Ponsel siapa itu?"

"Seorang gadis kecil dari Mafia."

" … hah?"

"Kereta yang dinaiki Atsushi dan Yosano-sensei dalam perjalanan pulang dibajak Mafia. Ada gadis mafia yang memasangkan bom di tubuhnya sendiri dan Atsushi menyelamatkannya. Gadis itu sedang di ruang rawat dengan Dokter Yosano. Ponsel ini digunakan untuk memanggil kemampuan khususnya," jelas Kunikida-san sambil kembali membolak-balik lembar koran.

"Anu, terus sekarang Kunikida-san sedang mencari apa?" tanya Nagiko.

"Atsushi bilang, orang yang dibunuh gadis itu terakhir kali adalah sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan seorang anak laki-laki. Gadis itu menggorok leher mereka," jawab Kunikida-san. "Total korban gadis itu sudah 35 orang, jadi kupikir kasusnya bakal ada di koran."

Nagiko mengangguk, dia mulai mengambil korang di tumpukan yang ia pilih, ikut mencari juga. Mungkin sekitar lima menit kemudian, ia menemukan artikel berjudul 'Pembantaian Keluarga Polisi. Pelakunya Seorang Anak Perempuan?'. Ada tiga foto korban yang tertera, tapi tidak ada foto pelakunya. Gadis itu memperlihatkan artikel itu pada seniornya.

"Hm, bisa jadi." Lalu Kunikida-san keluar dari ruang kantor sambil membawa koran itu serta ponsel Gadis Mafia.

Sepeninggal si Kacamata, Nagiko membereskan lagi tumpukan koran yang sempat berantakan di mejanya, lalu tersenyum pada Ranpo-san yang sedang asik makan keripik. "Ranpo-san hebat, ya, bisa langsung bilang Kunikida-san akan butuh koran, padahal tadi kan, tidak ada yang bilang apa-apa."

Ranpo-san menyengir lebar. "Tentu saja, aku kan, detektif hebat! Yang tadi, sih, tanpa kacamata juga gampang!"

Nagiko terkekeh. Setelah ia menumpuk rapi koran yang ia sisihkan, Nagiko membawanya ke ruang penyimpanan. Ia mengikat rapi koran itu ketika ponselnya berbunyi. Buru-buru diambilnya ponsel di saku roknya, berpikir bahwa mungkin Dazai-san menghubunginya, tapi ternyata dia malah menemukan nama 'Kunikida-san' di layarnya. Nagiko menenangkan dirinya sesaat sebelum menerima panggilan telepon itu.

"Kunikida-san?"

"Nagiko, kamu belum makan siang, kan?" tanya Kunikida-san. "Ayo ikut ke Restoran Tachibana, Atsushi akan mentraktirmu."

"EHH?!"

Nagiko mengerjap. Ia bingung karena tiba-tiba dapat kabar Si Anak Baru akan mentraktirnya, tapi kemudian dia semakin bingung karena terdengar pekikan kaget Atsushi-kun di teleponnya.

Suara helaan Kunikida-san terdengar. "Pokoknya, turunlah ke bawah, bawa ponsel yang tadi kuberikan, akan kujelaskan nanti."

"Ah, oke."

Sambungan telepon terputus. Nagiko memutuskan mencuci tangannya dulu sebelum turun ke bawah. Baru ia mengeringkan tangannya, masuklah pesan dari Kunikida-san ke ponselnya.

'Dari Kunikida-san,
Gadis Mafia itu minta makan tofu dari Restoran Tachibana dulu, baru akan bicara. Atsushi mengiyakan dengan santai, pokoknya aku sih, tidak bakal bantu bayar. Lalu kupikir mungkin Gadis Mafia itu akan lebih mau bicara kalau ada perempuan lain yang ikut.
'

Nagiko mengangguk sendiri membaca pesan itu, sekaligus agak meringis memikirkan bagaimana nanti Atsushi-kun harus membayar di Restoran Tachibana yang seingatnya sama sekali tidak murah. Gadis itu hanya pernah makan di Tachibana sekali, pun karena diajak Paman Yukichi yang bertemu seorang rekannya dalam pertemuan yang tidak resmi disana.

.

.

Gadis Mafia yang ditemukan Atsushi-kun makan dengan lahap, sedangkan Kunikida-san hanya menyesap teh hijau, dan Atsushi-kun menyembunyikan wajahnya di antara buku menu. Nagiko tidak tahu berapa gaji Anak Baru ini, tapi tetap saja pasti harga yang tertera di buku menu itu membuat perut Atsushi-kun kenyang mendadak. Dan sejujurnya, melihat ekspresi Si Bocah Harimau, Nagiko tidak berani pesan apa-apa, kasihan.

Kyoka, Gadis Mafia yang makan tofu rebus di hadapannya, mengunyah nasi dengan lahap, lalu memasukkan tofu dalam mulutnya. Ia memesan satu panci besar tofu rebus, dan Nagiko bingung bagaimana gadis yang lebih muda darinya ini akan mampu menghabiskan semuanya.

"Tambah!" sahut Kyoka.

"Baik, tunggu sebentar," ujar seorang pelayan wanita dengan ramah, lalu keluar dari bilik mereka.

"Kunikida-san…," ringis Atsushi-kun.

Yang dipanggil langsung menghela. "Aku tidak akan bayar, ya."

"Nagiko-san—"

Kunikida-san langsung menyemprot anak itu dengan tatapan tajam. "Kamu tidak malu bawa perempuan makan di luar, terus ada perempuan lain yang bantu kamu bayar makanannya?"

"Uh—"

Fiks, Nagiko nekad akan membantu Atsushi-kun membayar makanan Kyoka ketika di kasir nanti.

Pintu bilik mereka bergeser, pelayan wanita yang tadi keluar telah kembali membawakan beberapa potong tahu yang kemudian dimasukkan ke dalam panci besar di hadapan Kyoka. Setelahnya pelayan tersebut menghadap Atsushi-kun. "Tuan, sudah menentukan mau pesan apa?" tanyanya ramah.

Atsushi-kun yang tadinya sudah hampir tak bernyawa karena menaruh kepalanya di atas meja, akhirnya mengeluarkan suara seraknya untuk menyebut 'air putih'.

Kyoka menyendok nasi putih ke mangkuknya, mendelik pada gadis di hadapannya sebentar, lalu ia menyendok nasi putih ke mangkuk yang lain. Ia menyodorkan mangkuk itu pada Nagiko. Keponakan bos Agensi Detektif Bersenjata itu bingung, menoleh pada Kunikida-san yang mengangguk sebagai jawabannya, jadi Nagiko menggumam terima kasih dan menerima yang disodorkan padanya, ikut Kyoka makan.

Nagiko hanya makan semangkuk nasi dengan sepotong tofu, itu sudah cukup mengenyangkannya. Sedangkan Kyoka mampu menghabiskan semuanya seorang diri—heran, perutnya sekaret apa?

Gadis berkimono itu bersendawa pelan sebelum akhirnya menyesap teh sampai habis, kemudian mengelap mulutnya dengan tisu.

"… Lalu?" tuntut Kunikida-san, mengingat bahwa Gadis Mafia yang bersama mereka telah makan makanan yang ia minta.

"Mafia memungutku yang jadi yatim piatu setelah kehilangan orangtua karena mengincar kemampuan khususku," ujar Kyoka, lalu ia menaruh ponselnya di meja. Itu ponsel yang Nagiko lihat Kunikida-san lepas baterenya, kemudian telah dikembalikan pada yang punya saat mereka memasuki ruang makan ini. "Demon Snow hanya akan mematuhi suara dari ponsel ini."

"Jadi karena itu mafia memanfaatkannya untuk membuatmu jadi pembunuh bayaran, ya?" konklusi Kunikida-san.

"Kalau begitu, buang saja ponselnya," usul Atsushi-kun, dan dalam hati Nagiko pun setuju.

"Aku bakal dibunuh kalau menentang," jawab Kyoka langsung. Ah, Nagiko juga baru sadar bahwa mungkin ada opsi hukuman mati di Port Mafia. "Apalagi, keluar dari Mafia pun, aku tak punya tempat tujuan."

Kunikida-san menghela. "Siapa yang mengendalikan iblis itu lewat ponsel?"

Kyoka menatap lurus pada penanyanya. "Lelaki bernama Akutagawa."

Mendadak bulu kuduk Nagiko berdiri, ia sontak menoleh pada Atsushi-kun yang juga memasang wajah tegang. Ternyata mereka berdua sama-sama masih terbayang terakhir kali bertemu dengan lelaki serba hitam bernama Akutagawa itu.

"Begitu rupanya," gumam Kunikida-san sambil berdiri, lalu menoleh pada Si Bocah Harimau. "Atsushi, ikut sebentar." Kedua laki-laki itu keluar dari bilik, meninggalkan Nagiko dan Kyoka dalam keheningan.

Kedua gadis yang masih di dalam ini sama-sama terdiam, menatap isi gelas teh masing-masing. Nagiko bahkan mencuri pandang ke arah pintu, ingin tahu apa yang dilakukan Kunikida-san dan Atsushi-kun di luar, penasaran juga kalau ada pembicaraan yang mungkin ia perlu tahu juga.

"Anu," gumam Kyoka, mengeluarkan suara duluan. "Kemarin malam, atas perintah Akutagawa pada hari sebelumnya, seseorang dari agensi telah kami tangkap."

Nagiko mengerjap sebelum menyadari arah pembicaraan dengan kaget. "Ap—eh? Siapa?!"

"Aku tidak tahu namanya," aku Kyoka. "Akutagawa hanya memperlihatkan fotonya saja."

Buru-buru Nagiko mengambil ponselnya, membuka galeri untuk mencari foto selfie Dazai-san. Foto tersebut bisa ada di ponselnya karena pemuda itu sendiri yang hobi mengambil swafoto dengan ponsel tersebut, lalu membuat kata sandi untuk menguncinya biar tidak sembarang dihapus. Nagiko bisa meretas ponselnya sendiri dan selalu bisa menghapus foto-foto tersebut, tapi Dazai-san selalu mengambil kesempatan agar bisa menyimpan foto selfie yang baru di ponsel gadis itu. Sebal karena harus selalu repot demi menghapus foto-foto tersebut, Nagiko menyerah dan membiarkan saja foto Dazai-san menetap di gawainya, dan pemuda itu berhenti untuk sering-sering narsis di ponselnya.

Ketika ia sudah menemukan foto swafoto terbaru Dazai-san, ia segera memperlihatkannya pada gadis di hadapannya. "Apakah orang ini?"

Kyoka mengangguk. "Benar."

"Tapi—tunggu, dia bisa melumpuhkan Demon Snow-mu, kan?"

Lagi gadis yang lebih muda itu mengangguk. "Aku mengalihkan perhatiannya, lalu beberapa anggota mafia bersenjata-lah yang menangkapnya."

Nagiko terdiam, rahangnya mengeras, mendadak ia merasa penat sampai ia langsung memijat alisnya.

"… maafkan aku," cicit Kyoka.

"Dimana—kalian membawanya kemana?" tanya Nagiko dengan suara agak serak.

"Aku tidak tahu," aku Kyoka. "Setelah memukulnya sampai pingsan, dia dimasukkan ke dalam mobil besar, sedangkan aku masuk mobil lainnya. Setelah itu, aku tidak tahu lagi."

Jemari Nagiko terasa dingin, jadi ia langsung memegang gelas teh dengan kedua tangannya, berharap menjadi lebih tenang. Mulutnya bergetar, gadis itu sampai harus menggigit bibirnya biar bisa diam.

"Nagiko, ayo pulang duluan—" kata Kunikida-san sambil membuka pintu bilik, tapi perkataannya terhenti, saat melihat keponakan bosnya seperti sedang panik. Buru-buru pemuda itu menghampiri ke samping Nagiko. "Hei, ada apa?" Nagiko masih berusaha mengatur nafasnya sambil memejamkan matanya, jadi Kunikida-san meraih satu tangan gadis itu, mengusap pelan punggung tangannya dengan ibu jari. "Tenanglah, Nagiko, bernafaslah."

Mungkin semenit kemudian, Nagiko baru bisa bernafas dengan normal. Ia menggumam 'maaf' dan 'terima kasih' pada seniornya.

"Baiklah, ayo kembali ke kantor untuk melaporkan semua yang kita ketahui hari ini," ujar Kunikida-san sambil membantu Nagiko berdiri, lalu ia menoleh pada Atsushi-kun. "Selanjutnya tolong diurus, ya."

"Ah, b-baik!" jawab Atsushi-kun.

Kedua senior Si Manusia Harimau itu keluar dari bilik, lalu keluar dari bangunan restoran juga, menuju tempat parkir. Masuk mobil, Nagiko langsung menghempaskan punggungnya ke sandaran jok perlahan sambil memejamkan matanya.

"Nagiko, ada apa di dalam sana tadi?" tanya Si Kacamata sambil menyalakan mesin mobil.

"Dazai-san memang ditangkap Mafia," jawab Nagiko pelan.

"Hah?"

Perlahan Nagiko membuka matanya, menatap seniornya dengan sedih. "Kyoka bilang bahwa Mafia membawa Dazai-san, tapi Kyoka juga tidak tahu Dazai-san dibawa kemana."

Kunikida-san mencengkeram erat setir mobilnya sambil berdecih. "Begitu, ya." Lalu ia menghela berat. "Tapi, sepertinya Dazai tidak bakal tertangkap jika dia tidak membiarkan dirinya tertangkap."

"Eh?" Seingat Nagiko, Ranpo-san sempat mengatakan hal yang serupa.

"Kita tetap akan mencaritahu dan menyelamatkannya kalau dia sedang dalam bahaya, tentu saja," kata Kunikida-san lagi. "Tapi, menjadi partnernya selama dua tahun ini sudah cukup membuatku tahu bahwa dia selalu punya agenda kerjanya sendiri—tidak bakal kasih tahu orang lain tentang rencana pribadi, tahu-tahu memberi hasil. Jadi, mungkin kali ini bakal begitu juga."

Perlahan Nagiko mengangguk. "Begitu, ya…."

Pemuda yang sedang menyetir ini menghela sekali lalu terkekeh halus. "Aku ingat, pertama kali aku melihatmu panik begitu adalah saat kita pertama kali bertemu di perpustakaan umum empat tahun lalu."

Nagiko mengerjap, lalu teringat juga. Empat tahun lalu, gadis itu sedang belajar di perpustakaan umum untuk ujian kelulusan. Nagiko selalu membenci matematika, tapi mau tak mau dia harus belajar agar bisa lulus. Kunikida-san yang sedang mencari buku bank soal matematika untuk dikerjakan murid-muridnya di sekolah tempat dia mengajar, lewat di meja Nagiko. Saat itu Nagiko benar-benar tidak mengerti dengan beberapa rumus—kenapa yang kasus ini pakai rumus A, kenapa yang kiri pakai rumus X—sehingga gadis itu yang sebenarnya juga sudah stress karena tidak bisa terlelap selama beberapa hari jadi bertambah depresi. Melihat itu, Kunikida-san langsung duduk di sampingnya, menanyakan keadaannya, lalu mulai mengajarinya. Beberapa bulan kemudian, keduanya baru bertemu lagi di kantor agensi, saling kaget melihat satu sama lain.

"Aku tidak menyangka, ternyata bagimu, urusan Dazai itu bisa membuatmu sepanik saat belajar matematika," ujar Kunikida-san kemudian.

"Kaum Adam sulit dimengerti, sih," cibir Nagiko.

Pemuda itu mendengus. "Salah, kaum Hawa-lah yang lebih sulit dimengerti."

"Tidak, aku mengerti perasaan kaum Hawa, lho."

"Itu karena kamu bagian dari kaum Hawa."

"Berarti aku tidak salah saat kubilang kaum Adam sulit dipahami, kan? Karena aku bukan kaum Adam?"

"… iya, sih."

"Kunikida-san."

"Ya?"

"Kenapa kita malah ngomongin soal kaum Adam dan Hawa?"

" … kamu duluan yang bawa-bawa soal kaum Adam, Nagi!"

.


.

Bersambung

.


.