Normal POV

Kamado Tanjirou menghela napas, meletakkan pedang kayu di ujung ruangan.

Dari pintu yang terbuka, sore mulai menjelang. Gagak bergerak, mengelilingi langit senja. Pukul lima lewat delapan, ia baru selesai melakukan latihan. Dojo terlihat sepi karena ia hanya sendirian. Tidak ada orang lain karena mereka sudah pulang lebih awal.

Iris merah menatap ke bawah, kedua kakinya masih berdiri dalam keadaan sehat. Rambutnya tampak basah, terlapis oleh keringat. Bibir terengah, napas berhembus karena musim yang berubah. Sebentar lagi, akhir tahun akan tiba.

Lima jam. Tanjirou sudah ada di sana selama lima jam.

Dia berlatih terus-terusan, melatih teknik berpedang dalam jangka waktu yang lama. Napas Matahari masih tersimpan, belum diwariskan dengan benar. Tidak ada yang tahu apa yang ia pikirkan. Selama bertahun-tahun, pewaris untuk pernapasan itu belum kunjung ada.

Tanjirou berencana untuk berhenti menjadi pembasmi.

Kibutsuji Muzan sudah tidak ada, ia tewas dalam perang besar lima tahun silam. Lebih dari setengah tenaga mereka telah hilang, berkorban dalam pertempuran. Namun, entah mengapa, iblis di dunia belum pergi bersamanya. Itu membuat pembasmi iblis yang tersisa harus melakukan kewajiban mereka sebelum menerima perdamaian.

Tanjirou termasuk pembasmi iblis yang berkontribusi dengan baik. Napas Matahari masih tersimpan dengan murni. Napas Air juga ia lakukan sekali-kali. Jika ada waktu, Tomioka Giyuu akan mengajarinya teknik rahasia agar Tanjirou bisa lebih percaya diri.

Bersama dengan teman-teman yang lain, mereka akan melakukan yang terbaik.

Namun, setelah lima tahun berlalu, Tanjirou hendak membuat keputusan baru.

"Aku menghargai keputusanmu, Kamado-san. Tapi, bolehkah aku bertanya?"

Obrolannya dengan Ubuyashiki Kiriya seminggu yang lalu telah menyita pikiran sepanjang waktu.

"Jika kau memutuskan untuk pensiun, apa yang terjadi dengan Pernapasan Matahari?"

Itu pertanyaan yang konyol.

"Saya rasa tidak ada yang perlu dicemaskan, Kiriya-sama. Banyak gaya berpedang baru yang telah lahir. Oleh sebab itu, saya berpikir, Napas Matahari tidak terlalu penting untuk saat ini."

Tanjirou akan memusnahkan Napas Matahari bersamanya, mewariskan teknik tersebut kepada orang lain adalah kesalahan fatal.

Namun, Ubuyashiki Kiriya terlihat menentang. Anak itu menghela napas dengan senyuman.

"Aku tahu aku terlalu ikut campur, tapi maukah kau mendengar permintaanku?"

"Tentu saja, semua untuk anda."

Tanjirou melangkah menuju teras dojo, duduk di sana. Udara musim gugur membuat kulitnya terasa segar. Rambutnya bergerak mengikuti angin yang lewat. Kedua mata berfokus pada matahari yang terbenam. Pikiran melayang-layang, terangkat ke angkasa.

"Jika keputusanmu sudah bulat, kurasa tidak masalah kalau kau ingin berhenti. Namun, apa kau tidak berpikir apa yang akan terjadi di masa depan? Maksudku, semua orang sudah melihatmu sebagai panutan. Kau pahlawan bagi mereka."

"…Jika saya boleh berkomentar, mereka yang sudah mati lebih pantas untuk disebut pahlawan, Kiriya-sama."

Tanjirou tahu, Kiriya tersenyum. Beliau ikut setuju dengan pendapat tersebut.

"Aku mengerti. Lalu, bagaimana dengan Napas Matahari? Kudengar kau belum menemukan pewaris yang cocok."

"…Saya rasa belum."

"Tanjirou."

Pria yang dimaksud tersentak, mendongak. Tsuyuri Kanao telah muncul tanpa diperintah, kebingungan. Gadis itu terlihat lebih cantik setelah dewasa. Haori kupu-kupu tampak cocok untuknya setelah sang kakak tewas dalam pertempuran. Rambutnya semakin panjang, diikat ke samping kanan.

"Kanao."

Kanao tersenyum. Sekarang, ia lebih mudah berekspresi. Semua berkat Tanjirou yang selalu memberinya motivasi. "Malam ini, aku ada misi. Kurasa … tidak ada salahnya kita bertemu sebelum aku pergi."

Suaranya lembut, seperti melodi. Tanjirou melihat semua yang ada di dalam diri Kanao pantas disebut cantik.

"…Bagaimana dengan mencari pendamping?"

"…Maaf?"

"Menikah bukan ide yang buruk, Kamado-san. Melalui pernikahan, kau bisa punya anak dan membuat anakmu menjadi seorang pewaris."

"…."

"Setelah pensiun pun, membangun keluarga juga terdengar tidak buruk."

"Sendirian?"

Kanao duduk di samping Tanjirou, menggeleng. "Inosuke bersamaku."

Tanjirou pun mengangguk. "…Aku mengerti."

"Tapi, semua keputusan ada padamu. Aku hanya—"

"Saya mengerti, Kiriya-sama."

Kanao menatap Tanjirou begitu lama. Iris merah muda bersinar terang di kala senja, raut kecemasan muncul tiba-tiba. "Ada sesuatu yang mengganggumu?"

Tanjirou tersenyum, menoleh pada perempuan itu. "Terlihat jelas, ya?"

"Tidak biasanya. Ada apa?"

"Terima kasih atas sarannya, Kiriya-sama. Akan saya pikirkan kembali."

Tanjirou terkekeh. "Banyak yang terjadi selama lima tahun ini. Kurasa … sudah saatnya aku berhenti."

"…Aku belum mengerti."

"Berhenti menjadi pemburu iblis."

Kanao terdiam, sebentar. Kedua mata mengerjap-ngerjap. "…Kenapa?"

Tanjirou mengangkat kedua bahu. "Dalam lima tahun, keadaan kita mulai stabil. Banyak talenta-talenta baru telah lahir. Mereka pun sudah punya bakat tersendiri. Napas baru juga mulai berkembang—"

"Apa yang kau bicarakan?" Kanao menyela, mengerutkan alisnya. "Apa maksudmu … kau mulai merasa tidak dibutuhkan?"

Tanjirou menatapnya. "Bukan begitu."

"Lalu?"

"Aku ingin memulai sesuatu yang baru."

Sesuatu yang baru. Semua hal yang baru. Kehidupan yang baru. Perasaan yang baru.

Tanjirou menunduk, menatap tanah. Kepalanya berpikir keras. Hatinya bergejolak. Bibirnya lelah untuk bicara. Paru-parunya tercekat. Jantungnya diremas. Ekspresinya berubah-ubah; dari tenang, sedih, ragu, kecewa, dan kembali tenang.

"Tanjirou—"

"Kanao."

Matahari mulai terbenam sepenuhnya. Mereka bertatapan. Udara mengencang di sekitar dojo dengan atap berwarna cokelat. Pepohonan bergemerisik keras.

Iris merah muda perlahan melebar, tampak kaku kala mendengar bisikan dari pria yang membuatnya jatuh cinta.

"Menikahlah denganku."

.

.

.

AUTUMN DESIRE

Kimetsu no Yaiba by Koyoharu Gotouge

Autumn Desire by stillewolfie

Tanjirou K. & Nezuko K.

OOC, alternate reality, typos, ringan, etc.

mature rating for smut and safe

(warning: incest, modified)

.

.

.

"Aku telah menerima banyak hadiah semasa aku hidup. Namun, aku sangat bersyukur kepada orang tua kita yang telah memberikan hadiah yang paling penting dan berharga, yaitu kamu." — unknown.

.

.

.

Kamado Nezuko terduduk di sebuah ruangan. Kedua tangan tampak telaten menjahit kimono putih yang sudah kusam.

Perang telah berlalu lima tahun silam. Perempuan itu juga sudah kembali menjadi manusia sejak lima tahun sebelumnya. Rambutnya semakin panjang, diikat sederhana di belakang kepala. Kedua mata sudah berubah normal, dari merah pucat hingga merah sempurna.

Dari sisi mana pun, Nezuko memang selalu sempurna.

Gemerisik pohon pada musim gugur adalah lagu yang indah. Pintu sengaja terbuka, angin dingin juga masuk dari sana. Oleh sebab itu, ia bisa melanjutkan jahitan dengan benar. Dia tidak berbicara saat hari baru telah tiba, mengabaikan keberadaan Agatsuma Zenitsu yang selalu bersemangat. Ekspresinya luar biasa tenang, tapi hati serta pikiran tampak berkecamuk bagaikan ombak.

Nezuko terlihat tidak baik-baik saja.

Ketika pikiran kembali bergerak, kedua tangan lantas berhenti begitu saja. Iris merahnya tampak redup, mengingat-ingat kejadian dua hari yang lalu.

"Nezuko-chan~! Selamat, sebentar lagi kau akan punya ipar~!"

Suatu malam, Nezuko tidak sengaja bertemu dengan Agatsuma Zenitsu yang baru saja keluar dari bar tengah kota. Lelaki itu tampak mabuk dengan ekspresi konyol tak terhingga. Dari bawah sampai ke atas, aroma wanita menguar dan itu membuat Nezuko mengernyit tidak suka.

"Zenitsu-san, sadarlah! Jangan pingsan di sini!"

"Oh, Nezuko-chan! Sebentar lagi Tanjirou akan menikah dan itu membuatku bahagiaaa~!"

Perkataan Zenitsu membuat Nezuko—pada malam itu—terheran setengah mati. Dia belum paham dengan apa yang Zenitsu maksud di sini. Dia sama sekali tidak mengerti.

"…Apa maksudmu?"

"Huh, Nezuko-chan tidak tahu? Tanjirou sialaaann, bagaimana bisa kau tidak diberitahu kalau dia akan menikah! Kau 'kan adiknya! Nezuko-chan adik kesayangan kita semuaa—"

"…Zenitsu-san, aku serius."

Sesaat, Nezuko benar-benar serius.

"Tanjirou akan menikah dengan Kanao-chan, aku mendengarnya saat mampir ke Kediaman Kupu-Kupu—!"

Nezuko mengerti dalam sekali tangkap. Setelah itu, ia langsung pergi dari sana, meninggalkan Zenitsu yang sudah pingsan di pinggir jalan.

Dan itu adalah alasan mengapa Nezuko tidak bertemu dengan Tanjirou selama dua hari berturut-turut.

Setelah larut oleh masa lalu, Nezuko melanjutkan jahitan pada kimono putih itu. Dia menjahit dengan ekstra hati-hati. Pelan-pelan, perlahan, ditarik, dan digunting. Selalu begitu, berulang-ulang. Entah sudah berapa lama, ia terlanjur nyaman dengan keheningan yang ada.

— hingga ia menyadari sesuatu.

Sejak berubah menjadi iblis, Nezuko menyadari ada yang berubah dalam diri; pendengaran, penglihatan, dan penciumannya semakin tajam. Meski tidak sehebat Tanjirou, tidak setajam Zenitsu, tidak sepeka Inosuke, dan tidak sehebat Kanao. Namun, ia tahu, ia mulai berubah dan ia harus terbiasa dengan itu.

Nezuko dapat mendengar suara dari luar. Sebuah langkah kaki, terburu-buru. Setengah berlari, menaiki gunung hingga sampai di depan pintu. Tangan berhenti menjahit. Kepala mendongak dan memandangi dinding ruangan, melamun sejenak demi kesiapan mental.

"Nezuko!"

Kemudian, yang dimaksud menoleh.

Kamado Tanjirou telah sampai di depan pintu, napas terengah. Dia seperti diterjang angin topan, kakinya sedikit kotor karena terkena cipratan tanah.

"Onii-chan, selamat pagi."

"Apa yang kau lakukan di sini? Aku mencarimu ke mana-mana dan kau pergi tanpa meninggalkan pesan!"

Tanjirou meneriaki Nezuko seolah tidak ada hari esok. Tidak bermaksud marah, hanya ada kecemasan dari nada suara. Namun, Nezuko menangkap kecemasan tersebut dengan hati yang terluka.

Kakaknya itu baru saja meneriakinya.

"Aku hanya rindu rumah, makanya aku ke sini."

Tanjirou hendak membuka mulut, tapi suara tidak kunjung keluar. Kemudian, mulutnya ditutup kembali. Diganti dengan hela napas, ia menunduk tak percaya. "…Harusnya kau memberitahuku."

Nezuko terkekeh. "Bagaimana kau tahu kalau kau saja hampir tidak pernah pulang, Onii-chan?"

Dunia mendadak hening.

"Rumah itu memang sangat besar, tapi terlalu besar karena aku selalu sendirian."

Nezuko membicarakan rumah baru mereka.

Sebagai bentuk terima kasih, Ubuyashiki Kiriya memberikan rumah baru di kota dengan akses yang mumpuni. Ditambah lagi, sebagai bentuk motivasi, dojo pun dibangun agar Tanjirou bisa melatih bibit-bibit muda yang siap menjadi pembasmi. Pilar Matahari selalu menjadi destinasi favorit, karena selain baik, ajaran Tanjirou sangat mudah dimengerti oleh mereka yang baru saja lulus dari ujian pembasmi iblis.

Kamado Bersaudara menghargai hadiah-hadiah tersebut dan memutuskan untuk pindah, meninggalkan rumah kecil di atas gunung yang menjadi saksi dari hangatnya sebuah keluarga.

"Maafkan aku."

Nezuko mengambil gunting, memotong ujung benang. "Untuk apa?"

"Meninggalkanmu sendirian."

"Itu saja?"

Tanjirou terdiam, menatap Nezuko yang masih menjahit kimono lusuh yang entah punya siapa. Alis merah mengernyit heran, hendak masuk ke dalam ruangan. "Nezuko, aku—"

"Ada yang perlu kau sampaikan padaku?"

"…."

"Onii-chan mencariku sampai kakinya kotor. Apa berita ini sangat penting sampai kau mencari keberadaanku selama dua hari?"

Tanjirou menatap Nezuko, nanar. Nezuko menatap Tanjirou, lama. Kimono terlepas dari kedua tangan, terhempas dan menyentuh tatami hijau yang hampir rusak. Gadis itu menghembuskan napas, bergabung dengan udara. "…Kakakku akan menikah tapi aku mendengarnya dari mulut orang lain. Lucu sekali."

Tanjirou menyipitkan mata, alis mengerut dalam. "Ya, itu kesalahanku. Aku minta maaf."

Nezuko terdiam, melamun sejenak. Dia membiarkan Tanjirou masuk lebih dalam, duduk bersimpuh di hadapannya. Mereka berhadapan tanpa jarak, saling menatap. Tidak ada yang tahu isi dari otak keduanya. Nezuko menatap kakaknya itu dengan ekspresi kecewa. Tanjirou terduduk dengan penyesalan tanpa batas.

"Kanao-san … adalah perempuan yang baik."

Tanjirou mengerjap, kebahagiaan palsu terukir di sana. "Aku tahu."

"Dia anggun dan kuat. Bahkan saat aku tidak ada, dia ada di sana. Bersamamu."

"Aku tahu, Nezuko."

"Kibutsuji Muzan hampir mengubah Onii-chan menjadi iblis. Tapi dengan berani, dia lompat ke medan pertempuran agar bisa menyelamatkanmu."

"…Kau benar."

"Kanao-san sangat beruntung." Nezuko mengulas senyum kecil. "Di sisi lain, aku merasa diriku sangat sial."

Tanjirou seketika sulit untuk membalas.

Gemerisik udara di musim gugur menjadi melodi menenangkan, sekaligus alasan untuk mencairkan ketegangan di antara mereka. Tidak ada yang tahu maksud dari perkataan Nezuko yang terkesan lembut dan percaya. Namun, entah mengapa, Tanjirou tahu ada sesuatu yang berbeda.

"Berbahagialah, Onii-chan."

Tanjirou masih enggan untuk bersuara, menatap lama pada adiknya yang tersenyum lepas. Tak lama, kedua tangan Nezuko menggenggam kedua tangan miliknya. Bertautan. Erat. Sulit untuk dipisah. Seolah tidak mau dilepaskan.

Nezuko ingin tangan itu hanya untuknya. Namun, ia tidak bisa.

"Onii-chan berhak menentukan pilihan hidupnya. Apa pun yang terjadi, aku harus mendukungmu. Bukankah seharusnya begitu…?"

Tanjirou tertunduk, menatap lamat pada tubuh Nezuko yang mulai bergetar pilu. Suaranya mulai redup, sesak karena tangisan mulai jatuh. "Aku ingin kau bahagia. Aku tahu kita tidak pernah bisa bersama—"

Perkataan itu tidak bisa dilanjutkan karena tubuh Nezuko telah dipeluk begitu erat.

Tanjirou memeluknya sampai tubuh mereka saling bersentuhan.

Nezuko terdiam, menghirup aroma tubuh sang kakak lamat-lamat. Dada bidang itu ia tindih begitu dalam, seolah Tanjirou adalah penopang satu-satunya. Tangan besar yang selalu terluka telah melingkar di pinggang kecilnya. Bahu Tanjirou terlihat kuat hingga Nezuko tampak sulit melihat dunia.

"Onii-chan—"

"Apa kau percaya kalau selama ini aku selalu mencintaimu?"

Nezuko terdiam, mematung seperti terserang ombak besar. Mata melebar hingga tangisan keluar membasahi pipinya. Alisnya mengernyit keras. Kemudian, ia menggeleng kuat. "Hentikan—"

"Aku mencintaimu. Selalu."

Pertahanan Nezuko seketika lepas. Tubuhnya lemas. Tolong jangan katakan—

"Aku mencintaimu dan aku minta maaf karena sudah menjadi pengecut."

Tanjirou menghirup aroma mawar yang menguar dari tubuh adiknya itu. Sangat menenangkan. Memabukkan. Luar biasa. Begitu indah dan menyejukkan. Ini adalah Kamado Nezuko, adiknya yang cantik dan kuat. Satu-satunya tujuan hidupnya. Satu-satunya alasan mengapa ia ingin berhenti dan menjalani kehidupan baru di luar sana.

"Selama lima tahun ini, aku selalu berpikir."

"…."

"Aku selalu berpikir apa yang akan terjadi di masa depan. Apa yang kurasakan saat melihatmu menjadi manusia kembali. Apa yang akan kulakukan setelah dunia ini kembali damai. Lalu, langkah demi langkah yang akan kita lakukan selanjutnya."

Nezuko menutup kedua mata. Tanjirou mengulas senyuman.

"Kau tumbuh menjadi perempuan yang cantik. Adikku yang dulunya kecil dan menggemaskan, yang selalu menggenggam tanganku dan tidak mau terlepas, telah tumbuh menjadi seorang wanita. Karena perubahan itu, kau tahu apa yang selalu membuatku cemas?"

"...Nii-chan—"

"Suatu saat nanti, kau akan berkencan, menikah, lalu melahirkan seorang anak dan hidup berkeluarga. Aku takut kau akan pergi, meninggalkanku sendirian."

Dalam pelukan, Nezuko menggelengkan kepalanya. Dia tidak mau itu terjadi.

"Jadi, aku mengambil keputusan."

Pelukan mereka semakin erat. Namun, Nezuko merasa aman. Dia menemukan tubuh sang kakak bergetar, menahan kecewa. Kimono putih tergeletak di samping kanan, menjadi saksi bisu akan sebuah dosa.

"Aku akan berhenti menjadi pemburu iblis, meninggalkan tempat ini, dan menculikmu agar bisa memilikimu secara utuh—"

Tanjirou mengeratkan pelukan, meletakkan dagu pada bahu kecil milik adiknya.

"—tapi rasanya sulit, sangat sulit."

Nezuko menumpu kepala pada bahu. Tanjirou semakin sulit untuk kabur. Pria itu merasa kedua matanya panas, menahan tangisan. Namun, ia tidak mampu untuk terisak. Dadanya sesak dan ia membutuhkan Nezuko sekarang.

Tanjirou terjepit, tersesat dalam jalan buntu. Dia tidak tahu destinasi mana yang akan ia tuju.

Aku ingin bahagia. Aku ingin hidup bersamanya. Adikku. Kesayanganku—

Tanjirou ingin egois. Dia ingin membawa Nezuko pergi dan berhenti menjadi pemburu iblis. Dia ingin membawa adiknya itu ke tempat yang jauh, ke tempat di mana mereka tidak akan ditemukan oleh siapa pun.

Namun, ia tidak mampu untuk meninggalkan tanggung jawab sebagai seorang pilar dan melindungi umat manusia. Dia tidak boleh bertindak gegabah hanya karena cinta yang menyesatkan. Nezuko adalah satu-satunya keluarga yang tidak boleh ikut dalam kehidupannya sebagai seorang pendosa.

Tanjirou ingin tenggelam sendirian, tersesat dalam kegelapan. Bodohnya, ia tidak bisa.

— ia tidak ingin pergi dan membiarkan sang adik bahagia bersama orang lain.

Nezuko pun terdiam, sulit untuk berbisik. Dia ingin menyebut nama kakaknya berkali-kali, tapi kesan kejut masih muncul bagaikan serpih. Padahal, ia ingin momen ini selalu ada hingga memohon agar waktu segera berhenti.

"Aku mencintaimu. Kumohon, maafkan aku."

Tanjirou mengucapkan kalimat yang sama, berulang-ulang. Nezuko pun menerima dengan tangan terbuka, membalas pelukan.

"...Tapi kau akan menikah."

Setelah sekian lama, Nezuko membalas. Terdengar serak dan sesak. Enggan untuk melanjutkan. "…Tanjirou-nii akan menikah dengan Kanao-san, bukan aku."

Tanjirou merasa bahunya basah, tangisan dimulai dari sana. Bibir sulit untuk membantah, karena itu adalah fakta. "…Nezuko—"

"Aku tahu pernikahanmu dari orang lain. Di saat yang sama, kau bilang kau juga mencintaiku. Kau membuatku hancur, tapi kau juga yang membuatku bahagia. Aku tidak tahu harus bagaimana—"

"….."

"Kenapa…?"

Nezuko mencengkram haori hijau-hitam milik Tanjirou, kuat dan penuh emosi. Kedua iris merah milik sang ibu perlahan menyipit, air mata kembali merembes tanpa henti. Wajahnya memucat, merasa sakit. "Aku tidak mau, aku tidak mau, jangan pergi—"

"Aku tidak akan pergi—"

"TAPI KAU AKAN PERGI!"

Tanjirou pun menggelengkan kepala begitu kuat, masih enggan untuk melepaskan. Pelukan semakin erat, menenangkan sang adik yang mulai terisak. Nezuko pun memberontak, ingin lepas dari kurungan sang kakak.

"Aku melakukan ini demi kebaikan kita—"

"Kau melakukannya demi harga dirimu! Kau sama sekali tidak memikirkan perasaanku!"

"Aku memikirkan masa depanmu! Masa depan keluarga kita!"

"OMONG KOSONG! Aku juga mencintaimu dan kau tahu itu!"

Pelukan mereka akhirnya terlepas. Tanjirou termundur ke belakang, Nezuko hendak berdiri dan lari dari sana. Namun, Tanjirou lebih cepat; menjadi pemburu iblis selama bertahun-tahun membuat tubuhnya punya refleks yang hebat. Tangan terangkat, menangkap tubuh sang adik hingga ia terjatuh di atas tatami yang rusak. Matanya sembab dan merah. Pipinya basah karena keringat dan air mata. Jepit rambut pun terlepas hingga helai terhempas indah.

Nezuko terdiam, terpana saat Tanjirou mengunci tubuhnya dari atas.

Tanjirou menatap Nezuko nanar, menggigit bibir bawahnya. Nezuko menahan napas, terlena dengan mata merah yang semakin merah karena kecewa.

"Onii-chan membuatku bahagia, aku senang karena kau mencintaiku juga. Tapi, kenapa…?"

Dahi mereka bersentuhan, napas saling terasa. "Dari sisi mana pun, ini salah, Nezuko. Aku tidak bisa—"

Tanjirou sulit untuk melanjutkan, bibirnya terlanjur dikunci oleh sebuah ciuman.

Bibir Nezuko itu manis. Manisnya berbeda. Manis yang membuat candu. Seperti alkohol dan membuat Tanjirou ingin gila. Penciumannya berfungsi normal, terusik oleh aroma mawar, mencekik dari dalam. Tanjirou mengerang, membalas ciuman tersebut hingga terbawa nafsu yang liar.

Tanjirou juga perlahan hancur karena menyesal. Ada penyesalan karena terlanjur menimang Tsuyuri Kanao menjadi pasangan. Dia ingin mengorbankan perasaan perempuan itu agar dosanya tertutup rapat. Perbuatan yang menjijikkan, tapi ia bisa apa?

Tanjirou selalu, selalu, dan selalu ingin memeluk Nezuko, membanting tubuhnya ke tempat tidur, menciuminya tanpa ampun, dan menghabiskan setiap malam bersamanya tanpa diketahui oleh siapa pun.

Tanjirou menginginkan Nezuko. Seluruh dirinya. Segala tentangnya. Semuanya.

Nezuko mengerang saat ciuman terlepas. Tanjirou membiarkan ludah menjuntai dari ujung bibir mereka, erotis dan terkesan jahat. Napas beradu kuat. Dua pasang mata tampak berkabut oleh hasrat. Hati berdentum-dentum keras. Keringat mulai membasahi badan.

Tanjirou mengerutkan alis, menatap lama pada Nezuko yang mengalungkan tangan pada lehernya.

"Kimono putih itu … milik Okaa-san."

Pikiran kotor seketika menghilang, digantikan stabilitas berupa sikap rasional. Seketika, Tanjirou terdiam. Bayangan sang ibu mendadak muncul, tersemat dalam bayang-bayang. Nezuko seketika paham, tapi masih menuntun jari-jarinya melepas haori milik sang kakak.

"Aku menemukannya di kamar utama, agak kotor tapi masih tersimpan baik—" Gadis itu tersenyum kecil. "Akan kupakai saat aku menikah … dengan orang yang kucintai."

Tanjirou melebarkan mata, mengabaikan rasa aneh mulai muncul di dalam dada. Nezuko memajukan kepala, menciumi pipinya. "Menurutmu, apa aku akan cantik saat memakainya…?"

Nezuko membuat Tanjirou tenggelam bersama ciumannya. Gadis itu sengaja bersikap menggoda, melakukan hal-hal nakal yang bisa membuat semua pria terangsang. Tindakan tersebut membuat jantung Tanjirou terpacu; memicu gairahnya, menghancurkan pertahanannya.

Geraman terlepas. Napas berat menjadi pembuktian. Nezuko mengukir senyuman, Tanjirou dalam hati menyumpah.

"Kau—" Nezuko menutup mata saat Tanjirou mengecup dahinya. "—selalu cantik dengan apapun."

Perkataan itu membuat Nezuko merasa terbang sampai ke inti bumi.

Setelah dahi, Tanjirou menciumi pipi hingga turun ke pundak Nezuko. Gadis itu melenguh, mendesah lesu. Yukata mulai turun, menampilkan bahunya yang bersih tanpa luntur. Kakaknya tampak lembut dan nafsu sekaligus. Terlihat dominan dalam sekali sentuh.

"Aku ingin—" Napas Nezuko tertahan, bibir terbuka tanpa suara. "Ba—talkan…"

Ciuman pada pundak terhenti. Tanjirou mendongak, menatap lamat pada Nezuko yang terengah dengan pipi merona.

"Onii-chan harus membatalkan pernikahan itu," Nezuko berkata dengan penuh percaya diri.

Dalam kegelapan, kedua mata Tanjirou menyipit. Keringat turun dari dahi, terjatuh pada kulit Nezuko yang putih. Nezuko kembali menuntun sang kakak agar mendekat, hendak berbisik.

"Lepaskan Kanao-san dan bawa aku bersamamu."

Itu adalah permintaan terakhir sebelum semua pakaian mereka terlepas dan terlupakan di lantai yang dingin.

.

.

.

ended

.

.

.

A/N: sudah sangat lama sejak saya terakhir menulis, dan saya mengawali tahun 2023 dengan incest. hahaha, ketahuan pikiran saya emang kotor banget.

mind to review?