Paman Yukichi mendapat kiriman sushi dari kerabatnya di kepolisian, jadi Si Presdir mengajak keponakannya makan bersama di ruangannya serta minum teh. Nagiko memasukkan sushi salmon ke dalam mulutnya dengan bahagia, ia memang sudah kepikiran ingin makan salmon beberapa hari ini tapi belum kesampaian.
"Hn, kamu dan ibumu sama-sama suka salmon," ujar Paman Yukichi sambil tersenyum. "Kalau ada banyak macam sushi seperti ini, dia pasti akan langsung mengambil yang salmon sebelum keduluan yang lain."
Nagiko menyengir bangga. "Makanya dulu kalau ke restoran sushi, kami pesan salmonnya masing-masing satu porsi, biar tidak berantem!"
Pamannya terkekeh, kemudian menunjuk Salmon Nigiri yang lain dengan dagunya. "Makanlah."
Gadis itu menggeleng, lalu mengambil Tamago Sushi. "Untuk Paman saja, aku juga ingin coba yang lain."
Pak Presdir mengangguk dan mencicipi Salmon Nigiri yang satu. "Nagiko."
"Hmm?" respon yang dipanggil sambil mengeker sushi mana yang ingin ia makan selanjutnya.
"Yosano sensei bilang, kemarin pagi kamu dan Dazai tidur di ranjang rawat."
Nagiko mengerjap, lalu teringat. "Aaah, iya. Jadi dua hari yang lalu, setelah kedatangan The Guild, Dazai-san pulangnya ke apartemenku. Kubilang aku tidak mau tidur malam itu, jadi dia ngambek pagi harinya saat ikut aku ke kantor pagi-pagi. Sepertinya, karena aku tidak tidur, dia juga tidak tidur semalaman. Karena kasihan, jadi aku menariknya ke ruang kesehatan untuk tidur sama-sama, mumpung masih belum ada yang datang."
Paman Yukichi melipat kedua tangannya di depan dada. " … tidakkah kau pikir belakangan ini Dazai terlalu menempel padamu?"
Gadis itu memiringkan kepalanya. "Hah, iya?"
"Pokoknya kalau dia terlalu macam-macam, hajar saja."
"Tenang saja, aku hampir selalu menendangnya tiap dia datang ke apartemenku."
Pria paruh baya itu mengangguk pelan, lalu melanjutkan makan dan minum teh mereka. Usai itu, Nagiko membereskan meja tamu, sedangkan pamannya kembali ke meja kerja. Sebelum keluar dari ruang Presdir, pemilik ruangan itu minta agar sekalian dipanggilkan Atsushi-kun. Nagiko mengangguk, keluar dari ruangan dan memanggil pemuda itu untuk gantian masuk ruang Presdir.
Nagiko membuang sampah dan mencuci tangan di dapur, setelahnya kembali ke ruang kantor dan duduk di kursinya. Ranpo-san sedang asyik mengemut lolipop sambil membuka-buka lembaran koran dengan malas. Gadis itu bisa menebak pasti tidak ada hal menarik bagi Si Detektif Terhebat di koran hari ini.
Tidak lama kemudian, Atsushi-kun keluar dari ruang Presdir dengan membawa sebuah amplop, ia menghampiri Kyoka yang tampak menunggunya. Pemuda itu memamerkan amplop tersebut pada Kyoka sambil tersenyum, kemudian mata gadis kecil itu berbinar-binar, dan keduanya keluar dari ruang kantor.
"Aaaahh, apa tidak ada kasus seru yang perlu kutanganiii?" keluh Ranpo-san. "Dua anak baru itu saja sudah dapat kerjaan, aku masih kebosanan disiniii…."
"Yah, mungkin karena semua kasus berat sudah terlanjur dipecahkan cepat oleh Ranpo-san, sehingga saat ini sedang tidak ada lagi?" ujar Nagiko.
Yang lebih tua itu menoleh padanya. "Nagi, lagi ada kerjaan, gak?"
"Hmm, tidak ada yang mendesak, sih, paling aku hanya ingin cari informasi lebih lanjut tentang The Guild."
"Alah, mana bisa dapet dari internet?"
Nagiko tersenyum. "Aku tahu. Tapi, kadang ada detil yang sebenarnya berhubungan dengan mereka yang bisa jadi terlewat di laporan resmi."
"Hmmm …," Sekarang Si Detektif malah memutar-mutar kursinya.
"Kalau aku lagi tidak ada kerjaan, memangnya kenapa?" tanya Nagiko kemudian.
Ranpo-san langsung menghentikan putaran di kursinya, matanya jadi berbinar menatap gadis di sebelahnya. "Ada permen rasa baru yang ingin kucoba!"
Nagiko langsung mengernyit. "Tapi aku kan, tidak bisa keluar sendiri saat ini?"
"Tentu saja perginya bareng aku!" sahut Ranpo-san riang. "Stok cemilan di lokerku sudah menipis, jadi aku butuh tanganmu untuk membantuku membawa kantong belanjaan!"
Gadis itu menyengir. "Kalau aku dapat jatah jajanan, aku mau temani."
.
.
Disclaimer: Bungou Stray Dogs adalah ciptaan Asagiri Kafka dan Harukawa Sango, The Pillow Book adalah karya Sei Shonagon, 'Kiyohara Nagiko' dipercaya sebagai salah satu kemungkinan nama asli dari Sei Shonagon, Author tidak mengambil keuntungan.
Warning: Agak slow burn, Dazai x OC, alur canon (manga, anime, novel), sebisa mungkin tidak mary-sue.
.
.
Osamu Dazai and His Sun
by Fei Mei
.
Chapter 10
.
.
Ranpo-san sedang asyik memaksa gadis yang duduk di sebelahnya untuk ikut mencicipi permen yang baru mereka beli. Nagiko suka makanan manis, tapi bukan berarti ia menganggap permen adalah makanan pokok, seperti yang sudah menjadi salah satu prinsip hidup Ranpo-san.
"Nagiko sudah manis, gak usah makan banyak permen lagi," goda Dazai-san, membuat yang namanya disebut memutar bola matanya.
"Aku sendiri dari dulu udah manis tapi selalu ingin makan yang manis, tuh," timpal Ranpo-san. "Lagipula, makan makanan manis bisa membuatmu lebih fokus." Lalu ia kembali menyodorkan permennya pada gadis itu.
Nagiko menggeleng pada seniornya sambil tersenyum. "Aku memang sedang kurang mau permen, Ranpo-san. Lagian tadi aku sendiri juga sudah beli kue, kan?"
Ranpo-san cemberut. "Yaudah, makan, gih, kuenya."
Lalu gadis itu menyengir. "Biar kalau ketahuan paman, bisa ditegur sama-sama, ya?" Dan Si Detektif Terhebat balas menyengir lebar.
"Nagiiii, suapin aku kue, dooong!" rengek Dazai-san.
Belum Nagiko bereaksi, Kunikida-san malah lebih dulu menempeleng kepala partnernya. "Laporanmu yang tentang ditangkap Mafia, mana woi!"
Dazai-san pura-pura bingung. "Bukannya sudah dibuat Atsushi?"
Si Kacamata berkacak pinggang. "Itu tugas bagianmu, bukan bocah itu!"
Nagiko terkekeh melihat Dazai-san kembali merengek sambil memeluk pinggang partnernya. Kekehan itu terhenti ketika ia melihat notifikasi dengan lambang segitiga dan tanda seru di dalamnya pada layar komputernya. Ia mengernyit sambil memeriksa isi notifikasi itu, lalu segera memanggil Kunikida-san setelah memastikan isinya.
"Ada panggilan masuk di ponsel Kyoka barusan," lapor Nagiko, memperlihatkan notifikasi itu pada Si Kacamata yang telah menghampirinya. "Bukankah dia sedang bersama Atsushi-kun?"
Kunikida-san mengangguk. "Mereka ada misi ringan hari ini. Dimana posisi ponselnya sekarang?" Gadis itu memeriksa komputernya sebentar sampai ia menemukan koordinat dan memperlihatkannya pada pemuda itu. "Tidak jauh, baiklah." Ia melihat sekeliling sebentar sebelum menemukan Kenji-kun di jarak pandangnya. "Kenji, ikut aku keluar!"
Anak itu menyahut 'oke!' sebelum bangkit dan berlari kecil menghampiri seniornya, lalu mereka berdua keluar dari ruang kantor.
Nagiko kembali dengan komputernya, berusaha mencaritahu sinyal asal panggilan masuk ke ponsel Kyoka. Memang sejak Paman Yukichi membiarkan gadis kecil itu untuk berada di Agensi Detektif Bersenjata, Kunikida-san meminta Nagiko untuk memberi sensor sinyal pada ponsel Kyoka jaga-jaga kalau ada yang menghubungi ponsel itu. Bagaimana pun, kemampuan anak itu bisa dikendalikan orang lain lewat menghubungi ponsel tersebut, jadi agensi akan berusaha untuk meminimalisir korban dan kerusakan, termasuk mengawasi pemilik kemampuan itu sendiri.
"Sudah ketemu siapa yang telepon?" tanya Ranpo-san yang kini mengemut lollipop. Nagiko menggeleng sebagai jawaban. "Hmm, minta Yosano-sensei siapin ranjang rawat, gih."
Gadis itu pun menoleh. "Eh?"
"Demon Snow kan, kuat. Walau kekuatan Kenji dahsyat, levelnya tetap beda dengan kekuatan Demon Snow," ujar Ranpo-san.
"Lagipula," timpal Dazai-san. "Ada seseorang yang menelepon ke ponsel Kyoka, kan? Berarti yang harus dihadapi Atsushi-kun saat ini adalah yang menelepon itu, kemungkinan besar Mafia, kan? Kemampuan khususnya Port Mafia itu kuat-kuat, lho."
Ranpo-san mengangguk. "Iya, itu."
Jadi Nagiko mengangguk kecil dan bangkit dari kursinya, menuju ruang kesehatan.
Kak Akiko sedang asyik membaca buku di mejanya begitu Nagiko masuk ruangan itu. Kadang, kalau sedang tidak mengurus suatu misi besar yang ditugaskan padanya, dokter wanita akan menyendiri di ruang kesehatan. Itu bukan ruang pribadi miliknya, sebenarnya, tapi dia adalah satu-satunya tenaga medis di agensi dan ruangan itu adalah ruang kesehatan, makanya jadi terasa itu adalah ruangan miliknya—dan semua pun menganggap demikian.
"Aki-nee," panggil Nagiko yang sudah masuk ruangan. Ia sudah mengetuk pintu dua kali, sebenarnya, tapi baik Nagiko dan Kak Akiko sama-sama sulit mendengar ketukan pintu kalau sudah terlarut dalam sebuah buku. Makanya, dokter itu mungkin tidak mendengarnya saat Nagiko masih di luar, sekarang jadi agak terkaget mendengar suara keponakan bosnya di dalam.
"Ah, Nagiko? Ada apa?" tanya Kak Akiko sambil menoleh dan tersenyum.
"Ranpo-san bilang agar Aki-nee menyiapkan ranjang rawat," ujar Nagiko. "Atsushi-kun sedang keluar misi dengan Kyoka, lalu aku mendapat notifikasi adanya panggilan masuk di ponsel Kyoka, habis itu Kunikida-san keluar dengan Kenji-kun."
Kak Akiko tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya menghela. "Ya ampuuun, Ranpo-san mikirnya negatif banget… Ah, ya sudah, lah." Dokter wanita itu bangkit dari kursi dan menggaruk tengkuk lehernya. "Berapa tadi? Oh, kemungkinan empat pasien, ya? Berarti salah satu akan langsung masuk ruang operasi saja. Nagiko, bantu rapikan ranjang yang di ujung, ya, aku akan mulai siapkan dari ruang operasi dulu."
Nagiko mengangguk dan menurut. Tidak ada posisi suster di agensi, hanya ada seorang dokter saja, tapi semua orang disini diharapkan untuk bisa menjadi asisten bagi Kak Akiko. Kebetulan yang paling sering menjadi asisten adalah Nagiko, karena gadis itulah yang biasanya menghampiri Si Dokter untuk memberitahu agar menyiapkan ranjang rawat—dan biasanya juga itu karena usul Ranpo-san, sih. Jadi, mungkin di antara semua pekerja di ADB selain Kak Akiko, Nagiko-lah yang paling tahu letak perlengkapan ini-itu di ruang kesehatan, termasuk sabuk pengikat agar pasien Kak Akiko tidak kabur.
Ketika sudah selesai dengan ranjang rawat kedua dan bersiap mengurus yang terakhir, Kak Akiko keluar dari ruang operasi, ikut memasang sabuk pengikat di ranjang terakhir dengan Nagiko. Saat selesai, mereka duduk di belakang meja kerja dokter.
"Nagiko, saat pasien datang, ingat yang perlu kau lakukan, kan?" tanya Kak Akiko sambil menyengir lebar.
Yang ditanyai mengangguk sambil tersenyum kecil. "Membantu Aki-nee mengikat mereka erat-erat, lalu memastikan agar mereka tidak kabur dari sini saat Kakak sedang melakukan operasi di dalam."
Kak Akiko mengangguk mantap dan tersenyum lebar. "Aaaah, aku tidak sabar mendengar teriakan mereka! Terutama Kunikida! Sudah lama sekali aku tidak mendengar teriakannya!" Mau tak mau Nagiko terkekeh gugup. Lalu, sesaat kemudian, wajah Si Dokter tidak sekejam itu lagi, ia menatap lurus gadis yang bersamanya. "Nagiko, kemarin pagi kamu tidur sama Dazai disini, ya?"
Nagiko mengerjap sebentar, lalu mengangguk, menceritakan hal yang sama dengan yang ia ceritakan pada Paman Yukichi sebelumnya. "Kakak ada ngadu ke Paman, ya?"
"Aku bukan mau ngadu, sebenarnya," kata Kak Akiko tampak tak nyaman. "Kemarin pagi itu, aku masuk kesini, lalu melihat kalian berdua pulas sekali. Kalau itu bukan kamu, kalau aku tidak tahu soal The Pillow Book, mungkin aku sudah langsung membangunkan kalian. Jadi aku keluar lagi diam-diam. Terus berpapasan dengan Pak Fukuzawa yang menanyakan kenapa aku tidak jadi masuk kesini. Jadi kujawab jujur saja—lagian aku harus jawab apa lagi?"
"Ah, begitu," gumam Nagiko sambil mengangguk.
Kak Akiko masih menatap intens gadis yang lebih muda itu. "Nagiko, kayaknya belakangan ini Dazai makin nempel ke kamu, ya?"
Mau tak mau keponakan bos ADB itu terkekeh. "Paman juga bilang begitu tadi."
Si Dokter melipat tangan di depan dada dengan serius. "Nagi, belakangan ini, Dazai sering datang kesini untuk minta obat salep untuk bekas tonjokan dan tamparan, lho." Nagiko mengerjap. "Selain luka dari Mafia tempo kemarin, kamu sadar dia punya lebam setidaknya beberapa hari sekali, kan?" Ragu-ragu Nagiko mengangguk. "Menurutmu, itu kenapa?"
Merasa tak nyaman, mata Nagiko menghindar dari mata Kak Akiko. "Percobaan bunuh diri?"
"Dihajar pamanmu," koreksi dokternya dingin. Nagiko terbelalak, Kak Akiko menghela. "Tapi, mungkin aku akan melakukan hal yang sama juga jika ada di posisi Pak Fukuzawa."
"Eh, enggak, tunggu, kenapa?" tanya Nagiko bingung. "Paman tahu kami tidur bersama karena kemampuan No Longer Human-nya Dazai-san bisa menihilkan the Pillow Book. Paman sudah sering menyatakan ketidaksenangannya, tapi beliau masih mengizinkan, kan?"
Lagi Kak Akiko menghela. "Nagiko, keduanya sayang padamu. Maksudku, aku juga sayang padamu, karena kuanggap kau adalah adikku. Tapi Dazai tidak seperti itu, dan caranya menyatakan rasa sayangnya padamu di hadapan Pak Fukuzawa saat dia di ruangan beliau mungkin membuat Pak Fukuzawa tidak senang. Aku tidak tahu apa yang Dazai perbuat atau katakan tentangmu di hadapan Pak Presdir, tapi kurasa kita sama-sama tahu bahwa pamanmu tidak bakal menyerang tanpa sebab, kan?"
"Dazai-san tidak pernah bilang kalau Paman memukulnya…," gumam Nagiko.
"Tentu saja dia tidak bakal bilang!" sahut Kak Akiko. "Dan lagi saat Dazai menciummu—"
"—apa?" Baik Kak Akiko dan Nagiko mengerjap, bedanya adalah Nagiko punya sirat terkejut di wajahnya. "Dazai-san apa? Kapan?"
Kak Akiko mengerjap sebentar. "Pak Fukuzawa tidak pernah bilang soal ini?" Nagiko menggeleng mantap, jadi Si Dokter menggaruk belakang lehernya dengan ragu. "Setelah aku mengoperasimu, yang habis kena serang Higuchi dan Akutagawa itu, kamu masih di bawah pengaruh obat bius dan berbaring di ranjang rawat. Aku habis mengambil darah Pak Fukuzawa untuk diberikan padamu, kami kembali ke ruangan ini, lalu melihat Dazai mencium keningmu. Setelahnya Pak Fukuzawa menyuruh Dazai ikut ke ruangannya, aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi Dazai punya bekas tamparan saat ia kembali ke sisimu yang masih belum sadarkan diri. Kupikir kita bisa menebak sendiri darimana bekas tamparan itu, kan?"
Nagiko tercengang dan bingung. Otaknya sendiri bingung harus memproses yang mana dulu sekarang—tentang Paman Yukichi yang menghajar Dazai-san, atau tentang pemuda itu yang mencium keningnya. Memikirkan itu, spontan jemari Nagiko menyentuh pelan dahinya sendiri, kemudian jantungnya berdegup tidak karuan dengan wajah yang terasa hangat. Tunggu—
'—berapa kali dia sudah menciumku selama ini? Apa saja yang pernah Dazai-san lakukan padaku di saat kami tidur bersama?'
Dulu, saat awal mereka tidur bersama, Nagiko sempat begitu waspada saat ia terbangun di samping Dazai-san. Tapi setelah beberapa kali dan ia terbangun dalam keadaan baik-baik saja, gadis itu memutuskan bahwa rekannya tidak berbuat macam-macam saat dirinya terlelap, jadinya Nagiko tidak pernah lagi merasa curiga. Dan gara-gara laporan Kak Akiko ini, Nagiko malah jadi kepikiran lagi.
"Nagiko," panggil Kak Akiko sambil meraih lembut tangan figur adiknya. "Tenangkan dirimu. Aku paham kamu terkejut, kita akan punya beberapa pasien entah berapa menit lagi, jadi kamu harus tenang dulu. Setelah kita menangani semua pasien, kamu boleh memikirkannya lagi. Kamu boleh membicarakan ini denganku, atau dengan Pak Fukuzawa, atau malah menanyakannya pada Dazai."
Mendengar suara tegas Kak Akiko yang masih terdengar lembut, Nagiko perlahan mengangguk juga.
.
.
Junichiro dan beberapa anggota staf bersenjata agensi detektif datang ke ruang kesehatan dengan membawa empat orang pasien, tapi dia hanya bisa mengenali tiga dari empat orang itu saja. Kunikida-san sudah langsung dimasukkan ke ruang operasi, serta Atsushi-kun dan Kenji-kun telah terikat kencang di ranjang rawat. Kunikida-san dan Atsushi-kun dalam keadaan tidak sadarkan diri saat dibawa ke ruangan ini, tapi Kenji-kun sudah agak setengah sadar—Kak Akiko pernah bilang bahwa Kenji-kun adalah satu-satunya staf agensi yang tidak pernah berusaha kabur saat akan dirawat si dokter, tapi dokter perempuan itu tetap ingin Kenji-kun diikat biar tidak terbujuk pasien lain untuk dilepaskan sabuknya. Ada seorang wanita berkimono juga yang dibawa oleh tim Junichiro yang tidak sadarkan diri dan telah terikat di ranjang.
"Kyoka?" tanya Nagiko.
"Tidak tahu," jawab Junichiro yang duduk di sofa ruang kesehatan sambil masih mengatur napas. "Parah banget pemandangannya di sana tadi."
"Dia menyerang mereka dengan Demon Snow?" tanya gadis itu lagi.
Junichiro menggeleng pelan. "Kurasa tidak begitu, soalnya ada banyak anggota Mafia bersenjata juga yang sekarat."
"Kayaknya Kyoka diculik oleh orang-orang yang turun dari langit," sahut Kenji-kun pelan. Melihat kedua seniornya mengernyit. "Awalnya hanya ada dua laki-laki yang berjalan menghampiri kami saat kami mau berantem dengan Mafia. Tapi kemudian ada banyak tembakan dari langit, terus kayaknya muncul empat orang setelahnya. Habis itu aku gak ingat lagi."
Nagiko mengangguk-angguk, lalu menoleh menatap pasien yang tak dikenalnya. "Itu siapa?"
"Ah, kayaknya Mafia," jawab Kenji-kun. "Tadinya yang mau bawa Kyoka pergi tuh, wanita ini."
Sontak Nagiko menoleh pada Junichiro dengan kaget. "Ngapain kalian bawa orang Mafia kesini?"
Yang ditanyai salah tingkah. "Maaf, tadi aku telepon ke Pak Fukuzawa untuk lapor mengenai keadaan disana, terus kudengar Dazai-san suruh aku bawa perempuan ini kesini juga."
"Kenapa—"
"—AAAAARRGGHH!"
Nagiko dan Junichiro spontan bergidik dan menoleh ke arah ruang operasi. Suara teriakan Kunikida-san sangat kencang, dan kemudian mereka bisa mendengar tawa riang Kak Akiko dari dalam sana. Nagiko memang hanya terkejut dengan suara yang tiba-tiba itu, tapi Junichiro malah tampak merinding, mungkin karena traumanya mencuat lagi.
Beberapa saat kemudian, teriakan Kunikida-san dan tawa Kak Akiko tidak terdengar lagi. Pintu ruang operasi terbuka, perlahan dokter wanita itu keluar sambil mendorong ranjang rawat Kunikida-san, dan pasiennya itu tampak luar biasa pucat.
"Tanizaki, bawa ranjang Kenji masuk ke ruang operasi," titah Kak Akiko, "Nagi, taruh ranjang ini di posisi bekas ranjang Kenji."
Kedua junior dokter tersebut langsung menurut. Junichiro segera menarik ranjang Kenji, dan Kenji yang masih terikat itu malah kegirangan karena di dorong dengan ranjang. Nagiko langsung melepas sabuk pengikat dari Kunikida-san begitu ia merapikan posisi ranjangnya.
"—aku eneg," cicit Kunikida-san. Buru-buru Nagiko mengambil baskom dan menyerahkannya pada Si Kacamata yang menerimanya sambil duduk di ranjangnya. Gadis itu mengelus punggung seniornya, karena memang sudah tahu bahwa Kunikida-san akan langsung mual habis 'dioperasi' oleh dokter mereka. "Jahat banget. Dia sengaja bangunin aku dulu, baru mau siksa aku. Terus, pake acara ngomong bahwa dia hanya sempat mengoperasi aku sekali aja, karena pasiennya banyak."
Nagiko agak sweatdrop, tapi terkekeh juga. "Tapi setidaknya, kali ini benar hanya sekali saja, kan?"
Seniornya menoleh dengan tampang hampir ingin menangis. "Sakit, Nagiii! Lebih ngeri diobati Dokter Yosano daripada kena serangan mendadak kayak tadi!"
"Ah, iya, maaf, kalau begitu," tutur Nagiko sambil terus mengusap punggung Si Kacamata. Ketika akhirnya seniornya itu berhasil muntah, Nagiko langsung menyodori minum.
Kunikida-san sedang mengatur napasnya ketika pintu ruang operasi terbuka lagi. Dokter Yosano mendorong ranjang Kenji keluar sambil cemberut.
"Kenji gak seru!" sahut Kak Akiko, Nagiko tebak karena Kenji-kun sama sekali tidak teriak ketakutan saat menerima pengobatan darinya tadi. "Tukar posisi dengan Atsushi!"
Nagiko meninggalkan sisi Kunikida-san, menarik ranjang Kenji-kun untuk ditaruh di tempat yang tadinya adalah posisi ranjang Atsushi, dan ranjang Bocah Harimau itu telah ditarik oleh Junichiro ke ruang operasi. Saat gadis itu melepas sabuk ikatan pada Kenji-kun, anak itu bahkan langsung turun dari ranjang dengan riang.
Kunikida-san juga telah turun dari ranjang dan berjalan pelan menuju pintu keluar. "Aku akan kembali ke mejaku sebelum teriakan Atsushi terdengar." Nagiko mengangguk.
"Ah, kalau begitu, aku juga akan kembali ke tempatku, ya! Mau tidur, disini susah tidur kalau ada teriakan!" kata Kenji-kun juga. Lagi Nagiko mengangguk.
Baru gadis itu akan merapikan ranjang bekas Kunikida-san dan Kenji-kun, ada pesan masuk ke ponselnya.
'Dari Paman Yukichi
Nagiko, ke ruanganku, sesegera mungkin, penting.'
Nagiko mengernyit bingung. Ia memutuskan untuk tidak jadi mengurus ranjang rawat dan keluar dari ruang kesehatan, menuju ruang Presdir. Ia mengetuk pintu, dan terdengar suara pamannya yang menyuruh masuk. Paman Yukichi sedang menulis sesuatu di kertas ketika keponakannya berjalan menghampiri meja kerjanya.
"Paman?"
"Nagiko, untuk jaga-jaga, staf pegawai agensi akan kupindahkan keluar dari prefektur ini, dan para agen akan kupindahkan ke bangunan lain juga."
" … eh?"
"The Guild menyerang tanpa ampun. Jika mereka menyerang kantor ini, banyak staf yang tidak memiliki kemampuan khusus akan jadi korban," tutur Paman Yukichi. "Lalu, kamu, Naomi, dan Haruno, akan diungsikan ke tempat lain."
Gadis itu mengerjap. "… kenapa kami terpisah dari staf yang lain?"
Paman Yukichi menatap lurus keponakannya dengan sorot mata sedih. "Aku tidak tahu harus sedih atau senang mengatakan hal ini, tapi nyatanya saat ini, kamu, Nagiko, adalah kelemahan terbesarku. Jika Tuan Fitzgerald ingin membuatku bertekuk lutut, mungkin dia akan mengincarmu dulu. Untuk Naomi, karena dia kelemahan Junichiro. Khusus Haruno, saat ini kebetulan dia sedang di luar dengan Naomi, jadi keduanya akan langsung ke tempat pengungsian saja. Kamu kesanalah juga, nanti kuminta seorang staf bayangan mengantarmu."
Perlahan Nagiko mengangguk dengan ragu. Pamannya menghela dan bangkit dari kursinya. Ia menghampiri sang keponakan dan menepuk pelan kepala gadis itu.
"Tidak apa-apa, kita semua akan baik-baik saja," kata Sang Paman, Nagiko mengangguk lagi.
.
.
Bersambung
.
.
