Vila yang menjadi tempat mengungsi Nagiko, Naomi, dan Haruno-san sebenarnya tidak begitu jauh dari markas Agensi Detektif Bersenjata. Sejauhnya, tidak sampai satu jam dengan kereta, lalu berjalan selama hampir sepuluh menit. Naomi dan Haruno-san pergi kesana dengan mobil Haruno-san, sedangkan Nagiko naik kereta dengan Fujiwara yang adalah anggota rahasia ADB.

Sekitar dua tahun lalu, Paman Yukichi memang membentuk tim khusus berisi beberapa anggota staf ADB. Mereka adalah staf bayangan, atau rahasia, dan yang tahu siapa-siapa saja mereka hanya para staf detektif dan beberapa staf pegawai saja. Staf rahasia ini sehari-harinya tidak bekerja di kantor, pun tinggal di asrama yang sama dengan staf lainnya. Tugas mereka umumnya adalah mata-mata dan pengamat yang tersebar di sekitar Yokohama. Jadi jika ada staf agensi yang sedang mengurus kasus di suatu distrik, maka staf bayangan yang ada di distrik tersebut akan jadi pemberi informasi selama misinya berlangsung. Staf rahasia ini menjadi berguna untuk mengecoh musuh ADB karena wajah para staf tersebut tidak akan ditemui di kantor. Makanya Paman Yukichi meminta Fujiwara yang adalah anggota staf rahasia yang posisinya paling dekat dengan kantor ADB untuk menemani Nagiko pergi ke pengungsian, berharap The Guild tidak menangkap sinyal bahwa keponakan bos ADB itu sedang menyingkir dari medan tempur. Lagipula, harus ada seseorang yang keluar-masuk vila mengambil keperluan ini-itu untuk Nagiko, Naomi, dan Haruno-san selama mereka disana, tanpa ketahuan oleh musuh.

Vila itu milik keluarga besar Fukuzawa, makanya Nagiko sudah tidak asing dengan setiap ruangan disana, walau dulu ia hanya datang sekali dalam setahun. Terakhir kali ia datang adalah saat kedua orangtuanya masih hidup, jadi ini pertama kalinya ia datang setelah sekian lama, entah bagaimana dengan Paman Yukichi. Karena sudah lama tidak didatangi, hal pertama yang mau tak mau keempatnya lakukan setibanya disana adalah bersih-bersih. Yah, sebenarnya bersih-bersih merupakan salah satu hal yang lumayan ampuh untuk menghalau perasaan cemas. Bahkan ketika akhirnya mereka selesai beres-beres, lalu duduk di ruang tengah sambil menyesap teh yang diseduh Naomi, mereka baru ingat alasan kenapa mereka harus ada di vila itu—mengungsi dari The Guild.

Fujiwara melirik jam tangannya. "Sudah mulai sore, aku akan turun ke kota untuk beli makan malam," katanya, "mau makan apa?"

Ketiga gadis lainnya saling lirik, kemudian Haruno-san yang menjawab. "Bento saja kali, ya? Biar gak ribet?" Nagiko dan Naomi mengangguk setuju.

"Baiklah." Fujiwara berdiri, hendak keluar ruangan, tapi kemudian berbalik badan kepada ketiga rekannya. "Ah, mau sekalian kuambilkan apa dari rumah kalian, gak?"

Nagiko mengangguk, lalu merogoh kunci apartemennya, mengoper pada Fujiwara. "Baju ganti, tolong, ya." Naomi dan Haruno-san mungkin kepikiran juga, jadi mereka menyerahkan kunci masing-masing.

"Oke, aku akan keluar sekarang. Nanti kalian kirim pesan saja kalau mau dibawakan apa, ya, biar aku sekalian jalan," kata Fujiwara lagi.

Tiga gadis yang lebih muda darinya itu mengangguk dan menyahut 'terima kasih'. Ketika Fujiwara keluar ruangan, ruang tengah itu hening selama mungkin semenit, sampai akhirnya Naomi buka suara.

"—cuman perasaan aku atau Fujiwara-san jadi kayak Ninja?"

Haruno-san mengangguk dengan serius. "Kayaknya staf bayangan itu cuman nama lain dari 'ninja', deh."

Kali ini Nagiko yang mengangguk sambil agak sweatdrop. "Aku juga sempat mengatakan hal yang sama pada Paman saat dia membuat keputusan itu."

.


.

Disclaimer: Bungou Stray Dogs adalah ciptaan Asagiri Kafka dan Harukawa Sango, The Pillow Book adalah karya Sei Shonagon, 'Kiyohara Nagiko' dipercaya sebagai salah satu kemungkinan nama asli dari Sei Shonagon, Author tidak mengambil keuntungan.

Warning: Agak slow burn, Dazai x OC, alur canon (manga, anime, novel), sebisa mungkin tidak mary-sue.

.

.

Osamu Dazai and His Sun
by Fei Mei

.

Chapter 11

.


.

Pada dini hari, hanya Nagiko saja yang tetap terjaga, dan itu tidak mengejutkan. Kedua matanya sudah istirahat sebentar kemarin pagi, dan Kak Akiko telah membekali setidaknya dua butir obat tidur untuk jaga-jaga jika keponakan Presdir ini harus mengungsi berhari-hari—dan tentu saja Nagiko tidak berniat mengonsumsi obat itu malam ini.

Sebenarnya, Haruno-san, Fujiwara, dan Naomi juga berniat ingin meronda malam itu. Diam-diam Haruno-san mengirim pesan pada Fujiwara tadi sore untuk membeli selusin bir kalengan serta botol sake, membuat Nagiko dan Naomi terkejut melihatnya. Sehabis makan malam, karena memang tidak ada yang begitu bisa dikerjakan walaupun Fujiwara telah membawa laptop Nagiko dan Haruno-san, keempat perempuan itu malah menonton film dari salah satu laptop. Sambil menonton, Fujiwara dan Haruno-san asyik minum bir, sedangkan Naomi sadar diri bahwa dirinya belum cukup umur, dan Nagiko paham dirinya lumayan lemah terhadap alkohol.

Ada dua belas kaleng bir yang dibawa Fujiwara, Haruno-san bilang itu 'bekal' untuk beberapa hari. Nyatanya, baru malam pertama, tapi kedua perempuan dewasa itu masing-masing telah menegak dua botol sake dan tiga kaleng bir. Fujiwara terlelap sambil sesekali cegukan—sampai Nagiko dan Naomi berpikir bahwa ternyata Fujiwara tidaklah 'se-ninja' itu. Tapi, versi mabuknya Haruno-san-lah yang mengawatirkan.

Rekan semeja Naomi itu cekikikan sambil berusaha mengambil kaleng bir dan botol sake yang tersisa, sampai Nagiko harus menyembunyikannya di ruang lain. Haruno-san ngambek sejadi-jadinya dan malah menangis bak anak kecil yang mainannya direbut orang lain. Hebatnya, sekencang apa pun rengekan perempuan itu, Fujiwara masih terlelap di ruangan yang sama dengan nyenyak.

Pukul dua dini hari, Haruno-san mungkin sudah kelelahan, akhirnya terlelap. Selesai ngos-ngosan, Naomi pun menyerah dan memutuskan untuk tidur juga. Makanya hanya Nagiko saja yang tersisa sekarang. Mata Nagiko masih lumayan segar. Badannya lelah sih, tapi setidaknya The Pillow Book membuatnya tidak mengantuk. Laptopnya berhasil membuatnya tidak kebosanan saat ditinggal tidur ketiga rekannya, tetapi tetap saja rasanya tidak nyaman kalau harus berhadapan dengan layar gawai.

Mungkin sekitar jam setengah tiga, ponselnya bergetar. Ia melihat tulisan 'Paman Yukichi' pada layar yang menyala, jadi Nagiko mengambil ponsel itu dan keluar dari ruang tengah sebelum memencet tulisan 'angkat'.

"Halo?" bisiknya, sambil terus berjalan di lorong vila, berniat masuk ke salah satu kamar.

"Nagiko? Tidak tidur?" tanya pamannya.

Nagiko memutar bola matanya dengan geli. "Kalau tidur, aku tidak bakal angkat telepon, Paman."

"Hn, maksudku, daritadi kamu tidak tidur?"

"Tidak, mataku tidak lelah, jadi kupikir bagus juga kalau aku tetap berjaga sementara yang lain tidur."

"Tapi Yosano-sensei sudah memberimu obat tidur, kan?"

Gadis itu mengangguk. "Iya, sih, tapi—eh, Paman juga tidak tidur?"

"Tadi sudah sempat teler sesaat, tapi aku terbangun lagi sekarang. Kupikir aku harus tahu keadaanmu disana."

Nagiko tersenyum kecil. "Aku baik-baik saja, Paman, yang lain juga. Haruno-san dan Fujiwara-san sampai terlelap karena banyak minum bir. Rasanya seperti sedang liburan saja."

" … kamu tidak ikut minum, kan?"

"Tentu saja tidak," lalu gadis itu menyengir. "Ah, tapi, kalau aku sudah tidak tahan, mungkin aku bakal minum banyak bir biar bisa terlelap!"

" … Nagiko…."

"Bercandaaa!"

Terdengar helaan dari seberang, membuat Nagiko terkikik. "Aku akan mengabari jika ada sesuatu, kamu juga lakukan itu, oke?"

"Tentu."

Lalu sambungan telepon terputus. Nagiko tersenyum, memutuskan untuk kembali ke ruang tengah, dimana ketiga rekannya terlelap—vila itu tidak kekurangan kamar untuk mereka berempat, sebenarnya, tapi Fujiwara dan Haruno-san terlanjur tidur disana, dan Naomi sudah malas pergi ke salah satu kamar.

Tapi, belum sempat keponakan Presdir ADB itu membuka pintu ruang kamar untuk keluar, ponselnya bergetar lagi. Bukan panggilan suara, malah kali ini merupakan panggilan video dari Dazai-san. Spontan telinga Nagiko memanas, ia sendiri baru sadar bahwa ia belum sempat berkomunikasi dengan pemuda itu sejak Kak Akiko bilang bahwa Dazai-san mencium keningnya. Mencium di daerah kening mungkin tidak berarti apa-apa, tapi hanya mendiang papanya saja satu-satunya laki-laki yang pernah mencium keningnya selama ini.

Getaran di ponselnya berhenti karena Nagiko terlalu lama menimbang kalau dia harus mengangkat teleponnya. Tidak lama kemudian masuklah pesan teks dari pemuda itu.

.

'Dari Dazai-san,
Nagi, memangnya bisa bobok kalau gak ada aku?
'

.

Nagiko mingkem, lalu mengetik balasan.

.

'Kepada Dazai-san,
Aku bawa obat tidur dari Aki-
nee, Dazai-san.'

.

Pemuda itu pasti langsung sadar bahwa saat ini Nagiko sedang memegang ponsel. Jadi, begitu mendapat pemberitahuan bahwa pesannya terkirim, gawai Nagiko memberi pemberitahuan lagi bahwa Dazai-san mengajaknya video call. Gadis itu menghela dan tersenyum kecil, tahu bahwa pemuda itu akan terus meneleponnya jika tidak diangkat, jadi Nagiko menyerah dan menerima panggilan masuk itu.

Saat Nagiko menekan tulisan 'terima', ia langsung bisa melihat peneleponnya yang sedang tiduran tapi kemudian buru-buru bangun dan duduk.

"Nagiiii, kangen aku?"

"Enggak."

"Jleb," kata Dazai-san, tampak memegang dadanya dengan satu tangan, dan wajahnya pura-pura kesakitan. "Padahal aku pengen banget tidur sama Nagiko, eeehh malah harus tidur sama Atsushi…."

"Kita sudah tidur sama-sama kemarin, kan?"

"Dua hari yang lalu, Nagi, sekarang sudah ganti hari lagi, lho," koreksi Dazai-san sambil cemberut.

Gadis itu manggut-manggut. "Selain Atsushi-kun, ada yang lain juga disana, kan?"

"Enggak. Kita bagi jadi tiga tim. Nah, aku pasangan sama Atsushi-kun saat ini, dia lagi tidur disana," kata Dazai-san, mengarahkan kameranya ke suatu sudut ruangan.

Nagiko bisa melihat punggung pemuda berambut abu itu yang mungkin sedang tertidur sambil meringkuk. "Dazai-san tidak tidur?"

"Mana bisa, kan gak ada kamu."

Gadis itu memutar bola matanya.

"Seriusan."

"Iya saja, deh, aku."

Lalu terdengar kekehan halus pemuda itu. Karena di seberang sana ada Atsushi-kun yang sedang tertidur, ruangan tempat Dazai-san berada jadi lebih remang daripada kamar tempat Nagiko menerima telepon. Tapi, walau begitu, gadis itu bisa melihat senyum halus pemuda yang lebih tua setahun darinya itu.

"Nagi, betulin rambutmu, gih, selip ke kanan," kata Dazai-san lembut.

Nagiko mengerjap sejenak. Berbeda dengan gadis Jepang pada umumnya, Nagiko memang tidak punya rambut poni. Dulu tentu punya, tapi ia membiarkan poni itu memanjang melewati dagu sedikit hingga bisa diselip di belakang telinga. Tidak belah tengah, tapi Nagiko paling sering membelah poninya ke arah kanan. Biasanya, jika sedang bersama Dazai-san, pemuda itu akan tiba-tiba memegang rambut tersembut untuk menyelipkan ke telinga. Sekarang, ketika ia terasa dihipnotis perkataan Dazai-san di telepon, ia perlahan menyelipkan rambutnya, sambil terngiang bahwa jemari pemuda itu biasanya akan menyenggol pelan cuping telinga kanannya saat merapikan rambutnya. Mengingat itu, wajahnya menghangat sendiri. Sadar bahwa telinganya mungkin akan memerah, Nagiko kemudian menutupi kedua daun telinganya lagi dengan rambutnya.

"Ah, disana dingin, ya, makanya kamu menutupi telingamu?" tanya Dazai-san lembut.

Gadis itu mengangguk pelan, ia tidak berani menatap langsung Si Eks Mafia walau lewat layar ponsel.

"Dazai-san."

"Hm?"

" … Aki-nee bilang, Dazai-san mencium keningku saat aku masih tidak sadarkan diri habis kakiku di operasi."

"… Ah, yang itu."

Nagiko mengangguk lagi. Ia tahu ada Atsushi-kun disana, tapi ia juga melihat bahwa Dazai-san menggunakan earphone saat ini, jadi apapun yang Nagiko katakan sekarang harusnya tidak terdengar pemuda yang satu lagi. "Iya, yang itu."

Dazai-san masih tampak tenang. "Lalu?"

"… kenapa Dazai-san melakukannya?"

Pemuda itu masih tersenyum lembut. "Bukankah sudah jelas?"

"Kalau aku tahu, aku tidak bakal tanya, kan?" tanya Nagiko sambil tersenyum.

Terdengar kekehan dari seberang, sebelum kemudian Dazai-san kembali menatapnya lurus dengan ketulusan menembus layar gawainya. "Sayangku, aku sangat menyayangimu."

"Eh—"

Belum ia bereaksi lebih lanjut, pintu kamarnya terketuk dari luar, terdengar suara Naomi yang mencarinya. Nagiko yang kaget spontan menoleh ke arah pintu yang sudah tergeser, menampilkan kepala adik Junichiro itu yang tampak lega—mungkin sempat berpikir bahwa seniornya ini hilang kemana. Keponakan Presdir itu mengerjap sesaat sebelum otaknya mengingatkan lagi tentang Dazai-san. Ia menoleh lagi pada ponsel di tangannya, tampak bahwa video callnya sudah terputus.

Jantung Nagiko berdebar tidak karuan. Kepalanya terasa pening, tangannya seperti berkeringat dingin, telinganya terasa hangat. Ia bisa mendengar suara Naomi yang memanggil-manggil namanya dengan cemas, mungkin anak itu berpikir bahwa rekannya ini sedang sakit.

"Nagiko-san?" panggil Naomi untuk kesekian kalinya sambil memegang erat lengan gadis yang lebih tua darinya itu.

"Ah—aku tidak—eh, aku baik-baik saja…," tutur Nagiko terbata-bata.

Naomi tampak tidak yakin, jadi ia membantu Nagiko untuk duduk di sofa di ruangan itu. "Pak Fukuzawa baik-baik saja?"

Nagiko mengerjap sejenak sebelum menoleh pada gadis yang lebih muda darinya itu. "Eh?"

Sesaat Naomi salah tingkah. "Eh, enggak, soalnya Nagi-san lagi pegang ponsel, jadi kupikir tadinya lagi teleponan sama siapa gitu. Terus Nagi-san pucat, kupikir ada dapat kabar apa, begitu."

"Ah." Nagiko yang merasa membaik akhirnya tersenyum kecil. "Tidak ada apa-apa, aku baik-baik saja. Oh ya, kamu mencariku?"

"Iya, tadi aku terbangun, dan gak melihat Nagiko-san, kupikir kemana, gitu."

Nagiko mengangguk. "Haruno-san dan Fujiwara-san sudah bangun?"

"Belum."

"Hari masih gelap, cobalah untuk tidur lagi," ujar Nagiko, menepuk pelan punggung tangan gadis di sebelahnya.

Yang disuruh tidur malah manyun. "Nagiko-san, minum obat tidur, gih?"

"Tidak, mataku masih tidak apa-apa, kok," kata Nagiko sambil tersenyum.

Naomi menghela, tampaknya ia menyerah. Gadis itu menggumam 'baiklah', sebelum ia bangkit dari sofa dan keluar dari kamar.

Sepeninggal adik Junichiro itu, Nagiko menatap layar ponselnya yang gelap. Saat ia menyalakan layar, angka 03:10 terpampang besar disana, dan ada notifikasi pesan masuk dari Dazai-san. Telinga dan pipi Nagiko menghangat lagi, ia teringat akan perkataan terakhir pemuda itu sebelum Naomi datang. Maksudnya, walau tidak pernah dikatakan secara langsung, Nagiko tahu Paman Yukichi sayang padanya. Jadi, mungkin rasa sayang Dazai-san itu seperti rasa sayang dari Paman Yukichi? Seperti keluarga?

.

'Dari Dazai-san,
Kalau ada waktu yang tepat, akan kujelaskan tentang yang kukatakan tadi, ya, soalnya kuyakin kamu sedang berusaha untuk menebak-nebaknya.
PS: Rasa sayangku padamu itu bukan seperti hubungan keluarga, Sayang.
'

.

… Cowok satu itu cenayang atau apa, sih?

.

.

Fujiwara bangun lebih dulu daripada dua rekan kerja mereka lainnya, dan Nagiko memaklumi. Sudah jam delapan pagi, sih, tapi keponakan Presdir itu tidak mau membangunkan Haruno-san yang pasti masih teler, serta Naomi yang pasti masih mengantuk. Nagiko kepikiran dengan sekolah Naomi, mengingat hari ini masih hari sekolah, jadi mau tak mau gadis itu pasti harus bolos untuk sementara.

Pada jam segini, biasanya kantor agensi pasti sudah mulai ramai. Jam masuk untuk staf karyawan adalah jam 7.45, sedangkan para agen detektif jam masuknya dibebaskan dan bahkan tidak diabsen, mengingat ada kemungkinan agen detektif yang bersangkutan sedang mengurus kasus di luar kantor selama berhari-hari. Walau begitu, Nagiko yang tidak terlelap di malam harinya akan menjadi staf yang hadir di kantor paling pagi, diikuti oleh Kunikida-san yang memang selalu datang pagi. Tapi sekarang, khusus pagi ini, Nagiko sangsi akan ada orang yang datang ke kantor agensi, kecuali mungkin tukang bersih-bersih atau calon klien yang akan bingung karena tidak ada siapa-siapa disana.

Gadis itu menyalakan laptopnya. Sebenarnya ia bingung harus mengerjakan apa sekarang, tapi aneh juga rasanya kalau di jam segini tidak kerja memeriksa apalah itu. Jadi ia memutuskan untuk memeriksa isi surel kantor dan surel Paman Yukichi. Para agen detektif dan beberapa staf karyawan bisa mengakses kotak masuk surel kantor ADB, tapi hanya Nagiko satu-satunya staf yang bisa mengakses masuk alamat e-mail bos mereka. Itu karena Paman Yukichi memang kurang paham soal surel, lebih memilih untuk menghubungi koleganya dengan sambungan telepon atau setidaknya berkirim pesan teks lewat ponsel, jadi dia meminta keponakannya untuk mengecek secara berkala.

"Kiyohara-san," panggil Fujiwara. "Saya akan keluar untuk beli bahan makan siang, ya. Kalau mau diambilkan sesuatu dari apartemen, tolong kirim pesan saja. Kasih tahu Haruno-san dan Tanizaki-san juga, ya."

Nagiko mengangguk, menggumam 'terima kasih' pelan, lalu Fujiwara keluar ruangan. Tepat setelah staf bayangan itu keluar, Naomi berbalik badan. Nagiko mengira gadis yang lebih muda darinya itu sudah bangun, tapi ternyata hanya ganti posisi tidur saja. Yang mengagumkan tetap adalah Haruno-san, posisi tidurnya tampak tidak berubah sejak semalam Naomi baringkan di pinggir ruangan.

Keponakan Bos ADB itu menghela kecil. Tidak ada bahan kerjaan yang menarik di laptopnya, pun ada yang perlu diperhatian di kotak masuk surel kantor dan milik pamannya. Jadi ia mematikan lagi laptopnya, keluar ruangan dan duduk di teras di depan ruang tengah tempat Haruno-san dan Naomi masih terlelap.

Ponselnya bergetar. Ia melihat adanya pesan-pesan yang mulai masuk di grup kantor.

'Dari Dazai-san,
Posisi tidur Atsushi-
kun sangat sesuatu, ya.'

Nagiko mengernyit, lalu berusaha menahan tawanya saat melihat foto yang dikirim Dazai-san di grup, menampilkan Bocah Harimau itu sedang dalam posisi menungging.

'Dari Atsushi-kun,
DAZAI-
SAN, HAPUS FOTONYA!'

'Dari Ranpo-san,
Ah, tapi aku udah keburu simpan di ponselku.
'

'Dari Atsushi-kun,
RANPO-SAAAANN!
'

'Dari Kunikida-san,
Jangan pakai huruf kapital seperti itu terus, Atsushi, aku seperti bisa mendengar teriakanmu dari sini.
'

'Dari Atsushi-kun,
… Maaf.
'

'Dari Kunikida-san,
Huh, dari semalam aku sudah harus bersabar mendengar ocehan Tanizaki yang khawatir kalau adiknya bisa tidur dengan nyenyak, sekarang aku harus mendengar teks rewel bocah yang lain.
'

'Dari Nagiko,
Kita tidak bisa mendengar teks begitu saja, dan Kunikida-
san bisa mematikan suara ponsel kalau memang berisik, lho.'

'Dari Dazai-san,
HA!
'

'Dari Junichiro,
Nagiko-
san, Naomi sudah bangun?'

'Dari Nagiko,
Masih tidur, dia kelelahan mengurus yang mabuk sampai sekitar jam duaan tadi.
'

'Dari Ranpo-san,
Pasti Haruno.'

'Dari Nagiko,
Iyaaa! Detektif Super kita hebat sekali!
'

'Dari Ranpo-san,
Hehehe~
'

.

Pintu teras bergeser, Nagiko spontan menoleh ke belakang, ada Naomi disana. "Pagi, Naomi."

"Pagi—hoaamm …," ujar gadis SMA itu. "Ah, ada obrolan di grup?" tanyanya, sambil duduk di samping seniornya.

"Dazai-san menaruh foto tidur Atsushi-kun di grup," jawab Nagiko, "lalu Junichiro menanyai kalau kamu masih tidur."

Mendengar nama kakaknya disebut, wajah Naomi langsung sangat cerah. "KYAAA, NAOMI MAU TELEPON KAKAK DULU, AAAAHH!" Lalu berlari masuk untuk mengambil ponselnya.

Nagiko terkekeh melihatnya. Dan mungkin karena kaget dengan suara cempreng Naomi, Haruno-san tersentak bangun. Wajah staf satu itu begitu kusut dan pucat, jadi Nagiko menghampirinya.

"Haruno-san?"

"Uh, kepalaku sakit," keluh Haruno-san.

"Sudah pasti, Haruno-san kan, minum bir banyak banget semalam!" kata Nagiko sambil menyodorkan botol air mineral.

"Fujiwara?"

"Oh, dia sudah keluar untuk beli makan siang. Kalau mau titip sesuatu, coba kirim pesan saja, seperti obat mabuk, gitu."

"Aku akan baik-baik saja kalau sudah muntah."

Nagiko mengangguk. "Ya sudah. Aku ada masak sarapan di meja makan, tinggal Haruno-san dan Naomi yang belum makan. Gih."

Gantian Haruno-san yang mengangguk. Perlahan ia bangkit dari tempat duduknya. Melihat perempuan yang lebih tua darinya itu berjalan sempoyongan, Nagiko memutuskan untuk memapahnya ke ruang makan.

.

.

Nagiko tahu bahwa di kediaman Tanizaki, Junichiro-lah juru masaknya. Tapi ia tidak tahu bahwa Haruno-san dan Fujiwara juga tidak bisa masak. Jadilah, untuk urusan makan siang, ketiganya meminta keponakan Presdir ADB untuk masak lagi, ketimbang meminta staf bayangan mereka untuk beli bento di minimarket.

Walau sedang tidak ada permintaan untuk diambilkan atau dibelikan sesuatu di luar, Fujiwara tetap keluar dari vila, mengecek jalur menuju vila, untuk melihat kalau ternyata tempat persembunyian mereka sudah ketahuan atau belum. Jalan-jalan sendirian tentu menarik perhatian, makanya staf satu itu membawa barang layaknya orang yang hobi camping, setidaknya ia akan terlihat lebih natural jika membawa barang-barang tersebut.

Tadinya Naomi juga ingin membantu Nagiko masak di dapur, tapi gadis SMA itu sadar bahwa tidak ada yang bisa dibantunya, hanya bisa menonton saja. Dan mungkin karena sudah bosan menonton di dapur, ia beranjak kembali ke ruang depan, tempat dimana Haruno-san seharusnya mengecek berita melalui laptopnya.

Setelah Nagiko memasukkan potongan daging ke dalam panci sup, ia mengaduknya sebentar, sebelum akhirnya ia duduk di kursi sambil menunggu supnya mendidih. Pada saat itulah ponsel di meja makan bergetar. Gadis itu mengernyit tapi tersenyum kecil juga melihat tulisan 'Paman Yukichi' di layarnya, menelepon ke ponsel itu. Segera ia mengangkat teleponnya.

"Halo—"

"KELUAR DARI SANA SEKARANG!"

Nagiko tersentak kaget mendengar suara seruan pamannya.

"Anggota The Guild sedang akan menyerang kesana, kami tidak tahu mereka akan tiba berapa lama lagi, TAPI MEREKA SEDANG KESANA! Nagiko, segera pergi dengan yang lain!"

"Aku mengerti!" Dan sambungan teleponnya terputus.

.


.

Bersambung

.


.

A/N: Nama 'Fujiwara Yukinari' muncul di di The Pillow Book, tapi dia adalah seorang laki-laki. Disini Fei ganti jadi perempuan, makanya mungkin Fei gak akan pakai nama depannya, hanya 'Fujiwara'-nya saja.

Review?