Disclaimer: Bungou Stray Dogs adalah ciptaan Asagiri Kafka dan Harukawa Sango, The Pillow Book adalah karya Sei Shonagon, 'Kiyohara Nagiko' dipercaya sebagai salah satu kemungkinan nama asli dari Sei Shonagon, Author tidak mengambil keuntungan.

Warning: Agak slow burn, Dazai x OC, alur canon (manga, anime, novel), sebisa mungkin tidak mary-sue.

.

.

Osamu Dazai and His Sun
by Fei Mei

.

Chapter 12

.


.

"Haruno-san, cepat kemas barang-barangnya!" sahut Naomi.

"Tunggu sebentar, Naomi! Dimana botol sake yang dibeli Fujiwara-san?!" seru Haruno-san.

"Bukankah kau dan Fujiwara-san yang menghabiskan semuanya ketika kau mendadak menyatakan kau ingin memulai semacam perkumpulan wanita?!" jawab Naomi.

"Lalu, dimana penggulung rambutku?!" tanya Haruno -san lagi.

"Kau sendiri yang melemparkannya keluar jendela saat kau mabuk, Haruno-san!" lagi jawab adik Junichiro.

"Aku sudah selesai mengamankan semua gawai dan dokumen," lapor Nagiko, "Naomi, sudah kirim pesan ke Fujiwara-san?" Gadis SMA itu mengangguk cepat. "Baiklah, kita harus pergi sekarang, orang The Guild akan segera datang!"

"Hei!" sahut Haruno-san, terdengar gugup, membuat kaki Nagiko dan Naomi mengurungkan niat untuk segera beranjak, dan kepala mereka menoleh pada rekan mereka itu. "Apa menurutmu Agensi Detektif akan datang untuk menyelamatkan kita?"

"Paman sudah bilang bahwa Kunikida-san dan Junichiro akan segera ke area ini," jawab Nagiko, "ada adiknya disini, jadi Junichiro pasti akan datang."

Naomi mengangguk lalu menyengir. "Jika dia tidak datang, lihat saja apa yang akan kulakukan pada semua lubangnya…."

"Hentikan, Naomi-chan, aku sudah cukup mendengarnya semalam," potong Haruno-san. Nagiko juga agak sweatdrop karena semalam itu salah satu alasan Haruno-san mengajak mereka bergadang adalah karena gadis SMA itu melulu mengatakan betapa ia sangat menyukai kakaknya.

"—menunduk!" bisik Naomi. Spontan Nagiko dan Haruno-san menurut, begitu juga dengan Naomi sendiri. Mereka memastikan kepala mereka berada di bawah kaca jendela yang ada di samping mereka.

"Kau melihat mereka?" tanya Nagiko pelan.

Gadis yang paling muda di antara mereka itu mengangguk. "Aku melihat bayangan orang. Mereka sudah sampai."

Pelan-pelan Haruno-san menaikkan tubuhnya, mengintip lewat jendela, sembari mereka berjalan menjauh dari lorong vila. Staf berkacamata itu terengah kaget dan buru-buru menjauhkan kepalanya dari jendela. "Cepat sekali, bukannya mereka bilang kita punya cukup waktu untuk melarikan diri?"

"Mungkin mereka telat mengetahui bahwa The Guild akan kemari, atau mereka datang dengan kecepatan yang tidak kita ketahui," gumam Nagiko.

"Tidak ada cara lain," kata Haruno-san. "Mobilku ada di parkiran, ayo pergi menggunakan itu, lebih baik daripada berlari."

"Tidakkah suara mesin mobil akan mengundang perhatian mereka?" celetuk Nagiko. "Lagipula, mungkin kita tidak akan bisa keluar dari parkiran. Cara termudah keluar-masuk ke daerah ini adalah dengan mobil, jadi mereka akan berpikir bahwa kita akan kabur dengan mobil."

Naomi mengangguk setuju. "Kita lewat pintu belakang, ayo!"

"Eh—"

Haruno-san tidak sempat menyelesaikan apa yang ingin ia katakan, karena kedua rekannya sudah keburu lebih dulu bergerak cepat menuju pintu belakang. Naomi menoleh pada Nagiko, kemudian baru membuka pintu perlahan saat keponakan presdir itu menyetujui rencana ini.

Jantung Nagiko berdebar keras, entah kedua temannya bisa mendengar itu atau tidak. Ia baru sadar bahwa dirinya menahan napas saat adik Junichiro itu memutar kenop pintu. Nagiko langsung menghembus napas agak lega ketika suasana tampak aman di luar pintu belakang. Naomi dan Nagiko mengangguk pada satu sama lain, lalu mereka mulai berlari keluar.

"Kenapa kita tidak pergi ke tempat parkir?" tanya Haruno-san saat mereka mulai berlari.

"Aku ingat sesuatu yang dikatakan Dazai-san sebelumnya," ujar Naomi, "ketika kau dan musuhmu memiliki intel yang sama, sisi yang melakukan sesuatu di luar dugaan akan menang. Tetapi jika lawanmu menang jumlah intel, kau sudah kalah dari awal, begitu katanya!"

Nagiko mengangguk. "Makanya kubilang bahwa mungkin mereka akan berpikir bahwa kita akan kabur dengan mobil yang ada di parkiran vila sebagai jalan yang termudah!"

"Lalu kita kabur pakai apa?" tanya Haruno-san kemudian.

"Mobil Fujiwara-san!" sahut Naomi. "Ia memarkirnya di tempat yang berbeda, untuk jaga-jaga. Kuncinya dia tinggalkan di vila, sudah kuambil juga tadi!" Gadis SMA itu menyerahkan kunci mobil di tangannya pada Haruno-san yang pandai menyetir.

Sebenarnya Nagiko bisa menyetir mobil dan punya SIM, tapi karena dari apartemen ke kantor agensi hanya perlu berjalan kaki sepuluh menitan, ia tidak merasa perlu untuk menyetir, apalagi punya kendaraan pribadi. Dalam setahun, total ia menyetir mobil mungkin bisa dihitung jari, karena biasanya ada pamannya atau Kunikida-san yang menyetir, atau selebihnya dia akan naik kereta atau taksi saja. Walau sangat jarang menyetir, Nagiko lumayan percaya diri saat memegan stir mobil. Hanya saja, saat kondisi terdesak begini, ia tidak yakin bisa mengebut. Makanya, Naomi meminta Haruno-san mengebut merupakan pilihan yang tepat.

Mereka menemukan mobil Fujiwara dengan mudah, jadi ketiganya menambah kecepatan berlari untuk menghampiri kendaraan beroda empat itu. Haruno-san sudah pasti akan masuk lewat pintu pengemudi, sedangkan Nagiko sudah tahu bahwa dirinya harus berada di sebelah kirinya. Tetapi Naomi yang berlari di depan Nagiko segera membuka pintu depan kiri mobil itu. Keponakan Nagiko itu jadi ragu, tapi ia juga tahu bahwa ini bukan saat yang tepat untuk terlalu pemilih. Ia menggeleng pada dirinya sendiri, nekad membuka pintu tengah dan duduk di sana.

Perjalanan menuruni puncak bisa mereka lalui dengan cepat, terutama karena tidak ada penghalang apa-apa sepanjang jalan, dan memang tidak ada kendaraan lain juga yang lewat sehingga mereka tidak perlu khawatir mendengar klakson. Walau begitu, Nagiko tegang bukan main. Ia tidak suka duduk di jok tengah mobil, makanya ia akan selalu berada di samping pengemudi atau malah di bangku belakang jika mobil itu punya jok belakang.

"—tapi, bagaimana bisa The Guild menemukan kita secepat ini?" tanya Haruno-san sambil terus menyetir.

"Pasti kerjaan Mafia," jawab Naomi, dan Nagiko mengangguk setuju. "Jika agen kita merespon terlalu cepat, The Guild akan curiga kalau ini adalah perangkap. Terlalu lambat, The Guild akan mendapat keuntungan. Jadi Mafia memberikan informasi pada kedua sisi di saat yang sama dan membuat kita saling berhadapan."

"Benar-benar lawan yang tangguh, ya… ah, Nagiko? Kamu tidak apa-apa?" tanya Haruno-san, yang mungkin menyadari wajah pucat gadis yang duduk di tengah lewat kaca spion tengah.

Mendengar itu, Naomi langsung menoleh juga. "Eh? Nagiko-san, sakit?!"

Nagiko segera menggeleng dan memaksakan senyum kecil, walau tahu dirinya sedang keringat dingin sekarang. "Aku tidak apa-apa—"

—lalu mobil berguncang hebat dan terangkat ke atas. Nagiko menjerit histeris, sementara kedua rekannya berusaha membuka pintu. Keponakan Presdir ADB itu memejamkan kedua matanya erat, kedua tangannya memegang kepala. Jantungnya berdebar tidak karuan, kepalanya pening luar biasa. Ia bisa mendengar samar suara Haruno-san, Naomi, dan seorang laki-laki asing. Ada suara grasak-grusuk juga yang diikuti dengan bergoyangnya mobil mereka.

Pendengaran Nagiko baru mulai jernih ketika ia mendengar suara pistol.

"NAOMI!" itu suara Junichiro.

"Kakak!" sahut balik Sang Adik.

Nagiko akhirnya menoleh keluar, barulah ia merasa ngeri melihat tanaman rambat menggenggam mobil mereka. Junichiro sudah memanjat ke atas dan memutuskan rambatan yang di pintu kiri depan, lalu membuka pintu tersebut.

"Lima menit dari sekarang, sebuah kereta penumpang akan melintas di kaki bukit!" kata Junichiro. "Kami telah meminta mereka berhenti selama sepuluh detik ketika mereka disana, agar kalian bisa menaikinya!"

Ketiga gadis itu mengangguk. Naomi keluar mobil duluan, diikuti Haruno-san. Nagiko dengan susah payah maju ke bagian depan mobil, dengan tangan gemetar dan kaki yang lemas, ia dibantu Junichiro keluar. Perempuan itu tahu bahwa ia tidak akan bisa berlari dalam kondisi seperti ini, jadi ia menyuruh dua gadis lainnya untuk pergi meninggalkannya. Haruno-san dan Naomi jelas tidak rela, tapi Naomi setuju bahwa mereka akan ketinggalan kereta jika ada Nagiko.

Jadi setelah berhasil turun, Naomi langsung berlari pergi dengan Haruno-san. Junichiro dengan cepat dan tetap hati-hati memapah senior perempuannya turun dari rambatan tumbuhan yang aneh. Kakak Naomi itu mendudukkan Nagiko di pinggir jalan yang agak menurun. Mata Nagiko kembali berkunang-kunang, tapi ia tetap bisa melihat butiran salju yang turun mengelilinginya—ia berpikir bahwa pemuda ini sedang berusaha menyembunyikan keberadaannya dengan Light Snow. Selesai, Junichiro mengangguk sekali pada Nagiko, sebelum melangkah meninggalkan gadis itu sendiri.

"—Tanizaki!" Nagiko bisa mendengar suara Kunikida-san. "Aktifkan Light Snow untuk menutupi—"

Belum Nagiko mendengar titah seniornya sampai selesai, telinganya langsung menangkap suara ledakan besar. Tidak seperti bom, tapi lebih seperti ada sesuatu yang ditabrakkan dengan keras. Gadis itu coba mengintip ke arah terakhir kali ia melihat Junichiro, dan ia tidak lagi menemukan pemuda itu disana. Samar-samar, ia malah melihat kakak Naomi dan Kunikida-san terikat dan terangkat oleh semacam tali besar yang keluar dari lengan lelaki berambut hitam panjang.

Ia termegap sebentar, lalu berpikir kalau ia bisa melakukan sesuatu untuk menolong mereka—tapi tentu saja tidak ada yang bisa dilakukan Nagiko, terutama ketika dirinya lemas bukan main saat ini. Satu-satunya hal mudah yang bisa menolong kedua pemuda yang terikat itu adalah dengan entah bagaimana Dazai-san muncul disana dan menihilkan kemampuan lawan mereka.

Lalu Nagiko melihat munculnya tanaman rambat mencuat dari tanah, menghampirinya dengan cepat, membelitnya erat dan mengangkatnya ke udara. Beberapa tahun lalu, Paman Yukichi pernah mengajarinya untuk melepaskan diri dari cengkeraman lawan di tubuhnya dan teknik itu sudah beberapa kali berhasil ia gunakan terhadap para pria yang hendak menyerangnya saat ia mencari informasi malam-malam, tapi Nagiko tahu bahwa saat ini cengkeramannya terlalu lemah untuk melepaskan diri dari dahan yang membelitnya.

"NAGIKO!" sahut Kunikida-san kencang dari tempatnya. Dengan samar gadis itu bisa melihat seniornya berusaha melepaskan diri juga.

"Baiklah, misi selesai!" ujar pemuda bertopi yang di bawah dengan riang. "Ayo kita mundur sebelum kepolisian setempat datang!" Nagiko melihatnya menghampiri Junichiro yang masih terbelit juga. "Kalau begitu, kami akan membawa adik perempuanmu!"

"Apa yang kau inginkan dari Naomi?" tanya Junichiro serak.

"Aku bukan salah satu yang bertanggungjawab, jadi aku tidak tahu apa yang dilakukan pada ketiga perempuan ini, tapi kupikir mungkin mereka akan ditahan atau diinterogasi—"

"—BAGAIMANA BISA KAU MEMINTA PENGERTIAN KETIKA KALIAN MELAKUKAN HAL SEMACAM INI?!" teriak Kunikida-san memotong jawaban lawan mereka.

"Ini pekerjaan," suaranya enteng. "Tapi tentu saja, orang yang bermoral seperti kalian tidak akan pernah mengerti, kan?"

"Kau benar, agensi detektif mempunyai nilai moral," tutur Junichiro dingin, dan Nagiko tidak pernah mendengar suaranya seperti itu sebelumnya. "Tapi, bagiku Naomi adalah hal yang sama sekali berbeda. Dibandingkan dengan hal-hal seperti kebaikan dan kejahatan atau keegoisan dan mementingkan orang lain—tidak, sejak awal memang sudah tidak ada bandingannya. Persis seperti tidak ada yang akan membandingkan Tuhan dengan apa pun, bukan?"

Nagiko tidak paham sama sekali dengan kata-kata juniornya, ia hanya tahu bahwa saat ini ia harus bisa mengatur nafas dengan benar, tapi mungkin goncangan di mobil tadi memberi dampak parah baginya. Lalu Nagiko bisa melihat truk besar yang sedang berjalan menuju tempat mereka. Mobil itu tidak ngebut, kecepatannya tampak biasa saja, tapi bahkan dengan pandangan yang samar itu Nagiko tahu akan kemana truk itu pergi. Langsung saja ia menoleh pada Junichiro.

"—SUPIRNYA BERPIKIR KALAU JALANNYA KE ARAH SINI?!" pekik pemuda bertopi.

"Junichiro—"

"—demi Naomi, aku akan dengan senang hati melenyapkan dunia sampai menjadi abu."

Dan Nagiko memejam mata erat saat truk itu menghantam ke arah kedua lawan mereka. Hal-hal aneh yang membelit mereka langsung lepas begitu saja. Nagiko yang terjatuh ke jalan langsung berusaha untuk bangkit, tapi tangannya keburu disambut lebih dulu oleh seniornya. Kunikida-san menggendongnya cepat dan berlari mengikuti Junichiro, bersembunyi di balik pepohonan.

Nagiko sadar bahwa berlindung di antara tanaman saat ini mungkin bukanlah pilihan yang aman, mengingat sepertinya kemampuan Pemuda Bertopi itu adalah sesuatu yang berhubungan dengan tanaman. Tapi, gadis itu juga tahu bahwa saat ini mereka belum bisa kabur terlalu jauh dan tempat persembunyian termudah saat ini adalah di pepohonan.

Kemudian telinga Nagiko menangkap suara sirene mobil polisi, dalam hati agak lega karena mungkin pamannya atau seseorang dari agensi telah lebih dulu menelepon polisi untuk jaga-jaga. Tidak butuh waktu lama sampai suara sirene itu perlahan mulai menjauh dari sana, berarti mungkin kedua lawan mereka telah berhasil ditangkap.

Junichiro langsung menghela kencang merebahkan tubuhnya di samping Nagiko, sedangkan Kunikida memegang lengan gadis itu hati-hati.

"Tidak apa-apa?" tanya Si Kacamata. Si Gadis mengangguk pelan. "Tanganmu masih gemetar begini."

"Ah—aku hanya terkejut tadi," jawab Nagiko pelan.

Junichiro duduk. "Mobil kita tidak jauh, apa kita perlu kembali sekarang?"

Kunikida-san mengangguk. "Sudah siap untuk naik mobil lagi?"

Nagiko langsung berkeringat dingin lagi. Kedua tangannya meremas kencang lengan baju seniornya dengan gemetar. Si Kacamata tentu paham bahwa daritadi memang Nagiko belum benar-benar tenang, kemudian mendapat banyak guncangan, dan sekarang sudah harus berhadapan dengan ketakutannya lagi.

Gadis itu menggigit bibir bawahnya, memejam mata erat-erat. Ia bisa merasakan Kunikida-san menggenggam kedua tangannya, mengusap punggung tangannya dengan ibu jari. "Bernafaslah, Nagiko," gumam pemuda yang lebih tua setahun itu. "Ikuti irama nafasku, ayo."

Keponakan presdir itu berusaha menurut, tapi tidak bisa. Dadanya begitu sesak, rasanya ia jadi ingin menangis sekarang. Tangan Kunikida-san meraih bibirnya, membuatnya berhenti menggigit bibir bawahnya.

"Nagi, kamu akan sulit bernafas kalau menyakiti dirimu seperti itu. Kalau bibirmu berdarah, akan lebih sulit bernafas lagi, kan?" ujar Kunikida-san.

Dan Nagiko mencoba bernafas lagi. Tapi tidak bisa. Kepalanya masih pening. Dan yang terparah, ia mulai mengisak. Ia tahu bahwa mengisak akan membuatnya semakin sulit bernafas, tapi ia tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri.

"—Nagiko, buka matamu, lihat padaku," titah Kunikida-san. "Nagiko, lihat padaku, sini," katanya lagi saat gadis itu tidak langsung menurut. "Nagiko."

Perlahan gadis itu membuka matanya, menatap pada pemuda yang di hadapannya. Belum ia melihat Kunikida-san di depannya dengan jelas, matanya dapat menangkap wajah pemuda itu bergerak cepat mendekati wajahnya. Nagiko langsung bisa merasakan hidung pemuda itu menempel di sisi hidungnya sendiri. Terakhir, ia bisa merasakan sesuatu yang basah menempel di bibirnya, terutama bibir bawahnya, tempat ia tadi menggigit keras dengan giginya.

"—kh—" Sadar bahwa sang senior sedang menciumnya, Nagiko langsung mendorong pelan pundak pemuda itu.

Kunikida-san tampak terkejut sesaat sebelum akhirnya tersenyum tipis. "Maaf, kupikir, aku harus melakukan sesuatu untuk mengalihkan pikiranmu, dan hanya itu yang ada di otakku."

Nagiko mengerjap. "Ah."

Tangan besar Si Kacamata menepuk pelan puncak kepalanya. "Sepertinya, kamu sudah tidak begitu panik lagi, kan?"

Lagi gadis itu mengerjap, ia tersadar bahwa dirinya sudah tidak sesak. Perlahan ia mencoba bernafas, dan tersenyum kecil ketika ia berhasil melakukannya. "Terima kasih," gumamnya sambil agak tersipu.

Kemudian ia mendengar dehaman. "Anu." Nagiko menoleh ke asal suara. Junichiro masih di samping mereka, wajahnya merona. "Anu, eh, apa kita sudah bisa pergi sekarang?"

.

.


.

.

Perjalanan menuju Aula Bankoudou sunyi-senyap. Junichiro tidak tahu harus melihat ke arah mana selama duduk di jok tengah mobil. Kunikida-san tampak serius menyetir, sedangkan Nagiko-san tampak menunduk dan sesekali melihat ke depan. Jika melihat ke kiri atau kanan, karena jalanan begitu lancar, pusing juga kalau terus melihat keluar. Tapi, kalau melihat ke depan, seakan terhalang nuansa berat yang tidak Junichiro mengerti.

Kedua senior yang duduk di depannya tidak mengatakan apa-apa, dan tampaknya keponakan Bos ADB itu tidak bingung kenapa mereka tidak menuju gedung kantor, gadis tersebut pasti tahu bahwa saat ini mereka harus berkumpul di Aula Bankoudou untuk sementara. Makanya, gadis itu langsung melepas sabuk pengaman dalam keheningan saat Kunikida-san telah menghentikan mobilnya di tempat parkir aula.

Belum Nagiko-san keluar dari mobil, pintu belakang bangunan langsung terbuka dan tampaklah Pak Fukuzawa dari sana. Mengingat adanya kamera pengawas sekitar gedung, bos mereka pasti telah melihat bahwa mobil Kunikida-san telah kembali dan sang keponakan ada disana. Junichiro jarang melihat perubahan raut wajah pada Si Presdir, tapi jelas saat ini pria paruh baya itu memperlihatkan tampang cemas dan lega bersamaan. Melihat Sang Paman, Nagiko buru-buru keluar dari kendaraan, berlari cepat menghampiri pria itu, dan mereka berpelukan.

Junichiro bisa mendengar helaan halus Kunikida-san di bangku pengemudi, Si Kacamata mulai melepas sabuk pengaman dan memeriksa jok, mungkin memastikan agar tidak ada barang yang tertinggal. Di situlah mungkin Junichiro berpikir satu-satunya waktu yang tepat untuk bertanya tentang yang membuatnya terkejut tadi.

"Anu, Kunikida-san?"

"Hmm?" balas Si Kacamata.

"Yang tadi itu, eh, kenapa Nagiko-san bisa—"

"—setakut itu?" tebak Kunikida-san. Junichiro mengangguk. "Yaaah, benar juga, kamu tidak tahu, ya."

"Eh?"

"Ini bukan rahasia, sebenarnya, tapi kurasa Pak Fukuzawa tidak merasa perlu untuk mengumbar hal ini," ujar Kunikida-san dengan nada lelah, lalu menoleh ke belakang, kepada juniornya. "Kau tahu orangtua Nagiko sudah meninggal, kan?" Junichiro mengangguk. "Malam itu, Nagiko dan kedua orangtuanya sedang di mobil dalam perjalanan pulang, dia duduk di jok tengah, ayahnya mengendarai, dan ibunya di depan juga. Tiba-tiba cuaca menjadi buruk. Hujan lebat dan angin kencang, jadi ayah Nagiko memutuskan untuk menepi dulu. Tapi, sebelum mereka menepi, ada gempa."

"G-gempa?"

Kunikida-san mengangguk. "Tidak terlalu besar, lagipula negara kita memang sudah sering ada gempa kecil, kan? Tapi, karena ditambah hujan dan angin kencang, suasananya jadi parah. Pohon tumbang, tiang listrik jatuh, mobil dan motor menyerempet satu sama lain karena jalanan licin dan agak terguncang. Ada motor yang terpeleset di depan mobil Nagiko, jadi ayahnya berusaha menyingkir, tapi mobil mereka malah jadi terhantam truk sampai terbalik. Orangtuanya sempat dibawa masuk ke dalam ambulans, tapi mereka lebih dulu pergi untuk selamanya sebelum tiba di rumah sakit. Selain orangtua Nagiko, masih ada beberapa korban jiwa lainnya malam itu. Nagiko bisa selamat tanpa luka sama sekali pun karena kemampuan khusus ibunya. Tapi tentu saja, Nagiko yang malam itu duduk di tengah dan menyaksikan orangtuanya terluka parah, sekarang jadi takut kalau harus duduk di jok tengah mobil."

Junichiro merinding mendengarnya. Ia ingat bahwa setelah membantu Naomi dan Haruno-san turun dari mobil tadi, Nagiko-san memang ada di bangku tengah. Yang lebih mengerikan lagi, ia menggunakan truk untuk menabrak kedua anggota The Guild, disaksikan keponakan Presdir itu juga pula.

"Tadi aku—"

Seniornya menghela. "Ranpo-san dan Dokter Yosano mungkin sudah tahu, dan Dazai pasti sudah diberitahu Pak Fukuzawa secara pribadi. Tapi kamu tidak tahu soal itu. Dan sekalipun tahu, mungkin kamu akan tetap membuat truk itu ke arah mereka tadi, karena tidak ada pilihan. Nagiko tidak bakal marah karena itu, Pak Presdir juga tidak bakal."

Dengan ragu Junichiro menatap Si Kacamata. "Dan Kunikida-san juga?"

"Eh?"

"Anu, itu," Junichiro salah tingkah. "Bukannya Anda suka Nagiko-san, sampai menciumnya tadi?"

"Hah?" Kunikida-san lalu membuang muka. "Itu untuk mengalihkan pikirannya."

" … Dazai-san pernah memperlihatkan Naomi tulisan Kunikida-san tentang tipe gadis ideal Anda, dan saya sempat membacanya juga. Bukankah, eh, Nagiko-san ideal?"

Walau hanya terlihat sebelah kirinya, tapi Junichiro bisa melihat telinga kiri seniornya memerah.

"Tidak, dia tidak ideal," gumam Kunikida-san.

Tahu Si Kacamata berbohong, Junichiro agak menyengir sambil memutuskan untuk turun saja dari mobil, karena toh Pak Presdir dan keponakannya telah masuk bangunan. "Hmmm, begitu?"

"… poinnya hanya 56."

Tangan Junichiro yang sudah memegang pintu mobil, batal membukanya saat mendengar itu. "Eh?"

"Ada 58 daftar tipe pasangan idealku, Nagiko hanya lolos 56 di antaranya."

"Ap—itu sudah cukup bagus—"

"Tidak," potong Kunikida-san. "Jika tidak persis 58, maka dia tidak ideal. Apalagi, dua yang tidak lolos itu adalah dua yang terpenting."

" … memangnya apa?"

"Pertama, kami bekerja di tempat yang sama dan sekaligus dia adalah keluarga dari bosku. Dan kedua—" Kunikida-san menghela sejenak, "—yang kedua, dia sudah ada yang punya." Lalu Kunikida-san membuka pintu mobil dan keluar.

.

.

Mungkin karena sudah menerima banyak guncangan sejak berhadapan dengan The Guild tadi, Nagiko-san jadi pingsan saat mendengar kabar bahwa Dazai-san masuk rumah sakit karena kecelakaan lalu lintas. Padahal Junichiro tahu bahwa Kunikida-san telah susah payah membuat gadis itu tenang sebelum mereka tiba di Aula Bankoudou tadi.

Perkara Dazai-san masuk rumah sakit pun juga Nagiko-san bisa tahu karena pihak rumah sakit mengirim surel ke alamat email kantor agensi. Yang membuka surel itu adalah Haruno-san, sebenarnya, tapi staf ADB tersebut melaporkan hal itu dengan lantang sehingga mereka semua yang ada di ruangan itu bisa mendengar. Haruno-san tidak tahu tentang kepanikan Nagiko-san tadi, jadi ia tidak sengaja. Tapi, orang-orang yang tahu mengenai Nagiko-san, termasuk Junichiro sendiri, mereka langsung menoleh kepada keponakan Pak Presdir. Kenji, Naomi, dan Haruno-san yang tidak tahu apa-apa baru menoleh pada gadis itu ketika cangkir teh di tangan Nagiko-san terjatuh dan pecah. Kena serangan panik, dan tak lama kemudian gadis itu pingsan dan Kunikida-san membawanya ke ruangan sebelah dengan Dokter Yosano. Tidak ingin diganggu, sang dokter meminta agar tidak ada yang masuk ruangan itu, termasuk Pak Fukuzawa. Makanya Kunikida-san pun langsung keluar ruangan dan kembali ke aula setelah membaringkan gadis itu di ruang sebelah.

"—ah, halo?" Itu suara Haruno-san. Daritadi ia berusaha menelepon ke rumah sakit yang mengirim mereka surel, tapi tampaknya baru sekarang diangkat oleh seberang. "Saya Haruno dari Agensi Detektif Bersenjata. Kami menerima surel bahwa ada agen kami yang dilarikan ke rumah sakit?" Hening sesaat. "—benar, itu namanya! … oh, begitu? Baiklah, terima kasih informasinya!" Lalu telepon ditutup.

Kunikida-san yang bertanya duluan setelahnya. "Dazai?"

Haruno-san mengangguk. "Tidak ada yang serius. Mobil yang ditumpangi Dazai-san dihantam dari kanan, jadi pengemudinya yang terluka parah. Dazai-san sendiri diseret ke rumah sakit oleh saksi mata hanya untuk memastikan bahwa dia tidak apa-apa. Petugas rumah sakit berhasil menemukan kartu identitasnya, jadi mereka mengirim surel ke kantor. Saat saya menelepon tadi, mereka bilang Dazai-san baru saja lari keluar melewati resepsionis."

"Begitu—hm?" Kunikida-san menghentikan perkataannya. Junichiro menoleh, melihat seniornya itu merogoh kantong celananya. Ia mengernyit melihat Si Kacamata menarik keluar ponsel Nagiko-san. "Dazai menelepon ke ponsel Nagiko," lapornya.

"Angkatlah," ujar Pak Fukuzawa.

Kunikida-san mengangguk dan menyentuh sesuatu pada layarnya. "Halo? … Nagiko sedang istirahat, jadi kupegang ponselnya untuk jaga-jaga kau menghubunginya. … Oke." Lalu telepon terputus. "Pak Presdir, Dazai sedang menuju kemari."

Pak Fukuzawa menghela dan mengangguk. Junichiro pikir bahwa bosnya mungkin bukan lega karena stafnya baik-baik saja—tentu di satu sisi akan merasa lega, tapi untuk saat ini, Pak Presdir mengkhawatirkan Dazai-san untuk Nagiko-san.

"Tanizaki," gumam Kunikida-san, yang menghampiri kakak Naomi itu. Suaranya tidak kencang tapi Junichiro bisa mendengar ketegasan dan rasa pahit disana. "Ingat saat kubilang dia sudah ada yang punya?"

Junichiro mengangguk. "Tapi, Nagiko-san bilang bahwa dia dan Dazai-san—"

"—aku tahu itu," potong Si Kacamata dengan ekspresi pedih. "Tapi mereka selalu mengkhawatirkan satu sama lain. Mereka berpacaran, tapi mereka tidak sadar akan itu."

"Kunikida-san—"

"—Jadi, tidak, Tanizaki, Nagiko tidak ideal untukku."

.


.

Bersambung

.


.