Langit sore tampak begitu memikat. Sasuke Uchiha menapaki jalan demi jalan menuju desa Konohagakure, tanah kelahirannya.

Bagi Sasuke, Konohagakure bukan hanya sekedar tempat kelahiran. Itu seperti sebuah janji kesetiaan. Desa yang dilindungi Itachi—kakaknya, berhasil mengikat dia untuk selalu melindungi desa itu dari ancaman yang berada di luar desa. Dalam perjalanannya, Sasuke merenungkan kembali kegelapan yang pernah menghampirinya. Dia ikhlas, hanya saja ke mana saja dia pergi, kegelapan itu masih dapat ia temukan.

Rasa bersalah membuat Sasuke memikirkan ulang tentang sebuah rumah yang sebenarnya. Baginya rumah itu cukup diisi dengan Naruto dan Sakura. Mereka berdua adalah cahaya yang berhasil menarik Sasuke dari kegelapan. Tapi hal itu tiba-tiba memudar lalu timbul sebuah cahaya baru yang begitu terangnya.

Sasuke menarik nafas lelah, semuanya teramat membingungkan. Ino Yamanaka seorang gadis penuh kebebasan membuat semua kinerja dan rencana hidupnya kacau.

TRANG!!

TRANG!!

TRANG!!

Suara tangkisan kunai dengan pedang kusanagi milik Sasuke memecah keheningan sore itu. Pemuda itu melompat ke sisi barat sambil tetap waspada dengan sekitarnya. Sharingan teraktivasi, ada sekitar tiga buah kunai dengan kecepatan yang signifikan datang ke arahnya.

BRAK!!

Sasuke berbalik, lalu kembali melompat mundur dengan waktu yang sangat tipis, saat penyerangnya tepat berada di belakangnya, mencoba untuk melukainya kembali dengan menghunuskan sebuah kunai. Beruntung, refleks Sasuke sangat tajam dan cepat sehingga senjata tersebut berhasil kembali ditangkis olehnya. Musuh kembali mundur, menghilang bersembunyi di antara pepohonan.

Semenjak memiliki Rinnegan, Sasuke Uchiha mempunyai kemampuan sensor yang sangat baik, dia bisa merasakan kehadiran seseorang hingga jarak lebih dari seratus meter. Tapi kali ini ada yang sedikit berbeda, ia bahkan tidak bisa merasakan kehadiran musuh yang berada tepat di belakangnya. Sesaat kemudian ia mengerti, bahwa orang yang dihadapinya kali ini adalah lawan yang cukup tangguh.

"Tenangkan dirimu, Uchiha." Seseorang berujar di antara pepohonan yang tidak terdeteksi. "Aku menemuimu karena ingin menanyakan sesuatu."

Pegangan Sasuke pada kusanagi-nya semakin mengerat "Tampakkan dirimu, sekarang." Ujarnya tegas.

Ketika menampakkan diri, Sasuke tidak kalah terkejut dengan penampilan orang yang menyerangnya tadi. Seorang laki-laki kumal berambut panjang dengan jubah mandi dan setelan pakaian pendek. Itu sedikit mengingatkan Sasuke dengan dirinya beberapa bulan yang lalu. Tetapi, setidaknya dia lebih baik.

"Sasuke Uchiha, aku sudah banyak mendengar kabar tentangmu. Tapi bukan itu yang ingin aku tanyakan. Apa benar kau berasal dari Konohagakure?" Ujarnya sambil mengangkat kedua tangannya tanda mengalah. Tangan kirinya menggenggam sebuah kunai beserta kertas peledak yang diturunkannya ke tanah lalu menendangnya ke sembarang arah. "Lihat. Aku tidak akan menyerang lagi. Aku hanya ingin bertanya. Apa kau mengenal Ino Yamanaka? Gadis itu mengatakan bahwa dia berasal dari Konohagakure. Sama seperti tempat asalmu."

Sasuke hanya diam dan menatap datar orang yang sedikit jauh dengannya. Ia memandang dengan penuh perhitungan. Menimbang, apakah orang yang berada di depannya ini adalah teman atau musuh dari Ino Yamanaka?

.

.

.

'Apakah itu merupakan pembunuhan acak?'

"Haish... aku sangat membenci pertanyaan itu." Ino menggerutu, memaki otaknya sendiri yang tiba-tiba terpikir bahwa kasus yang sedang ia tangani merupakan pembunuhan acak. Ia paling tidak suka apabila muncul pertanyaan tanpa jawaban, sama seperti melakukan sesuatu tanpa alasan. Tangannya menggapai kacang almond yang berada di meja lalu memakannya untuk menenangkan diri.

Saat ini ia berada di kedai minuman langganannya dulu. Rasanya begitu penat berada di kantor kepolisian tadi. Matanya tidak lepas menatap sebuah televisi yang tergantung di sisi kedai. Televisi tersebut sedang menampilkan konferensi pers yang dilakukan oleh Tenten. Ino terkekeh kecil saat melihat Tenten yang tetap tidak bisa menghapuskan rasa gugupnya.

"Terima kasih, bibi." Ino berujar sambil tersenyum kecil saat bibi kedai mengantarkan minumannya.

"Oh... indah sekali! Sudah lama aku tidak melihatmu, Ino. Kau kemana saja?" Ujar Bibi kedai yang ikut duduk di depan Ino.

Ino adalah seorang ekstrover, penyuka kebebasan yang mudah bergaul dengan siapa saja sehingga dia memiliki banyak teman dari kalangan muda maupun tua. Tapi tetap saja, ia malu kalau dipuji secara langsung.

Ino hanya bisa tersenyum kecil mendengar pujian tersebut. "Terima kasih untuk pujiannya bi. Selama dua tahun ini aku diberikan misi keluar desa oleh Hokage dan baru pulang beberapa minggu yang lalu." Sahutnya berusaha untuk santai.

"Ahhh iya! kau sudah mendengarnya, Ino? Ada pembunuhan di desa ini." Ino hanya mendengar bibi kedai yang mengalihkan pembicaraan dengan sedikit berbisik. Ia dan bibi kedai memang terbilang akrab. Bahkan semenjak kecil, Ino sering mengajak Sakura dan anggota timnya untuk sekedar duduk menghapus rasa lelah sehabis menjalankan misi. Letaknya yang tidak jauh dari gedung pemerintahan membuat Ino sangat sering mengunjungi kedai itu.

"Apa menurut bibi, kebijakan Hokage yang memperbolehkan orang asing masuk ke desa adalah sesuatu yang salah?" Ino bertanya dengan hati-hati. Ia ingin mengetahui beberapa pendapat para masyarakat sipil, sehingga nanti bisa ia sampaikan kepada Hokage.

Rock Lee telah memaparkan kritikkannya. Sayangnya, pemuda serba hijau tersebut tidak memberikan saran yang pasti.

"Tentu saja tidak. Karena kebijakan Hokage itu, perekonomian kami meningkat dan aku bisa membuka kedai ini lebih besar. Kau lupa bagaimana keadaan kedai ini dulu? Lagian pembunuhan itu sudah terjadi sejak..." ucapannya terhenti dan Bibi itu sedikit berpikir.

"Sejak?"

"Ah.. sejak tragedi itu terjadi. Kalau tidak salah, saat itu kau masih kecil. Tragedi berdarah itu... ahh... apa ya? Kenapa tiba-tiba aku menjadi pikun begini." karena tidak bisa mengingat dengan baik, bibi kedai itu nyaris mengumpat.

Sedangkan Ino yang mendengar malah ikut berpikir. Hanya ada satu tragedi pada saat ia kecil. "Maksud bibi, tragedi berdarah Uchiha?"

"Ya! Itu. Setelah tragedi tersebut, ada beberapa pembunuhan yang hampir sama dengan hari ini. Cuma tidak begitu diperhatikan karena semua fokus kepada tragedi berdarah tersebut. Kau harus berhati-hati ya, Ino!" Bibi kedai mengingatkannya dengan menggebu-gebu, lalu beranjak dari tempat duduknya saat melihat pelanggan baru masuk ke dalam kedai.

Ino mengerti kenapa bibi kedai bisa lupa dengan kejadian kecil itu. Rasa takut, was-was mengintai desa saat itu. Semua terfokus pada pembunuhan besar-besaran klan Uchiha yang dilakukan oleh Itachi Uchiha. Mereka takut desa akan menjadi kacau dan pecahnya perang.

Otak merupakan bagian penting dari tubuh manusia yang menyimpan memori, begitu juga dengan perasaan. Rasa takut itu, membentengi diri sehingga meminta otak membuat batas informasi berkurang bahkan terkunci dengan rapat. Untuk itulah ia tidak menyalahkan bibi kedai atau siapa saja yang melupakan kejadian mengerikan itu.

Tetapi, informasi yang diberikan bibi kedai sangat membantu Ino. Gadis itu tahu tujuan selanjutnya.

Ino memandang ninja keamanan berpangkat chunnin dengan sengit. "Aku bagian dari desa ini. Bahkan nomor registrasi ninjaku ada, kenapa kau tidak membiarkanku masuk?!" Ino nyaris mengamuk di depan gedung arsip, tetapi ia menahan diri.

Saat ini, satu-satunya cara mencari informasi yang sudah hampir dua belas tahun berlalu adalah dengan mencari laporan hasil misi yang dilakukan desa dan semua itu ada di gedung arsip yang sedang Ino datangi.

'Dia terlahir terdidik, ini bukan sifatnya.'

Kalimat itu terus ia katakan di dalam hatinya sambil menarik nafas dengan perlahan.

"Maaf, Ino-san. Aku tidak bisa memberikan akses masuk. Sekarang semua keamanan desa telah diperbaharui, kalau ingin masuk ke dalam gedung pemerintahan harus memakai nomor registrasi ninja yang aktif. Sedangkan, Ino-san belum memperbaharui registrasi ninja sejak satu tahun yang lalu. Aku harus mematuhi peraturan. Aku tidak ingin di amuk oleh Rokudaime Hokage." Suara bergetar ketakutan yang dikeluarkan oleh ninja itu membuat Ino merasa kasihan.

Hari yang sudah menunjukkan waktu senja membuat semburat cahaya kekuningan jatuh mengenai tubuhnya. Waktunya terbatas, sedangkan peraturan sialan ini membuatnya terhambat.

"Pakai kartuku saja, Han." Seseorang berujar sambil menyerahkan kartu registrasi ninja kepada ninja keamanan tersebut.

Ino menoleh dengan rasa terkejut sekaligus heran. "Sai-san?"

"Hai, bijin-san." Ucapan singkat di wajah Sai yang tersenyum membuat Ino sedikit terperanjat.

Bukan-bukan karena senyumannya. Tetapi karena ia memanggil Ino dengan Bijin-san, setelah dua tahun berlalu ia tidak menyangka, Sai masih bertahan menyapanya dengan panggilan manis tersebut.

"Ayo masuk." Ajak Sai saat menerima kartu registrasi ninja itu kembali. "Kau mau mencari apa? Biarkan aku membantumu."

"Terima kasih, Sai-san." Ino berjalan penuh semangat, menyusuri lorong-lorong gedung arsip tersebut. "Aku mencari hasil laporan kejahatan yang terjadi di Konoha dua belas tahun lalu."

"Apa yang membuatmu mencari berkas tersebut?" Sai terdiam, lalu kembali bersuara. "Ahh, kejadian yang menggemparkan tadi pagi? Kau membantu anggota kepolisian?"

Ino mengangguk. "Aku hanya mengolah sebuah informasi, makanya aku ke gedung arsip ini dan ternyata telah begitu banyak yang berubah pada desa ini. Termasuk peraturannya."

Ketika telah menemukan tujuannya, Ino memandangi ruangan penuh debu itu dengan keki. Begitu banyak yang harus ia periksa.

"Peraturan itu diubah karena ada beberapa ninja nakal yang berusaha mencuri informasi. Hokage hanya mengetatkan pengamanan."

"Aku tahu."

"Jadi, karena ini terlalu banyak, bagaimana aku membantumu?" Sai mengulangi pertanyaannya tadi. "Dengan imbalan, kau mau makan malam denganku."

Ino mendengus. 'Dasar pamrih!'

"Baiklah, kita akan menyelesaikan ini dengan cepat lalu aku akan mentraktirmu makan malam." Ujar Ino membuat keputusan.

Mereka memulai dari beberapa laporan, beberapa laporan lagi, dan beberapa laporan terus hingga tidak terasa waktu telah berakhir. Ino merenggangkan tubuhnya saat ia telah selesai dengan apa yang dicarinya.

Hari sudah pagi, semalaman ia dan Sai bergelut pada berkas-berkas penuh debu itu. Ino melirik ke arah Sai yang sudah menelungkupkan kepalanya ke meja dan tertidur. Ia sedikit merasa bersalah karena tidak menepati janjinya tadi malam.

Menarik nafasnya lagi, Ino menyentuhkan jari telunjuknya pada bahu Sai.

"Ino-san." Sai terperanjat dan bangun dengan tiba-tiba.

Ino menipiskan bibirnya dan menunjuk ke sebuah jendela yang menjadi sumber cahaya itu. "Hari sudah pagi dan aku menemukan berkas yang aku cari. Pulanglah, aku harus bergegas ke kantor kepolisian."

Ino mengumpulkan seluruh berkas yang ia temukan, lalu berdiri hendak berjalan, namun sebelum memulai langkahnya, ia terhenti dan berbalik menatap ke arah Sai dan tersenyum. "Terima kasih, Sai-san. Aku akan mentraktirmu saat kasus ini telah selesai."

Ino melangkah dengan hati-hati menuju kantor kepolisian. Sebanyak lima belas berkas laporan kejahatan dengan metode yang sama berhasil ia temukan.

Langkahnya terhenti karena seseorang mencegatnya.

"Naruto? Hinata?" sahutnya mengintip dari balik tumpukan berkas.

"Apa yang kau lakukan, Ino?" sahut Naruto sembari mengambil beberapa tumpukan berkas, sehingga Ino bisa melihat kedua pasangan fenomenal tahun ini—dikutip dari berita KonohaPress

"Kau dari mana? Kau tidak tidur semalam?" lanjutnya karena melihat mata Ino yang memerah.

"Menurutmu, dengan membawa tumpukan berkas penuh debu ini, aku tidur? Aku pulang?" Ino berujar penuh sarkas.

"Ahh, kau tidak tidur. Temperamenmu memburuk karena itu." Sindir Naruto.

Ino hanya menyeringai tipis. Saat akan membalas, beberapa suara menghentikannya.

"Lee? Kiba? Kenapa?" panggil Ino heran.

"Ino! Kau dari mana saja? Kami semua mencarimu." Kiba berujar dengan terengah "Emi Nakamura telah ditemukan. Saat ini dia berada di rumah sakit." Lanjutnya lagi.

Mata Ino membulat, lalu menyerahkan semua berkas yang ada di tangannya kepada Lee. "Tolong susun semua berkas ini secara berurutan. Berkas yang ada di Naruto juga. Aku dan Kiba akan ke rumah sakit sekarang."

Ino melajukan kakinya dengan cepat ke rumah sakit. Sesampainya di sana, ia menemukan beberapa media yang berdiri di luar rumah sakit dan ketika ia masuk ke dalam rumah sakit tersebut, Ino menemukan Hotaro Fuma dan Tenten yang juga datang.

"Dimana Emi?" Ino menginterupsi pembicaraan Hotaro dan Tenten. Kebetulan juga, Sakura turut hadir di sana.

"Ayahnya bersamanya." Ujar Sakura menjawab pertanyaan Ino. "Gadis itu terus menerus pingsan, tetapi keadaannya stabil."

"Ada bukti kekerasan seksual?" Ino kembali bertanya setelah sedikit lama terdiam.

Sakura menggeleng. "Aku belum memeriksanya. Aku ingin memberinya waktu untuk memproses semua yang terjadi."

Ino mengangguk mantap. "Boleh aku bicara dengannya?"

"Kau tidak lupa bukan, Ino. Serangan sering disertai amnesia pasif. Ia mungkin tidak punya ingatan itu lagi."

Ino tertegun, dia sedikit lupa mengenai hal ini.

"Maksud dari amnesia pasif itu tidak sesuai dengan apa yang aku pikirkan bukan?" Kiba bertanya hati-hati saat melihat Ino yang memegangi dahinya. Seperti teringat sesuatu.

"Ah.. ini akan susah." Ino menyugar rambutnya. Kepalanya pening seketika.

Hotaro yang memahami situasi hanya memehang bahu Kiba. "Sayangnya itu yang terjadi, Kiba."

"Ino, bukankah kau bisa menginterogasinya dengan cara masuk ke dalam memorinya? Seperti yang biasa dilakukan oleh para interogator?" Tenten bertanya. Sedikit banyak, Tenten mengerti mengenai cara kerja klan Yamanaka.

Ino menggeleng frustrasi. "Itu bukan lagi amnesia pasif, melainkan sistem otaknya yang telah membuang semua kenangannya."

"Jadi, kita akan berhenti disini? Emi Nakamura salah satu-satunya saksi hidup yang bisa membawa kita kepada pelaku kejahatan." Kiba tanpa sadar meninggikan suaranya.

Ino bergeming, ia sedang memikirkan berbagai cara dan teknik khusus klan Yamanaka yang pernah ia pelajari. Lalu tiba-tiba, ingatannya datang beserta gambaran masa-lalu ayahnya yang menunjukkan sebuah kitab khusus milik klan Yamanaka.

Ino menipiskan bibirnya dan menarik nafas. "Aku ingin mencoba sesuatu." Ujarnya masuk ke dalam ruangan tanpa meminta izin.

"Yamamoto-san. Halo. Aku Ino Yamanaka, anggota tambahan kepolisian. Aku meminta izin untuk berbicara pada putrimu, boleh?" Permintaan Ino langsung ditanggapi Tuan Yamamoto dengan anggukan kepala, kemudian pergi keluar dari kamar.

Ino tersenyum ramah, berusaha membangun kedekatan alami kepada Emi Nakamara. "Halo Emi-chan, aku Ino. Aku turut berduka tentang ibu dan ayah tirimu. Ada yang ingin aku tanyakan beberapa hal. Agar kami bisa tahu siapa pelakunya. Apakah boleh?"

"Aku tidak dapat mengingat apa-pun lagi." Emi berdalih dengan penuh kesedihan, berusaha mengendalikan emosinya.

"Aku tahu caranya." Ino mengajak Emi turun dari ranjang rumah sakit untuk duduk di sebuah kursi yang berhadapan. "Kau tahu ninja?"

"Ya. Mereka semua tampak hebat." Ujar Emi berusaha menghapus kegugupannya.

"Dalam klan Yamanaka, ada sebuah teknik yang mampu memperbaiki sistem memori seseorang. Aku akan meletakkan tanganku di dahimu, lalu mengirimkan chakraku dan kau berusaha untuk mengingat sepotong demi sepotong memori tersebut. Agar kau bisa mengingatnya dengan baik, aku akan memberikan pertanyaan yang akan merespons ingatanmu kembali. Ini tentang berbagai hal yang kau rasakan dan kau lihat. Oke?"

"Aku takut." Emi berujar dengan wajah penuh ketakutan.

"Aku tahu. Tetapi aku disini, Emi-chan. Aku akan selalu bersamamu." Ino memberikan pengertian sehalus mungkin. Emi mengangguk perlahan, membuat ia bernafas lega.

"Aku ingin kau menutup matamu." Pintanya sekali lagi. Ino meletakkan salah satu tangannya pada dahi sang gadis kecil. "Apa hal pertama yang kau ingat?"

Pertanyaan telah keluar. Refleksi di sekitar Ino tiba-tiba berubah menjadi hitam. Itu adalah memori kosong seorang Emi Nakamura.

"Itu dingin." Refleksi tersebut terasa menjadi seperti hembusan angin yang begitu dingin.

Ino kembali melanjutkan pertanyaannya. "Apa ada seseorang?"

"Ada, seorang pria. Ia menyuruhku untuk—"

"Apa yang ia lakukan, Emi-chan?" Ino memotong ucapan Emi karena merasakan sebuah pergeseran bentuk memori.

"Ia memegang tanganku. Rasanya sakit dan ia menunggu sesuatu." Tangan Emi yang saling memegang, mengerat satu sama lain.

Ino berinisiatif untuk melepaskan tangan tersebut dan menggantikannya dengan tangannya sendiri, seolah memberi kekuatan.

"Seperti apa rupanya?" Ino kembali bertanya.

Tubuh Emi bergetar, ketakutan. "Aku tidak ingin berada di sini."

Suaranya yang sedikit meninggi membuat Ino menenangkan Emi Nakamura kembali. "Stt... ia tidak bisa menyakitimu, Emi-chan. Aku janji. Aku selalu ada di sini."

"Tinggi, berambut gelap dan tua" Emi menjawab pertanyaan Ino dengan nafas yang memburu.

"Tua? Seperti Rokudaime Hokage?" Terkutuklah Ino yang bisa-bisanya mengatakan bahwa Kakashi tua.

Tapi, itu adalah fakta.

Fakta itu yang membuatnya menjalankan misi di luar desa.

"Tua seperti ayahku."

Ino merefleksikan semua yang Emi katakan, membentuk sebuah ingatan yang sesuai dengan Emi katakan. Tapi, entah kenapa memori yang Ino bangun masih terlihat abu-abu.

"Ada orang lain lagi di sana?" Ino mencoba untuk mencari persepsi lain, sembari membuat ingatan Emi terbangun kembali.

"Seseorang datang. Ino-san bantu aku, bantu aku dia membawaku pergi." Emi menjerit ketakutan.

"Baiklah tidak apa-apa aku di sini, di depanmu. Aku janji ia tidak bisa menyakitimu, Emi-chan. Aku di sini." Sembari Ino menanamkan sugesti kepada Emi, ia kembali bertanya.

"Jadi, mereka hanya berdua?"

Emi menggeleng, "Tidak, mereka bertiga. Mereka menempatkanku pada sebuah kotak.

"Kotak?"

Dengan gugup Emi kembali mengatakan sesuatu yang sepertinya menjadi kunci dari ingatan yang hilang tersebut. "Seperti sebuah tas besar, mereka menggendongku di punggung."

"Baik, berapa lama kau di sana?"

"Lama, hampir sekitar sepuluh jam."

Suara Emi terhenti, kemudian timbul memori Emi yang telah hilang. Ino dengan segera melihat memori tersebut, karena perlahan memori itu menghilang.

Benar apa yang menjadi dugaannya, Emi sangat ketakutan berada di tempat gelap, sehingga otaknya memicu untuk menghapus sebagian memori kekacauan tersebut.

Ayah, Ibu

Dan,

Anak?

Ini pembunuhan keluarga.

Dalam ingatan Emi, Ino mendengar sebuah bahasa yang begitu asing namun sangat familiar ketika ia mendengarnya.

Puyale?

"Ino-san... Ino-san... bantu aku. Mereka membawaku kembali pergi. Aku mohon!" Ino tersentak saat Emi kembali meraung ketakutan.

"Ssst.. tidak apa-apa aku di sini. Emi-chan buka matamu." Ketika Emi membuka matanya, dia terlihat bernafas dengan lega. "Kau melakukannya dengan baik. Beberapa saat ketika kau mencoba mengingatnya. Memori itu datang membiarkan aku melihat sedikit ingatanmu. Terima kasih, Emi-chan." Ino tersenyum manis sambil mengusap surai hitam kemilau tersebut.

Ino segera keluar, setelah membiarkan Emi kembali istirahat di ranjangnya. Ia melihat Hokage beserta Shikamaru, Sakura, Kiba, Hotaro Fuma dan juga ayahnya Emi.

Ino mendekati Tuan Yamamoto. "Kau memiliki putri yang sangat kuat, Yamamoto-san."

"Apa penjahat tersebut menyentuhnya?" Tanyanya.

"Tidak. Tidak dengan cara itu."

"Syukurlah." ujar Yamamoto segera permisi masuk ke dalam kamar anaknya.

"Bagaimana, Ino?" tanya Hokage. Ino memandang Kakashi dengan begitu banyak pertanyaan. Kenapa Hokage bisa berada di tempat ini dan sampai turun tangan ikut menangani kasus ini?

Ia melirik ke arah Hotaro yang juga mengangguk dalam diam. Tidak ada yang bisa menolak perintah Hokage bukan?

"Ia diculik oleh sebuah keluarga." Ino bicara dengan berbisik. Setelah meminta mereka mendekat.

"Sebuah keluarga?"

"Orang tua dan anak laki-laki sebayanya. Mereka membawanya ke sebuah rumah kosong dan ibunya memanggil anak itu dengan sebutan puyale.

"Puyale?" Kiba bertanya.

"Kata tersebut terdengar asing namun begitu familiar." Ino terdiam, matanya meliar ke kanan kiri seperti sedang mencoba mengingat sesuatu.

"Kami-sama."

"Ino?" Sakura memanggilnya. "Kau mengingat sesuatu?"

"Puyale, merupakan bahasa kuno yag sering dipakai oleh klan Hagoromo. Itu memiliki arti kata sayang."

"Kau yakin?" Hotaro memegang lengan dan menatap Ino penuh tajam. Kasus ini semakin melebar, terlalu banyak informasi yang sangat luas, membuat mereka kebingungan.

"Klan Hagoromo telah punah, Ino. Mereka punah saat perang melawan klan Senju dan Uchiha. Itu terjadi pada masa kecil Shodai Hokage." Kakashi mencoba untuk memberikan Ino pengertian.

Ino menggeleng tegas. "Aku pernah bertemu dengan mereka semasa menjalankan misi di luar desa. Mereka tidak tergabung pada sebuah desa. Mereka pengembara, pergi dari satu desa ke desa lainnya."

"Kalau memang yang Ino katakan benar, itu berarti mereka klan Hagoromo kuno yang masih mengikuti aturan zaman dahulu." Shikamaru menimpali ucapan teman timnya. Ia seolah mengerti bahwa apa yang diucapkan Ino adalah sebuah keseriusan.

Dalam sebuah misi, Shikamaru tidak pernah melihat Ino bermain-main. Dia selalu serius dengan apa yang di carinya. Untuk itulah, Shikamaru mempercayai Ino.

"Aku akan menyuruh Lee dan Tenten mencari rumah tersebut." Hotaro berujar dan kemudian pergi dari rumah sakit bersama Kiba.

"Fuma-san, apa yang sedang kita hadapi saat ini?" Tanya Ino sebelum Hotaro Fuma menjauh.

Hotaro Fuma menggeleng. "Aku tidak tahu."

Ino diam, masih menyandarkan diri pada meja administrasi rumah sakit. Ia seolah enggan meninggalkan tempat itu. Tangannya terlipat seperti memikirkan sesuatu.

"Sakura, waktu Emi datang hanya seperti itu? Atau dia membawa sesuatu?"

"Hmmm... ketika dia datang, selimut asing membungkusnya."

"Apa kau bisa memeriksanya? Entah ada debu atau apa saja yang membuat itu menjadi sebuah petunjuk?"

"Aku bisa membawanya ke labor untuk mencari DNA."

"Bisa tolong dilakukan?" Ino mengerjapkan matanya yang mulai terasa perih. Matanya membaca berkas semalam suntuk, jadi wajar apabila matanya sudah di ambang batas.

"Kalaupun dapat, aku tidak mempunyai DNA pembanding untuk mengetahui siapa orangnya." Sakura tersenyum memohon maaf.

"Cari saja, aku akan membawakan nama-nama yang aku curigai."

.

.

.

Lavender?

"Kenapa bunga lavender ada di sini?" ujar Ino setibanya di kantor kepolisian.

"Itu semua ada di rumah persinggahan yang kau singgung tadi, termasuk di rumah keluarga Nakamura." Ujar Lee, yang mengusap kasar mukanya. "Semua petunjuk baru, mendapatkan jalan buntu kembali."

"Ino, Apakah ini bagian dari ritual?" tanya Kiba.

Ritual?

Satu kalimat dari Kiba membuat Ino berpikir panjang. Hanya ritual jashin oleh Hidan dari Akatsuki yang ia ketahui.

"Apakah desa pernah menghadapi hal ini sebelumnya?" Hotaru Fuma ikut bersuara dengan lemas.

"Sebuah keluarga yang memiliki ritual untuk membunuh bersama-sama? Tentu tidak." Sahut Kiba ketus. Ini adalah pertama kalinya ia menjalankan misi seperti ini. Kapasitas otaknya belum sampai untuk mempelajari hal baru secara tiba-tiba.

Ino memijit kepalanya, pandangannya lurus menatap meja yang menampilkan bunga Lavender yang terlampau kering.

"Kau tahu, kebanyakan anak yang nyaris diculik adalah perempuan. Biasanya mereka adalah orang penting dalam klan, seperti Hinata Hyūga. Lalu, apabila ada seorang anggota keluarganya hilang akan dilakukan pencarian dalam waktu satu minggu. Lebih dari itu, kasus itu akan dtangguhkan. Orang tua harus bekerja lebih keras agar suara mereka lebih didengar." Ino meracau panjang lebar. Ia tidak menyalahkan, hanya saja—

"Apa yang kau harapkan, Ino? Sebelum ada aliansi Shinobi. Prioritas desa adalah mengambil misi di luar desa sebanyak mungkin. Tidak ada yang tahu kapan pecahnya perang. Kita membutuhkan dana yang sangat banyak." Hotaro memotong ucapan Ino, dan memberikan pengertian. Dia pun mengerti apa yang Ino katakan. Sangat mengerti.

"Tapi mereka semua mati. Keluarganya. Seolah menghapus jejak, agar tidak ada yang bisa mencari anak tersebut." Ino tersenyum miris.

BRAKK!!

Pintu ruangan terbuka dan terbanting, menampilkan Tenten dengan wajah tidak kalah frustrasinya. Satu kalimat yang diucapkan Tenten, seolah memberikan cahaya baru dalam kasus ini.

"Aku tahu kenapa Emi Nakamura diculik!"

...

"Mereka mencari istri."

"Apa maksudnya?" Ino duduk dengan wajah yang tidak kalah heran mendengar penuturan Tenten. "Mereka masih berusia sepuluh tahun. Tidak mungkin mereka dinikahkan."

"Makanya dengar dahulu." Ujar Tenten dengan muka masam. "Lihat." Lanjutnya sambil menunjuk sebuah papan yang tergantung dengan banyak tempelan berkas yang Ino cari tadi malam. "Semua perempuan dan mempunyai metode yang sama, membunuh orang tuanya."

"Itu bisa dipersepsikan dengan yang Ino katakan tadi. Tidak ingin orang tua mereka mencarinya." Kiba memotong.

"Itu kalau hanya sebuah penculikan biasa. Bunga Lavender menjadi kunci utamanya."

"Ritual." Ino menghela nafasnya lelah.

"Kau benar. Sebuah ritual sesat yang harus dilakukan sempurna."

Ino sontak berdiri, ketika berhasil menghubungkan sesuatu lainnya. "Itulah kenapa mereka membebaskan Emi. Gadis itu memiliki penyakit bawaan."

"Dan itulah kenapa, aku yakin mereka akan melakukan pembunuhan lagi." Tenten berujar yakin. Untuk pertama kalinya ia merasa bahwa dirinya berguna. Memang tidak bertarung di garis depan, tapi, bertarung dengan otaknya."

"Hotaro-san!"

Seolah mampu membaca pikiran Ino, Hotaro berujar. "Aku akan memperketat keamanan desa dan meminta Hokage untuk membantu."

Setelah Hotaro keluar, tinggal Ino, Tenten dan Lee. Kiba terus saja mengekor kaptennya.

"Mereka tidak sembarangan memilih korban. Mereka menargetkannya." Ujar Tenten lagi.

"Lee, coba tolong kau bawa gambar-gambar anak itu kepada Sakura. Rumah sakit pasti memiliki DNA dari anak-anak yang hilang ini. Kita mencoba untuk melakukan perbandingan pada DNA yang ada pada selimut Emi."

"Kau berpikir anak-anak yang diculik itu adalah partner pembunuhannya?" Tanya Tenten.

"Stockholm syndrom, brainwash. Mereka semua di cuci otaknya. Menghapus kenangan lama dengan kenangan baru. Tidak hanya klan Yamanaka yang bisa. Rasa takut, kebencian, kengerian, bisa menjadi faktor utamanya."

"Kalau begitu, salah satu dari mereka tidak bisa dinyatakan bersalah."

"Saat ini prioritas kita menangkap mereka. Asumsi kita bisa saja patah, setelah melihat kondisi di lapangan." Ino berujar final.

.

.

.

TBC


Note's:

Seharusnya kasus ini selesai dalam satu chapter, ternyata panjang yak... terlalu banyak hal yang dibahas.

Jadinya, aku membagi ini menjadi dua chapter. Sesuai dengan genre, yaitu Crime. Aku memasukkan beberapa kasus modern. Mudah-mudahan kalian srek untuk membaca ini.

Ini baru pembukaan. Awal dari kehidupan Ino yang penuh sepak-terjang. Bocoran aja nih, Ino adalah seorang jalang kecil yang mencoba segala jenis cobaan yang datang. Salah satunya masalahnya, ada pada sinopsis di WP.

Ini pertama kalinya aku terbitin di ffn dulu daripada pf sebelumnya, hehe.

Komentar Unlocked:

PhiruFi: Pasti bakalan aku jelasin semua perubahan Ino. Pada baper ih, sama Kaka-Ino padahal itu cuma masa-lalu:")

Perubahan sikap Ino, semua karena Kakashi dan gaada manis-manisnya lagi. Btw, terima kasih karena telah mendukung cerita ini ya!

Azzura Yamanaka: Ino jadi pintar karena banyak pengalaman di luar desa. Banyak orang yang mengubah hidupnya, walaupun cuma 2 tahun hidup di luar. Btw, terima kasih karena telah mendukung cerita ini ya!

Guest: Mudah-mudahan ga bosan ya dengan cerita ini. Karena kebanyakan cerita kriminal hanya menampilkan romance tipis-tipis. Btw, terima kasih telah mendukung cerita ini ya.