Saat Nagiko tersadar, ia merasa tangan kirinya terasa hangat. Ia membuka matanya perlahan, mendapati Dazai-san sedang memegangi tangan kirinya dengan tangan kiri sendiri, telapak tangan gadis itu bahkan ditempelkan ke pipi pemuda itu—pantas saja rasanya jadi hangat. Sedangkan Dazai-san sendiri malah dengan tersenyum tampak asyik memerhatikan Sang Putri Tidur yang baru mulai membuka kedua matanya sayup.

"Dazai-san?" gumam gadis itu.

"Hmm?" balasnya lembut, sambil mengusap punggung jari kiri Nagiko dengan ibu jari, masih tersenyum.

Nagiko mengerjap. Sekali, dua kali, lalu otaknya teringat bahwa hal terakhir yang ia dengar adalah tentang pemuda ini yang seharusnya ada di rumah sakit tadi. Buru-buru gadis itu terlonjak, bangkit dari posisi tidurnya dan terduduk di situ. Saking tiba-tibanya, Dazai-san pun terkejut juga.

"Dazai-san, bukannya di rumah sakit?!" tanya Nagiko cemas, lalu ia langsung termegap saat melihat tangan kanan pemuda itu disanggah dengan balutan kain putih.

"Aaah, hahaha," Dazai-san tertawa kecil dan langsung duduk di samping gadis itu. "Ini cuman keseleo, kok. Mobil yang kunaiki dihantam mobil dari sebelah kanan, sedangkan aku, kan, duduknya di sebelah kiri. Pengemudinya lumayan parah, sedangkan aku tetap dipaksa untuk dicek ke rumah sakit, gitu."

Tapi mata Nagiko tidak lepas dari 'tangan keseleo' Dazai-san, dan pemuda itu tampaknya menyadari.

"Aku baik-baik saja, Nagiko," tutur Dazai-san lembut. Dengan tangannya yang sehat, ia kembali meraih satu tangan Nagiko. Ia mengunci tiap jari gadis itu dengan jarinya sendiri. "Kamu sendiri baik-baik saja? Aku sudah dengar ceritanya dari Kunikida-kun, kamu pasti ketakutan, ya?"

Dengan ragu Nagiko mengangguk. Yah, sekalipun bilang 'tidak', lawan bicaranya pasti segera tahu dirinya berbohong. "Karena kita semua buru-buru, aku tidak mau minta tukar posisi duduk dengan Naomi," ujarnya sambil membalas tautan jari Dazai-san. "Terus mobilnya berguncang." Dazai-san mengangguk. "Habis itu aku melihat truk menabrak orang The Guild."

"Hmm, aku sudah baca laporan Tanizaki di bagian itu juga," tutur pemuda itu.

"Kemudian, saat aku sampai disini, kami dapat kabar Dazai-san masuk rumah sakit karena kecelakaan mobil…," gumam Nagiko.

"Nagi cemas, ya?"

Gadis itu mengangguk jujur.

Dazai-san bangkit. Dari yang tadinya duduk di sebelah kiri Nagiko, sekarang ia malah duduk di sebelah kanannya. "Kadang kamu mengigau saat tidur."

"Eh?" Nagiko mengerjap.

Pemuda itu tersenyum tipis. "Kamu memanggil mama dan papamu sambil terisak, meminta mereka jangan pergi. Kupikir, mungkin kamu bermimpi buruk, tentang kecelakaan itu. Kalau sedang begitu, kamu selalu meringkuk masuk ke dekapanku, dan aku akan memelukmu, seperti ini." Dazai-san mempraktikkan pelukannya, melingkarkan tangan kirinya pada gadis itu. "Lalu aku mengusap punggung dan atau kepalamu," ia mempraktikkannya lagi. "Dan kemudian aku selalu mengatakan hal yang sama, kamu bisa tebak apa?"

Nagiko menggeleng. Ia terlalu fokus merasakan pelukan pemuda di sebelahnya sampai ia tidak bisa kepikiran apa-apa untuk menebaknya.

"Kubilang…," gumam Dazai-san di telinga gadis itu dengan lembut, "bahwa aku ada disini, dan aku tidak akan kemana-mana, bahwa aku akan tetap disini denganmu."

Keponakan Presdir ADB itu meremas pelan sisi baju Si Pemuda, seakan membiarkan Dazai-san untuk terus mendekapnya dalam kehangatan. "Tidak akan pergi?"

"Mm." Nagiko bisa merasakan anggukan lawan bicaranya. "Orang yang maniak bunuh diri tidak akan ingkar janji!"

"Pfft—" Nagiko berusaha menahan tawanya untuk perkataan yang satu itu.

Sadar bahwa perasaan gadis itu sudah tidak secemas tadi, Dazai-san melepas pelukannya, tersenyum dan menepuk puncak kepala yang lebih muda darinya itu. "Kemarin itu melelahkan sekali untukmu, ya…."

Lagi Nagiko mengangguk. Tapi setidaknya tiga detik kemudian, ia kembali mengerjap. "Kemarin?"

"Ini sudah ganti hari, Sayang," cengir Dazai-san. "Dari rumah sakit, aku langsung kemari, dan saat itu kamu masih pingsan. Pak Fukuzawa dan Kunikida-kun menyuruhku melaporkan semuanya dulu sebelum memegangi tanganmu, biar kamu bisa terus terlelap semaumu. Dan sekarang, kamu baru bangun."

"Mm, Atsushi baik-baik saja? Kyoka?"

Dazai-san tersenyum pahit. "Aku dan Atsushi-kun menunggu di stasiun tempat seharusnya kau turun kereta dengan Haruno dan Naomi-chan. Setelahnya, kami berpisah—mereka bertiga kesini, aku ke kepolisian untuk mendiskusikan sesuatu dengan seorang informan. Pengemudi yang bersama denganku itulah si informan." Nagiko mengangguk paham. "Mereka bilang bahwa Atsushi-kun sempat kesini kemarin, tapi kemudian keluar lagi dan belum kembali sampai sekarang. Sedangkan Kyoka-chan, tidak ada kabar."

"Pasti bukan Mafia, kan?" tebak Nagiko. "Kalian masih menahan seseorang dari mereka, kan?"

Dazai-san mengangguk. "Kurasa bukan The Guild juga, jadi mungkin Kyoka-chan ditahan oleh tim kepolisian khusus. Nagiko, Fujiwara-san telah berhasil membawa barang-barang kalian dari vila kesini, termasuk laptopmu. Secanggihnya Tanizaki dalam menyadap sana-sini, mereka membutuhkanmu untuk meretas beberapa kamera pengawas."

"Paham," jawab Nagiko, lalu ia teringat sesuatu lagi. "Oh, iya, berarti dua orang The Guild yang menyerang kami kemarin itu juga ditangkap oleh tim polisi yang kemungkinan menangkap Kyoka, kan?"

Lagi senyum pedih Dazai-san muncul, ia kembali menggenggam erat tangan gadis di sebelahnya. "The Guild punya kuasa yang besar. Menurut informanku, kemungkinan besar saat ini mereka sudah dibebaskan karena punya hak istimewa."

Kepala Nagiko kembali pening, dan Dazai-san menyadari betapa pucatnya Si Gadis. Ia melepaskan genggaman tangannya, meraih rambut panjang Nagiko dan memainkannya lembut. "Makanya, jangan pergi jauh-jauh lagi dari pandanganku."

"Eh?"

Dazai-san menyelipkan rambut yang dimainkannya ke telinga kanan gadis itu. "Kamu itu matahariku, dan aku butuh kamu untuk menyinari hidupku yang gelap. Makanya—" Kali ini ia malah membelai lembut pipi Nagiko. "—jangan jauh-jauh dariku, Nagiko."

Nagiko bisa merasakan pipinya menghangat, ia berani bertaruh jemari Dazai-san yang masih ada di sana mampu merasakan perubahan suhu pada kulitnya. Kemudian ia teringat akan perkataan terakhir laki-laki ini saat terakhir kali mereka berkomunikasi lewat video call, dan itu membuat seluruh wajahnya semakin menghangat.

"Dazai-san—"

"—KUBILANG, PANGGIL AKU KALAU DIA BANGUN, WOI!"

Tersentak, baik Nagiko maupun Dazai-san sama-sama spontan menoleh ke asal suara. Ada Kak Akiko dari arah pintu dengan wajah garang dan berkacakpinggang.

"Aki-nee—"

Perempuan yang lebih tua itu menoleh ke arah luar pintu saat ada suara orang lain dari sana, tapi Nagiko tidak dapat mendengar dengan jelas perkataan orang yang di luar. Ia hanya bisa mendengar perkataan Sang Dokter setelahnya. "Iya! Dan dia malah dimonopoli Dazai!"

Dazai-san mendecak pelan dan bangun dari sofa. "Orang lagi mesra-mesraan malah diganggu, gimana sih, Bu Dokter satu ini …."

Langsung saja Akiko menghampiri cepat pemuda itu dan menjewer satu telinga. "Kayaknya waktu kamu dibiarkan Pak Fukuzawa untuk temenin Nagi disini, sudah kubilang biar panggil aku kalau dia bangun, kan?"

Ketika wajahnya sudah tidak sehangat tadi, Nagiko bangkit juga. "Aki-nee, aku memang baru bangun, kok. Tadi aku kaget karena setahuku Dazai-san sedang di rumah sakit, jadi dia menceritakan kejadiannya."

"Tetap saja—"

"—Nagiko," panggil Paman Yukichi, yang memasuki ruangan dengan Kunikida-san, menghampiri keponakannya. "Baik-baik saja?"

Gadis itu mengangguk. "Maaf sudah membuat cemas."

Pamannya menghela. "Setelah semua yang terjadi, malah akan aneh kalau kamu tidak merasa apa-apa saat dapat kabar begitu." Bos ADB itu menepuk pelan puncak kepala Nagiko. "Pergilah bersih-bersih, Fujiwara sudah membawakan baju gantimu."

Nagiko mengangguk dan tersenyum.

"Kalau gak dibawain, kan, bisa pakai punyaku," celetuk Dazai-san santai.

Baru Nagiko akan mencibir, dilihatnya Paman Yukichi bersama Kunikida-san dan Kak Akiko sudah lebih dulu menatap tajam si pemuda yang hobi mencari mati.

"Bercanda, bercanda," cengenges Dazai-san sambil mengangkat tangannya.

.


.

Disclaimer: Bungou Stray Dogs adalah ciptaan Asagiri Kafka dan Harukawa Sango, The Pillow Book adalah karya Sei Shonagon, 'Kiyohara Nagiko' dipercaya sebagai salah satu kemungkinan nama asli dari Sei Shonagon, Author tidak mengambil keuntungan.

Warning: Agak slow burn, Dazai x OC, alur canon (manga, anime, novel), sebisa mungkin tidak mary-sue.

.

.

Osamu Dazai and His Sun
by Fei Mei

.

Chapter 13

.


.

Junichiro dan Nagiko menatap serius layar laptop masing-masing. Dengan kemampuan Light Snow, Junichiro memang bisa dengan mudah memasang penyadap dimana-mana. Tapi untuk melihat video rekaman CCTV yang bukan milik mereka, itu adalah bagian Nagiko. Hanya ada satu lagi laptop di Aula Bankoudou, yakni milik Haruno-san, tapi kinerjanya berbeda dengan milik Nagiko dan Junichiro. Maka dari itu, saat keduanya sedang memeriksa rekaman kamera pengawas, anggota ADB lainnya di tempat itu hanya bisa mencari artikel-artikel yang mungkin akan ada hubungannya dengan hilangnya Atsushi-kun dan Kyoka.

"Kalau kita berasumsi bahwa Kyoka-chan ditangkap polisi, Atsushi bagaimana?" tanya Kak Akiko.

"Pasti dia bakal pergi mencarinya kemana-mana, kan?" cetus Naomi.

Kunikida-san mengangguk. "Tapi dia pasti akan memberi kabar. Maksudku, seharusnya begitu, kan?"

Nagiko memiringkan kepalanya. "Tapi, kalau mentornya adalah Dazai-san …."

"… benar juga." Seluruh anggota ADB di ruangan itu selain Dazai-san berpaduansuara dan mengangguk.

Yang disindir malah manyun. "Nagi kejam, iiih!"

"Bercanda," sahut Nagiko, lalu menoleh pada Junichiro. "Tapi jika Atsushi jalan kemana-mana untuk mencari Kyoka, seharusnya tertangkap di salah satu kamera, kan?"

Yang ditanya mengangguk. "Itulah, dia tidak muncul dimana pun."

"Nagi," panggil Ranpo-san, "ketemu sinyal ponsel Kyoka atau Atsushi?" Nagiko menggeleng. "Ya berarti mereka ada di tempat yang tidak bakal bisa dijangkau pakai gawai, kan?"

"Ranpo, ada ide bagaimana mencari mereka?" tanya Paman Yukichi.

Sang Detektif Terhebat memainkan lolipop dalam mulutnya sebelum buka suara lagi. "Kyoka ditangkap polisi, dan Atsushi tidak mencarinya. Berarti ada sesuatu yang menahannya, kan?"

Nagiko menoleh pada anggot ADB tertua itu. "Apa itu berarti dia ditangkap The Guild?"

Ranpo-san mengeluarkan lolipopnya untuk digunakan sebagai alat tunjuk pada gadis itu. "Jika kita asumsikan seperti itu, maka mencari keberadaan mereka sambil menonton rekaman video pengawas itu adalah hal yang bodoh."

"Eh?" Nagiko dan Junichiro bingung.

"Dazai bilang bahwa The Guild punya hak istimewa untuk lepas dari kepolisian, berarti, antara mereka berhasil menangkap Atsushi di luar pengawasan kamera pengintai, atau mereka telah lebih dulu melakukan sesuatu pada rekamannya," jelas Ranpo-san.

Nagiko mengerjap, lalu ia mengutak-atik laptopnya lagi, memeriksa setiap file video yang didapatnya. "Tunggu, berarti, daripada fokus mencari sosok Atsushi di rekaman, sebaiknya kita memeriksa tempat yang mudah untuk penangkapan tapi tidak begitu tersorot kamera CCTV, kan? Maksudku, jumlah video disini lengkap dan tidak ada detik yang terpotong, berarti kita harus mencari di luar rekaman yang ada, kan?"

"Seratus!" sahut Ranpo-san riang. Tapi senyum lenyap sesaat, ia menoleh pada bosnya. "Ah, tapi, kita tidak tahu kemampuan khusus The Guild itu apa-apa saja. Kita tidak akan tahu kalau ada yang bisa memanipulasi rekaman dengan kemampuan khusus mereka atau tidak."

Paman Yukichi mengangguk. "Jika kita berasumsi bahwa Atsushi sudah di tangkap The Guild, berarti seharusnya mereka tidak akan meracau kita saat ini." Lalu Paman berdiri dari kursinya. "Baiklah, kemas barang-barang, kita akan kembali ke kantor agensi. Perlengkapan kita lebih lengkap disana, jadi kita bisa lebih leluasa mencari Atsushi dan Kyoka. Nagiko, Tanizaki, sembari yang lain berberes, kalian cari tahu lokasi yang minim pengawasan kamera."

"Baik!"

.

.

Sudah pukul tujuh malam ketika mereka kembali ke kantor agensi. Jarak dari Aula Bankoudou dengan kantor ADB tidak jauh, tapi berberes dan bersih-bersihnya yang memakan waktu. Staf karyawan kantor yang masih diungsikan di luar prefektur sudah diberitahu bahwa staf detektif telah kembali ke ruang kantor, tapi mereka masih diminta untuk tetap di kantor pengungsian sampai urusan dengan The Guild selesai. Bahkan, Paman Yukichi meminta Fujiwara untuk besok pagi mengantar Naomi dan Haruno-san mengungsi di tempat yang sama dengan staf karyawan lain, jaga-jaga kalau amit-amit The Guild menyerang kantor.

Karena sudah gelap, habis mengembalikan barang yang mereka bawa kembali dari Aula Bankoudou ke kantor, Bos ADB itu menyuruh mereka semua pulang, mengingat bahwa memang sudah beberapa malam ini mereka tidak kembali ke rumah masing-masing.

"Nagi, entar bobok bareng, yuk?" ajak Dazai-san ketika Nagiko sudah siap dengan barang bawaannya.

"Aku sudah banyak tidur dari kemarin, yang habis aku pingsan terus Dazai-san pegangin aku itu, kan? Jadi kupikir malam ini aku tidak tidur juga tidak apa-apa," jawab Nagiko sambil tersenyum.

Yang ditolak langsung manyun. "Tapi aku pengen tidur sama kamuuu~!"

Nagiko meringis sedikit dan agak salah tingkah. Pasalnya, mereka masih di ruang kantor dan masih ada para rekan kerja mereka disana, bahkan Paman Yukichi juga masih ada di ruangannya. "Kalau aku, kan, memang harus sama Dazai-san baru bisa tidur. Tapi Dazai-san, kan, bisa tidur tanpa bareng aku?"

Mulut manyun Dazai-san masih terus terpampang. Pemuda itu semakin mendekat ke gadis incarannya. "Saat gak sama kamu, aku hanya bakal tertidur kalau pas ketiduran aja, lho. Jadi memang aku hampir selalu akan tidur kalau bareng Nagi aja."

Gadis itu menggigit bibir sejenak, dan akhirnya menyerah juga. "Baiklah."

"ASYIK MALEM INI TIDUR SAMA NAGI—aduh!" Dazai-san langsung mengerang karena Nagiko spontan menendang kakinya, jadi ia pun meringis.

Gadis itu pergi ke ruang presdir untuk berpamitan. Paman Yukichi memasang tampang tidak suka saat keponakannya bilang bahwa Dazai-san akan pulang ke tempatnya untuk tidur bersama—padahal itu sudah bukan hal baru. Walau tidak suka caranya, tapi Sang Paman juga sangat ingin agar gadis itu bisa tidur malam ini, maka ia melepas keponakannya pulang.

Dazai-san berjalan dengan riang di samping Nagiko sampai mereka tidak di apartemen. Kalau tidak salah, ia baru meninggalkan apartemen itu dua malam, dan entah kenapa rasanya lega sekali begitu menginjakkan kaki masuk ke dalamnya. Pagi terakhir ia meninggalkan bilik itu, memang ia tinggalkan dalam keadaan bersih, jadi dia tidak perlu pusing untuk bersih-bersih. Toh, tampaknya mungkin Fujiwara memang diam-diam bak ninja yang bisa mengambil barang-barangnya tanpa menimbulkan keberantakan apapun disana.

Nagiko menyuruh pemuda itu untuk mandi duluan, sementara ia berencana untuk membereskan barang yang ia bawa pulang. Dazai-san menurut, mengambil baju ganti yang memang ada di apartemen itu lalu masuk ke kamar mandi. Disitulah Nagiko baru ingat akan sesuatu.

"Dazai-san?"

"Hmm?"

"Mau kubantu buka baju?"

"… eh?" Dazai-san mengerjap dan bengong.

Hening sesaat sebelum Nagiko jadi malu sendiri karena sadar akan perkataannya. "Maksudku, gara-gara tanganmu seperti itu!"

Yang ditawari malah menyengir lebar. "Aih, Sayangku sudah mulai nakal ya~"

Nagiko merona. "Sudahlah, lupakan saja!" Dia berbalik badan dan kembali berberes, membiarkan Dazai-san yang cekikikan masuk ke kamar mandi.

.

.

Selama beberapa malam ini, Dazai-san selalu 'pulang' ke apartemen Nagiko. Mereka tidak selalu tidur bersama—pemuda itu selalu merengek untuk tidur bareng tiap malamnya, tapi Nagiko berhasil kukuh untuk menjawab 'tidak' setidaknya selama dua malam. Tapi keduanya tetap melewatkan malam bersama di bilik apartemen itu, dengan Dazai-san yang sering manyun melihat Nagiko mengutak-atik laptopnya tiap malam.

Dazai-san tidak bisa menyindir bahwa mata gadis itu akan rusak karena sering dipaksa fokus melihat tulisan pada buku atau malah menatap layar tiap malam, karena nyatanya ini sudah bertahun-tahun Nagiko melakukannya dan sepasang mata keponakan presdir ADB itu masih bagus, mungkin pengaruh dari kemampuan The Pillow Book. Makanya, saat ini senjata andalan pemuda itu untuk membujuk gadisnya tidur bersama hanyalah tangannya yang masih keseleo, mengaku butuh istirahat, tapi tentu Nagiko tahu bahwa tangan keseleo pemuda itu tidak bakal ada hubungannya dengan terlelapnya dirinya.

Khusus malam ini, Dazai-san pulang ke apartemennya sendiri karena persediaan tisu toilet dan perban di bilik Nagiko sudah ludes. Pemuda itu punya banyak timbunan di tempat tinggalnya sendiri, tapi karena selalu pulang ke tempat gadis itu, yah, dia jadi tidak sempat mengambil stok dari tempatnya sendiri.

"Nagi, kamu ikut pulang ke tempatku, ya?" pinta Dazai-san.

"Eh?"

"Biar kamu bantuin aku pasang kain di tanganku."

Gadis itu manyun. "Bukannya selama ini bisa sendiri?"

Manyunnya menular pada Dazai-san. "Perbannya aku bisa, tapi slingnya, kan, selalu kamu yang pasang kemarin-kemarin."

"Minta tetangga saja?"

"Gak mau, maunya Nagi yang pasangin."

"Tapi kan—"

"—kalau soal baju ganti, kan, kamu juga punya di tempatku."

Nagiko kicep. Jauh lebih sering mereka melewatkan waktu di apartemennya, bukan di apartemen Dazai-san. Pemuda itu memang menyimpan pakaian dan menaruh stok perban di biliknya untuk dipakai jika mereka tidur bersama di apartemen Nagiko. Sebagai gantinya, Nagiko juga melakukan hal yang sama di bilik Dazai-san, bahkan ketika pemuda itu masih tinggal di asrama karyawan. Dan karena sudah lama sejak terakhir ia melewatkan malam di tempat pemuda itu, Nagiko lupa bahwa dia punya baju di apartemen pemuda itu.

"Baiklah," jawab Nagiko akhirnya. Jadi mereka ke bangunan apartemen Dazai-san yang lokasinya hanya sekitar sepuluh menit berjalan kaki dari bangunan yang didiami Nagiko.

Bangunan apartemen pemuda itu tampak lebih tua dari bangunan yang dijadikan asrama untuk karyawan kantor agensi. Mengingat harganya memang jauh di bawah harga sewa asrama apalagi apartemen Nagiko, tidak heran jika luas bilik Dazai-san hanya seluas kamar tidur Nagiko, dan kamar mandinya berada di luar bilik masing-masing penghuni.

Nagiko ingat, sewaktu pertama kali datang kesana, Dazai-san bilang bahwa dirinya sendiri jarang pulang ke bilik itu. Ia hanya akan pulang ke apartemen jika memang terpaksa atau memang sedang tidak ada tempat tujuan lain, apalagi jika Nagiko sedang tidak ingin tidur. Dalam seminggu, mungkin Dazai-san hanya akan pulang sehari saja, selebihnya dia akan ada di tempat Nagiko atau keluyuran kemana-mana. Jika orang tidak tahu, mereka akan berpikir bahwa sebenarnya Nagiko dan Dazai-san tinggal bersama—padahal pemikiran itu tidak terlalu salah juga.

Karena ruangannya tidak besar, Dazai-san menggunakan futon sebagai alas tidurnya. Jelas tidak senyaman dan seluas ranjang Nagiko, tapi No Longer Human milik pemuda itu akan bisa membuat keponakan bosnya tidur lelap di futon tipisnya jika bermalam disana.

Karena tangan Dazai-san yang bisa berfungsi dengan benar hanya satu, jadilah Nagiko yang menggelar futon di lantai. Sebenarnya gadis itu bingung juga, sebab sudah berhari-hari dan tangan pemuda itu masih perlu digantung kain, apalagi dirinya juga mengaku tidak ada luka serius padanya. Kaki, pergelangan tangan, dan kepala yang dibalut perban mungkin tidak akan mengganggu kinerja tubuh sehari-hari dan Dazai-san pasti sudah terbiasa memakainya, tapi tangan yang digantung begitu akan menyusahkan diri sendiri, makanya Nagiko pikir yang satu itu bukanlah bagian dari fesyen mumi pemuda itu.

Lebar futonnya tidak selebar ranjang Nagiko, maka dari itu mereka sudah langsung berdempetan ketika merebahkan tubuh di sebelah satu sama lain disana. Dulu, awalnya Nagiko merasa risih. Tapi makin kesini, walau rasa risih itu kadang muncul, ia sudah terbiasa dengan pelukan pemuda itu dari belakang atau bahkan dari depan saat tidur. Memastikan bahwa seluruh bagian tubuh Nagiko berada di atas futon, tangan kiri Dazai-san langsung menyelinap ke bawah pinggang gadis itu, merangkul pinggangnya. Nagiko terkesiap, jantungnya sempat berdetak kencang, tapi kemudian menjadi tenang karena tahu pemuda yang bersamanya hanya sedang berusaha mencari posisi agar mereka bisa sama-sama tidur dengan nyaman.

"Nagiko," bisik Dazai-san di sebelahnya.

"Hm?" Gadis itu menoleh.

Pemuda itu menoleh balik. "Belum terlelap?"

"Kemarin aku, kan, baru tidur, jadi saat ini aku tidak begitu kepikiran untuk tidur."

Dazai-san manyun. "Tidur setiap malam itu normal, tahu."

Nagiko menyengir. "Katakan itu pada dirimu sendiri, Dazai-san, kan, kamu bilang bahwa tidak tidur kalau tidak bersamaku?" Gadis itu menghela. "Lagipula, aku tidak mau terbiasa tidur tiap malam, kecuali kalau aku sudah bisa mengendalikan The Pillow Book."

"Pamanmu punya kemampuan khusus biar anak buahnya bisa mengendalikan kemampuannya," cetus Dazai-san.

"Berarti mungkin paman tidak menganggapku anak buahnya, hanya sekedar keponakan yang menumpang kerja padanya."

"Hmmm," cibir Dazai-san lewat gumaman. Tangannya menemukan jemari Nagiko, jadi ia memainkannya lembut, dan gadis itu membiarkannya. "Nagi."

"Ya?"

"Kamu gak mau tanya?"

"Tentang apa?"

Sinar rembulan menembus ventilasi bilik apartemen, dan Nagiko bisa melihat jelas senyum lembut pemuda di sisinya. "Tentang yang kukatakan saat kita videocall."

Nagiko mengerjap. Sedetik, dua detik, kemudian ia termegap halus dan wajahnya menghangat. Salah tingkah, gadis itu bangun dari posisi rebahnya, membuat Dazai-san terkekeh halus sambil ikut bangkit juga.

"Kutulis di pesan bahwa kita akan membicarakan soal itu, kan?" ucap Dazai-san. "Kamu gak mau tanya duluan?"

Gadis itu terus memunggungi lawan bicaranya, tidak berani menatap pemuda itu dengan wajah yang pasti merah padam. Selama seminggu lebih ini, tiap kali ia mengingat Dazai-san bilang bahwa ia menyayanginya, Nagiko selalu ingin mengungkitnya, tapi entah kenapa selalu ada yang membuatnya berhenti—Kak Akiko masuk ruangan lah, dipanggil Paman Yukichi lah, apalah, seakan semesta melarang Nagiko bertanya.

Keponakan Presdir ADB itu masih bungkam, jadi Dazai-san meraih tangan Nagiko dan menggenggamnya. "Nagi, kalau masalah dengan The Guild sudah selesai, kita bicara soal itu, ya?" Dengan ragu gadis itu mengangguk. "Kalau begitu, ayo sini tidur."

Perlahan Nagiko kembali rebah di sisi Dazai-san, lebih tepatnya di lengan pemuda itu. Wajahnya masih menghangat, ia sangsi Eks Mafia itu bisa melihat rona merah yang terpampang disana.

"Kalau mau munggungin aku, gapapa, kok," tutur Dazai-san lembut.

Jadi Nagiko memunggunginya, dengan lengan kiri pemuda itu yang masih mendekap pinggangnya. Jantungnya masih berdetak kencang, ia yakin tangan Dazai-san bisa merasakan getarannya. Daripada salah tingkah terus-terusan, Nagiko berniat untuk tidur saja, toh No Longer Human bisa langsung membuatnya terlelap saat gadis itu ingin tidur karena tangan Dazai-san sedang menyentuhnya.

Maka Nagiko menutup kedua matanya.

Tapi, entah sengaja atau tidak, entah pemuda itu tahu Nagiko masih terjaga atau tidak, Nagiko bisa mendengar perkataan terakhirnya sebelum terlelap.

"—aku benar-benar menyayangimu—"

.


.

Bersambung

.


.