Nagiko terbangun duluan pagi itu. Tangan Dazai-san masih mengenai pinggangnya, masih cukup erat walau hanya memeluk dengan satu tangan. Jadinya, yah, gadis itu memang terbangun sendiri.

Tidak ada jam dinding di apartemen pemuda itu, minim perabot pula. Gadis itu meraih ponsel di samping, menyalakan layarnya, menemukan angka 3:55 sebagai jam disana. Tumben sekali, biasanya ia bisa tidur nyenyak di tangan Dazai-san dan baru akan terbangun setidaknya jam enam pagi. Nagiko memutuskan untuk kembali ke tangan Dazai-san biar bisa tidur lagi, tapi matanya terpaku pada senyum kecil pemuda itu.

Mata pemuda itu masih tertutup, mungkin sebenarnya masih tertidur. Bibirnya mengulum senyum dan mengeluarkan erangan halus saat menggerakkan kepalanya. Poni panjang Dazai-san, yang walau tak sepanjang milik Nagiko, agak berantakan di sekitar matanya. Rambut pemuda itu memang selalu berantakan seakan tidak pernah disisir, sih, jauh berbeda dengan rambut Kunikida-san yang padahal panjang tapi bisa begitu rapi.

Gadis itu mengulurkan tangannya, menggeser helaian poni Dazai-san agar tidak mengganggu garis matanya. Ia tertegun sesaat. Selama ini hampir selalu teman tidurnya yang terbangun duluan. Biasanya, saat Nagiko terbangun, pemuda itu sudah lebih dulu terjaga dan tertangkap asyik menontonnya terlelap. Tapi, entah kapan terakhir kalinya begini, ia bangun duluan. Yang pasti ini pertama kalinya Nagiko memerhatikan rekannya terlelap. Dazai-san tampak damai di tidurnya, itu adalah ekspresi wajah yang benar-benar berbeda dengan saat ia sedang menggoda keponakan bosnya. Padahal ia bisa tidur senyenyak itu, tapi kenapa Dazai-san bilang bahwa ia jarang tidur terutama saat tidak bersama Nagiko?

Dahi pemuda itu langsung bereaksi saat Nagiko tidak sengaja menyentuhnya, padahal ia hanya berniat menyapu helaian poni disana. Detik yang sama, kedua mata Dazai-san terbuka dan memasang ekspresi galak serta memicingkan mata pada Nagiko, dan tangan kirinya langsung mencengkeram tangan gadis itu sambil bangkit dari rebahnya dan membuat gadis itu terjatuh di bawah tubuhnya. Sontak saja Nagiko termegap kaget.

Butuh setidaknya tiga detik sampai ekspresi pemuda itu melunak. Mungkin akhirnya ia sadar bahwa Nagiko-lah yang bersamanya, jadi Dazai-san agak panik.

"Nagi—sori—" Perlahan cengkeramannya lepas dan pemuda itu menyingkir dari atas Nagiko.

"Maaf, aku bikin kamu terbangun?" gumam gadis itu.

Si Pemuda menggeleng. "Enggak—iya, sebenarnya, tapi, maafkan aku—tanganmu, aku terlalu kencang tadi—"

Nagiko yang sudah bangun dari rebahnya spontan memegang tangan kirinya sendiri, yang tadi dicengkeram. Ia masih merasa ngilu, apalagi tangkapan tangan Dazai-san memang sekencang itu, serasa akan diremukkan olehnya.

"Nagiko, maaf, aku spontan—kebiasaan—," kata Dazai-san panik, "—kupikir ada yang hendak menyerangku…."

ah. Nagiko mengangguk paham. Oke, bukan paham bagaimana, tapi ia pikir bahwa sejak semasa di Port Mafia Dazai-san sudah punya daftar orang yang ingin membunuhnya, jadi mungkin alasan ia lebih sering terjaga ya, biar tidak kena serang.

Dazai-san bangun dan menyalakan lampu, lalu kembali ke sisi Nagiko. Ia memegang tangan korbannya dengan tangan kiri. "Ini bakal memar…," gumamnya, "maaf Nagi."

Yang merasa sakit saat ini adalah Nagiko, tapi yang memasang ekspresi sedih malah pemuda ini. Mau tak mau Nagiko tersenyum kecil. "Dazai-san hanya reflek tadi, tidak apa-apa."

Pemuda itu menggeleng. "Aku benar-benar minta maaf. Tadi kupikir ada yang menyusup dan hendak—"

"—menyerangmu," potong Nagiko. "Kau sudah mengatakannya tadi. Tidak apa, Dazai-san."

"Nagiko, kamu tidak mengerti," kata Dazai-san lagi, menatap lurus gadis itu. "Musuhku banyak. Bahkan saat aku masih di Port Mafia, mereka menurut padaku karena aku atasan mereka, tapi tidak sedikit dari mereka yang punya keinginan untuk membunuhku. Dan ketika sekarang aku bukan dari bagian mereka lagi, mereka akan lebih leluasa untuk membunuhku."

Gadis itu tersenyum. "Bukannya Dazai-san memang hobi cari cara untuk mati?"

Dazai-san manyun. "Tapi aku cuman mau mati dengan elegan, bukan dibunuh saat tidur."

Lalu Nagiko gantian memegang tangan Dazai-san. "Dazai-san punya banyak musuh di Port Mafia, tapi Dazai-san juga harus ingat bahwa saat ini punya rekan-rekan yang bisa diandalkan di agensi detektif. Kuyakin tidak ada satupun dari mereka yang ingin mencabut nyawa Dazai-san—bahkan sekesalnya Kunikida-san padamu, itu tidak akan membuatnya ingin membunuhmu."

" … aku tetap menyakiti tanganmu tadi," gumam Dazai-san.

Gadis itu melihat pergelangan tangannya yang memerah, lalu menatap lawan bicaranya lagi. "Kupikir sudah cukup impas dengan Dazai-san bicara sedikit tentang musuhmu tadi."

Perlahan Dazai-san tersenyum lembut. Giliran pemuda itu yang mengulurkan tangannya untuk memainkan rambut Nagiko untuk diselip ke telinga. Lalu Dazai-san mendekap tubuhnya erat dengan satu tangan. Pada saat itu, sesaat Nagiko agak panik. Pasalnya, jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. Bukan pertama kali pemuda itu memeluknya di tempat tidur, tapi entah kenapa rasanya yang kali ini berbeda. Ini bukan Dazai-san memeluk untuk menggodanya, ini lebih terasa seakan Dazai-san hanya ingin berada di dekatnya.

Dan gara-gara itu, dada Nagiko bergemuruh hebat.

.


.

Disclaimer: Bungou Stray Dogs adalah ciptaan Asagiri Kafka dan Harukawa Sango, The Pillow Book adalah karya Sei Shonagon, 'Kiyohara Nagiko' dipercaya sebagai salah satu kemungkinan nama asli dari Sei Shonagon, Author tidak mengambil keuntungan.

Warning: Agak slow burn, Dazai x OC, alur canon (manga, anime, novel), sebisa mungkin tidak mary-sue.

.

.

Osamu Dazai and His Sun
by Fei Mei

.

Chapter 14

.


.

"Kunikida-san," panggil Nagiko sambil menghampiri seniornya. "Ini data yang kauminta."

Yang dihampiri mengangguk dan menerima berkas yang disodorkan padanya. "Masih tidak bisa menangkap sinyal Kyoka dan Atsushi?"

Gadis itu balas mengangguk. "Oh iya, Junichiro bilang bahwa hari ini mungkin dia tidak akan ke kantor, dia mau coba ke area dermaga, karena Ranpo-san kemarin bilang bahwa bahwa area perbatasan laut mencurigakan."

"Aaah, ya, aku mendengarnya juga kemarin," kata Kunikida-san lalu menghela. "Sudah berhari-hari, mungkin kita hanya bisa mencaritahu lokasi mereka saat ini, kan, bukan lokasi dimana mereka terakhir terlihat?"

Nagiko manggut-manggut, lalu mengernyit melihat suatu tanda samar yang terlihat di leher Si Kacamata. "Kunikida-san?"

"Hm?" Yang dipanggil namanya mendongak pada gadis itu.

"Lehermu kenapa?"

"Eh?" Kunikida-san tampak bingung, tapi ia meraih sekitar lehernya.

"Sebelah kanan."

Seniornya menurut, tangannya meraih leher kanan. "Aku tidak merasa apa-apa, tuh?"

Nagiko merogoh ponsel dari saku rok, membuka aplikasi kamera dan menyalakan kamera depan, lalu menyodorkannya pada Si Pirang. Kunikida-san langsung mengarahkan pengganti cermin itu pada lehernya.

" … hah, apaan ini?"

"Kenapa? Ada apa?" Kak Akiko datang dari ruang kesehatan, menghampiri mereka.

"Yosano sensei, kebetulan," ujar Kunikida-san, "bisa lihat ini apa? Di leherku?"

Sang Dokter memiringkan kepala pasiennya agar bisa melihat lebih jelas. Ia memicingkan kedua matanya, lalu mengangkat bahu. "Itu hanya tampak seperti bekas cap tangan anak kecil. Kamu merasakan sesuatu dari situ?" Kunikida-san menggeleng. "Sakit? Gatal?" Yang ditanya menggeleng lagi sebagai jawaban. "Sebelumnya, apa kena terbentur sesuatu? Atau alergi?"

"Tidak ada. Lagi pula, jika terbentur, tentu aku akan sadar, kan?" jawab Kunikida-san.

Kak Akiko mengangguk dan menggaruk dagunya. "Yah, aku tidak tahu ada apa dengan lehermu kalau begitu. Ah, kenapa tidak coba tanya Dazai?"

"Hah?" tanya Kunikida-san bingung.

Lagi Dokter Perempuan itu mengangguk. "Manusia satu itu kadang tahu hal-hal aneh yang tak terpikirkan sebelumnya, kan? Coba saja!"

Pasiennya tampak berpikir sejenak, sebelum menghela kecil dan mengangguk, keluar dari bangkunya. Tapi sebelum melangkah jauh, ia menoleh pada keponakan bosnya. "Si Mumi itu dimana?"

"Mungkin di atap? Memikirkan bagaimana caranya agar bisa jatuh dari gedung dengan elegan dan mati tanpa merasakan sakit dan darah yang berceceran?" tebak Nagiko.

Hening sesaat, kemudian Kunikida-san meraih bahu gadis itu dengan kedua tangannya. "Nagiko, jangan terlalu dekat dengan Dazai, kamu itu sudah mulai bisa menebak dengan rinci keinginannya untuk bunuh diri."

Gadis itu terkekeh. "Kunikida-san, kurasa perkara bagaimana Dazai-san ingin bunuh diri itu sudah menjadi rahasia umum, kan?"

Pemuda itu menggerutu, melepaskan kedua tangannya dari bahu Nagiko lalu keluar dari ruang kantor.

Mungkin memang Kunikida-san langsung dengan mudah bertemu dengan Dazai-san, karena tidak sampai sepuluh menit kemudian keduanya muncul di kantor agensi dengan wajah tegang.

"Yosano-sensei, tolong ambil rantaimu," pinta Dazai-san begitu datang. "Kalau ada semacam tali atau apa yang bisa untuk mengikat, siapkan juga."

Karena Eks Mafia itu tampak serius, bahkan Kunikida-san tidak menempelengnya, Kak Akiko pun langsung masuk ke ruang kesehatan.

"Kunikida-kun, duduk di kursi, gih, biar nyaman saat diikat," titah Dazai-san lagi, dan Kunikida-san menurut.

Nagiko bangkit dan menghampiri kedua pemuda itu. "Apa? Kenapa Kunikida-san akan diikat?" Bukannya langsung menjawab, tangan kiri Dazai-san malah menyibak pelan rambut panjang Nagiko sebelah kanan dan lalu kiri, memerhatikan leher dan wajahnya. "Dazai-san?"

"Bagus, kamu aman," ujar Dazai-san.

"Eh?"

"—Dazai, rantainya segini cukup?" sahut Kak Akiko, menghampiri juniornya sambil membawa benda panjang itu.

Dazai-san mengangguk. "Kita coba dulu. Oh ya, Yosano-sensei, Kenji-kun, tolong masing-masing cek kalau kalian punya tanda bercak tangan juga, biasanya di daerah leher atau wajah." Jadi Kak Akiko dan Kenji-kun bantu mengecek satu sama lain, dan mereka sama-sama tidak punya tanda seperti Kunikida-san. "Oke, tolong rantai Kunikida-kun dengan erat. Oh iya, bukumu keluarkan, ya, siapa tahu tanganmu bisa menggapainya dan malah menulis sesuatu disana."

Kunikida-san mengangguk. Ia merogoh buku catatannya dan ditaruh di meja, lalu menggeser kursi kerjanya ke tengah ruangan dan duduk disana. Wajahnya tegang, seakan akan dihakimi. Kak Akiko bersama dengan Kenji-kun dan Nagiko merantai si Kacamata tanpa paham kenapa. Dan setelah selesai, barulah Dazai-san menjelaskan.

"Di Port Mafia, ada anak yang punya kemampuan menciptakan ilusi untuk orang yang dia beri tanda. Tanda itu baru akan muncul jika targetnya menyakitinya. Ilusi tiap orang akan berbeda, dan sepertinya ilusi itu muncul otomatis berdasarkan otak dan hati targetnya. Pokoknya, gara-gara itu orang yang kena tanda akan menyerang orang-orang di sekitarnya, atau bahkan hanya mengamuk dan menghancurkan segala yang ada di sekitarnya, makanya aku minta agar Kunikida-kun diikat," jelas Dazai-san.

"Maksudmu, ini perbuataan Mafia?" konfirmasi Kak Akiko.

Dazai-san mengangkat bahu. "Kurasa tidak. Saat ini tidak ada alasan mereka menyerang anggota kita secara langsung. Walaupun anak itu adalah bagian dari Port Mafia, aku sangsi hal ini merupakan rencana mereka."

"Tapi, Kunikida-san tidak bakal menyakiti anak-anak, kan?" tanya Kenji-kun.

Si Kacamata mengangguk. "Aku tidak berinteraksi dengan anak-anak sepanjang hari ini, sekecil apapun."

Dazai-san menggaruk dagu. "Itulah letak yang membingungkan. Ah, Nagi, coba umumkan di grup agensi, suruh masing-masing periksa kalau mereka punya tanda itu, ya."

Nagiko langsung menurut. Ia mengutak-atik ponselnya, mengirim pengumuman itu. Beberapa detik kemudian, Junichiro menelepon ke gawainya.

"Nagiko-san?"

"Junichiro, baik-baik saja?" tanya Nagiko, langsung cemas karena suara pemuda itu tampak terengah-engah.

"Aku baik-baik saja! Tapi, barusan aku melihat beberapa orang melempar pot ke pintu kaca minimarket sampai pecah, dan ada yang sedang berkelahi juga. Dan—astaga—"

Gadis itu menekan opsi di layar ponselnya agar rekan-rekannya di ruangan itu semua bisa mendengar juga. "Junichiro, ada apa?"

"ADA MOBIL YANG TERTABRAK TRUK!"

"Tanizaki, kamu dimana sekarang?" tanya Dazai-san.

"Ah—aku tadinya sedang akan kembali ke kantor, terus ketemu Pak Fukuzawa—sekarang kami ada di sekitar tiga blok darisana—aku bisa melihat asap dimana-mana—"

Kak Akiko spontan menghampiri jendela kantor, menoleh kiri dan kanan. "Dia benar, asapnya ada di segala sisi. Orang-orang mulai berhamburan keluar."

"Mereka punya tanda bercak tangan itu, dan mata mereka tampak aneh—"

"Aneh bagaimana—"

Nagiko menghentikan pertanyaannya, karena Kunikida-san memanggil Dazai-san dan membuat yang lain menoleh padanya, dan gadis itu bisa menebak 'aneh' yang dimaksud Junichiro di teleponnya. Bola mata Si Kacamata tampak memerah. Jika biasa orang menangis dan mengeluarkan air mata bening, kali ini air matanya tampak merah seperti darah—atau memang darah, Nagiko tidak tahu. Pokoknya, Kunikida-san tampak mengerikan sekarang.

.

.

Junichiro sudah berhasil kembali ke kantor dengan Paman Yukichi berkat kemampuan Light Snow-nya, itu pun memakan waktu tidak sebentar karena katanya mereka sambil berusaha mengevakuasi orang-orang yang mereka lewati ke bagian yang tampak lebih aman. Ranpo-san yang tadinya sedang makan di Uzumaki pun juga sudah datang ke kantor yang berada di atas restoran itu. Tapi, entah bagaimana Dazai-san berhasil menyelinap keluar. Agak cemas, sebenarnya, tapi orang-orang agensi termasuk Nagiko sudah paham bahwa pemuda itu tidak bakal menghilang tanpa rencana dalam situasi genting. Lucunya, Dazai-san baru menghilang setelah Kunikida-san mengoceh tentang idealnya—kasihan Kunikida-san, pasti setelah ini akan jadi bulan-bulanan partnernya sendiri.

Setelah tentang idealismenya, Kunikida-san malah meraung dan meronta. Khawatir suaranya habis dan tenggorokannya terluka, Paman Yukichi meminta Kenji-kun menempel lakban pada mulut si Kacamata. Tubuh Kunikida-san juga meronta-ronta, membuat para rekannya kasihan karena setelah ini badan laki-laki itu pasti akan ada bekas biru kena rantai, tapi Dazai-san sudah memperingati mereka untuk jangan melepas ikatan itu sampai Kunikida-san tenang.

Di grup besar agensi, sebagian besar telah memberi kabar bahwa mereka baik-baik saja, tapi masih ada setidaknya tiga orang karyawan yang tidak memberitahu mereka keadaannya, dan Paman Yukichi menjadi agak cemas. Ranpo-san mengingatkan bosnya bahwa staf karyawan mereka semuanya sedang berada di luar prefektur, tapi Pemimpin ADB itu tetap berpikir bahwa mungkin mereka bisa terjangkit kutukan yang sama walau dari jauh, lebih lagi saat ini mereka masih tidak tahu bagaimana para korban terutama Kunikida-san bisa kena tanda.

Naomi sempat tidak ada kabar juga. Ketika Nagiko mengumumkan yang diminta Dazai-san di grup, ternyata Junichiro langsung melihat berbagai insiden, berpapasan dengan bosnya, dan memutuskan untuk menelepon Nagiko untuk melapor. Begitu tiba di kantor dan melihat kondisi seniornya yang berkacamata serta mendapat penjelasan lebih lanjut, Junichiro langsung menelepon adiknya tapi sempat tidak diangkat. Pemuda berumur 18 tahun itu sempat ingin menyelinap keluar lagi dengan Light Snow, tapi rencananya ketahuan Ranpo-san dan ditegur Paman Yukichi. Untungnya sejam kemudian gadis SMA itu menelepon balik sang kakak, bilang bahwa ponselnya sempat kehabisan batere.

Nagiko melihat keluar lewat jendela bersama Kak Akiko. Pada jam segini, seharusnya masih begitu terang walau sudah lewat tengah hari. Tapi munculnya asap dimana-mana membuat langit siang menjelang sore itu lumayan gelap. Selain warna abu-abu, nuansa warna jingga dan merah juga meliputi daerah itu. Bahkan dari ketinggian lantai empat, serta jendela yang tertutup seperti itu, mereka masih bisa mendengar suara bising dan teriakan dari luar. Tampak luar biasa seram di luar sana, dan Nagiko tidak akan bingung kalau amit-amit pintu kantor didobrak orang-orang yang kena kutuk.

"Menonton mereka dari atas sini tidak akan membuat nerakanya lenyap," sahut Ranpo-san sambil duduk santai dan mengemut lolipopnya.

"Setidaknya kita bisa melihat kalau-kalau bangunan ini diserbu, Ranpo-san," balas Nagiko.

Kak Akiko menoleh pada Si Detektif Terhebat. "Ada ide untuk menghentikan ini semua?"

"Heee? Bukannya itu bagian Dazai?" jawab Ranpo-san. "Dia sedang di luar untuk melakukan sesuatu, jadi aku tidak mau repot-repot mengacaukannya."

"Tapi kita benar-benar tidak tahu apa-apa mengenai kemampuan kutukan ini ya, hanya berdasarkan penjelasan singkat Dazai-san saja," keluh Junichiro. "Dan bisa-bisanya Kunikida-san adalah satu-satunya orang yang di kantor yang kena."

Nagiko mengangguk, memikirkan hal yang sama dengan Junichiro. Malah, mungkin semua yang ada di ruangan itu sama bingungnya. Televisi di kantor sudah mereka nyalakan, untuk melihat berita yang disiarkan dengan susah payah oleh para reporter dalam kekacauan. Mereka juga mengecek media sosial sesekali, karena nyatanya laporan netizen di dunia maya lebih up-to-date dibanding berita di TV. Sejauh ini belum ada kabar yang melegakan, baik dari televisi, media sosial, maupun Dazai-san. Malah, tampaknya semakin parah. Berita di televisi dan netizen media sosial menampilkan korban luka dimana, baik yang punya bercak tanda maupun yang tidak.

"Paman, apa kita benar-benar harus tetap diam disini? Maksudku, kita bisa mengevakuasi orang yang tidak kena kutuk, atau apalah di luar sana?" tanya Nagiko.

"Ah, benar juga, aku bisa pakai Light Snow—"

"—aku sudah meminta staf bayangan kita untuk turun tangan untuk mengevakuasi, juga agen bersenjata kita untuk mengawal pemerintahan," potong Paman Yukichi. "Untuk saat ini, kalian simpan tenaga dulu. Setelah neraka ini selesai, Nagiko dan Tanizaki akan mencari data dan mengecek rekaman CCTV. Kenji akan membantu mengurus barang-barang berat. Dokter Yosano akan merawat banyak korban. Jadi kita bukan sedang diam, melainkan menyimpan tenaga."

Nagiko saling pandang dengan rekan-rekannya. Dalam hati, meski kemampuan khusus Nagiko sama sekali tidak bisa turun tangan membantu kekacauan di luar saat ini, tetap saja ia berpikir seharusnya orang-orang berkemampuan khusus seperti mereka adalah kelompok orang yang paling bisa membantu warga sekarang, apalagi kalau ternyata amit-amit aparat kepolisian juga kena tanda kutukan.

"Lagipula," lanjut Paman Yukichi, "masih ada satu organisasi besar selain kita yang mencintai kota ini, yang merupakan kelompok besar yang jumlah anggotanya membuat pekerjaan evakuasi warga jadi lebih mudah."

Port Mafia, pikir Nagiko, itulah satu-satunya organisasi besar di Yokohama yang terkenal selain Agensi Detektif Bersenjata yang gadis itu ketahui. Tapi, ia agak kurang yakin dengan perkataan pamannya yang mengatakan bahwa organisasi tersebut mencintai kota ini—maksudnya, bom serta pembantaian dan penembakan yang terjadi di Yokohama sebagian besar adalah ulang Port Mafia, kan?

Detik ini, walau tidak suka dan tetap merasa ngeri, telinga Nagiko sudah mulai terbiasa dengan suara ledakan, sirene, dan tembakan. Sebenarnya, kalau dipikir-pikir, jika amit-amit mereka yang di ruangan itu sampai kena serang, mereka akan baik-baik saja selama Kak Akiko ada disini. Ah, lagipula Junichiro juga bisa pakai kemampuannya agar mereka semua bisa kabur, seperti yang sudah ia lakukan untuk bisa kembali ke kantor bersama Paman Yukichi. Yang paling mengawatirkan tetap hanya Kunikida-san.

"Ah?" celetuk Kak Akiko.

"Hm?" Nagiko mengernyit.

Mendengar cetusan bingung kedua perempuan itu, rekan-rekan mereka menghampiri untuk melihat keluar jendela juga.

Para zombi perlahan menghentikan amukan mereka. Banyak yang menoleh ke kiri dan ke kanan lalu ke tangan sendiri. Warga area itu menurunkan senjata mereka, tidak ada lagi yang menyerang sesuatu ataupun satu sama lain. Kepulan asap masih tetap ada, tapi bunyi tembakan sudah mulai berkurang dan tidak sekencang tadi.

Nagiko spontan menoleh pada Kunikida-san yang telah berhenti meraung dan meronta, pemuda itu kini sedang mengatur napasnya yang tampak sesak. Buru-buru gadis itu menghampirinya, melepas lakban dari mulutnya. Langsung saja pemuda itu terengah tapi tampak lega. Kak Akiko menghampirinya juga, mengelap peluh dan terutama bekas darah aliran darah dari wajah Si Kacamata. Setelah memastikan bahwa Kunikida-san tidak akan menyerang mereka, Kenji dan Junichiro melepaskan rantai ikatan di tubuhnya.

"Aku tidak tahu apa yang dilakukannya," tutur Kunikida-san sambil masih agak terengah, "tapi, apapun itu, Dazai berhasil."

.

.

"… Nagi, tanganmu kenapa?" tegur Kak Akiko ketika mereka sedang mencuci tangan di westafel dapur kantor.

Nagiko yang tadinya sedang menarik sedikit lengan panjang kemeja biar tidak kena basah langsung mengerjap. Matanya mulai melirik apa yang dilihat Sang Dokter. Dilihatnya bekas biru di pergelangannya, dan itu berbeda dengan tanda cap tangan yang sempat ada pada Kunikida-san. Spontan Nagiko menutupinya dengan tangan satunya.

Kak Akiko mematikan keran, menatap galak gadis yang lebih muda darinya sambil mengelap tangannya yang basah dengan sapu tangan. "Nagiko."

Yang dipanggil merasa ragu. Ia menatap pintu dapur yang tertutup, berpikir bahwa mungkin sedang tidak akan ada yang masuk kesana saat ini. Nagiko menghela, lalu tersenyum tipis pada perempuan di depannya. "Semalam, aku berniat merapikan poni Dazai-san, gak sengaja tanganku kena dahinya. Dia langsung terbangun dan mencengkeram tanganku mengira musuhnya."

Perempuan yang lebih tua mengernyit, lalu ia memegang tangan keponakan bosnya yang biru. "Cengkeramannya sekuat itu?" Nagiko mengangguk. "Sudah dikompres?"

"Langsung kukompres setelahnya sampai sebelum pergi ke kantor."

Mereka pergi ke ruang kesehatan setelah Nagiko mencuci tangan. Kak Akiko mengambil obat salep dari rak obat, berkata bahwa itu adalah satu-satunya racikan salepnya yang ampuh mengurus memar. Nagiko langsung merasa dingin di kulitnya saat Si Dokter mengoleskan obat padanya, dan rasa dinginnya berubah menjadi ngilu sebelum akhirnya terasa geli sebentar. Kak Akiko bilang memang efeknya seperti itu. Bau obatnya seperti aroma teh, karena katanya menggunakan daun teh.

Nagiko memohon agar Si Dokter jangan mengadu pada Paman Yukichi, karena bagaimana pun juga Dazai-san sama sekali tidak sengaja menyakitinya. Lagipula, selama beberapa tahun ini mereka tidur bersama, baru kali ini saja Nagiko disakiti—tanpa disadari pelakunya pula. Kak Akiko menyerah dan menyetujui permintaan yang lebih muda darinya, tapi tetap bilang bahwa akan melapor jika bosnya sendiri yang bertanya tentang tangan keponakannya.

.


.

Bersambung

.


.