"Nagiko," panggil pamannya ketika ia sedang membereskan barang.

"Ya?" Gadis itu menoleh dan melihat pamannya menghampiri. "Oh, Paman?"

"Kamu berencana tidur dengan Dazai malam ini?"

Nagiko mengerjap sebelum menggeleng. "Kurasa tidak, soalnya semalam sudah tidur, jadi aku masih kuat."

Paman Yukichi mengangguk. "Belakangan ini aku terlalu mengawatirkanmu. Kalau tidak keberatan, hari ini bermalam saja di tempatku. Bawa laptopmu untuk meretas kamera pengawas dari rumahku."

Keponakannya tersenyum.

.


.

Disclaimer: Bungou Stray Dogs adalah ciptaan Asagiri Kafka dan Harukawa Sango, The Pillow Book adalah karya Sei Shonagon, 'Kiyohara Nagiko' dipercaya sebagai salah satu kemungkinan nama asli dari Sei Shonagon, Author tidak mengambil keuntungan.

Warning: Agak slow burn, Dazai x OC, alur canon (manga, anime, novel), sebisa mungkin tidak mary-sue.

.

.

Osamu Dazai and His Sun
by Fei Mei

.

Chapter 15

.


.

Nagiko tidak menyangka pamannya akan ikut ke apartemennya dulu untuk mengambil barang, lalu mereka bersama-sama ke kediaman Paman Yukichi. Padahal, karena lokasinya tidak jauh serta hari masih terang, Nagiko pikir Presdir ADB itu akan pulang duluan dan gadis itu akan pergi ke rumahnya sendiri lalu baru menyusul. Tapi mungkin karena sekarang baru dua jam setelah Dazai-san menghubungi langsung ponsel bosnya untuk melapor bahwa ia telah menghentikan kutukan di Yokohama sementara ini, sang paman ragu untuk membiarkan keponakan perempuannya berjalan di luar sendirian.

Sambil berjalan, Paman Yukichi memberitahu Nagiko tentang bagimana bisa sangat banyak orang kena tanda kutukan Dogra Magra, pun sang paman bisa tahu karena Dazai-san melaporkan itu juga lewat telepon. Gara-gara itu, saat ini pasangan paman dan keponakannya berusaha agar terus berjalan di atas aspal saja, jangan menginjak tanah yang berhubungan dengan tanaman kota, berjaga-jaga agar mereka tidak menjadi korban kutukan kloter berikutnya.

"Nagiko, sebentar," ujar Paman Yukichi, menghentikan langkahnya, padahal rumah sang paman sudah tinggal satu blok lagi.

Nagiko mengernyit bingung, tapi kemudian tersenyum kecil melihat pamannya menghampiri seekor kucing yang sedang duduk di atas pagar. Perkara Paman Yukichi sangat suka dengan kucing sudah bukan rahasia untuk Nagiko. Bahkan sejak sebelum tinggal dengan pamannya, ia sudah pernah beberapa kali menyaksikan sang paman berbelok arah untuk menghampiri kucing yang ia temukan. Bahkan saat Nagiko tinggal di rumah pamannya, Presdir ADB itu sesekali mengirim foto kucing liar yang ia temukan ke nomor keponakannya—mungkin itu merupakan salah satu upaya agar mereka bisa lebih dekat, dan itu berhasil, karena gadis itu senang dengan binatang.

Paman Yukichi mengeluarkan ikan kering yang selalu ia bawa kemana-mana untuk momen seperti ini, dan Nagiko sudah siap dengan kamera ponselnya. Sayangnya, bukan mendekat, kucing abu-abu liar yang diincar Paman Yukichi malah berbalik badan dan pergi. Pamannya menghela sambil mengantongi ikan keringnya lagi, Nagiko malah terkekeh.

"Paman kurang beruntung~," goda Nagiko menghampiri pamannya.

"Masih banyak kucing di dunia ini, aku tidak apa-apa," balas Paman Yukichi, membuat Nagiko terkikik geli.

Mereka kembali melanjutkan perjalanan. Namun, baru beberapa langkah, mereka terhenti lagi. Atsushi muncul di hadapan mereka dengan baju lusuh dan bekas darah, tetapi wajahnya tampak tegas.

"Nagiko," ujar Paman Yukichi tanpa menoleh. "Pergilah duluan."

Gadis itu mengerjap, menoleh sebentar pada pamannya, lalu pada Atsushi juga. Ia menggumam 'oke' pelan sebelum mengangguk kecil pada Atsushi dan pergi meninggalkan kedua laki-laki itu.

Tiba di kediaman pamannya, Nagiko membuka pintu dengan kunci cadangan yang ia miliki dan masuk ke dalam. Yang besar dari tempat tinggal Paman Yukichi bukanlah bangunannya, melainkan pekarangannya. Bangunannya pun masih bangunan lama yang kuno, dan sekilas tidak ada yang berubah sama sekali sejak Nagiko keluar dari tempat ini untuk tinggal sendiri di apartemen.

Hanya ada tiga kamar tidur di rumah itu. Pertama kali Nagiko tinggal dengan pamannya, Kak Akiko bersedia berbagi kamar dengannya—mungkin ada rasa terpaksa juga karena memang sudah tidak ada kamar lagi disana, dan Ranpo-san sudah lebih dulu menolak mentah-mentah untuk tidur sekamar dengan ayah asuhnya. Hampir dua tahun sejak Nagiko tinggal disana, Ranpo-san memutuskan untuk tinggal di apartemen sendiri, tapi keponakan bos ADB itu masih menetap di kamar Si Dokter. Tahun berikutnya, Kak Akiko keluar dari kediaman itu untuk hidup sendiri juga, sehingga kamar kakak angkatnya menjadi miliknya sendiri selama tiga tahun sebelum dirinya pun memutuskan untuk tinggal sendiri.

Sambil menunggu Paman Yukichi menyelesaikan urusan dengan Atsushi, awalnya Nagiko ingin coba beres-beres rumah. Tapi, ia sudah tidak kaget lagi melihat bangunan itu sama sekali tidak berantakan maupun kotor. Yah, ada saja sudut yang barangnya berserakan atau pinggiran yang tidak terangkat seluruh debunya, tapi tetap saja masih tampak rapi untuk ukuran rumah yang hanya ditinggali pria paruh baya seorang diri.

Karena tampaknya tidak ada yang perlu dibersihkan, Nagiko menaruh barang bawaannya di kamar yang pernah ia tinggali, kemudian ke dapur untuk mengecek isi kulkas. Sama seperti Nagiko, Paman Yukichi juga tidak gemar memasak sebenarnya, tapi mereka bisa mengolah makanan dengan baik karena sama-sama berpikir bahwa memasak merupakan kemampuan dasar penting untuk tiap manusia, minimal bisa membuat telur rebus atau menanak beras dengan rice cooker. Maka dari itu, Nagiko tahu bahan makanan di dapur pamannya tidak bakal kosong sama sekali.

Ada wortel, kentang, telur, seledri, dan nasi sisa dalam kulkas. Melihat adanya bumbu kare instan di pantri, rasanya sudah jelas bahwa Sang Paman berniat membuat kari dalam waktu dekat. Nagiko memutuskan untuk mengeluarkan nasi sisa dan menanak beras dulu, barulah menyiapkan peralatan dan bahan kari.

Ketika ia telah menyelesaikan semuanya, Nagiko menyingkirkan panci kari dari kompor. Diliriknya jam lalu ponsel, pamannya masih belum ada tanda akan segera pulang. Jadi Nagiko pergi membersihkan diri dan berganti pakaian. Barulah selesai ia mandi dan kembali ke ruang makan, Paman Yukichi ternyata sudah duduk di bangku meja makan sambil melipat kedua tangannya.

"Oh, Paman sudah pulang?" sapa Nagiko, dijawab anggukan kepala pria itu. "Tadi aku ada buat kari."

Lagi pamannya mengangguk. "Ya, aromanya tercium saat aku masuk rumah. Kamu sudah makan?"

"Belum, kupikir aku mau tunggu Paman saja."

"Baiklah, ayo ambil nasi, kita makan."

Nagiko menyendok nasi pada dua piring, lalu karinya juga. Mereka mulai makan, dan Paman Yukichi mengangguk sesekali—Nagiko tahu itu berarti dia suka rasanya. Usai makan, Nagiko hendak mengambil piring dan alat makan mereka ketika bel berbunyi. Tadinya gadis itu mau membuka pintu dulu sebelum mengurus piring kotor, tapi pamannya sudah langsung bangkit dari bangku dan berkata bahwa dia saja yang mengurus tamunya.

Baru ia menyalakan keran westafel untuk mencuci piring, Nagiko langsung mendengar suara cempreng yang dibuat-buat khas Dazai-san

"Nagikooo~ kangen aku?"

Gadis itu kaget. Ia menoleh, melihat Dazai-san memang ada di depan dapur dengan senyum sumringah.

"Eh—lho—"

Pemuda itu mulai masuk ke dapur. "Na~giii~"

"—Dazai." Suara Paman Yukichi terdengar begitu dingin sampai Dazai-san spontan mematung.

Nagiko mengerjap. "Ah, eh, Dazai-san mau makan malam? Tadi kami habis selesai makan—"

"Mau—"

"—tidak usah," potong Paman Yukichi. "Dazai akan langsung pulang setelah kami selesai bicara."

Dengan cemberut pemuda itu menoleh pada bosnya. "Tapi—"

Paman Yukichi tersenyum dingin. "Kamu sudah sering membantu Nagiko tidur. Hal kecil yang bisa kulakukan sebagai balasan untukmu adalah membantumu tewas karena kelaparan."

Baik Dazai-san maupun Nagiko langsung kicep mendengarnya.

"Nagiko, aku dan Dazai akan bicara di ruang kerja," ujar Paman Yukichi setelahnya, tidak sedingin tadi.

Keponakannya mengangguk, dan Dazai-san dengan gontai mengekori bosnya ke ruang kerja.

.

.

Entah bagaimana dan siapa yang menyebarkan berita, tapi banyak yang berkata di sosial media bahwa orang-orang yang kena kutuk hari ini adalah orang yang berbuat jahat pada tanaman dan asal menginjak tanah kota. Kalau hanya sebatas itu, Nagiko juga sudah diberitahu. Tapi, yang namanya netizen, selalu ada bumbu sedikit-banyak yang ditambahi pada berita itu. Orang-orang yang berkemampuan khusus pun belum tentu semua memahami secara detil tentang koneksi menginjak tanah dan tanaman dengan kena kutuk, apalagi mereka yang orang-orang biasa, makanya muncul banyak spekulasi aneh.

Nagiko teringat dengan anggota The Guild yang pernah menyerang mobil yang ia naiki dengan Haruno-san dan Naomi. Ada dua, tapi salah satunya, yakni Si Topi, punya kemampuan khusus yang berhubungan dengan tanaman. Jadi, kemungkinan besar, walau Nagiko tidak tahu teknisnya, Si Topi ada kaitannya dengan anggota Mafia yang punya Dogra Magra.

Nyatanya, merusak tanaman semena-mena memang bukan hal baik, sih, tapi rumor yang sedang beredar sekarang ini malah membuat orang jadi takut pada tiap makhluk hidup yang punya akar tersebut. Lewat pantauan rekaman pengawas yang Nagiko lihat, warga jadi tidak begitu lalu lalang di luar. Memang agak sulit untuk berkeluyuran saat ini sih, karena ada kerusakan di sekitar jalan yang sedang diperbaiki, serta tampaknya orang-orang masih trauma dengan kondisi tadi siang.

"Ah—." Nagiko tersenyum kecil melihat sosok Kenji-kun tertangkap salah satu kamera pengawas yang ada di sekitar pasar. Anak berumur empat belas tahun itu sedang memanggul beberapa tiang di bahunya.

Lalu ia mengecek kamera CCTV di tempat lain. Rata-rata sama saja, dan memang benda-benda rusak tengah jalan bekas amukan warga telah mulai berkurang. Nagiko bersandar di kursinya dan menghela. Dengan berakhirnya kutukan itu tadi siang, semua orang telah sadar kembali, jadi tidak heran bahwa sudah tidak ada zombie yang mengamuk di Yokohama. Tapi, kalau begitu, Paman Yukichi sebenarnya ingin Nagiko dan Junichiro untuk mencari apa lewat kamera CCTV?

Satu-satunya dugaan yang Nagiko punya hanyalah agar Nagiko dan kakak Naomi itu mencari lokasi awal kutukan itu dibuat. Jika Dogra Magra bisa menyebar gara-gara Si Topi pakai kekuatan khusus tanamannya, sepertinya sudah pasti bukan di daerah ramai, kan? Nagiko pikir, jika dia adalah Si Topi, lokasi yang membuatnya paling kuat adalah tempat yang dipenuhi dengan tanaman, seperti kebun atau hutan. Masalahnya, kedua contoh tempat itu adalah lokasi yang paling tidak bakal tersorot kamera pengawas resmi. Jadi, sekalipun sekarang Nagiko membuka file video rekaman saat sebelum kekacauan terjadi, tidak akan ketahuan juga.

'Oh iya,' Nagiko baru kepikiran. Dia memang tidak pernah melihat sosok pengguna Dogra Magra, tapi Nagiko ingat tampang Si Topi. Jadi Nagiko mengecek rekaman video dari hari sebelumnya untuk mencari keberadaannya. Tapi bukan Si Topi yang berhasil Nagiko temukan, melainkan temannya Si Topi, Si Tentakel.

Nagiko memicingkan matanya menonton rekaman itu. Ada seorang anak yang menghampiri Si Tentakel. Karena kameranya agak jauh, ia tidak bisa melihat jelas rupa anak itu, entah laki-laki atau perempuan. Dan, karena tidak ada tangkapan audio juga, Nagiko jadi tidak tahu apa yang keduanya bicarakan. Tapi yang pasti, sekitar lima menit setelah awal interaksi mereka, anak itu tampak terjatuh dan seperti berteriak, lalu Si Tentakel dengan cepat membopongnya dan menceburkan diri bersama anak itu ke sungai di bawah jembatan dimana mereka berada.

"Haaahh?!" Nagiko bingung. Ia langsung mencari rekaman video yang menampilkan aliran sungai yang sama. Gadis itu jadi agak frustasi, karena kalau Si Tentakel keluar dari sungainya di tempat yang tak terjangkau CCTV, maka berarti Nagiko tetap tidak akan tahu dimana mereka berada.

Ah, tunggu, 'tapi mungkin tidak bakal terlalu jauh dari aliran sungai itu, kan?'

Kemudian ia mencari lokasi sekitar sungai, terutama daerah yang tidak terjangkau kamera pengawas. Sedang asyik mencari, ia mendengar suara ketukan pada pintu kamarnya, jadi Nagiko bangkit dari kursinya. Saat membuka pintu, ia agak terkaget saat menemukan Dazai-san disana.

"Hai, Nagi~," sapa Dazai-san.

"Dazai-san?" Nagiko bingung, kepalanya melongok keluar memastikan bahwa Paman Yukichi tidak berlari cepat membawa pedangnya untuk menusuk si Eks Mafia.

"Aku sudah selesai bicara dengan Pak Fukuzawa, katanya aku boleh pamitan dulu sama kamu sebelum pulang," ujar Dazai-san, seakan paham kecemasan kecil gadis di depannya. "Beliau sudah menunggu di pintu depan. Katanya, kalau dalam sepuluh menit aku gak ke depan, dia bakal seret aku."

Spontan Nagiko terkekeh.

"Lagi apa—," Dazai melongok sedikit ke kamar Nagiko. "—oh, dapat sesuatu dari CCTV?"

Lalu Nagiko teringat apa yang menjadi spekulasinya. Ia menarik pelan ujung lengan baju pemuda itu, memberi gestur agar Dazai-san masuk dan melihat layar laptopnya. Nagiko memberitahu dugaan yang tadi terpikirkan olehnya, terutama tentang jalur sungai dan soal kemungkinan kebun atau hutan yang mungkin menjadi sumber kekuatan Si Topi. Dazai-san manggut-manggut mendengarkan sampai gadis itu selesai bicara.

"Yang pasti, anak yang ikut tercebur ke sungai itu memang tampak seperti Q," gumam Dazai-san dengan mata terus mengarah pada layar laptop, "ah, Q itu yang punya Dogra Magra."

Nagiko mengangguk.

"Hmm, ini mungkin akan memudahkan kita mencari dimana mereka menahan Q, setidaknya kita tidak perlu mencari ke sembarang arah seperti orang bodoh," kata pemuda itu, lalu ia menoleh pada lawan bicaranya sambil tersenyum. "Nagi, malam ini gak mau tidur?"

"Semalam sudah tidur, aku masih kuat, kok," jawab Nagiko.

Dazai-san manyun. "Tapi aku berhasil menyelamatkan Yokohama dari amukan massal warga, lho, aku gak dikasih hadiah, gitu?"

Gadis itu menyengir. "Heee, kayaknya Atsushi juga berjasa banget, deh."

"Nagiii," raung Dazai-san makin cemberut.

Mau tak mau Nagiko jadi terkekeh. Ia berjinjit dan mengulurkan tangannya tinggi sampai berhasil menyentuh kepala pemuda di hadapannya. Nagiko mengelus pelan kepala Dazai-san sambil tersenyum. "Kerja bagus, Dazai-san, hari ini kamu hebat."

Dazai-san mematung akan tindakan Nagiko padanya itu, ia pasti tidak menyangka akan afeksi ini. Nagiko pun kaget sendiri juga setelahnya, jadi dengan kikuk ia menarik lagi tangannya. Pemuda itu masih menatapnya tak percaya. Kemudian, dengan satu tangannya yang tidak digantung kain, Dazai-san menangkap tubuh Nagiko dan memeluknya erat.

Gadis itu agak termegap karena kaget, tapi akhirnya rileks juga. Mungkin bisa merasa bahwa Nagiko sudah nyaman, jadi Dazai-san menarik pinggang gadis itu untuk semakin masuk dalam dekapannya. Pemuda itu sepertinya tidak peduli kalau dia harus menekuk lutut dan membungkuk agar bisa memeluk keponakan bosnya yang lebih pendek sekitar dua puluh senti darinya. Nagiko bisa merasakan rekannya tersenyum di rambutnya saat gadis itu membalas pelukan dengan memegang pundaknya.

Mereka berpelukan dalam keheningan. Dalam kesunyian itulah, Nagiko jadi bisa merasakan kerasnya debaran jantung miliknya—bahkan sepertinya Dazai-san bakal mampu merasakannya juga dalam jarak sedekat ini.

"Dazai-san—"

"DAZAI!"

Nagiko agak terlonjak mendengar suara seruan pamannya. Ia mengerjap sejenak, dan melepaskan tangannya dari Dazai-san saat pemuda itu mulai melepaskan dekapannya juga.

"Aaah, sudah sepuluh menit," keluh Dazai-san.

Gadis itu hanya mengangguk.

"Baiklah, aku akan keluar sekarang. Nagiko, walau tidak tidur, nanti harus tetap istirahat, ya," ucap pemuda itu.

Lagi Nagiko hanya bisa mengangguk, ia belum bisa menemukan kembali suaranya.

Dazai-san tersenyum sebelum akhirnya berbalik badan, melangkah menuju pintu kamar yang masih terbuka.

Spontan saja Nagiko ikut melangkah, dan ia berhasil menangkap sedikit parka coklat Dazai-san. Pemuda itu langsung berbalik badan lagi, tampak ada kebingungan dan keterkejutan di wajahnya. Tapi, jangankan Dazai-san, Nagiko sendiri juga bingung dan kaget akan tingkahnya sendiri. Buru-buru Nagiko melepas jarinya dari parka itu, dan mundur.

"Maaf, entah kenapa aku spontan—"

Nagiko tidak berhasil menyelesaikan kalimatnya, karena Dazai-san telah lebih dulu memegang sebelah kanan wajah gadis itu, lalu mencium pipi kirinya. Dalam sepuluh menitan ini ia bersama Dazai-san, Nagiko sudah berkali-kali kaget, entah karena dirinya sendiri ataupun karena temannya itu.

"Dazai-san—" gumam Nagiko saat bibir pemuda itu lepas dari pipinya.

Tapi pemuda itu hanya mengelus wajah Nagiko dengan ibu jarinya sambil tersenyum lembut tepat di hadapan wajah gadis itu, bahkan hembusan nafasnya bisa terasa.

"Selamat malam, Sayang," bisik Dazai-san lembut. Ia menyelipkan rambut panjang Nagiko di belakang telinga, dan setelahnya ia berlari keluar ruangan.

Sepeninggal pemuda itu, Nagiko baru sadar bahwa lututnya terasa begitu lemas. Perlahan ia duduk di pinggir ranjang sambil memegang dadanya, merasakan degupan jantung yang keras. Nagiko tidak mengerti—memangnya yang seperti ini baik untuk dirinya?

Ia tidak yakin masih bisa konsentrasi mencari keberadaan Q dalam kondisi hati seperti ini. Jadi ia memutuskan untuk berhenti mengerjakan pekerjaannya itu saat ini. Tidak ada buku bacaannya di rumah Paman Yukichi sekarang, semua telah diangkutnya ke apartemennya sendiri saat pindahan. Tentu ada buku di ruang kerja pamannya, tapi ia tahu pria paruh baya itu kurang suka jika ruangan tersebut dimasuki sembarang orang, hanya boleh dimasuki kalau sudah diberi izin atau dia sendiri yang mengundang masuk. Sedangkan, saat ini Nagiko tahu wajahnya sedang merona, jadi ia tidak yakin berani menghadap pamannya untuk minta izin ke ruang kerja.

Jadi Nagiko menonton film lewat laptopnya sampai merasa tenang. Saat sudah lewat tengah malam, ketika yakin degupan di dadanya sudah kembali normal, Nagiko ingin kembali meretas kamera CCTV lagi untuk mencari video yang mungkin berkaitan dengan The Guild. Tapi semesta berkata lain—nama Dazai-san muncul di layar ponselnya, mengajak video call. Nagiko nyaris merutuk karena langsung saja dadanya berdebar lagi saat spontan mengingat ciuman di pipi oleh pemuda itu.

—tapi Nagiko mengangkat juga telepon itu.

Wajah Dazai-san muncul di layar gawainya dengan tersenyum. Gadis itu sempat merona sebelum menyadari bahwa lokasi pemuda itu yang tertangkap video tidaklah asing sama sekali baginya, yakni ruang tengah apartemen Nagiko sendiri.

"Dazai-san, di apartemenku? Ngapain?" tanya Nagiko.

"Kalau di apartemenku kan, bosen, jadi aku main di apartemenmu," jawab pemuda itu santai.

Nagiko spontan memutar bola matanya. "Di apartemenku kan, juga tidak ada mainan."

Dazai-san menyengir sambil merebahkan dirinya di sofa. "Setidaknya aku merasa seperti ada kamu disini."

Gadis itu menghela. "Padahal kita baru bertemu tadi, kan?"

"Tapi aku tidak menemukanmu di pelukanku saat ini, Sayang," balas Dazai-san lembut, sukses membuat Nagiko kembali merona, dan Dazai-san terkekeh halus. "Nagi, daritadi masih kerja?"

"Tidak," jawab Nagiko setelah berdeham kecil, memastikan suaranya tidak tersendat. "Tadi aku habis nonton film, lalu sekarang kepikiran untuk kerja lagi, tapi Dazai-san keburu meneleponku duluan."

"Itu tandanya kamu gak usah kerja lagi saat ini, lanjutinnya entar aja di kantor."

"Aku juga sempat berpikir begitu … tapi aku benar-benar menganggur sekarang."

Dazai-san menyengir lagi. "Nah kan, kamu jadi bosen kalau gak ada aku."

"Tidak ada hubungannya dengan Dazai-san, kok." Cengiran Dazai-san berubah jadi manyun, giliran Nagiko yang terkekeh. "Yah, mungkin kalau ada Dazai-san, setidaknya aku jadi ada teman bicara malam-malam begini."

"Daripada teman bicara, jadi temanku untuk bunuh diri bareng, mau?"

"Tidak, terima kasih."

"Nagiii!"

Lagi Nagiko tertawa kecil, membuat bibir cemberut Dazai-san perlahan mengulum senyum. Kemudian mereka saling menatap dalam hening. Pemuda itu terus tersenyum lembut lewat video, dan Nagiko hanya terus memandang padanya.

"Dazai-san," gumam Nagiko akhirnya memecah kesunyian.

"Hmm?"

" … aku berharap Dazai-san ada bersamaku saat ini."

Lampu ruang tengah apartemen Nagiko bisa membuat tampang tercengang Dazai-san terlihat, itu membuat Nagiko malu, ia kikuk atas perkataannya sendiri.

Senyum lembut Dazai-san akhirnya muncul lagi. "Nagiko, rebahan di ranjang, gih, tubuhmu itu seharian tegang, kan?"

Nagiko menggigit bibir. Perkataan pemuda itu benar. Walau di antara semua agen detektif, Nagiko-lah yang paling tidak melakukan apa-apa, nyatanya insiden yang terjadi tadi siang pasti membuat siapa pun yang melihatnya merasa tegang. Belum lagi karena Kunikida-san, yang notabene adalah orang yang paling berhati-hati di agensi, malah menjadi satu-satunya yang kena Dogra Magra, sudah pasti membuat rekan-rekannya merasa ke depannya mereka akan menjadi lebih mudah kena kutuk.

Jadi gadis itu menghela kecil. Sambil memegang ponsel yang masih terhubung video call, ia mematikan laptopnya, lalu beranjak ke ranjang dan duduk disana.

"Tiduran, Nagi, kayak aku." Suara Dazai-san terdengar lagi.

Keponakan bos ADB itu tersenyum kecil. "Dazai-san, kan, tidurannya di sofa."

Dazai-san tampak manyun. "Ngapain aku tiduran di ranjang kalau gak ada kamu yang nemenin?"

Tapi Nagiko menurut juga. Bukan terlentang, ia meringkuk ke samping. Dazai-san tampak meringkuk juga sekarang, sehingga mereka seperti sedang bersebelahan.

"Sayang—" Dazai-san terkekeh kecil. "Nagi, kok, kamu hobi merona kalau kupanggil 'sayang', sih?" Spontan Nagiko membuang muka, dan kekehan Dazai-san terdengar lagi sebelum pemuda itu menghela pelan. "Walau tidak bisa terlelap, coba pejamin matamu saja, ya? Aku akan melakukannya, jadi Nagiko juga coba, ya?"

Gadis itu menatap pemuda itu di layarnya sejenak sebelum mengangguk kecil. Ia memejamkan matanya.

.

.

Nagiko dikejutkan dengan ketukan pintu dan suara Paman Yukichi yang memanggilnya. Mengerjap sebentar, lalu ia benar membuka kedua matanya. Lampu kamarnya masih menyala, tapi biasan cahaya matahari telah menembus gorden jendelanya. Seingatnya, terakhir kali saat ia menerima panggilan video call Dazai-san itu saat hampir jam dua dini hari. Nagiko menyalakan layar ponselnya, melihat bahwa sekarang sudah mau jam tujuh pagi.

Gadis itu kembali mengerjap dengan bingung. Selama lima jam tadi itu … lho?

.


.

Bersambung

.


.

"Now I've gazed to my hearts' content." ...
... "They say it's rare to catch sight of a woman's face after sleep," he replied, "so I decided to peek into a lady's chamber, and then I came along here on the off chance that I'd manage to see you too. You didn't realized I'd been since Their Majesties were in the room, did you?"
The Pillow Book, Sei Shonagon.

.