Suara mimpi buruk: Desiran angin pantai yang terbengkalai
Oleh: Murasaki Dokugi
Karakter milik Bandai Namco dan Monsta
Lorong rumah sakit jiwa itu menyala redup. Seorang pria paruh baya yang memakai jas putih berjalan tegap di sepanjang lorong itu. Dia menggenggam papan catatannya di salah satu tangannya. Wajahnya menunjukkan ketidakpastian, kehampaan, dan mungkin juga kelelahan.
Nama pria itu adalah Otto. Dia bekerja sebagai seorang konsuler di sebuah instansi jiwa dan khusus menangani pasien anak-anak. Otto menghela nafas panjang. Ini menjadi sesi terapi kesekian kalinya yang akan dia lakukan terhadap Noone, seorang anak gadis berusia sekitar sepuluh atau sebelas tahun. Noone mengalami kelainan jiwa dimana setiap kali dia tertidur, dia akan mengalami mimpi buruk, dimana mimpi buruk itu lebih buruk dari mimpi yang dia alami sebelumnya. Dan anehnya, mimpi-mimpi buruknya seringkali berkaitan satu sama lain, seakan-akan Noone menjadi Alice di negeri dongeng ataupun terlempar ke dimensi lain setiap kali dia tertidur namun dengan kesan yang lebih suram dan menyeramkan.
Otto tahu kalau dia tidak sekadar hendak menyembuhkan Noone. Dia juga ingin mengetahui lebih dalam tentang dirinya sendiri. Otto mengalami sebuah trauma saat dia masih kecil, dan dia merasa dia memiliki hubungan dengan mimpi-mimpi buruk yang dialami Noone. Otto juga merasa dirinya terlalu memaksa Noone untuk menceritakan mimpi-mimpi buruknya kepadanya, seakan-akan Otto lebih mengutamakan trauma masa lalunya ketimbang perasaan gadis kecil itu.
"Baiklah, Noone. Ini adalah sesi ke-bzzzztt..." Otto mulai menyalakan kotak rekaman di sebelahnya. Noone duduk tak jauh di hadapannya. Wajah gadis itu suram dan hancur akibat mimpi-mimpi buruk yang dia alami. "Ayo kita mulai."
Noone mencengkeram lututnya. Pandangannya kosong. Dia tahu Otto ingin menggunakan mimpi-mimpi buruk yang dia alami untuk mengetahui lebih lanjut tentang trauma masa kecilnya. Dia merasa simpati kepada pria itu, namun dia juga marah terhadapnya karena dia merasa penderitaannya hanya digunakan sebagai alat oleh Otto untuk mengetahui lebih lanjut tentang trauma masa kecilnya.
"Baiklah. Ceritakan apa yang kau lihat di dalam mimpimu semalam, Noone." Otto mulai menyiapkan catatannya. Noone menghela nafas panjang. Tangannya mengepal kuat-kuat di lututnya.
"Aku bermimpi... di sebuah pantai yang terbengkalai," gumamnya. "Kurasa ini mimpi yang lain daripada sebelumnya. Yang ini lebih terlihat... Cerah."
Otto mengangguk. "Cerah. Baiklah." Dia mencatat di papan tulisnya. "Lalu?"
"Aku lalu melihat... Dia," lanjut Noone. "Seorang anak laki-laki berambut cokelat tua, mungkin berumur sekitar tujuh atau delapan tahun. Dia gemuk dan gempal. Dia lebih pendek dariku."
Otto menghela nafas panjang. "Bisakah kau ceritakan lebih lanjut bagaimana rupa anak laki-laki itu?" Tanyanya sembari menggenggam bolpoinnya erat-erat. "Apakah dia terlihat... Dekil?"
Noone menggeleng. "Tidak juga. Dia terlihat lebih segar ketimbang anak-anak yang kutemui di mimpi-mimpiku sebelumnya," gumamnya. "Dia memakai kemeja putih dan celana biru tua yang digulung sampai di bawah lututnya. Tapi yang paling menarik perhatianku adalah... Dia mengenakan dasi kecil bercorak hijau pandan... Mungkin seperti ketupat."
Otto mengangguk-angguk. "Dasi ketupat?Menarik juga." Dia menulis kembali di catatannya. "Apakah dia berbicara padamu?"
Noone menatap ke arahnya, pandangannya kosong. "Tidak, dia tidak berbicara apa-apa padaku. Dia seperti tidak melihatku, seolah-olah aku ini transparan. Tapi entah kenapa aku tahu namanya, seolah angin di sekitarku membisikkan namanya padaku."
"Oke?" Otto terus menulis di catatannya. "Siapa nama anak itu?"
Noone menelan ludah. "Nama anak itu..." Dia berusaha menenangkan dirinya. Dia tahu Otto perlu segala hal yang dia perlukan untuk menyembuhkannya dan juga untuk mengetahui trauma masa lalunya. Dengan suara bergetar, dia melanjutkan kalimatnya.
"Nama anak itu... Aman Askandar."
Bersambung...
