BoBoiBoy milik Animonsta Studios

Ditulis oleh SappireEyes

.

Kita Berdua

.

Tanganku menggandeng tangan seseorang yang lebih dewasa. Tangan besar orang itu membuat tangan kecilku tenggelam dalam genggamannya. Tangan kami saling berayun dengan selingan tawa. Di kanan kiri jalan terdapat barisan pohon besar yang berdaun lebat. Daun-daun itu menari-nari mengikuti irama angin. Ada beberapa lembar daun yang melayang bebas dari ranting seolah menyambut kedatangan kami yang tengah berjalan santai menikmati pemandangan.

"Oboi, senang enggak jalan-jalan di hutan?"

Orang dewasa itu memberikan pertanyaan kepadaku yang tengah asyik memandang seekor capung yang lewat. Mataku langsung beralih ke arahnya seraya tersenyum lebar.

"Suka! Suka banget apalagi kalau jalan-jalan sama Ayah."

Orang yang aku sebut Ayah itu tersenyum. Kedua tangan kekarnya mengangkatku dan meletakkanku di atas pundaknya. Aku terkejut, tetapi saat mataku menatap ke depan, bibirku membentuk senyuman yang sangat lebar. Pemandangan dari atas sini tampak sangat indah.

Kami berdua menghabiskan waktu bermain di dalam hutan itu. Hingga tak terasa sore telah tiba. Ibu datang menjemput kami. Sosoknya berdiri di luar hutan. Ia tersenyum saat melihat kami berdua keluar. Saat itu Ayah tengah gemas mencubit pipiku sampai aku memohon ampun.

"Ibu!"

"Kalian berdua sepertinya sangat bersenang-senang ya?"

"Ya! Harusnya ibu juga ikut tadi. Seru banget! Ya kan, Yah?" Aku meminta pendapat Ayah yang sudah memindahkanku ke pelukan Ibu.

"Ya, besok-besok kita piknik ya?"

"Atok juga diajak ya!"

"Ya." Ibu menjawab seraya mengelus kepalaku yang tertutup topi.

"Janji ya?"

Kami pun berjalan beriringan menuju rumah dengan latar langit jingga.

"BoBoiBoy?"

Samar-samar aku seperti mendengar ada orang yang memanggilku, tetapi tubuhku malah tidak bisa diajak bereaksi. Aku mengabaikan panggilan yang tidak jelas itu dan kembali melihat langit biru dengan pandangan kosong. Tiba-tiba bahuku ditepuk seseorang membuat kesadaranku kembali secara penuh.

"Ya?" sahutku terkejut dan sadar kalau aku tengah dalam keadaan bengong dan posisi mengelap gelas. Semua mata memandangku bingung.

"Hoi, BoBoiBoy. Kenapa kamu bengong?" tanya salah satu temanku lelaki berambut ungu dengan mimik penasaran sekaligus khawatir.

"Ah, maaf!"

"BoBoiBoy, jangan bengong. Nanti kemasukan roh loh," tegur temanku yang perempuan. Ia mengenakan hiljab pink dengan tambahan topi dengan warna senada di kepalanya.

Aku hanya cengengesan dan berkata maaf sekali lagi seraya menggaruk belakang kepala.

"Kau sedang mikirin apa BoBoiBoy?" Pertanyaan itu meluncur dari mulut teman perempuanku yang lain. Dia mengenakan kacamata bundar.

Alih-alih menjawab, aku hanya diam dan menunduk menatap gelas yang masih aku pegang. Dengan segera aku menggeleng dan lekas meletakan gelas itu ke rak. Aku tersenyum kecil untuk menghilangkan kecanggungan ini.

"Enggak ada apa-apa kok. Maaf ya udah buat kalian khawatir."

Mereka hanya diam, lalu mengukir senyuman. Aku masih tersenyum, tetapi sorot mataku tidak begitu.

Ada perasaan janggal yang selama ini menggangguku. Padahal selama tinggal di Pulau Rintis, aku menjalani hidup dengan riang gembira. Aku membantu Atok di kedai, melayani para pelanggan, sekolah, bermain, dan menjalankan misi bersama teman-teman. Namun, dari semua aktivitas yang menyibukkan dan melelahkan itu tetap saja hadir perasaan tersebut setiap kali sedang tidak sibuk.

"Yah?"

"Ya, kenapa anakku?"

"Apakah Ayah punya mimpi?"

Ayah hanya diam dan memandangku bingung. Aku menjelaskan lebih rinci maksud dari pertanyaanku itu. Ayah pun ber-oh saja dan matanya kembali memandang lurus ke depan.

"Ayah dan Paman Pian punya rencana ingin membangun sebuah organisasi pelindung power sphera suatu hari nanti."

Aku yang saat itu masih kecil hanya berbinar dan menganga kagum mendengar kalimat itu. Tidak kusangka Ayah dan Paman Pian akan melakukan itu.

"Wah! Mechabot pasti akan sangat senang, Yah," responku dengan sangat antusias.

Ayah hanya tersenyum seraya mengucap kepalaku yang tertutupi topi jingga membuat wajahku tertutupi sebagian topi karena miring. Aku membetulkan topi dan memandang Ayah.

"Ya, kalau Oboi apakah udah punya mimpi?" tanya balik ayahku.

Aku berpikir sejenak. Mimpi ya?

"Aku mau jadi superhero seperti Ayah! Aku mau selamatkan power sphera juga. Lawan robot jahat. Nanti kita buat sama-sama ya, Yah? Kita lawan musuh sama-sama. Selamatkan power sphera sama-sama juga."

Ayah hanya tertawa mendengar jawabanku itu. Aku hanya bengong melihat reaksi Ayah.

"Oboi mau jadi superhero?"

"Tentu saja!" ucapku sangat yakin saat itu.

"Ya, ya. Kita buat sama-sama ya. Kalau Oboi sudah besar nanti."

"Oke! Yeay, Oboi dan Ayah akan jadi superhero berdua!"

Aku melompat kesenangan, sementara Ayah hanya tersenyum tipis dan matanya memandangku dengan teduh.

Mimpi yang menyenangkan, tetapi ya, itu semua hanya mimpi belaka yang tidak akan pernah terwujud. Karena pada akhirnya kami berjuang di jalan masing-masing.

Mataku tengah memandang lirih jam yang melingkar di tangan kanan. Kuusap lembut layar jam itu dengan jempol. Layar jam berbentuk lingkaran itu menampilkan tujuh lambang elemen.

"Ayah bilang kita akan melakukannya bersama," lirihku seraya memejamkan mata erat.

"Ayah pembohong. Ayah bilang kita akan melakukannya bersama. Aku benci Ayah!" teriakku dengan suara serak seraya mendongak ke langit. Kugigit bibir menahan tangis.

Suasana saat itu tengah sepi. Hanya embusan angin yang bertiup sepoi-sepoi. Tidak ada satu pun burung yang lewat. Walaupun cuaca hari ini cerah, tetapi tidak dengan suasana hatiku saat ini. Kutundukkan kepala hingga sebagian wajah ini tertutupi oleh poni.

"Kenapa?"

Lucu memang bertanya kepada udara kosong, tetapi aku memang ingin sekali mengeluarkan semua perasaan ini.

Dulu saat kecil pikiranku tentu masih belum matang. Aku hanya memikirkan hal yang bagiku menyenangkan. Sekarang semua itu, sudah tidak ada artinya. Aku sangat lelah. Jujur saja aku sudah tidak kuat lagi untuk berpura-pura kuat di depan semua orang hanya karena aku adalah hero terkuat di mata mereka.

"Superhero ya?"

Aku teringat percakapanku dengan Ayah dulu. Saat itu tengah membicarakan tentang mimpi kami yang ternyata sama-sama ingin menjadi seorang superhero.

"Oboi, suatu hari nanti. Jadilah superhero yang kuat dan berdikari."

Berdikari, aku benci kata itu sekarang. Nyawaku hampir melayang beberapa kali saat aku tengah bertarung mati-matian. Apakah Ayah tahu tentang hal itu. Tentu saja tidak karena dia tengah sibuk dengan urusannya. Jadi superhero itu tidaklah mudah dan ini tentu bukan sebuah permainan. Ini adalah suatu pekerjaan yang harus memiliki rasa tanggung jawab. Sepertinya mentalku telah mencapai batasnya.

Aku ingin kembali ke masa anak-anak. Di mana aku bisa merasakan hangatnya berkumpul dengan keluarga tanpa memikirkan tanggung jawab sebagai superhero. Tertawa bersama mereka. Ya mungkin inilah mimpi sejatiku. Mimpiku yang baru di mana aku ingin kembali membangun suasana keluargaku yang hangat. Namun, itu hal yang sangat mustahil. Karena sekarang di masa ini aku adalah superhero dan sebagai seorang penyelamat tentu tidak boleh mundur lagi. Ini sudah menjadi takdirku.

Aku memandang langit senja. Langit yang sama saat aku dan Ayah menyatakan mimpi kami. Mimikku berubah menjadi serius. Aku hapus air mata dan membulatkan tekad. Bahwa diri ini akan terus maju. Ayah pasti juga sedang berjuang membangun impiannya di sana. Kami berdua memiliki mimpi yang sama hanya saja jalan yang aku dan Ayah lalui berbeda.

"Ibu, Ayah. Suatu hari nanti, pasti. Kita akan membangun impian yang baru. Bersama kita lakukan," ucapku seraya tersenyum dengan penuh keyakinan.