Disclaimer: BoBoiBoy © Monsta
A Luta Continua (Latin: the struggle continues) © Roux Marlet
The author gained no material profit from this work of fiction.
Alternate Universe, No Pairing, Grown-up Characters.
Genre: Friendship, Family, Angst.
Rated M (Mature) for the ADDICTIONS theme (to be explained later).
.
Important side notes: Tok Aba dan Amato di sini bukan ayah dan anak.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Dering telepon seluler memanggil-manggil, memecah keheningan dalam gelap. Awalnya, sang pemilik abai. Peneleponnya lebih keras kepala, bertahan menekan kembali redial setiap kali nada tunggu habis. Sampai pada akhirnya, suara serak terdengar setelah tombol jawab dibuka,
"Halo?"
"Halooooo, selamat pagi, Tuan Arsitek. Terima kasih sudah menjawab teleponku yang kesembilan kali."
Suara bernada sinis dari seberang sambungan sudah menyembur duluan sebelum Solar bisa membuka mata sepenuhnya.
"Masih di kasur?" Suara itu makin menyebalkan di tiap tarikan napas berikutnya. Memang benar, badan Solar masih terkapar di atas timbunan kapuk.
"Pagi, Fang," balas Solar datar sambil menguap dan mengucek mata. "Ya, ya, ya, aku baru bangun. Ada apa?"
"Ada klien baru. Nanti kita ketemu jam delapan, ya."
Klien baru? Setelah berbulan-bulan tanpa proyek baru? Semangat Solar mendadak mencuat dan dia baru sadar matahari sudah tinggi dari celah jendela kamarnya. Dia buru-buru duduk. "Jam delapan nanti di kantor?"
"Yeah. Setengah jam lagi."
Solar melompat mendadak dari tempat tidur sambil merepet ketika mendapati memang saat itu sudah jam setengah delapan di jam dindingnya, "Fang, kenapa kamu nggak bangunkan aku lebih pagi?"
"Oi! Aku sudah telepon delapan kali, ya?! Memangnya urusanku hanya membangunkanmu dari ngebo?"
"Ish. Iya deh, iya, Pak Dosen. Sudah dulu, ya."
Solar melempar ponselnya ke atas ranjang dan buru-buru mandi.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Harusnya Fang memberi Solar penghargaan untuk berhasil sampai di kantor jam delapan kurang satu menit. Tak sempat lagi menunggu bus, Solar lari sprint dari rumahnya yang berjarak dua kilometer. Setidaknya, Solar sudah sampai di depan Fang tepat waktu, cukup untuk sekadar setor muka penuh peluh dan napas ngos-ngosan sebelum berbelok ke kafetaria dan beli sarapan.
Sarapan adalah saat makan terpenting dalam sehari. Solar akan selalu ingat petuah itu yang sumbernya dari Gopal anak lelaki Kumaran, rekannya di divisi sebelah, financing alias keuangan. Fang menyusulnya di tempat makan dan bicara selagi Solar mengisi perut, bahkan napasnya ikut terlihat berantakan padahal yang tadi habis lari-lari adalah Solar, bukan Fang. Rupanya proyek ini benar-benar mendesak, ya?
"Aku baru dikabari Pak Bos, chat tengah malam tadi. Jadi, tentu saja aku baru baca pesannya saat aku bangun, lah. Kali ini gedung pencakar langit untuk hotel dan sebagian ruang meeting serta showroom. Nanti siang, kita akan ketemu seniman mural untuk proyeknya."
"Hah? Seniman mural?" tanya Solar sambil mengernyit. "Buat apa ada seniman mural sebelum gedungnya jadi? Dirancang saja belum."
"Klien satu ini minta … hmm, sentuhan alam … buat desainnya, untuk interior maupun bagian luar. Kamu pernah dengar yang namanya integrated arts? Nah, itu dia. Makanya, seniman mural ini bakal dilibatkan sejak proses perencanaan gedungnya. Dia sering melukis mural tanaman untuk gedung-gedung tinggi."
"Klien ini minta tembok luar dan semua ruangannya dilukis mural?" Solar masih tak habis pikir sambil mengunyah. "Dan, mural tanaman? Kenapa kliennya nggak beli wallpaper tumbuh-tumbuhan saja?"
Fang memutar bola mata. "Ngomong gampang. Klien ini bawelnya kebangetan, maunya lukisan asli."
Di mata Solar yang terhalang kacamata visor warna jingga pun, Fang terlihat kesal dan enggan tapi terpaksa. Dia berceletuk, "Apa kamu kenal kliennya?"
"Huh, iya. Abang kandungku, namanya Kaizo."
Alis Solar naik sebelah karena tak menduga hal itu. Ada yang tersembunyi dalam sepetik kalimat Fang yang dilontarkan dengan ekspresi yang bisa bermakna ganda, jadi Solar tidak bertanya. "Pak Bos menerima proyek ini meski tahu kliennya adalah abang kandungmu?"
Fang mengangguk. "Aslinya, Pak Bos minta aku lagi yang jadi project manager. Aku menolak, alasannya ya jelas karena kliennya abangku sendiri. Aku ikut di divisi engineering saja."
Sorot mata Solar menajam, jantungnya mendadak berdebar. "Lalu? PM-nya jadi siapa?"
Fang menghela napas. "Pak Bos mau memanajerinya sendiri."
"Oh, begitu." Solar tidak berkomentar lebih lanjut, harapan yang tadi sempat terbang jadi amblas seketika.
Fang seorang insinyur sipil yang berbakat dan sering ditunjuk jadi project manager yang bertanggung jawab dalam semua proses berdirinya sebuah bangunan, mulai dari perencanaan, desain, penganggaran, pelaksanaan, sampai penyelesaian. Sedangkan Solar yang arsitek lebih dominan berperan di proses desain saja.
Bukan berarti Solar tidak mampu jadi project manager, tapi ….
"Dengan begitu, aku masih bisa ngajar sampai akhir tahun ini," lanjut Fang, terdengar agak lega. Solar juga tahu, Fang yang juga menyambi paruh waktu sebagai dosen vokasi teknik sipil di almamaternya itu mendapat beasiswa untuk studi magister tahun depan dari kampus tempatnya mengabdi.
"Selamat sekali lagi, Pak Dosen," ujar Solar, berusaha kedengaran tulus sambil meneruskan makan. Fang tersenyum masam ke arahnya karena sudah tahu tabiat kawannya itu.
Sulit untuk memuji orang lain ketika diri sendiri sedang mengharapkan pujian.
"Makasih, deh," gumam Fang akhirnya.
Suasana canggung mendadak turun. Solar menghabiskan sarapannya tanpa bicara lagi sedangkan Fang memainkan ponselnya. Satu notifikasi mampir di sana, membuat Fang kembali buka suara,
"Nah, nanti siang, aku ada kelas. Jadi, aku minta tolong kamu yang menemui si seniman, ya."
Solar yang sedang minum jus sampai tersedak. "Heeeh? Kenapa bukan Pak Bos saja yang menemuinya?! Project manager, konon!"
Fang membalas, "Dia, 'kan, masih menyelesaikan proyek yang di Johor."
"Lha, memangnya aku siapa?" gerutu Solar. "Di mana-mana, yang berurusan dengan klien maupun pihak eksternal itu, ya, PM-nya, lah!"
"... kamu, 'kan, perwakilannya project manager."
Sumpah, Solar mendadak kepengin meremukkan kacamata berbingkai ungu milik Fang mendengar jawaban itu.
"Aku kasih kontak manajernya, deh," imbuh Fang tergesa, nada sesal tersisip dalam suaranya. "Tadi aku sudah sempat teleponan. Manajernya baik."
"Gila, sampai punya manajer sendiri. Profesional, pasti? Nanti, kalau si seniman profesional ini minta macam-macam, aku harus apa?!" Solar makin sebal. "Kamu saja yang ketemu mereka, Fang. Aku gantikan kamu ngajar siang nanti."
Fang merengut. "Nggak bisa gitu, lah! Aku tahu kamu pernah jadi asisten dosen selama kuliah, tapi nggak gitu konsepnya!"
Sarapan Solar menguap sudah dalam bentuk energi negatif. Dia tahu berdebat dengan Fang hanya akan menghabiskan napas dan tenaga, tapi dia sungguh kesal.
"Terus? Aku harus menyampaikan apa ke senimannya? Kita bahkan belum bahas konsep gedungnya sama sekali."
Lawan bicara Solar menggeleng. "Itu … Pak Bos bilang, untuk hari ini, kalian cukup perkenalan dulu."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Surya Gamma Sentosa, Sdn. Bhd. adalah biro kontraktor yang terspesialisasi dalam pengerjaan gedung-gedung tinggi. Meski masih tergolong perusahaan mikro menengah, mereka telah berhasil mendirikan beberapa gedung perkantoran, perhotelan, maupun mall yang tersebar di Selangor, Malaysia Barat.
Pemiliknya bernama Amato, seorang arsitek, yang kebetulan (atau bukan kebetulan) adalah ayah kandung Solar.
Mengikuti jejak sang ayah sebagai arsitek saja tidak cukup bagi ego Solar yang tinggi. Lulus sebagai sarjana arsitektur yang ambisius, dia ikut bekerja di biro kontraktor milik sang ayah sembari mengambil kuliah teknik sipil dan di sanalah dia mengenal Fang yang tiga tahun lebih muda darinya. Mereka satu kelas, saling bersaing, dan lulus di waktu yang sama. Solar jadi punya tambahan gelar sarjana teknik sipil dan sekalian mengajak Fang bergabung di biro itu.
Dalam sebuah proyek bangunan, seorang arsitek bertugas merancang desain dan kemudian insinyur sipil yang akan merealisasikan rancangan itu dalam bentuk hitungan struktur dan kontur tanah, pemilihan bahan, dan rencana anggaran bekerja sama dengan divisi keuangan. Tahap berikutnya adalah merekrut pekerja lepas yang akan membangun gedung secara harfiah. Biasanya mereka punya langganan biro pekerja bangunan yang dikepalai Pak Tarung. Bagian ini urusannya Yaya yang di divisi sumber daya.
Semua tahapan itu dikelola oleh seorang project manager.
Karena Solar berpendidikan arsitektur dan teknik sipil sekaligus, seringnya dia mengepalai proyek mulai dari tahap perencanaan sampai pelaksanaan seorang diri. Dia yang mendesain, dia juga yang menghitung segala kebutuhan untuk mewujudkan desain itu menjadi nyata. Cukup efisien dari segi waktu dan tenaga kerja untuk ukuran usaha yang baru berkembang, lagipula bukan Solar namanya kalau tidak sanggup memegang dua tanggung jawab sekaligus, meski di biro itu juga ada dua arsitek lain, Iwan dan Shielda, serta tiga insinyur sipil, Fang, Nut, dan Ying. Semuanya memang orang-orang muda. Dulunya, Amato menjalankan biro ini hanya berdua dengan Paman Pian yang juga sekaligus pemegang saham.
Dengan kemampuan dan kepandaiannya, seharusnya Solar bisa naik jabatan dengan cepat. Jadi project manager adalah target yang paling dekat, lalu bukankah di masa depan dia akan jadi pemilik biro, menggantikan sang ayah?
Namun, kenyataannya tidak semulus itu. Paling bagus, Solar hanya sampai di posisi engineering manager sejauh ini, satu tingkat di bawah project manager.
Lalu, untuk proyek kali ini, bukan Fang yang jadi project manager padahal dia yang paling sering ditunjuk dan terbukti sukses proyek. Solar paham karena klien kali ini adalah saudara kandung Fang, jadi pilihan itu tepat untuk menghindari konflik. Dilihat dari kemampuan dan pengalaman kerja, harusnya Solar bisa mengisi posisi itu, tapi pimpinan yang mereka panggil Pak Bos itu berkehendak lain. Amato sendiri yang mau jadi project manager.
Semua keputusan sepihak itu disampaikan Amato kepada Solar lewat Fang, lalu kini dia harus berhadapan dengan seorang seniman asing dan manajernya. Solar merasa nasi lemak menu sarapannya tadi berubah jadi ribuan jarum kecil di dalam perut, membuatnya perih dan mual. Bukannya Solar itu penggugup atau antisosial—dia justru seorang yang penuh percaya diri, tipikal orang yang selalu mendominasi pembicaraan—tapi itu dulu.
Solar menghela napas dan mencoba memulai percakapan dengan si manajer di aplikasi messaging.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Gempa! Aku mau permenku!"
Siang itu, Solar menoleh dan mendapati dua pria muda di ruang tunggu. Yang seorang berpakaian setelan sederhana tapi rapi, sedangkan yang satu lagi mengenakan kaus dan celana longgar dengan noda warna di beberapa tempat.
"Sabar, Duri. Nanti, kalau kita sudah di ruangan, akan kuberi," sahut pria dengan setelan rapi, nadanya menenangkan.
"Permen, permeeeen!" Si pria artistik melompat-lompat riang. Matanya membola ketika melihat hiasan dinding yang terbuat dari anyaman daun. Seingat Solar, itu karya Gopal yang kadang memanfaatkan sisa bahan memasak restoran keluarganya. "Bagusnyaaa! Tapi, kasihan daunnya … tapi, tetap bagus, sih!" Selanjutnya, pria itu bertepuk tangan gembira.
'Kelakuan kayak bocah,' batin Solar spontan sambil melempar pandang mencela. Tidak, tunggu dulu! Menilik pakaiannya, apakah orang itu seniman mural yang dimaksud Fang? Mereka mengharapkan Solar bekerja sama dengan orang macam ini sejak masa terawal proyek? Solar masih terpana menyaksikan pria itu hilir mudik mengamati setiap hiasan pada dinding ketika pria satunya melihat ke arahnya, lalu berdiri dan tersenyum.
Solar berjalan mendekat, memasang senyum palsu terbaiknya. "Selamat siang, Tuan-tuan. Nama saya Solar."
Si manajer, yang berpakaian rapi, membalas salamnya. "Selamat siang. Saya Gempa, manajernya Duri."
Duri menoleh dan berseru heboh, "Halo, Solar! Salam kenal!" Dia menjabat tangan Solar dan mengguncangnya sambil tertawa-tawa. Senyum Solar jadi kaku. Seniman memang orang yang bebas, tapi sikap Duri teramat tidak formal di matanya.
"Eh, Duri, pelan-pelan, dong," tegur Gempa sambil mengernyit.
"Habisnya, Duri semangat, nih! Hehehe, maaf, Solar. Tanganmu sakit?" Si seniman mendekatkan tangan Solar ke depan matanya.
"Ehm, nggak masalah," sahut si arsitek, menarik tangannya perlahan lalu membetulkan letak kacamata. Sekalian saja menanggalkan formalitas kalau sudah begini. "Kalian sudah makan siang?"
"Sudah," sahut Gempa. "Terima kasih," imbuhnya, karena Solar seperti akan mengundang makan siang.
"Begitu, ya." Rasanya agak sia-sia Solar tadi browsing menu makanan di sekitar kantor.
"Aku mau makan permen," seloroh Duri tiba-tiba.
"Duri senang makan yang manis-manis?" tanya Solar, teringat salah satu hasil pencariannya tadi. "Di dekat sini ada kedai yang jual kudapan manis. Gimana kalau kita ngobrol di sana?"
Duri menoleh pada Gempa, seolah minta persetujuan. Si manajer mengangguk sambil menahan senyum.
"Asyik!" sorak Duri dengan wajah semringah.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Yang perlu Solar ingat kalau bertemu orang baru: selalu berpura-puralah di awal. Kau tidak akan pernah tahu siapa yang kauhadapi. Tipikal pria muda sopan dan kalem macam Gempa bukan orang yang jarang ditemui Solar, tapi interaksinya dengan Duri agak ganjil. Mereka kira-kira sebaya dan justru Gempa yang lebih dihormati oleh Duri, bukan sebaliknya. Siapa yang seniman profesional dan siapa yang manajer di sini? Atau, Duri sebetulnya bukan profesional di bidangnya? Tapi, lalu buat apa lagi dia punya manajer sendiri?
Solar sendiri tidak makan di kedai itu, hanya memesan secangkir kopi. Duri memesan kue krim pelangi yang warna-warninya begitu cerah, sedangkan Gempa juga hanya pesan segelas teh.
"Duri ini pegiat phytograffiti," tutur Gempa setelah menyesap tehnya yang ternyata masih terlalu panas.
"Phytograffiti?" Solar yakin dirinya adalah pengunjung paling rajin perpustakaan kampus, tapi belum pernah dibacanya istilah itu. Tanpa perlu bertanya, sebetulnya Solar paham dari asal katanya. Phyto berhubungan dengan tumbuhan dan kata yang satunya adalah grafiti, coretan di dinding.
"Sejak kecil, Duri suka menggambar di tembok!" sambung si seniman dengan krim belepotan di sekitar mulutnya. "Duri suka tanaman, jadi itu yang digambar!"
"Duri, krimnya." Gempa menyodorkan selembar tisu yang dengan sigap ditarik dari dalam tasnya.
"Ups, kotor, ya. Hihi. Maaf, maaf. Makasih, Gempa." Duri menerima tisu itu dan mengelap mulutnya, lalu meneruskan, "Ada seorang seniman di Amerika yang giat melukis mural tumbuhan di gedung-gedung tinggi. Dia inspirasiku!"
"Wah, bagus sekali," komentar Solar diplomatis. "Sudah berapa lama Duri melukis … umm, membuat, phytograffiti?"
Duri menoleh ke arah manajernya. "Berapa lama, ya, Gempa? Ummm …."
"Sekitar … delapan tahun?" sahut Gempa, pandangannya beralih ke jendela selagi menghitung.
"Oh, ya. Mungkin saja segitu," timpal Duri tak jelas, karena baru saja menyumpal mulutnya dengan sepotong besar kue lagi.
"Pasti pengalaman Duri sudah banyak, ya," ujar Solar sambil menatap keduanya bergantian. "Proyek kita nanti pasti berjalan lancar."
Duri menyambar kalimatnya sebelum Solar selesai, "Pasti! Duri semangat banget! Karena ini akan jadi gedung pencakar langit tertinggi di Asia Tenggara!"
Solar mengangguk sambil tersenyum, sudah tahu hal yang sama lewat sedikit informasi dari Fang tadi. Ada sesuatu dalam diri seniman nyentrik ini yang membuat Solar cukup yakin bahwa Duri seorang yang sangat berdedikasi pada seni mural yang juga unik.
"Kami dihubungi oleh seseorang bernama Amato," ucap Gempa dengan pandang bertanya ke arah Solar. "Lalu, kami diberi alamat kantor ini. Berikutnya, seseorang bernama Fang meneleponku tadi pagi."
"Ah, iya. Maafkan kami. Biro kami memang hanya bersedikit orangnya. Pak Amato, pemimpin kami, masih di Johor; sedangkan Fang sedang kerja paruh waktu sebagai dosen."
"Oh?" Duri menatap Solar sambil mengerjap heran. "Lalu, Solar?"
Atas pertanyaan itu, Solar dilema. Dia belum bertanya maupun dihubungi sang ayah tentang perannya dalam proyek ini. Yang jelas, Solar bukan project manager. Dipilihnya jawaban teraman, "Aku arsitek."
"ARSITEK?!" Duri memekik kencang sekali. Solar bisa merasakan wajahnya memerah, pengunjung lain di kedai itu sampai menoleh ke meja mereka. Gempa berbisik-bisik menenangkan.
"Jadi, Solar yang akan menggambar desain gedungnya nanti?" Mata Duri berbinar-binar cemerlang sembari menurunkan volume suara. Solar sampai yakin bisa melihat bintang kelap-kelip di mata itu saat dia mengangguk.
Sekali lagi, tangan Solar digenggam oleh Duri yang kelewat bersemangat. "Mohon bantuannya, Solar!"
Apakah memang semudah ini? Solar tetap tersenyum. "Tentu saja, Duri."
.
.
.
.
.
to be continued.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Author's Note:
.
Banyak terima kasih untuk seorang kawan baik, Nyankuro, yang mau diwawancarai panjang-lebar oleh Roux tentang arsitektur dan teknik sipil. Ternyata ngeriset hal ini nggak semudah bayangan saya :")
.
Sdn. Bhd. kepanjangannya Sendirian Berhad, atau kalau di Indonesia sama dengan perusahaan Perseroan Terbatas (PT).
.
"Phytograffiti" adalah istilah yang diciptakan oleh Mona Caron, seorang seniman mural dari Swiss, yang juga merupakan hashtag orisinilnyadalam mempopulerkan karya seninya di media sosial. Mona paling dikenal lewat serial karya mural yang berkisah tentang ketangguhan "weeds" (dalam bahasa Indonesia: gulma atau rumput liar). Mona sudah banyak berkarya dalam berbagai proyek seni mural berupa metafora tanaman liar, dengan banyak dukungan dan partisipasi dari komunitas lokal. Mona dapat dihubungi di (hilangkan spasi):
• mona. caron at gmail. com
• monacaron. com
• Instagram mona. caron
• Facebook /mona. caron. artist
Last but not least, gambar mural di gedung tinggi pada cover cerita ini juga mahakarya Mona!
Terima kasih sudah membaca. Kritik dan saran sangat diterima!
27.11.2022
