" Selamat tinggal."
Seketika, gadis itu pun tersentak bangun dari tidurnya. Ia terduduk di atas futon dengan wajah yang dibayangi oleh kengerian. Jari-jemarinya mengepal-remat selimut sekuat-kuatnya. Jantungnya berdegup kencang dan napasnya pun menderu tak beraturan, seolah-olah dirinya baru saja berlarian mengelilingi Seireitei sebanyak lima putaran tanpa jeda. Mulutnya megap-megap, dengan panik menghirup udara sebanyak-banyaknya bak seekor ikan yang dilempar begitu saja ke daratan. Selimut, baju, dan bahkan sekujur tubuhnya dari ujung rambut sampai ujung kaki, basah kuyup dibanjiri oleh keringat yang masih mengalir deras.
Si gadis masih duduk terpaku di atas futon yang selalu digelarnya di kamar ketika dia mesti bermalam di antara tumpukan berkas yang masih menggunung di ruang kerjanya. Jemarinya semakin kencang meremat selimut yang kini sudah kusut masai tak karuan. Sejumput poni yang lepek jatuh dan menutupi sebagian wajahnya yang pagi itu dibayangi oleh mendung pekat. Pendar hangat pada kedua manik karamel-nya pun ikut meredup, tersaput kabut ngeri dari sisa-sisa mimpi buruknya semalam.
Pandangan gadis itu kabur dan tak bertuju. Matanya memang menatap selimut yang kusut, namun yang gadis itu lihat adalah sosok hantu dari masa lalu: orang itu ...
Tetiba, gadis itu terpekik dan mengaduh kesakitan dengan mata terpejam rapat. Kedua tangannya terangkat meremas kepala tatkala dirinya merasakan sensasi seperti diserbu ribuan jarum tak kasat mata. Sisa-sisa mimpi buruk yang kelewat nyata itu kembali berkelebatan menghantuinya. Tangan-nya gemetaran dan, tanpa sadar, bergerak turun menyentuh tempat di mana bekas luka yang melintang membelah dadanya berada. Walaupun luka yang nyaris merenggut nyawanya sebanyak dua kali itu kini telah sembuh berkat kaidō dari Kotetsu-fukutaichō, namun tak bisa dipungkiri bahwa sel-sel tubuhnya masih mengingat betul semua peristiwa yang pernah terjadi di Seijōtō-kyōrin beserta pedihnya sensasi ketika bilah zanpakutō dari orang itu yang dengan tanpa perasaan telah merobek lapisan shihakushō yang ia kenakan bahkan sampai menembus punggungnya; masih mengingat betul betapa sengitnya Fuyu no Sensō yang berlangsung di atas tiruan Kota Karakura beserta perihnya ketika, lagi-lagi, bilah zanpakutō dari sang kakak yang tanpa sengaja menghunjam tubuh sekaratnya dari belakang dan hampir mencabut nyawanya saat itu juga. Semua karena orang itu, orang yang pernah dikaguminya.
Orang itu ...
Rasa mual yang luar biasa tahu-tahu menyerangnya tanpa aba-aba. Sebelah tangan-nya lekas bergerak naik membungkam mulut sebelum ia memuntahkan kembali isi perutnya dan berakhir mengotori tempat tidurnya untuk yang ke sekian kalinya. Gadis itu tak ingin merepotkan para bawahan, teman serta sahabat, atau bahkan taichō-nya. Setelah berusaha keras mengatur napas, rasa mual itu pun akhirnya mereda juga; walau meninggalkan sensasi rasa pahit luar biasa dan panas yang membakar di tenggorokannya. Buru-buru diambilnya segelas air yang ada di meja pendek berhiaskan tiga bundel berkas yang masih tersisa yang bersimpuh di samping futon-nya dan lekas ia habis-tandaskan likuid menyegarkan itu dalam tegukan-tegukan nan cepat dan tegas.
Si gadis lalu menghela napas panjang seraya melepas cengkeramannya dari selimut yang kini telah kusut tak karuan dan melorot sampai sebatas lekuk pinggulnya. Diabaikan-nya rupa kimono tidurnya yang juga sama acak-acakannya. Kedua telapaknya yang tertangkup diarahkan-nya ke muka lalu digosok-gosokkannya agak kasar, seolah ingin menyadarkan dirinya sendiri bahwa yang tadi tak lebih dari mimpi belaka. Yang dilihatnya adalah hantu dari masa lalunya. Orang itu sudah tidak ada.
"Orang itu ... sudah tidak ada."
Meskipun bukan 'tidak ada' secara harfiah, sebab tak bisa dipungkiri bahwa orang itu telah diberkahi dengan keabadian oleh Hōgyōku—benda terkutuk yang tak lebih besar dari genggaman yang disebut-sebut mampu mengabulkan segala permohonan—yang kini telah menyatu dengan-nya. Segala metode eksekusi menjadi tidak mungkin lagi, atau setidaknya tidak ada seorangpun di dunia ini yang mampu mencabut nyawa orang itu dikarenakan reiatsu-nya yang luar biasa—shinigami tak berpangkat bisa tewas seketika bila berada di dekatnya—oleh sebab itu, satu-satunya pilihan yang tersisa adalah dengan menyegelnya. Orang itu kini telah dibelenggu dari ujung kepala sampai ujung kaki di tingkat penjara terbawah, Muken, untuk dua ratus abad lamanya.
Dua puluh ribu tahun. Seberapa lamakah dua puluh ribu tahun itu bagi jiwa-jiwa penghuni Soul Society? Bagi mereka, yang telah melupakan konsep waktu dan usia, apakah itu setara dengan selamanya? Selamanya orang itu tidak akan bisa lagi menjangkau cahaya pun menghirup udara dengan bebas. Selamanya orang itu akan duduk terbelenggu di kelilingi oleh kegelapan tanpa cela, keheningan total, dan kehampaan mutlak. Selamanya orang itu hanya akan berkawan dengan sepi, sunyi, senyap, dan nyenyat.
Selamanya—
Mata si gadis terasa menghangat, pandangan-nya mengabur sebab tergenang oleh likuid hangat yang tahu-tahu sudah jatuh mengalir deras dan menganak sungai di kedua pipinya.
— orang itu tidak akan bisa menyentuh, menyakiti, bahkan mengkhianatinya lagi.
"Selamanya ..."
Selamanya.
Momo Hinamori tertunduk larut dalam tangisan-nya yang tak bersuara. Derai air mata mengalir deras menganak sungai di pipi dan jatuh membasahi punggung tangannya yang kembali meremat selimut dengan begitu erat. Pundak mungilnya naik-turun dengan cepat, berguncang diterjang luapan berbagai emosi yang kini dengan deras membanjiri setiap rongga dalam jiwanya. Bibirnya bergetar membuka. Si gadis berteriak dalam diam, mencoba meloloskan segala perasaan yang selama ini membutakan mata dan menjerat langkah kakinya. Berusaha melepaskan diri dari belenggu yang ia ciptakan sendiri pada hatinya. Belenggu berwujud kekaguman buta kepada orang itu yang sampai-sampai membuat si gadis menafikan akal sehat dan menulikan telinga dari panggilan teman, sahabat, bahkan keluarganya.
Ketika isakan-nya telah sedikit mereda, tanpa sengaja Momo menolehkan wajah ke muka cermin di sisi lain kamarnya, betapa kagetnya si gadis kala menyadari bahwa pagi itu parasnya begitu jauh dari kata 'siap untuk menghadapi dunia': mata merah nan sembap, pipi berhias sisa jejak-jejak tangisan, rambut lepek acak-acakan, kimono tidur yang tersingkap dan bahkan kerahnya pun melorot sampai pundak, badan lengket dibanjiri oleh keringat ...
Gadis berambut sebahu itu pun bergegas menghapus sisa-sisa lelehan air mata seraya meyakinkan diri sendiri bahwa tidak ada lagi yang perlu ia takutkan tatkala nanti melangkahkan kakinya dan menyambut dunia. Buru-buru ia bangkit menyeret langkah kakinya menuju cermin itu dan mematut diri seadanya sebelum bergegas hendak keluar kamar. Manik karamel-nya menelisik pantulan dirinya sendiri: wajahnya yang kuyu, rambutnya yang kusut, kemudian leher dan pundaknya yang layu … lalu gulir matanya pun seketika berubah sendu saat melihat bekas luka nan melintang membelah dadanya. Jemarinya bergerak lamat-lamat menelusuri cekung garis-garis luka yang masih tersisa di tubuhnya.
Seketika dadanya terasa sesak bagaikan diremas dan jantung-nya serasa seperti diremat oleh tangan-tangan tak kasat mata. Sontak, Momo memejamkan matanya rapat-rapat menahan episode-episode yang masih belum jua usai menderanya.
Pikiran si gadis kembali melayang. Benaknya mereka ulang peristiwa selama Fuyu no Sensō, ketika dirinya datang membantu Rangiku Matsumoto melawan tiga fraccióness dari Tres Espada—Tier Hallibel, sang Ratu Hiu—dengan kidō buatannya sendiri; ketika para fraccióness itu melepaskan Quimera Parca, Ayon, yang membuat mereka bedua sekarat dan nyaris tewas; ketika orang itu menjebak seluruh prajurit Goteijūsantai ke dalam pengaruh hipnotis sempurna dengan menjadikan-nya sebagai tubuh pengganti yang mesti tertikam oleh bilah pedang Hyōrinmaru ...
Momo tersentak sadar dan lantas menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha menepikan kenangan buruk itu dari benaknya. Sebelah lengan-nya terentang menumpu pada bingkai cermin sementara kepalanya merosot lemas dan bersandar padanya. Helaian rambut sekelam malamnya mengiba, dibelainya pipi si gadis yang kembali dihiasi air mata. Gadis itu menghela napas lelah. Sendu pun kembali memeluknya dengan erat.
Sekarang sudah lima bulan sejak Fuyu no Sensō berakhir; sejak ryōka, Kurosaki Ichigo, kehilangan seluruh kekuatannya sebagai shinigami; sejak orang itu disegel nun jauh di bawah kedalaman kerak bumi. Tiga bulan berlalu sejak dirinya sadar dari koma akibat luka-luka yang dideritanya sampai perang itu berakhir; sejak Shinji datang menjenguk dan memberi kabar bahwa pria itu akan menerima kembali jabatan-nya di Gobantai yang sempat terlepas dari punggungnya sebab prahara seratus tahun lalu yang membuatnya terpaksa kabur ke dunia manusia dan bersembunyi. Dua bulan telah lewat sejak para Visored dilantik kembali sebagai taichō di Goteijūsantai. Dan sebulan telah bergulir semenjak gadis itu diperbolehkan untuk keluar dari rumah sakit.
Selama empat bulan gadis itu berada di rumah sakit milik Yonbantai, selama itu juga Seireitei tengah sibuk-sibuknya dengan bermacam-macam perbaikan di sana-sini sekaligus mempersiapkan diri untuk menghadapi datangnya musuh-musuh lain yang sewaktu-waktu bisa mengancam kedamaian nan singkat ini. Demi menjaga keberlangsungan berkah itu, Yamamoto-sōtaichō pun sampai menyempatkan waktunya untuk berdialog dengan (baca: memaksa) para petinggi Central 46—Chūo Shijūroku—untuk mencabut vonis yang telah pendahulu mereka jatuhkan kepada komplotan Uraha Kisuke dan juga kelompok Visored; bahkan, secara pribadi, beliau sampai mengundang Shinji Hirako beserta Rōjūrō 'Rose' Ōtoribashi, dan Kensei Muguruma agar mereka bersedia untuk kembali mengabdi—
SRAK!
"Oi, Momo-chan—sudah pagi! Ayo, cepat siap-siap!"
—sebagai shinigami di Goteijūsantai.
Momo yang masih larut dalam lamunan-nya di hadapan cermin, belum memahami betul situasi serta kondisinya saat ini, bahkan tatkala terangnya mentari tetiba sudah datang mendobrak pintu kamarnya dan meringkus remang yang kini sembunyi di bawah bayang-bayang. Gadis itu refleks membalikkan badan seraya buru-buru menghapus jejak-jejak tangis di pipinya dan membalas sapaan setengah malas ala Kansai-ben yang sudah dihafalnya betul siapa yang mengucapkannya bahkan tanpa perlu melihat secara langsung orangnya.
"Hai—tunggu sebentar—Hirako-taichō!"
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Empat detik.
Lima detik.
"Mo ..."
"E-eh ... Hi-Hi ... rako ... ta—"
BRAK!
"—KYAAAAAAAA!"
Dikarenakan Shinji yang kelewat abai dan pagi itu sedang khilaf jika fukutaichō-nya kini adalah seorang gadis nan cantik-jelita hingga dia asal saja menggeser-buka pintu shōji kamar bawahan-nya serta Momo yang baru saja bangun tidur dan belum sadar sepenuhnya, sepasang taichō-fukutaichō dari Gobantai inipun baru bisa memahami situasi dan kondisi masing-masing setelah saling bertukar pandang lima detik penuh lamanya.
"M-maaf, Momo-chan! Aku tidak bermaksud untuk ... aku tak tahu kalau kau sedang—argh! A-aku tidak sengaja—sungguh!"
Mantan pemimpin Visored itu pun panik dan berlari tergopoh-gopoh sampai ke belokan di ujung koridor asrama di dalam kompleks barak Gobantai yang telah disediakan bagi para shinigami di sini ketika mereka perlu bermalam. Sebutir keringat sebiji jagung menetes dari pelipisnya. Jantungnya berdegup keras tak beraturan. Matanya terbelalak; masih tergambar jelas apa yang barusan dilihatnya tanpa sengaja. Dalam hati ia mengutuk sikapnya yang kelewat riang dan santai, bahkan dalam situasi serius dan genting sekalipun, sampai-sampai tak mempedulikan batasan-batasan yang ada di sekitarnya.
"A-apa itu tadi?" batin Shinji, masih berusaha mencerna peristiwa barusan.
"... Taichō," gumam Momo lirih ketika mengintip ujung koridor di mana punggung kurus berbalut shihakushō dan haori ber-insignia angka lima itu menghilang dari balik celah pintu kamar sebelum menggeser-tutupnya kembali dengan sangat perlahan.
Sementara itu Shinji kini telah jatuh terduduk dengan punggung melorot bersandar pada pilar kayu yang menyangga atap koridor asrama. Ia mendongak lemah. Pandangannya hampa menatap langit biru berhias gemawan tipis yang berjalan lamat-lamat.
"Luka itu ..."
Momo jatuh terduduk dengan punggung melorot tanpa daya bersandar pada daun pintu. Kepalanya tertunduk. Helaian rambutnya tergerak untuk membelai sebelah wajahnya yang kembali dikecup sendu. Binar pada manik karamelnya kembali meredup. Pandangan-nya kembali tak bertuju. Matanya menatap petak-petak tatami, namun yang dilihatnya adalah malam hitam tanpa ujung. Kedua lengan si gadis yang menjabat sebagai Gobantai-fukutaichō itu terangkat lemah, bergerak menyilang menutupi dadanya yang sedari tadi mengintip malu-malu. Jemari gadis itu meremat kecil ujung kerah kimono tidurnya agar tak makin melorot turun. Guratan mengerikan yang melintang di atas putih kulit dada si gadis kembali berdenyut nyeri seolah-olah masih baru ditorehkan kemarin dan belum benar-benar sembuh.
" Ittai yo ..."
Setetes bening air mata pun lagi-lagi jatuh mengalir membasahi pipi si gadis yang kembali terpuruk.
.
.
.
.
