Arak-arakan putih gemawan itu bergerak lamat-lamat di atas birunya langit Soul Society. Hari demi hari telah terlewati. Hari kemarin telah beranjak pergi. Perkara hari esok, tak ada seorangpun yang tahu pasti—bahkan bagi para shinigami; meskipun diberi tugas sebagai penyeimbang yang membimbing perjalanan jiwa di dalam siklus roh ini, namun mereka tetap tak berdaya dan seterusnya hanyut bersama waktu yang mengalir. Di mata Reiō, sang Raja Roh, semua setara: shinigami, manusia, konpaku, dan bahkan hollow; sama-sama menjadi bagian dari putaran takdir yang terus bergerak maju menggilas siapapun, tak ubahnya roda kereta melindas butiran-butiran pasir.

Tak ada seorangpun yang bisa menjamin berkah kedamaian di Soul Society akan berlangsung selamanya. Maka dari itu, seusai Fuyu no Sensō berakhir, tidak ada satupun shinigami yang tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi musuh-musuh yang datang kelak di kemudian hari; tidak ada seorangpun yang bersantai-santai, semuanya sibuk menempa kekuatan masing-masing bersama rekan sesama prajurit di Goteijūsantai.

Seorang gadis shinigami berperawakan mungil tengah mematut dirinya di muka cermin sembari bersenandung, bersiap untuk menyambut hari baru dengan menata helaian rambut sekelam malam yang beberapa waktu lalu baru saja dipotong pendek seraya kemudian membenahi kembali kerah shihakushō serta lencana berbentuk perisai segi lima kecil ber-insignia bunga lilly of the valley yang melingkar di lengan kirinya. Setelah dirasa dirinya telah siap, ia pun menghela napas seraya menyimpulkan seulas senyum puas.

"Yosh!"

Setelah merasa tidak ada lagi yang terlupa atau terlewat, shinigami berambut seleher itu pun mengangkat tinjunya yang terkepal ke udara sebelum beranjak membuka-geser pintu shōji kamarnya, menutup, dan lalu bergegas pergi menyongsong pagi seraya berlari-lari kecil menuju ruang sang atasan sebelum pria itu menelantarkan pekerjaan-nya dengan kabur entah ke mana.

Sepasang burung pipit terbang berkejar-kejaran. Keduanya asyik-masyuk menari-nari di udara sebelum hinggap bermesra-mesraan di atas dahan, berlindung di balik rindang pepohon yang menaungi sudut taman. Sepasang unggas mungil itu bercericip seraya menenggelamkan tubuh masing-masing ke dalam pelukan sayap pasangan-nya. Burung-burung pipit itu kemudian kembali terbang menuju pucuk genting sebuah paviliun di dalam kompleks barak Gobantai yang tampak lengang, namun sebentuk energi yang tak kasat mata seolah menolak keduanya agar jangan sampai hinggap.

Pagi itu, tidak seperti biasanya, ruangan milik sang Gobantai-taichō, Shinji Hirako, tampak sunyi-senyap. Tak terdengar sayup berbagai jenis musik dari dunia manusia yang mengalun syahdu melalui pemutar piringan miliknya. Pun tak terdengar sedikitpun kehebohan di dalam sana ketika sang taichō sedang bertukar salam dan sapa (baca: ejekan dan umpatan) dengan Hiyori Sarugaki yang berada di dunia manusia via denreishinki-nya. Kantor itu seolah ditinggalkan penghuninya entah ke mana. Para shinigami Gobantai yang sedari pagi sudah sibuk wara-wiri pun tidak bisa untuk tidak berkasak-kusuk karenanya.

"Ada apa gerangan yang terjadi?"

"Ke mana Hirako-taichō pergi?"

"Apakah beliau masih tertidur di ruangannya?"

"Hei, kau mau ikut bolos denganku tidak?"

Shinji seketika merengut mendengar kasak-kusuk bawahan-nya di luar sana. Pria itu memang sengaja tidak memperlihatkan batang hidungnya di barak divisinya, bahkan ia sampai bersusah payah menyembunyikan reiatsu-nya dengan kidō dan memasang kekkai di ruangan-nya agar tak ada seorangpun yang bisa mengganggunya yang telah bertekad untuk mengurung diri (baca: bermalas-malasan) di dalam sana seharian.

Pagi itu pikiran-nya telah melanglang entah ke mana. Pria periang itu kini tenggelam dalam lamunan paling panjang dalam hidupnya. Sudah setengah jam lebih ia merebahkan dirinya di atas sofa yang ada di ruang kerjanya dan tak bergerak sama sekali, pun hanya sejengkal. Sayup-sayup, ia bisa mendengar kesibukan dari para bawahan-nya di luar sana yang sedang mondar-mandir kian kemari untuk menyortir, memindahkan, serta mendistribusikan tumpukan-tumpukan buku dari perpustakaan Gobantai serta perpustakaan-perpustakaan divisi lain ke Perpustakaan Pusat Seireitei yang masih berada satu wilayah dengan kompleks bangunan Chūo Shijūroku.

Sedianya, hari itu ia memang telah menjadwalkan semua anggota Gobantai untuk melakukan penyortiran serta pembaruan arsip yang ada di Balai Arsip Utama—Daireishokairō—serta buku-buku yang ada di perpustakaan-perpustakaan milik tiap divisi di Goteijūsantai, namun mendadak energinya seolah tersedot habis entah karena apa dan ke mana.

Dalam kurun tiga bulan, pasca pelantikan kembali dirinya sebagai Gobantai-taichō, Shinji telah berusaha untuk memperbaiki iklim kerja serta kondisi mental beberapa bawahan, terutama gadis yang menjadi fukutaichō-nya, yang belum sepenuhnya stabil sepeninggal orang itu; orang yang telah mengkhianati-nya pada malam berbulan sabit di Distrik Fugai seratus tahun silam; orang yang juga telah mengkhianati Momo Hinamori di Seijōtō-kyōrin, bahkan ia dengan brengsek-nya memerangkap seluruh shinigami ke dalam hipnotis sempurna dan menjadikan gadis yang telah sekarat ini untuk menggantikan tubuhnya yang telah dihunjam oleh bilah zanpakutō sang Jūbantai-taichō sekaligus kakak si gadis, Tōshirō Hitsugaya.

Shinji menggeram menahan kesal di antara sesal yang tiba-tiba datang merundung mantan Visored ini, sebab bisa dibilang bahwa luka terakhir yang diterima oleh gadis Junrinan itu adalah karena dirinya juga. Bila saat itu dirinya dan para anggota Goteijūsantai yang tersisa di medan pertempuran tidak merasa di atas awan dan tergesa-gesa untuk mengeroyok orang itu di sana dan pada saat itu juga; bila saat itu dirinya menyadari bahwa orang itu telah merilis shikai dan menjebak semua orang ke dalam hipnotis sempurna ... tentu Momo Hinamori, fukutaichō-nya sekarang, tak perlu merasakan penderitaan yang dirinya sendiri pun tak sanggup membayangkan.

Pria berambut pirang bergaya bob itu menghela napas panjang untuk ke sekian pada pagi itu, kali ini seraya melonggarkan dasi yang melilit di leher-nya. Tak dapat dipungkirinya bahwa udara di ruang kerjanya, walaupun jendela dibiarkannya menjeblak terbuka, mulai membuatnya gerah.

"Ah, musim panas," keluhnya.

Di luar sana angin berembus sepoi, meniup dedaunan pepohon rindang di sekitar lapangan dan dōjo di dalam kompleks milik Gobantai yang berada di lingkar dalam Seireitei; membelai pelupuk mata sesiapa saja dengan rayuan pulau mimpi.

Sehelai kelopak sakura, entah dari mana, berterbangan, menari-nari di udara; terbawa angin sampai ke ruang kerja Shinji yang cukup luas, bahkan setelah ditambahkan rak-rak tinggi berisi berbagai koleksi piringan hitam beserta alat pemutarnya yang menempel-gantung di dinding, sofa panjang merah marun, dan barang-barang unik seperti pelantang jemala serta pemutar musik portabel yang dibawanya dari dunia manusia. Kelopak sakura itu, entah bagaimana mampu menembus kekkai yang menyelubungi ruangan itu dan menari-nari di udara sebelum jatuh tergeletak di samping vas bunga di meja kerja.

Shinji menghela napas lagi seraya menyandarkan sebelah lengan ke atas dahi dan lantas memejamkan mata. Pikiran pria itu melayang sampai pada peristiwa empat bulan lalu, sesaat setelah berakhirnya Fuyu no Sensō; seusai Yamamoto-sōtaichō yang, secara pribadi, memintanya untuk kembali menempati jabatan taichō yang kosong di Goteijūsantai bersama dengan Rose dan Kensei; ketika ia pertama kali bertemu dengan Momo Hinamori yang kala itu masih menjalani perawatan (dan pengawasan) intensif di bangsal khusus di rumah sakit milik Yonbantai yang tak pernah terlihat sepi dari pasien pun pengunjung yang berlalu-lalang.

.

.

.

Langkah-langkah kaki itu menggema di sepanjang lorong; terdengar pendek-pendek, cepat, dan seolah takut terlambat atau melewatkan sesuatu bilamana tak bergegas. Aroma alkohol, disinfektan, serta obat-obatan menguar tajam di sepanjang lorong yang juga ramai dengan shinigami yang mengenakan alat pelindung diri seperti baju bedah, penutup kepala, masker, dan sarung tangan. Sekali-dua, langkah kaki itu terantuk lantai, roda-roda troli-kontainer, ujung siku dinding, ataupun langkah kaki-langkah kaki lain yang kian ramai berlalu-lalang; sesekali langkah kaki itu berhenti seraya mengetuk-ngetuk lantai tak sabaran, sesekali pula mondar-mandir ke sana-kemari seperti orang kebingungan.

"A-anoo ...," tegur seseorang dengan suara bergetar.

Langkah kaki itu pun berhenti diikuti dengan satu helaan napas ambigu--entah jengah, entah bersyukur.

"A-ada keperluan apa Anda sampai berkunjung kemari, H-Hirako-san?"

"Ah, ternyata kau, Hanatarō-kun," balas si empunya langkah kaki, Shinji Hirako, seraya menepuk dan menarik Yonbantai-nanaseki itu ke belakang sebuah troli-kontainer metalik yang berdiam di ceruk yang ada di sisi lorong bangsal. "Kebetulan sekali, ya."

"Kebetulan sekali kau menyapaku di pagi yang indah nan cerah ini," bisiknya. "Aku sedang tersesat di jalan kehidupan ... jadi, bisa kau bantu aku menemukan kembali di manakah jalan yang benar itu, Ha-na-ta-rō-kun?"

"Aa-aaaiieee! Hai, hai, maafkan aku, Hirako-san, maafkan aku! A-akan kulakukan, Hirako-san, akan kulakukan!"

Sudut bibir pria berambut bob itu tertarik ke atas dan melukis seulas cengiran puas, namun dalam sekejap cengiran itu lenyap tak berbekas. Udara di sekitarnya tiba-tiba berubah dan ia pun bergegas melanjutkan, "Apa kau tahu, di mana kamar Momo Hinamori dirawat, Ha-na-ta-rō-kun?"

"A-ah—hai! K-kamar Hinamori-fukutachō ... kamar Hinamori-fukutaichō ..."

Shinji menyilangkan tangan-nya seraya mencondongkan tubuhnya kian mendekat kepada pemuda yang mudah diserang gugup dan cemas ini dengan mata memicing tajam. Tak pelak, Hanatarō pun semakin gemetar ketakutan dibuatnya.

"Ha-na-ta-rō-kun?"

"Aaiieee—maaf, Hirako-san! Hinamori-fukutaichō sekarang sedang dirawat di Kamar 563 di bawah pengawasan langsung Kotetsu-fukutaichō yang rutin mengun—"

Dalam sekejap, Shinji kembali mengulas cengiran riang-nya seperti sedia kala seraya menepuk ramah bahu si pemuda.

Detik berikutnya—

"Baik, terima kasih, ya, Hanatarō-kun!"

—sebelum Hanatarō sempat membalas ucapan sang mantan pemimpin kelompok Visored, pria itu sudah menghilang begitu saja dari hadapan si Yonbantai-nanaseki yang kini terbengong-bengong di samping tanda larangan yang telah dipasang oleh Kepala Rumah Sakit sekaligus Yonbantai-taichō, Retsu Unohana, yang dengan jelas mengimbau pada siapapun untuk tidak menggunakan shunpo di dalam bangsal rumah sakit apapun alasannya.

"A-ah—t-tunggu, Hirako-san!"

.

.

Langkah kilat Shinji berhenti tepat di muka pintu kamar dengan plat kayu bertuliskan '563' yang tampak senyap. Tangan-nya terangkat hendak mengetuk pintu, namun kemudian urung di tengah jalan. Sejenak, ia tampak bingung dan gamang. Ia tak tahu harus bersikap bagaimana menghadapi gadis yang kemungkinan kondisi mentalnya masih belum cukup stabil di dalam sana.

Shinji merutuk, pria pirang dengan tindik di lidah itu merasa saat ini dia bukanlah dirinya sendiri di hadapan pintu kamar Momo Hinamori.

"Apa yang harus aku katakan kepadanya?"

"Bagaimana aku harus membawa diriku di depannya?"

"Haruskah aku menunjukkan simpati padanya?"

"Apakah dia dapat menerimaku nantinya?"

Beribu tanya, hiperbolis memang, Shinji pun mengakuinya, menyerbu kepalanya secara bersamaan bagai hujan panah di Padang Kurusetra.

" Hai, Hinamori- chan, aku akan jadi taichō- mu yang baru, lho!"

Tak ayal, Shinji segera menampar pipinya sendiri setelah skenario itu tiba-tiba saja melintas di kepalanya.

" Pagi, Hinamori- chan! Tak kusangka, kamu secantik iniaku langsung jatuh cinta padamu sejak pertama kali memandangmu, lho!"

DUAK!

"Mana mungkin aku berkata begitu, kan, bodoh!"

Seorang perawat yang kebetulan lewat di bangsal itu pun berjengit kaget ketika melihat seorang pria berambut bob pirang dengan pakaian dari dunia manusia yang baru saja membenturkan kepalanya begitu keras ke dinding yang ada di depannya.

"A-anoo ..."

"Ya?"

"Tolong untuk tidak membuat kegaduhan, para pasien yang beristirahat untuk pemulihan bisa terganggu karenanya," tegur perawat itu dengan suara yang pelan namun tegas.

Shinji segera mengangguk dan mengangkat sebelah tangan-nya untuk meminta maaf karena telah membuat keributan kecil di bangsal rumah sakit ini. Setelah perawat itu beranjak pergi, ia pun menyandarkan sebelah lengan-nya ke dinding seraya menghela napas lirih. Tak lama ia mengangkat kepala lalu mengangguk memantapkan hati.

"Semoga ... ini tidak berakhir buruk."

Pria yang baru saja diberi kesempatan oleh Yamamoto-sōtaichō untuk kembali mengisi jabatan yang sempat ditinggalkan-nya seratus tahun silam itu menegakkan punggung-nya seraya menarik napas panjang. Dadanya dibusungkan. Sudut-sudut bibirnya tertarik ke samping membentuk segaris cengiran. Dan, pada detik berikutnya—

" Ohayō, Momo Hinamori-chan~!"

—ia berteriak cukup kencang tepat di depan pintu kamar tempat di mana Gobantai-fukutaichō itu sedang dirawat.

Para perawat yang bertugas di bangsal itu pun serentak berjengit kaget dan refleks menoleh ke sumber suara melengking berdialek Kansai yang menggema di sepanjang lorong—bahkan sampai ke ruangan di ujung sana yang digantungi papan bertuliskan nama seorang taichō yang terkenal akan kebaikan serta keramahan-nya, Retsu Unohana. Si pemilik ruangan itu kini menarik seulas senyum dengan alis berkedut menahan amarah di balik mejanya.

Shinji yang menyadari bahwa nyawa-nya tak lama lagi bakal terancam, segera mengetuk pintu kamar di depannya dengan pelan.

"Kau ada di dalam, kan, Hinamori-chan?"

"Hai, silakan ma—"

Tanpa menunggu sang empunya kamar selesai memberikan izin-nya, Shinji pun bergegas membuka pintu dan lantas melempar dirinya ke dalam, "Aku masuk, ya!"

Setelah menutup pintu di belakangnya seraya menghela napas lega, pria berambut pirang itu mendapati gadis penghuni kamar ini, Momo Hinamori, menatapnya dengan kebingungan yang memenuhi wajahnya. Sebuah tanya bahkan tercetak tebal di antara alisnya, "Maaf, Anda siapa, ya?"

Shinji, yang telah mengatur kembali napasnya, menyunggingkan seulas senyum nan lembut kepada si gadis yang sedang terduduk bingung di atas ranjangnya. Tawa kecil nan canggung, yang gagal ditahan-nya, lolos begitu saja dari celah bibirnya.

"Kurasa ini pertama kalinya kita bertemu, Hinamori-chan," ucapnya. "Aku Shinji Hirako—salam kenal."

"Oh," balas Momo singkat dengan bibir pucat yang membulat setelah mendengar nama pria berambut pirang bergaya bob yang tiba-tiba datang membesuknya pagi itu.

"Oh, iya. Saya tahu sedikit tentang Anda, Hirako-san."

Shinji berjalan menuju kursi yang ada di tepi ranjang si gadis dan segera duduk di sana sebelum membalas, pura-pura terkejut, "Benarkah? Wah, aku benar-benar tersanjung—sungguh!"

Berkebalikan dengan Shinji yang berusaha untuk tampak riang, Momo benar-benar tampak rapuh dan bisa hancur kapanpun ia mengalihkan pandangan. Manik cokelat gadis itu terpancang pada ujung kakinya yang tersembunyi di balik selimut putih yang sedari tadi terus dirematnya tanpa sadar.

"Nanao-san—ah, maksud saya Ise-fukutaichō, dari Hachibantai, pernah bercerita tentang Anda dan teman-teman Anda dari kelompok Visored, Hirako-san," lirih gadis itu. Pasukan mendung dengan cepat menggelayuti parasnya yang layu. Titik-titik air mulai menggenangi netranya yang tampak sayu.

"Kalau saya tidak salah ingat," lanjutnya dengan suara sedikit bergetar. "Dulunya Anda, Hirako-san, adalah Gobantai-taichō sebelum posisi itu dijabat oleh Aizen- taichō."

Mendengar ucapan Momo, seketika bagai ada yang melemparkan bom ke dalam rongga dada Shinji; mata dan mulut pria itu pun terbuka sama lebarnya. Mantan Visored ini dibuat terperangah tak percaya, bukan karena gadis rapuh di depannya ini tahu sedikit banyak tentang riwayat dirinya, namun karena ia masih saja menyebut orang itu dengan embel-embel 'Taichō' bahkan setelah dirinya dilukai sedemikian rupa.

"Aizen …."

"Omong kosong dengan namanya kebiasaan," umpat Shinji dalam hati, tangan-nya mengepal kuat berusaha keras menahan luapan amarahnya sendiri. "Kau sudah keterlaluan!"

Mantan Gobantai-taichō sekaligus atasan Sōsuke Aizen lebih dari seratus tahun yang lalu ini, melalui resam tubuh Momo Hinamori yang digelayuti mendung pekat, menyadari bahwa bisa jadi di dalam divisi yang bertugas menyimpan arsip-arsip penting di Seireitei ini masih ada puluhan (bahkan ratusan) shinigami yang terlena oleh buaian kata-kata semanis madu dari orang itu yang senantiasa berbalut bisa. Memikirkan kemungkinan itu, emosi Shinji dengan cepat mendidih sampai ubun-ubun. Kepalan tangan-nya kian menguat, bahkan buku-buku jarinya sampai memutih dibuatnya. Sekuat tenaga ia memalingkan muka agar Momo jangan sampai mendapati buasnya angkara murka di wajahnya.

Dalam usahanya menyembunyikan amarah, tanpa sengaja Shinji mendapati keberadaan sebuah vas berisikan beberapa tangkai bunga sakura yang bermekaran di dalamnya.

"Sakura?" ucapnya heran. "Tapi, sekarang masih musim dingin, 'kan?"

Momo mengangkat-telengkan kepalanya dengan lemah lalu menatap tangkai-tangkai sakura yang bermekaran dengan begitu indahnya itu dengan tatapan hampa. Masih teringat dalam benak si gadis betapa canggung-nya Renji Abarai, salah satu sahabatnya di Shin'ōreijutsuin bersama Izuru Kira, ketika memberikan tangkai-tangkai sakura itu untuknya; bahkan merahnya muka pemuda yang juga pernah menjadi rekannya di Gobantai itu nyaris menyaingi rambutnya.

Si gadis terkikik kecil mengingatnya, sejenak saja sebelum kemudian ia kembali direngkuh sendu. Kepalanya kembali tertunduk. Helai rambut sebahu si gadis jatuh mengalingi wajahnya yang nampak kuyu. Jemarinya rikuh terus meremat-remat selimut.

"Bunga itu … pemberian dari Abarai-kun—Rokubantai-fukutaichō. Dia memetiknya dari onsen besar di wilayah Ichibantai, di sana suhunya cukup hangat sehingga sakura-sakura di situ mekar lebih dulu."

Walau mereka sedang membicarakan sesuatu yang seharusnya ringan nan menyenangkan, namun Shinji mendapati bahwa dalam gelagat Momo Hinamori tak terdapat secuilpun semangat. Pria berambut pirang itu menyadari betapa terpuruknya gadis di hadapan-nya ini sebab sesuatu yang berharga baginya telah direnggut begitu saja.

Tanpa diberi tahu pun, Shinji dapat menerka bahwa sejatinya si gadis yang saat ini jauh lebih rapuh daripada kepingan salju itu dulunya adalah pribadi yang ceria, periang, santai, ramah, dan tentunya baik terhadap siapa saja.

Mantan Gobantai-taichō itu lantas mengangkat kepalanya, membawa hangat manik cokelat susu-nya menatap lekat si gadis Junrinan yang masih rikuh dan tertunduk dalam. Shinji telah membulatkan tekadnya.

"Hi—tidak—Momo-chan," serunya pelan dan lembut, namun tersimpan ketegasan di dalamnya. "Kurasa … Aku akan menerima kembali posisi Gobantai-taichō ini."

Sesaat setelah mendengar deklarasi dari mulut pria berambut pirang di hadapan-nya, Momo Hinamori pun refleks mengangkat kepalanya dan menampakkan manik karamelnya yang seketika melebar tak percaya.Kebingungan melandanya tanpa aba-aba. Gadis itu tengah berusaha untuk menata perasaan-nya. Bibirnya bergerak-gerak, namun tak ada satupun kata yang keluar dari sana; ia tak tahu mesti membalas bagaimana. Kedua tangannya yang gemetar terangkat rikuh kemudian terhenti dengan canggung di tengah udara. Kemudian gadis itu pun mengangguk lemah.

"Hai, saya mengerti …."

Setelahnya, Momo pun kembali tertunduk dan membiarkan dirinya terlarut dalam lamunan-nya sendiri. Bahkan gadis itu tak menyadari ketika calon taichō barunya itu mengucap pamit dan lekas beranjak pergi.

"... -taichō."

.

.

.

Shinji merasakan kesadaran-nya seolah melayang-layang di antara langit gelap tak berbintang. Sekitarnya sunyi-senyap. Tak ada apapun dan siapapun, hanya dirinya seorang. Tangan-nya terentang, namun tak ada yang dapat digapainya.

"... -chō!"

Shinji berjengit, samar ia mendengar sebuah suara yang merdu nun jauh di sana. Ia berusaha membalasnya sekuat tenaga, namun tak ada suara yang berhasil ia keluarkan.

"... -taichō!"

Suara merdu itu kian jelas terdengar. Suara itu memanggilnya. Shinji yakin dengan hal itu dan berusaha keras untuk menyambut datangnya suara yang belakangan ini selalu menggetarkan dawai yang ada di hatinya.

"... rako-taichō!"

Suara itu masih memanggilnya. Terasa dekat seolah ia berseru tepat di samping telinganya, namun sekaligus juga jauh seolah ia berteriak dari ujung dunia.

"HIRAKO-TAICHŌ!"

"HUAAAAAA!"

Sang Gobantai-taichō yang baru saja merasakan sensasi terbang melayang di awang-awang seketika terbangun sebab tiba-tiba ia didorong oleh kekuatan mahadahsyat yang mengempaskannya kembali ke bumi.

BRUAK!

" Ittai yo, Momo-chan!" keluh Shinji, separuh merajuk, seraya bergegas untuk bangun dan lantas duduk bersila sambil mengusap-usap ujung hidungnya yang nyeri luar biasa setelah berciuman mesra dengan lantai ruang kerjanya.

Ekspresi pria itu sukar untuk dijelaskan sebab ia tak percaya bahwa tidur siangnya telah terganggu dan yang mengganggunya adalah Momo Hinamori. Raut wajahnya seolah bertanya, "Bagaimana bisa?", namun ia dengan cepat menyadari satu-satunya alasan kenapa hal ini bisa terjadi padanya. Dalam hati Shinji merutuki kebodohan dirinya sendiri, sebab melupakan fakta bahwa sang fukutaichō adalah salah satu master kidō yang dapat mengkombinasikan berbagai kidō dan bahkan menciptakan kidō-kidō baru, sehingga membobol kekkai tentu adalah remeh baginya.

"Taichō lupa dengan agenda hari ini, hm?"

Shinji mengorek telinganya seraya meneleng-tengadahkan kepalanya, gestur khasnya ketika hendak membercandai orang lain.

"Huh--mana mungkin aku lupa, Momo-chan," elaknya. "Aku terus menunggumu untuk bersiap sedari tadi sampai-sampai tertidur di ruanganku, kau tahu?"

"Jangan membuat-buat alasan, ya, Hi-ra-ko-taichō," sungut si gadis Junrinan seraya berkacak pinggang, sengit menantang si pirang.

Tanpa perlu menunggu balasan apapun dari sang atasan, sembari mendengus sebal, Momo bergegas menarik lengan panjang haori sekaligus shihakushō Shinji sampai ia berdiri dan lekas menyeretnya pergi dari ruang kerjanya.

"T-tunggu, Momo-chan," serunya kelabakan. "Kau mau membawaku ke mana? Masih terlalu awal untuk pergi kencan, kau tahu!"

Momo memilih untuk tidak mengacuhkan godaan taichō-nya yang, menurut testimoni dari Hiyori Sarugaki, gemar main mata dan menggoda perempuan manapun yang ditemuinya. Gadis itu semakin kuat menarik Shinji agar bergegas mengikutinya, mengabaikan desiran-desiran aneh yang diam-diam menyelusup memasuki pintu hatinya yang lamat-lamat mulai terbuka.

"Kita harus segera ke Daireishokairō, Hirako-taichō—kami membutuhkan Anda di sana!"

"Cih, tidak adakah tempat kencan lain yang jauh lebih seru dari tempat berdebu itu, Momo-chan?"

Alis si gadis naik-turun menahan malu bercampur sebal. Ia tak menjawab dan terus menarik sang taichō untuk mengikuti langkah kakinya yang mengentak-entak penuh kekesalan sampai tujuan.

" Sa, hayaku, Hirako-taichō!"

"Hai, hai, Momo-chan, pelan-pelan saja—Daireishokairō-nya tidak akan pergi ke mana-mana, kok!"

Angin mengembus lirih mengiringi langkah-langkah kaki sepasang shinigami itu. Diam-diam, tanpa keduanya sadari, masing-masing dari mereka sama-sama terkikik geli tanpa suara sepanjang perjalanan menuju Balai Arsip Utama yang berada di dalam Perpustakaan Pusat Seireitei di kompleks bangunan Chūo Shijūroku.

.

.

.

.