Yukichi menyantap nasi kari sisa semalam dengan keponakannya dalam keheningan. Ini bukan hal baru, karena nyatanya mereka berdua tidak seperti Ranpo yang hampir selalu berceloteh saat makan. Tapi Bos ADB itu merasa keheningan kali ini terasa berbeda, ia merasa ada hawa berat mengelilingi gadis yang duduk di hadapannya.

"Nagiko."

Yang dipanggil langsung meliriknya.

"Mimpi buruk semalam?"

Gadis itu mengerjap, lalu buru-buru menggeleng. "Tidak, kok."

"Dahimu berkerut begitu, memikirkan apa pagi-pagi begini?"

Spontan saja Nagiko menyentuh dahi sendiri. "Aku tidak memikirkan apa-apa, kok."

"Yah," Yukichi menghela pelan lalu tersenyum kecil, "aku tidak menyangka kamu bawa obat tidur dari Dokter Yosano, lalu terlelap sampai pagi. Aku sempat bingung karena kamu tidak langsung menjawab saat kuketuk pintumu tadi, ternyata kamu hanya tertidur."

Nagiko mengangguk pelan dan tampak tersenyum kikuk.

Lalu Yukichi memutar otak. Seingatnya, kemarin mereka makan malam bersama dengan santai di meja ini. Dazai keluar dari kediaman ini semalam juga dengan baik-baik saja. Tapi kenapa pagi ini keponakannya tampak begitu kusut? Bukankah harusnya gadis itu tampak lebih segar karena telah tidur semalam?

"Nagiko…," Yukichi menghela lagi, ia mendorong piringnya yang telah kosong. "Ada apa?"

Gadis itu menunduk, jelas sekali matanya menghindar dari mata pamannya.

"Sesuatu tentang Dazai?" pancing Yukichi, tapi gadis itu menggeleng. "Lalu kenapa?"

Dengan ragu keponakannya menatap padanya. "Paman, menurutmu The Pillow Book bisa disembuhkan, tidak?"

Sontak Yukichi mengernyit. "Bagimana maksudmu?"

"Jadi … dulu, The Pillow Book tidak separah ini, kan? Dulu aku masih bisa terlelap dengan sendirinya. Kemudian aku jadi sulit tidur, awalnya papa dan mama mengira aku hanya punya insomnia biasa. Tapi kelamaan semakin parah dan aku jadi butuh mengonsumsi obat tidur. Setelahnya, obat tidurku sudah tidak bekerja, hanya obat tidur Dokter Yosano saja yang sekarang bisa menidurkanku," papar Nagiko. "Jadi kupikir, jika The Pillow Book bertambah parah pelan-pelan, maka perlahan juga bisa jadi sembuh juga, begitu."

Yukichi melipat kedua tangan di depan dada, baru kepikiran juga mengenai apa yang keponakannya katakan. Tapi, sejujurnya, ia kurang suka kalau Nagiko menganggap The Pillow Book seperti sebuah penyakit yang perlu disembuhkan. Walau merepotkan dan merugikan gadis itu, The Pillow Book tetaplah suatu kemampuan supernatural khusus yang membuat keponakannya tergolong manusia spesial, seperti sebagaimana manusia lain yang punya kemampuan khusus.

Bos ADB itu pun baru sadar bahwa dirinya punya kemampuan khusus saat ia membangun Agensi Detektif Bersenjata. Kemampuannya tidak berhubungan langsung dengan fisiknya sih, tapi sangat membantu para anak buahnya untuk mengendalikan kemampuannya. Sedangkan Nagiko, dari sejak awal gadis itu mengalami insomnia pertamanya sampai dua tahun yang lalu, Yukichi menyangka memang keponakannya seperti punya penyakit yang begitu aneh. Itu, sampai Dazai resmi menjadi anak buahnya, dan Nagiko bercerita bahwa dirinya bisa langsung terlelap saat disentuh pemuda tersebut.

Namun, itu menjadi kontradiksi dengan kemampuan Yukichi. Saat Dazai lulus ujian masuk agensi, Nagiko telah lebih dulu bekerja di tempatnya. Gadis itu dites dua kali, yakni oleh Ranpo dan yang kedua oleh Kunikida, dan ia lulus dengan mudah untuk dua-duanya. Satu-satunya alasan Yukichi menyuruh para anak buahnya mengetes Sang Keponakan dua kali hanyalah biar tidak ada yang mengira Nagiko jadi agen lewat jalur belakang. Dan karena sudah jadi anak buahnya, berarti gadis itu harusnya bisa mengendalikan kemampuannya, kan?

Lalu Yukichi baru kepikiran sesuatu yang lain. "Nagiko, sejak umur berapa kamu jadi tergantung dengan obat tidur? Bukan obat yang dari Dokter Yosano, ya."

Nagiko mengerjap, lalu memiringkan kepalanya. Ia menerawang ke langit-langit ruang makan, tampak mengingat-ingat. "Mungkin … sejak SMP? Umur dua belas atau tiga belas?"

'Begitu,' pikir Yukichi sambil mengangguk. "Lalu, semalam, apa kamu memang minum obat tidur?"

Sangat jelas gadis itu mematung. Sang Paman menunggu dengan sabar sampai keponakannya menghembus nafas perlahan. "Tidak, aku bahkan tidak bawa obat dari Aki-nee. Makanya, aku bingung kenapa semalam aku bisa terlelap."

"Aku punya beberapa teori," aku Yukichi, "tapi tidak ada yang punya cukup bukti. Untuk saat ini, kita lihat perkembangannya. Tiap kali kamu berhasil tidur dengan sendirinya, catat tanggalnya, catat juga apa yang terjadi dan yang kamu rasakan sebelum bisa terlelap. Sementara itu, tidak usah bilang siapa-siapa."

"Termasuk Dazai-san?"

Yukichi mengangguk.

.


.

Disclaimer: Bungou Stray Dogs adalah ciptaan Asagiri Kafka dan Harukawa Sango, The Pillow Book adalah karya Sei Shonagon, 'Kiyohara Nagiko' dipercaya sebagai salah satu kemungkinan nama asli dari Sei Shonagon, Author tidak mengambil keuntungan.

Warning: Agak slow burn, Dazai x OC, alur canon (manga, anime, novel), sebisa mungkin tidak mary-sue.

.

.

Osamu Dazai and His Sun
by Fei Mei

.

Chapter 16

.


.

"AAAAAHH MAGER BANGET AKUUUU …," erang Dazai-san saat Nagiko keluar dari dapur kantor dengan nampan penuh cangkir berisi teh hangat.

"Berhenti mengeluh seperti terompet rusak pagi-pagi begini, Dazai," tegur Kunikida-san yang berdiri di sampingnya.

Nagiko meletakkan nampan yang dibawanya di meja kopi yang ada di depan sofa tempat Dazai-san bermalas-malasan. Sebenarnya ini adalah kebiasaan Naomi tiap pagi, tapi sekarang jadi Nagiko yang melakukannya karena adik Junichiro sedang tidak di kantor utama saat ini.

"Tapi sekarang ini aku bahkan tidak memiliki energi untuk berbicara dengan orang-orang saat ini, Kuni-apalah-itu-kun…," keluh Dazai-san lagi. Nagiko langsung berusaha menahan geli saat mendengar panggilan baru Kunikida-san tersebut. Sadar gadis itu hampir cekikikan, Dazai-san meliriknya sambil menyengir kecil.

"Aku akan menganggapmu sebagai sampah tak berguna dan melemparmu keluar, Brengsek," ucap Kunikida-san dingin.

Melihat teh sudah tersedia di meja, Kak Akiko langsung menghampirinya, mengambil satu cangkir dan menyengir tanda terima kasih pada Nagiko sambil berjalan ke arah Kenji-kun.

"Aaahh, bahkan makanpun sangat merepotkan, jika saja bernafas bisa mengisi perut…," tutur Dazai-san sok lemas sambil mengorek-ngorek isi kantong belanjaan Junichiro lalu menarik keluar pisang, kemudian menggigitnya begitu saja.

"Jika mengupas pisang saja merepotkan bagimu, mati kelaparan saja sana!" sahut Kunikida-san. Si Kacamata menghela, lalu menyerahkan beberapa lembar dokumen pada keponakan bosnya. "Nagiko, tolong dilihat, sepertinya ini bukan bahasa Inggris?"

Nagiko mengangguk, jadi dia duduk di sofa di seberang Dazai-san dan memeriksa dokumen yang baru diserahkan padanya. Memang bukan bahasa Inggris, dokumen yang entah darimana Kunikida-san dapat ini diketik dalam bahasa Prancis.

"Nagiii," panggil Dazai-san, mengabaikan partnernya, menyodorkan pisang yang tadi digigitnya pada gadis itu. "Tolong bukain."

"Aku tidak mau pegang, soalnya sudah bekas gigit Dazai-san," kata Nagiko berusaha sedatar mungkin sambil kemudian kembali menatap berkasnya.

"Nagiii!" Raung rekannya. Gadis itu hanya menyengir kecil tanpa menoleh, matanya terpaku pada setiap kalimat berbahasa Prancis di hadapannya.

"Kota ini selamat dari kehancuran berkatmu dan Atsushi! Kenapa kamu seperti ini sehari setelahnya?!" bentak Kunikida-san.

"Karena Pak Direktur sudah menugaskanku pada misi yang selanjutnya."

"Eh?" Spontan Nagiko mengangkat kepalanya, melirik Dazai-san yang masih bermalasan di hadapannya.

"Aaahh, aku pengen tidur selamanya kayak sebatang kayuuu," erang Dazai-san.

"Jika kamu sebatang kayu, maka kamu adalah kayu yang mudah terbakar," sahut Kunikida-san dingin. Pandangannya melunak saat ia menoleh pada Nagiko. "Omong-omong, kudengar Pak Presdir berbicara sangat lama dengan Atsushi kemarin—," lalu ia menoleh pada partnernya lagi, "—apakah itu tentang tugasmu yang selanjutnya?"

"—Benar." Itu suara Paman Yukichi, ternyata ia telah keluar dari ruangannya dan menghampiri mereka. "Dazai, bagaimana negosiasi untuk pertemuan rahasia dengan Bos Mafia?"

Yang ditanya langsung duduk setelah bermalas-malasan sedaritadi. "Yah, itu sedang dalam proses…."

Nagiko mengerjap sebentar, tapi kemudian ia mengangguk kecil, paham bahwa mungkin semalam itu Dazai-san datang ke rumah Paman Yukichi untuk membicarakan hal soal pertemuan itu. Tidak tahu kenapa bos mereka mau bertemu dengan bos seberang sih, tapi memang Dazai-san adalah orang yang tepat untuk Paman Yukichi mintai tolong jika ingin bertemu dengan orang dari Port Mafia. Bagaimana pun, Dazai-san, kan pernah menjadi bagian dari kelompok Mafia.

"Apakah menurutmu dia akan datang?" tanya Paman Yukichi.

"Dia pasti datang," jawab Dazai-san terdengar yakin, "karena ini adalah kesempatan yang sempurna untuk membunuh Anda, Pak Direktur."

"HAH?!" Nagiko kaget dan spontan berdiri, menatap pamannya dan Dazai-san bergantian. "Apaan—tunggu, hah?!"

Paman Yukichi langsung memegang puncak kepala keponakannya dengan tangannya yang besar. "Tenanglah, bukan berarti aku akan benar dibunuh olehnya." Presdir ADB itu menghela pelan lalu menarik tangannya, berbalik badan dan berjalan kembali menuju pintu ruangannya. "Tapi, itu masih lebih baik daripada melihat anggotaku berdarah atau mati."

Nagiko menatap punggung pamannya sambil cemberut. Ia sangat paham bahwa semua karyawan Paman Yukichi begitu menghormati bos mereka, dan Sang Presdir begitu menjaga setiap anak buahnya. Walaupun siap mati untuk satu sama lain, tetap saja Nagiko tidak suka kalau pamannya sampai benar mengatakan kalimat tersebut.

"Hei Dazai, jelaskan padaku sebentar," ujar Kunikida-san, terdengar bingung, "pertemuan rahasia, dengan pimpinan Mafia?"

Keponakan Presdir itu jadi penasaran juga, ia pun kembali duduk di sofa. Karena memang pamannya tidak pernah memberitahu tentang apa yang ia bicarakan dengan Atsushi kemarin sore, serta dengan Dazai-san di malamnya.

"Yep, saran dari Atsushi telah berkembang menjadi sebuah rencana yang luar biasa," jawab Dazai-san riang. "Bahkan The Guild yang sebagai ancaman terbesar kita—"

"—tunggu dulu—tunggu, tunggu, tunggu, tunggu, tunggu!" potong Kunikida-san dengan sangat bingung. "Bagaimanapun juga … pertama, kenapa kamu yang mengatur pertemuan rahasia itu?"

Nagiko mengerjap. "Lho, bukannya karena—"

"—Nagi, biar aku saja, pasti bakal lebih seru," kata Dazai-san sambil menyengir.

Kunikida-san menatap keponakan bosnya dan sang partner bergantian dengan makin bingung. "Eh?"

Senyum Dazai-san menjadi sangat lebar. "Karena dulunya aku kerja di Mafia!" sahutnya riang. "Yang lain sudah pada tahu, lho?" Si Kacamata mematung sempurna. Jadi Dazai-san bangkit dan iseng menepuk punggung rekannya. "Kunikida-kun?"

—dan Kunikida-san terjatuh lunglai.

Dazai-san malah tersenyum bangga pada Nagiko. "Tuh kan, jadi lebih seru!"

Dengan sebal Nagiko meninju lengan pemuda itu. "Apanya yang seru dengan membuat Kunikida-san jatuh, sih!" Gadis itu langsung menaruh dokumennya di sofa dan membantu seniornya berdiri dari lantai.

Nagiko berniat membantu Kunikida-san untuk duduk di sofa, tapi Si Kacamata malah memegang erat kedua bahu keponakan bosnya dengan wajah serius. "Nagi, kamu, tidur sama orang Mafia—bahaya!"

Gadis itu manyun. "Tidak, tidak bahaya! Lagian Dazai-san juga bukan anggota Mafia, kan, sekarang?"

"Tapi—"

Perempuan berambut pirang stroberi itu berkacak pinggang. "Tidak ada kata 'tapi'."

Kunikida-san terdiam, lalu menghela dan membetulkan letak kacamatanya. Ia berdeham kecil, lalu menunjuk dokumen yang Nagiko taruh di sofa tadi. "Itu, sudah dibaca? Isinya apa?"

"Ah—itu surat dari semacam perkumpulan orang-orang berkemampuan khusus di Prancis. Mereka hanya memberi pernyataan bahwa mereka tidak ada sangkutpautnya dengan The Guild. Lalu mereka menjabarkan yang mereka tahu tentang The Guild dari sana, tapi kurasa yang mereka beritahu itu bukan hal baru untuk kita ketahui," jelas Nagiko.

Si Kacamata mengangguk. "Seperti yang surel dari Hongkong itu?" Nagiko balas mengangguk. "Aneh, kenapa tidak pakai bahasa Inggris yang lebih bisa dipahami banyak orang?"

Nagiko tersenyum. Ia mengambil berkas yang ditaruhnya di sofa, lalu menyodorkannya lagi pada sang senior. "Karena, dengan menggunakan bahasa utama mereka sendiri, mereka jadi lebih bisa mengekspresikan maksud dan tujuan dari apa yang ingin mereka sampaikan."

.

.

Kantor terasa sangat sepi ketika Paman Yukichi telah pergi untuk bertemu Pimpinan Mafia. Bos ADB itu tidak pergi sendirian, ia membawa Dazai-san, Kunikida-san, dan Junichiro. Walau bukan tipe petarung, tapi memang kemampuan khusus Junichiro akan sangat berguna untuk situasi apapun, jadi Nagiko paham kenapa anak itu sering dibawa untuk misi penting.

Sekitar setengah jam setelah rombongan Paman Yukichi berangkat, Pengantar Pos datang membawa amplop yang ditujukan pada Ranpo-san. Nagiko yang duduk di sebelah Detektif terhebat itu sekilas bisa melihat bahwa isi amplop tersebut adalah semacam undangan dari seorang anggota The Guild, dan ada tulisan 'permainan deduksi' tebal disana. Ranpo-san yang memang dari pagi sudah kebosanan, langsung semangat sendiri dan bangkit dari kursinya untuk bersiap-siap.

"Nagi, anterin aku, yuk," pinta si Detektif.

"Eh?"

"Kan, aku gak ngerti kendaraan umum, jadi nanti kamu tunggu aku sampai selesai lalu bantu aku pulang lagi, gitu," jelas Ranpo-san lebih lanjut.

Kak Akiko menghela. "Ini dari The Guild, lho, apa kita tidak perlu menunggu Pak Fukuzawa dulu?"

"Tidak usaaah!"

"Anu, ini bisa jadi jebakan, kan? Kalau Ranpo-san dijahatin, gimana?" celetuk Atsushi-kun yang sudah kembali masuk kerja.

"Enggaklah," jawab Ranpo-san enteng, "orang yang suka dengan misteri gak mungkin berbuat jahat pada sesama penyuka misteri!"

Atsushi tampak tetap khawatir, lalu menoleh pada Nagiko dan Kak Akiko. "Tetap saja, bagaimana kalau Ranpo-san kena serang?" tanya Atsushi.

Dokter Perempuan yang bersama mereka mengangguk. "Itulah yang kukhawatirkan. Pertama, kita belum memberitahu Pak Fukuzawa soal ini, bisa-bisa terjadi bencana karena kita membuat keputusan sepihak. Kedua, Kalau memang ingin pergi, kurasa jangan bawa Nagiko, karena kemampuan khusus kalian berdua sama-sama bukan untuk bertarung, bisa gawat kalau memang kena serang disana."

"Kalau begitu, berarti antara aku dan Kenji-kun saja, kan?" usul Atsushi-kun.

"Tidak, jangan Kenji-kun, bisa-bisa mereka sama-sama terbawa suasana untuk sesuatu," tolak Nagiko.

Kak Akiko mengangguk setuju. "Biar aku saja kalau begitu. Aku bukan tipe petarung, tapi bisa jadi brutal kalau diperlukan. Lagipula, orang yang pergi dengan Ranpo-san haruslah orang yang bisa menahan egonya agar tidak terlalu besar kepala dan memaklumi segala sesuatu tentangnya."

Nagiko manggut-manggut, paham perkataan Si Dokter. Kenji-kun itu sifat dasarnya sebelas-dua belas dengan Ranpo-san. Atsushi-kun tidak begitu bisa bilang 'tidak' pada Si Detektif. Nagiko terlalu pasif kalau hanya sendirian mengurus anggota pertama ADB itu. Jadi di antara mereka semua yang tersisa di ruangan ini, hanya Kak Akiko saja yang paling bisa diharapkan.

"Heeeii, sudah selesai diskusinya?" tanya Ranpo-san. "Kalian kayak lagi nentuin siapa yang jadi babysitternya anak kecil, deh."

'… tidak begitu salah banget, sih.'

.

.

Paman Yukichi kembali ke kantor dengan Junichiro dan Kunikida-san, sedangkan Dazai-san keluyuran di sekitar luar hutan yang ditandai Nagiko yang mungkin merupakan tempat The Guild menahan Q. Nagiko hanya memberitahu Dazai-san semalam dan Paman Yukichi tadi pagi tentang kecurigaannya mengenai lokasi Q, tapi tampaknya sekarang dua agen lain yang pamannya bawa untuk bertemu Bos Mafia juga sudah tahu mungkin mereka membicarakan tentang itu dengan orang-orang Mafia tadi.

Saat ketiganya kembali, tidak ada yang memberitahu tentang jalannya pertemuan kedua pimpinan itu. Pamannya hanya menyapa dengan anggukan saat bertemu mata dengan Nagiko, tapi kemudian langsung masuk ke ruangannya sendiri. Junichiro dengan agak gugup mengekori seniornya yang berkacamata untuk kembali ke meja kerja masing-masing. Ranpo masih belum kembali sejak keluar dengan Kak Akiko tadi, jadi tidak ada yang bisa menebak dengan tepat mengenai hasil pertemuan bos mereka saat ini.

Mungkin karena pertemuan Paman Yukichi dengan Pemimpin Mafia tadi awalnya merupakan ide Atsushi, jadilah Bocah Harimau itu menghampiri Kunikida-san dan memecah keheningan duluan.

"Anu, Kunikida-san, tadi bagaimana?" tanya Atsushi. Suaranya tidak lantang, tapi sunyinya ruangan itu saat ini membuat ucapannya terdengar jelas.

Yang ditanya langsung menghela dan melipat kedua tangannya di depan dada. "Pada dasarnya, kita dan mereka bagaikan air dan api. Tapi Dazai sedang mengusahakannya sekarang, setidaknya demi bisa mengusir The Guild saja."

Kenji-kun mengangkat tangannya. "Apakah ada sesuatu yang bisa kita bantu dari sini?"

"Sepertinya tidak," jawab Kunikida-san. "Dazai juga tidak memberitahukan rencananya. Pokoknya, untuk saat ini, Pak Fukuzawa hanya bisa berserah saja pada manusia itu, apalagi memang Dazai kan, yang paling bisa mengerti pikiran Mafia."

Ah, pantas saja Paman Yukichi tidak bilang apa-apa, karena memang tidak begitu ada apa-apa yang perlu diberitahukan kepada para anak buahnya yang tidak ikut pertemuan tadi.

"Dokter Yosano dan Ranpo-san mana?" tanya Junichiro.

"Ranpo-san dapat surat tantangan dari orang The Guild, jadi Kak Akiko menemaninya," jawab Nagiko.

"S-surat tantangan?" ulang Kunikida-san. "Untuk Ranpo-san?"

Nagiko mengangguk. "Tapi sepertinya itu tantangan pribadi, bukan untuk mengajak berantem dari organisasi itu. Jadi Poe-san, yang mengirim undangan tersebut, menantang Ranpo-san dalam permainan deduksi."

"Bisa saja jadi jebakan, kan?!" sahut Kunikida-san.

"Iya, saya bilang tadi begitu juga…," cicit Atsushi-kun.

"Heee, tapi Ranpo-san bilang bahwa orang yang suka misteri gak bakal jahat pada sesama penyuka misteri!" adu Kenji-kun.

Kunikida-san melepas kacamatanya, lalu memijit alisnya lelah. "Yah—ya sudahlah, kalau Ranpo-san sudah bilang begitu, berarti tidak akan masalah."

Keponakan Bos ADB itu tersenyum tipis, tahu bahwa Kunikida-san akan tetap khawatir walau tahu Ranpo-san sendiri tidak cemas menghadapi surat tantangan itu. Bukan hanya Ranpo-san, tapi kalau siapa pun dari ADB pergi datang menjawab undangan dari The Guild saat ini, pasti akan mengawatirkan yang lain. Yang paling kepikiran saat ini mungkin adalah Atsushi-kun, yang sudah pernah secara langsung mencicipi rasanya ditahan oleh The Guild, makanya dia langsung bilang bahwa surat undangan dari Poe-san adalah jebakan.

Gadis itu agak dikagetkan dengan getarnya ponsel di saku roknya. Ia mengambil ponsel dan melihat notifikasi adanya pesan masuk dari Dazai-san.

.

'Dari Dazai-san,
Nagi, hari ini tidur bareng, yuk?
'

'Kepada Dazai-san,
Hari ini aku pulang ke rumah paman lagi.
Bukannya Dazai-
san sedang mencari Q?"

'Dari Dazai-san,
Yaaaahh…
Masih nyari, kok. Cuman, kalau tahu hari ini bakal tidur sama kamu, aku bakal lebih semangat lagi.
"

'Kepada Dazai-san,
Mending carinya dengan serius, deh, biar analisisku gak begitu sia-sia.
'

'Dari Dazai-san,
Tapi aku kangen Nagiii~
'

'Kepada Dazai-san,
Kita sudah bertemu tadi pagi, Dazai-
san.'

'Dari Dazai-san,
Tapi aku kangen pelukan denganmu.
'

.

Jantung Nagiko berdegup lebih kencang sedikit membaca pesan itu. Kedua daun telinganya menghangat, syukurlah tidak ada yang bisa melihat merahnya telinga itu karena tertutup sempurna oleh rambut pirang stroberinya. Walau sudah sangat sering, Nagiko masih tetap tidak kunjung terbiasa dengan godaan Dazai-san. Dan pesan terakhir itu sukses membuatnya teringat akan interaksi mereka semalam.

Perlahan jemarinya menyentuh pipi yang dikecup pemuda itu semalam, seakan masih ada bekasnya disana. Yakin wajahnya mulai merona, ia menundukkan kepalanya sambil menyugestikan diri sendiri untuk tenang. Saat detak jantungnya perlahan normal, ia menggelengkan kepalanya pelan, bersyukur kantor tidak ramai hari itu—dan tidak ada Ranpo-san yang akan menggodanya di sebelah.

Lalu dari sudut matanya, Nagiko menangkap Kunikida-san yang sedang menatapnya. Gadis itu menoleh pada sang senior dan memiringkan kepala sedikit, menyiratkan 'ada apa?'. Tetapi Si Kacamata hanya tampak menggeleng pelan dan menghela, sebelum kembali menatap pada layar komputer sendiri. Nagiko langsung berpikir bahwa Kunikida-san pasti segan menegur keponakan bosnya yang malah chatting-an di jam kerja—padahal kalau dia kena tegur, pasti akan lebih mudah baginya untuk berhenti memikirkan soal Dazai-san.

.


.

Bersambung

.


.

'Sometimes a person who is utterly devoid by charm will try to create a good impression by using very elegant language; yet he only succeeds in being ridiculous.' – The Pillow Book, Sei Shonagon.

.