"Nagi, aku ada di sebelahmu, loh."
Gadis itu mengerjap sebentar, sebelum ia menoleh ke sisinya, melihat Dazai-san menyuap makan siangnya dengan cemberut. "Ah, iya, aku tidak lupa, kok."
"Pikiranmu menerawang kemana-mana, padahal yang perlu kamu pikirkan, kan, cuman aku, sedangkan aku saja ada di sebelahmu," ucap pemuda itu lagi.
Nagiko manyun. "Sejak kapan aku hanya perlu memikirkan Dazai-san?"
"Sejak kita saling kenal."
"Idih."
"Jleb, sakit, Nagi, sakit," rintih palsu Dazai-san sambil meremas bagian dada kemejanya sendiri, padahal gadis itu tidak menyentuhnya sama sekali.
Melihat tingkah rekannya, Nagiko jadi terkekeh sendiri, lalu melanjutkan makan siangnya. Pikiran gadis itu tidak menerawang kemana-mana banget, kok, isi otaknya saat ini yang paling dominan adalah fakta bahwa dua malam lalu dia sempat bisa tertidur dengan sendirinya, tapi semalam malah tidak bisa.
Keponakan Bos ADB itu sudah mengingat-ingat apa yang mungkin jadi pencetus bisanya ia terlelap waktu itu, tapi rasanya tidak ada hal spesial yang ia lakukan yang berbeda dari biasanya. Tentu Nagiko ingat bahwa hal terakhir yang ia lakukan sebelum tertidur adalah video call dengan Dazai-san, tapi aktivitas itu sama sekali bukan hal baru, jadi harusnya tidak ada hubungannya. Rasanya sewaktu tidak sadarkan diri itu, ia tidak merasa lelah atau apa, jadi seharusnya lelapnya dia tempo hari memang benar tertidur dan bukan pingsan. Nagiko jadi ingin mendiskusikan ini dengan Dazai-san atau Kak Akiko, tapi Paman Yukichi memintanya untuk merahasiakan hal ini dari semua orang lain sampai sendirinya yakin bahwa ia sudah bisa terlelap secara mandiri.
Makanya semalam Nagiko memutuskan untuk pulang ke rumah pamannya, ia ingin mencoba tidur sekali lagi. Jika ia pulang ke apartemennya sendiri, maka Dazai-san akan datang ke tempatnya untuk tidur bersama, lalu Nagiko tidak bisa mencaritahu kalau ia sudah bisa tertidur sendiri lagi.
"Nagiii, makanan di piringmu sudah habis, tapi kamu masih gak mau ngomong sama aku, ih," ambek Dazai-san.
Gadis itu menjauhkan piring kosong di hadapannya, lalu seorang pegawai mengambilnya untuk dicuci. "Bukan tidak mau ngomong, Dazai-san, tapi akunya bingung mau ngomongin apa. Lagian yang seharusnya punya banyak cerita, kan, Dazai-san? Kudengar Dazai-san sudah membebaskan Q, kan?"
Dazai-san mengangguk. "Pencarian jadi jauh lebih mudah ketika sudah ada arahan yang mengerucutkan ke suatu tempat tertentu. Pak Fukuzawa terpaksa memberi sedikit bocoran dari analisismu pada Mafia agar para bawahan mereka ikut mencari informasi. Aku berhasil menemukan tempatnya duluan."
"Oh, syukurlah kalau memang pemikiranku berguna."
"Nagi, aku udah selamatin Q, loh, kamu gak mau puji aku lagi?"
Nagiko memiringkan kepalanya. "Lho, tapi itu kan berkat aku juga?"
"Benar juga, mau kucium sebagai hadiah?"
"Tidak, terima kasih, aku ogah."
Lagi Dazai-san meremas dada kemejanya. "Sakit, Nagi, sakit."
Nagiko terkekeh sebentar sebelum meminum air. "Oh iya, teman Dazai-san kabarnya gimana? Yang kena tabrak saat Dazai-san sedang di mobilnya juga?"
Pemuda itu mengerjap, ia seperti lupa bahwa dirinya pernah kena insiden seperti itu. "Aaaahh, aku belum mengunjunginya, sih, kan, aku sibuk."
"Kenapa habis ini tidak pergi melihatnya sebentar sebelum bantu Atsushi? Biasanya kalau seorang pasien dikunjungi oleh teman dan keluarganya, mereka akan jadi cepat sembuh,lho."
"Gitu? Tapi aku maleeeess!"
Gadis itu meninju pelan lengan pemuda di sebelahnya. "Jangan gitu. Bawain buah atau bunga, gih."
Dazai-san manyun. "Aku kan, gak ngerti begituan."
Lalu Nagiko tersenyum. "Kubantu pilih di toko dekat sini, yuk?"
Pemuda yang lebih tua setahun darinya itu tampak malas, tapi Nagiko berhasil menariknya beranjak dari kursi. Ia membayar makan siang mereka berdua dan keluar dari Rumah Makan Uzumaki. Nagiko membawa Dazai-san ke toko buah dekat situ dan memilihkan keranjang buah yang sederhana, sedangkan pemuda itu malah tampak acuh. Hal yang sama juga terjadi ketika Nagiko memilihkan buket bunga untuk teman Dazai-san, dan si pemuda yang hobi cari mati itu malah makin cemberut.
"Kamu bahkan gak pernah beliin aku bunga, lho," tutur Dazai-san.
Nagiko bingung. "Memangnya Dazai-san suka bunga?"
"Enggak sih. Tapi temenku yang kamu gak kenal aja kamu pilihin bunga, tapi ke aku enggak pernah."
Gadis itu kicep. Lalu matanya menyusuri setiap jenis bunga yang ada di toko itu. Mulutnya menyunggingkan senyum ketika ia menemukan sesuatu, dan ia meninggalkan sisi Dazai-san untuk menghampiri yang diincarnya dan langsung membayarnya ke pegawai sebelum ia kembali pada pemuda yang datang bersamanya.
"Nih," sodor Nagiko.
Dazai-san mengerjap, ia menatap bunga di tangan Nagiko dan gadis itu sendiri bergantian. "Eh?"
Melihat pemuda itu mematung, Nagiko meraih tangannya dan membuat tangan itu memegang bunga yang ia berikan. "Bunga bakung, untuk Dazai-san."
Yang diberi bunga masih bingung. " … kenapa—karena aku merajuk tadi? Dan, Nagi, bunga bakung bukan biasanya hiasan untuk pemakaman?"
Nagiko terkekeh halus. "Iya, gitu, tapi bunga bakung ini ada beberapa arti dalam bahasa bunga." Dazai-san mengernyit. "Dazai-san sangat sering membantuku tidur di malam hari, sih. Tapi, selain tentang tidur, nyatanya Dazai-san sering menolongku, dan ujungnya membuat perasaanku lebih baik. Salah satu arti dari bunga bakung adalah, 'matahari selalu bersinar ketika aku bersamamu', begitu."
Lagi Dazai-san mengerjap, ia kembali menatap bunga di tangannya dan si pemberi bergantian. "Nagi, dulu aku orang Mafia, lho?"
Gadis itu memiringkan kepalanya dengan bingung. "Iya? Aku sudah tahu, kan?"
Dazai-san menatap lekat bunganya. "Aku sudah membunuh sangat banyak orang, lho? Melakukan banyak tindak kriminal dan sebagainya?"
Nagiko masih tampak bingung. "Lalu?"
"Dan itu tidak apa-apa untukmu?"
" … Aku sudah pernah bilang bahwa itu adalah masa lalu Dazai-san, kan? Dazai-san yang sekarang sudah tidak melakukannya, jadi kenapa harus dibahas?"
Dari bunga, kini Dazai-san menatap lurus pada gadis itu. "Aku pernah jadi Mafia dan membunuh banyak orang, apa aku sebenarnya layak jadi agen detektif?"
Gadis itu tampak berpikir sebentar. "Bukan hanya agen detektif, tapi kurasa Dazai-san memang layak untuk berada di tempat dimana orang-orangnya bersedia memberi Dazai-san kesempatan yang baru."
"Begitu?"
Nagiko manyun. "Dazai-san kenapa? Kok, mendadak melankolis?"
Pemuda di hadapannya tersenyum lembut. "Gapapa, aku hanya berpikir bahwa ini kebalik."
"Apanya?"
"Ini—" Dazai-san menempelkan sedikit sisi mahkota bunga bakung di tangannya pada bibir Nagiko, lalu berbisik di depan wajahnya. "—seharusnya, bunga ini dariku untukmu, Sayang."
.
.
Disclaimer: Bungou Stray Dogs adalah ciptaan Asagiri Kafka dan Harukawa Sango, The Pillow Book adalah karya Sei Shonagon, 'Kiyohara Nagiko' dipercaya sebagai salah satu kemungkinan nama asli dari Sei Shonagon, Author tidak mengambil keuntungan.
Warning: Agak slow burn, Dazai x OC, alur canon (manga, anime, novel), sebisa mungkin tidak mary-sue.
.
.
Osamu Dazai and His Sun
by Fei Mei
.
Chapter 17
.
.
Sejak The Guild tiba di Yokohama, jumlah permintaan untuk Agensi Detektif Bersenjata jadi agak berkurang, entah kebetulan atau bagaimana. Pendapatan mereka jelas jadi berkurang walau tidak begitu signifikan, tapi para agensi detektif jadi punya waktu lebih untuk mencari cara mengusir The Guild dan membereskan segala macam yang telah organisasi itu lakukan demi mendapatkan entah apa yang sebenarnya mereka incar di kota ini.
Beberapa kali pintu kantor terbuka hari ini, tapi tak ada satu pun klien maupun calon klien yang hadir. Dengan kata lain, ini adalah salah satu hari langka dimana para detektif tidak punya tugas memeriksa apa pun dari klien satu pun. Dua tugas penting yang sedang mereka kerjakan hanyalah rangkaian penyerangan balik pada The Guild, serta mengusahakan agar Kyoka bisa kembali ke ADB. Atsushi, Junichiro, dan Dazai-san ada di barisan terdepan dalam tugas ini, sedangkan Ranpo-san telah menyelesaikan tugasnya saat berdiskusi dengan Dazai-san. Selebihnya, saat ini agen detektif lainnya hanya standby kalau-kalau yang di luar sana butuh bantuan.
Tetapi pintu kantor memang sering terbuka dari setelah jam makan siang, pelakunya adalah para staf karyawan ADB yang sudah dipanggil untuk kembali ke kantor utama. Menurut Ranpo-san, jika semua sesuai rencana, maka perang mereka melawan The Guild sudah selesai, jadi Paman Yukichi memanggil mereka semua untuk kembali ke kantor di Yokohama. Sebenarnya tidak mesti hari ini juga, sih, tapi beberapa karyawan yang sudah terlanjur tidak betah di luar prefektur seperti Naomi dan Haruno-san langsung buru-buru mengepak barang dan pulang duluan ke kantor itu. Karena pulangnya tidak berbarengan, jadilah pintu kantor terbuka setiap beberapa puluh menit sekali—sampai Kunikida-san pusing mendengar decitan pintu, tapi ia tahu tidak ada yang perlu diproteskan dari hal ini.
Hari sudah sore ketika Paman Yukichi keluar dari ruangannya bersama dengan Ranpo-san dan Kunikida-san. Ketiganya tampak siap keluar dari kantor, itu dipertegas dengan Si Kacamata yang membukakan pintu depan untuk bosnya.
"Eh? Kalian mau kemana?" tanya Kenji-kun.
"Kami akan menjemput Tanizaki dan yang lain," jawab Kunikida-san.
Sontak saja Naomi melompat dari kursinya. "Kalau mau jemput Kakak, Naomi juga mau ikut!"
Kunikida-san mendecak, tampaknya baru sadar bahwa menyebut nama 'Tanizaki' bukanlah pilihan yang bagus, sebaiknya sebut 'Atsushi' saja tadi. "Tidak usah, tunggu saja disini dengan yang lain."
Kak Akiko juga ikut berdiri. "Apa aku ikut juga untuk jaga-jaga?"
Paman Yukichi menatap dokter itu sebentar sebelum mengangguk. "Benar juga, ikutlah."
"Aaaah! Kalau begitu, bagaimana kalau aku juga ikut, siapa tahu butuh tenaga tambahan disana?" tawar Kenji-kun riang.
"Tidak usah—"
"—Curaaaanngg! Naomi juga mau ikut!"
Si Kacamata tampak lelah, begitu juga Paman Yukichi. Tapi Ranpo-san malah tertawa. "Ikut saja semuanya, kurasa gapapa, kan?"
Kunikida-san menatap seniornya dengan tatapan tak percaya. "Ranpo-san, mobilnya tidak cukup …."
Si Detektif Terhebat dengan santai menunjuk Nagiko. "Nagi, kan, bisa mengendarai mobil juga?"
Paman Yukichi menghela dan memijit alisnya. "Baiklah, Nagiko, bawa mobil kantor, gih."
Yang dipinta manggut-manggut, Naomi langsung kegirangan. Jadilah para agen detektif keluar dari ruang kantor dan menuju tempat parkir. Kunikida-san menyupir untuk Paman Yukichi dan Ranpo-san yang memang direncanakan pergi sejak awal. Sedangkan Naomi, Kenji-kun dan Kak Akiko ikut Nagiko yang mengendarai mobil mengekori yang dibawa si Kacamata.
Nagiko tidak tahu tujuan akhir mereka, ia hanya mengikuti arah mobil Kunikida-san. Tadi siang ia sempat mendengar tentang 'laut' dari pembicaraan Ranpo-san dengan Dazai-san, jadi Nagiko menduga mereka akan pergi ke area dermaga. Kalau dipikir-pikir, kasihan juga Atsushi-kun, kalau tidak salah ini sudah kedua—eh, atau ketiga kalinya, ya?—ia harus bertarung di atas laut.
Ketika Kunikida-san melambatkan jalan mobilnya dan memarkir di pinggir, Nagiko mengikutinya juga. Hari sudah gelap, tapi dermaga lumayan terang dibantu cahaya lampu. Saat turun dari mobil, Nagiko baru sadar kenapa seniornya yang berkacamata bisa memutuskan untuk memarkir mobil disana—ternyata sudah ada Dazai-san yang menunggu bersama Junichiro.
"KAKAAAA~K!" panggil Naomi manja sambil berlari dan melemparkan dirinya ke pelukan sang kakak.
"N-Naomi! Dilihat yang lain!" kata Junichiro, berusaha melepas pelukan, tapi gagal.
Dazai-san tampak tidak mau kalah. "Nagi—"
"—Dazai." Paman Yukichi menyahut tegas, membuat yang punya nama langsung kicep dan tidak jadi menghampiri keponakan bosnya. "Situasinya?"
Dazai-san mengangguk. "Saya jelaskan sambil kesana."
Paman Yukichi menoleh pada anak buahnya yang lain. "Tunggulah disini." Lalu ia mengikuti Dazai-san berjalan pergi.
"Jadi, apa yang terjadi?" tanya Kak Akiko pada Junichiro.
Kakak Naomi itu mengangguk. "Atsushi-kun sudah berhasil menyusup ke Moby Dick. Tapi jaringan komunikasiku dengan Atsushi-kun dan Dazai-san jadi kurang bagus karena terhalang Light Snow, atau mungkin ada penyadap disana juga, jadi aku kurang tahu jelas apa yang terjadi disana. Pokoknya aku mendengar tentang Fitzgerald akan menghancurkan Yokohama menggunakan Moby Dick."
"… dasar orang gila," gumam Nagiko, entah yang lain bisa mendengarnya atau tidak.
"Wah, orang kota kalau mau menghancurkan suatu kota memang keren, ya!" sahut Kenji-kun riang.
Kak Akiko menepuk dahinya sendiri. "Itu bukan sesuatu yang patut dikagumi, Kenji."
"Ah, benar juga, ya!" balas anak itu lagi.
"Habis itu aku mendengar bahwa Akutagawa ada di Moby Dick juga," lapor Junichiro kemudian. "Sinyalnya makin jelek, lalu Dazai-san menyuruhku untuk turun ke dermaga saja, mengecek ketinggian Moby Dick dan menghitung jarak kemungkinannya terjatuh ke laut. Jadi … kupikir mungkin akan di depan sana, Dazai-san mungkin akan membawa Pak Fukuzawa berjalan-jalan mencari dimana Atsushi akan keluar dari air."
"—ah, akan tabrakan," celetuk Ranpo-san.
Spontan Nagiko dan yang lain mengikuti arah pandang Si Detektif Terhebat. Mata Nagiko terbelalak saat melihat sesuatu yang tampak seperti paus besar di udara akan segera bertabrakan dengan sebuah pesawat yang jauh lebih kecil darinya. Suara tabrakannya cukup kencang sampai Nagiko langsung memejamkan mata dan menutup telinganya erat dengan kedua tangan. Saat suaranya tidak lagi memekakan telinga, ia membuka mata perlahan, menyaksikan kedua benda yang bertubrukkan itu jatuh ke laut, dan tampak ada dua parasut melayang di udara.
"KYOKA-CHAAANN!" Itu teriakan Atsushi-kun yang bergema dan terdengar jelas dari tempat Nagiko berdiri.
"Tunggu, maksudnya teriakan itu apa?" tanya Kunikida-san panik.
"Itu suara Atsushi -kun, kan?" tanya Naomi.
Nagiko menoleh pada Junichiro dan Ranpo-san bergantian. "Kyoka ada di Moby Dick juga?"
"Tidak," jawab Junichiro gugup, "Kyoka-chan … dia ada di pesawat yang satunya…."
"Harus segera kuhampiri kalau begitu, kan?!" sahut Kak Akiko.
Ranpo-san malah tersenyum. "Gak usah, gak apa-apa, kok. Susul Pak Presdir aja, yuk."
"Tapi—"
"Gapapa, Yosano-sensei, percaya deh, yuk," ulang Ranpo-san kemudian mulai melangkah.
Si Dokter saling tukar pandang dengan keponakan bosnya, lalu mereka semua mengikuti Si Detektif Terhebat pergi.
Nyatanya, mereka tidak benar-benar menyusul Pak Bos, mereka hanya menonton rombongan Dazai-san dari seberang. Ada Akutagawa juga disana, yang entah kenapa jadi terjatuh tidak lama setelah Dazai-san menyentuh pundaknya. Lalu Atsushi menyadari keberadaan rekan-rekannya yang di seberang. Nagiko lega sendiri ketika melihat Kyoka ada bersama mereka.
.
.
Nagiko tidak kembali ke kantor ADB bersama yang lain, karena Dazai-san mengajaknya kencan, dengan embel-embel bahwa ia telah minta izin pada Paman Yukichi. Entah bagaimana, Sang Paman mengizinkan, jadi untuk pertama kalinya Nagiko mengiyakan ajakan pemuda itu. Mobil kantor yang tadinya dibawa Nagiko jadinya dikendarai Junichiro untuk kembali ke garasi kantor, sedangkan gadis itu ikut dengan Dazai-san naik kereta.
Keduanya tiba di sebuah gedung pameran. Nagiko agak terkejut, pasalnya ia tahu bahwa hari ini adalah hari terakhir pameran ini diadakan di Yokohama sebelum dilanjutkan ke prefektur lain. Nagiko bukan penikmat seni lukisan, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa kadang menatap lukisan abstrak bisa membuatnya lebih tenang dengan tipe ketenangan yang berbeda dengan saat ia membaca buku. Jarang ada pameran lukisan disana, makanya Nagiko berpikir bahwa kalau bisa, ia ingin datang kesana—tapi keberadaan The Guild membuatnya merasa egois jika datang untuk merasa tenang sedangkan yang lain kewalahan menyusun strategi.
—tapi Dazai-san malah membawanya kesana.
.
.
.
.
Ryuro memasuki gedung pameran, ia celingak-celinguk ke sekitarnya, mencari si Eks Mafia. Matanya menyipit begitu menemukan pemuda itu. Segera ia melangkah, hendak menghampirinya, tapi kemudian berhenti dengan ragu. Pemuda yang ia cari tampak sedang asyik tersenyum pada gadis yang tinggi tubuhnya lebih pendek di sebelahnya. Itu senyuman yang asing bagi Ryuro—anak itu tidak pernah tersenyum seperti itu selama di Mafia, tapi jelas Pak Tua ini tidak tahu bagaimana kehidupan pemuda itu di luar menjadi anggota Eksekutif Mafia.
Tapi, karena tujuan kedatangannya adalah untuk menghampiri pemuda itu, Ryuro pun nekad untuk tetap menghampiri targetnya. Ketika sudah berada di dekatnya, Pemimpin Black Lizard itu baru sadar bahwa si pemuda bukan hanya tersenyum, melainkan juga menggandeng tangan gadis yang bersamanya. Ryuro tidak yakin bagaimana agar targetnya menyadari keberadaannya—kemungkinan besar pasti sudah sadar, tapi pasti hanya pura-pura tidak tahu—jadi Pak Tua ini berdeham pelan. Pemuda itu dan gadisnya menoleh. Si Gadis mengerjap bingung, tapi pemuda yang bersamanya memasang tampang yang seolah mengatakan 'oh, sudah disini'.
"Dazai-san, kenalanmu?" tanya gadis itu.
Pemuda itu mengangguk. "Dia Hirotsu-san, orang Port Mafia," jawab anak itu santai.
Respon gadis itu agak mengejutkan Ryuro, tapi ia tidak menunjukkan rasa keterkejutannya. Gadis yang bersama Dazai-kun ini hanya mengerjap sebentar dan tampak agak tercengang sebelum kemudian mengangguk kecil, seakan kata 'mafia' sudah biasa terdengar di telinganya.
"Kalau begitu, aku akan ke toilet, habis itu beli oleh-oleh disana, ya, biar aku tidak ganggu kalian ngobrol," tutur Si Gadis sambil tersenyum kecil.
Dazai-kun membalas senyumnya. "Hati-hati," katanya lembut lalu melepaskan genggaman tangannya, membiarkan gadis itu berjalan pergi. Ryuro sampai berpikir apa jangan-jangan ini bukanlah mantan Mafia yang pernah dikenalnya.
Ketika gadis itu sudah agak jauh, Dazai-kun dengan santai duduk di bangku yang ada di hadapan salah satu lukisan. Ryuro duduk di bangku panjang yang ada di sebelahnya, melihat sekilas bahwa pemuda di sampingnya ini telah memasang tampang yang sering dibuatnya ketika masih di Port Mafia.
"Lukisan yang aneh, bukan?" tanya Dazai-kun.
Ryuro melipat tangan, memandang lukisan yang menjadi obyek komentar pemuda itu sejenak sebelum menghela. "Anda perlu hidup beberapa dekade lagi untuk mengerti seni visual."
"Kalau ini adalah seni visual, aku merasa bahwa aku juga bisa menggambarnya."
"Anda bisa apa saja, tapi," Ryuro menggaruk pelan dagunya, "apa anda ingat dengan lukisan potret diri yang Anda gambar di dinding kantor eksekutif? Ah, ketika Elise-chan melihatnya, dia pikir itu kutukan yang ditinggalkan oleh musuh dan kemudian marah besar."
Dazai-kun terkekeh dengan wajah bangga. Ketika kekehannya selesai, ia menoleh pada Pak Tua yang bersamanya. "Hirotsu-san, kau telah banyak membantuku dalam hal ini."
Ryuro kembali menoleh pada pemuda itu juga. "Melakukan hal seperti itu dikatakan membantu? Yang kulakukan hanyalah membocorkan rencana penyusupan Moby Dick pada Higuchi-kun. Ketika dia tahu tentang hal itu, dia akan melaporkannya pada Akutagawa-kun. Kemudian, saat Akutagawa-kun mengetahuinya, dia pasti akan bergerak dengan sendirinya, seperti yang diharapkan. Kenapa Anda sebegitu inginnya mempertemukan Akutagawa-kun dengan Harimau Muda itu?
Wajah cengengesan Dazai-kun berubah menjadi serius. "Aku ingin mengonfirmasi sesuatu. Akutagawa sekalu bertindak sendirian dan kekuatannya sangat menghancurkan, tapi kemampuannya paling berharga ketika ditugaskan sebagai barisan tengah ataupun barisan belakang. Dengan demikian, dia memerlukan seseorang yang memiliki kecepatan dan stamina yang sama seperti Atsushi-kun sebagai barisan depan."
" … sejak kapan Anda mulai merencanakan hal seperti ini?"
"Sejak pertama kali aku bertemu dengan Atsushi-kun," jawab Dazai-kun, terdengar enteng tapi tetap serius. "Kita butuh generasi baru untuk Double Black sebagai persiapan untuk malapetaka yang sesungguhnya yang akan terjadi di masa mendatang. Dimulai dari sekarang pun, bahkan aku tidak bisa mengantisipasi bagaimana perkembangan yang akan terjadi. Tapi, pria itu pasti sudah mulai bergerak. Iblis itu … aku pernah bertemu dengannya sekali."
Ryuro mengernyit. Jika Dazai-kun saja sudah sebegini mengerikan, bagaimana dengan seseorang yang pemuda ini sebut sebagai 'iblis' itu?
Lalu gadis yang tadi bersama Dazai-kun lewat di sudut ruangan, berjalan menuju meja souvenir. Ryuro pun jadi teringat tentang pandangan yang baru pertama kali ia lihat tadi mengenai mantan eksekutif Mafia di sebelahnya.
"Dazai-kun, gadis itu—"
"—manis, kan? Pertama kali aku bertemu dengannya, kukira dia sedang akan bunuh diri dengan menerjunkan dirinya ke sungai!" sahut Dazai-kun riang, lenyap semua segala keseriusan yang tadi tertempel di wajahnya.
"Gadis itu ingin bunuh diri?" gumam Ryuro, berpikir bahwa pantas saja ada gadis yang mau menempel dengan Dazai-kun, karena ternyata gadis itu mungkin maniak bunuh diri juga.
Dazai-kun agak cemberut. "Enggak, ternyata akunya yang salah paham, dia bukan pengen bunuh diri, tapi memang ada alasan kenapa dia pengen terjun aja."
" … ah, sayang sekali, ya." Ryuro menatap punggung gadis itu dari jauh. "Kekasih Anda?"
"Bukan."
"Tapi Anda tampak menyayanginya. Bahkan ketika tadi saya melihat Anda pertama kali disini, anda kelihatan jauh lebih hangat dibanding ketika masih di Mafia."
Pemuda itu terkekeh lalu tersenyum kecil. "Siapapun akan menghangat jika terpapar sinar matahari, kan?"
"Maaf?"
"Nagiko adalah matahariku, menyinariku yang berada di tempat yang gelap. Tidak mungkin aku tidak menyayanginya, kan?"
"Apakah gadis itu … akan sama dengan gadis lainnya sewaktu Anda di Mafia?"
Dazai-kun masih tersenyum sambil merogoh kantong celananya, mengeluarkan sebuah kotak kecil, membukanya untuk dipamerkan ke lawan bicaranya. Ada sebuah cincin tertancap disana. "Kalau dia akan sama dengan yang lain, aku tidak bakal sampai repot beli ini, kan?"
Ryuro tercengang melihatnya. Dazai-kun terkekeh lalu menyimpan kembali apa yang ia pamerkan. "Anda akan melamarnya hari ini?"
"Tidak, aku akan menunggunya sampai dia yakin akan perasaannya."
" … Dazai-kun, Anda adalah buronan bagi Port Mafia saat ini, dan secara tidak langsung Anda sedang mengungkap kelemahan Anda saat ini."
Pemuda itu tertawa kecil. "Tentu aku paham. Memangnya siapa yang mengajari kalian untuk menyekap orang terkasih dari target kita agar mereka keluar dari persembunyian?" Dazai-kun bangkit dari bangkunya. "Tapi, kuberitahu saja, ya. Jika kalian sengaja menyentuh Nagiko sedikiiit saja, itu sama saja artinya kalian sedang mendeklarasikan perang dengan Agensi Detektif Bersenjata."
Lalu Ryuro menyaksikan Dazai-kun berjalan riang menghampiri gadisnya.
.
.
Bersambung
.
.
"You should wish to be loved first by the one whom you hold first in your heart." – The Pillow Book, Sei Shonagon.
.
