That There Won't Be A Tomorrow For The Two Of Us Anymore
Rate T
One Piece milik Eiichiro Oda, author hanya meminjam karakter dan latarnya untuk memuaskan keinginan pribadi.
WARNING! Fem!Sabo, Time Travel AU, OOC, Gaje, ada OC yang masuk (namanya Uchū), Pendek. Typo yang tidak disengaja. Aku sudah lama tidak "main" di AceSabo jadi maafkan aku kalau agak kaku.
Aku ngetik sambil dengerin lagunya Hatsune Miku – Orange (cover english) dan Mafuyu – Fuyu no Hanashi, tapi punyanya AviTaRi (ver indo), jadi ending dari fanfiksi ini akan gantung, atau bahkan bisa jadi angst. Kalau tidak suka bisa tekan tombol kembali.
Selamat membaca!
.
.
.
[We again made a childish promise
Let's tell a story about running away.]
Sabo memeluk tubuh tidak bernyawa Luffy erat, dengan putus asa mencoba mencari denyut nadi adiknya.
Tapi itu sia-sia. Luffy sudah mati bahkan sebelum Sabo dapat meraihnya.
Sabo tahu itu. Dia mengetahuinya, tapi dia menolak untuk mempercayainya.
"Luffy, Luffy, kumohon," bisiknya dengan hati yang hancur.
Suara tawa keji terdengar tidak jauh darinya, dan ingatan Sabo merekam luka mengangga di dada Luffy dengan suara tawa Marshall D Teach di belakangnya.
'Maaf, maafkan aku, Ace, maaf, aku tidak dapat melindungi adik kecil kita,' hati Sabo meratap, dia tidak dapat mempercayai ini. Dia tidak bisa dan pada akhirnya dia menyerah pada kekuatan mera-mera no mi milik Ace, membakar nadinya dan melampiaskan kesedihannya dengan menghancurkan sekelilingnya dengan api pembakaran.
.
.
.
Sabo bahkan tidak merasa lega ketika Marshall D Teach berhasil dibunuhnya. Apa yang perlu dirayakan? Luffy sudah mati, begitupun kru adiknya. Hanya Jinbei, Brook, dan Sanji yang selamat—sekalipun mereka bertiga sekarang masih berada dalam kondisi kritis.
Trafalgar Law juga sudah tiada. Pria itu mati karena melindungi Luffy sebelumnya—membuat Luffy kehilangan rasionalitasnya dan memilih mengikuti jejak Trafalgar Law didalam rasa dukanya.
Pulau yang mereka tempati sekarang juga sudah hancur—tidak lagi layak huni dengan besarnya kekacauan yang dihasilkan dari pertarungan Sabo dengan Teach.
Tubuh Sabo sendiri penuh dengan luka, dan dia hanya mampu menyeret kakinya beberapa langkah sebelum ambruk di atas tanah kotor.
Pandangannya dipenuhi bintik-bintik hitam dan yang dapat Sabo dengar hanyalah dengingan dan suara kehancuran di sekelilingnya.
"Kepala staff pasukan revolusioner, Sabo. Kulihat kau dipenuhi penyesalan disini, mati tanpa siapapun disekelilingmu." Sebuah suara terdengar dan Sabo berjuang untuk melihat orang yang berbicara padanya.
"… 'apa…?"
"Apa kau ingat janjimu? Untuk hidup tanpa penyesalan? Untuk hidup bebas tanpa beban yang membelenggu?"
Kali ini Sabo dapat mendengar suara langkah kaki yang mendekat dan berhenti tepat di sampingnya. Suara itu—Sabo tidak tahu siapa yang berbicara—terdengar sedih, penuh dengan rasa kasihan. "Apa kau ingin mengulang waktu untuk memenuhi janjimu? Mengubah beberapa hal di masa lalu untuk memperbaiki ini semua?"
'Suatu hari, kita akan bebas! Kita akan menjadi bajak laut dan pergi dari sini!'
'Mulai dari sekarang, kita adalah saudara!'
'Sabo! Terima kasih karena sudah mau menjadi temanku! Terima kasih karena mencintaiku!'
'Kau, aku, dan Luffy, kita akan saling melindungi!'
'Jangan khawatir, Sabo! Kami pasti akan kembali untukmu!'
Sabo menutup matanya dan tertawa. Dia dapat merasakan bahwa kesadarannya hampir menghilang sepenuhnya. "Jika 'ku bisa… 'kan mengulang…"
Pipi Sabo diusap oleh tangan sedingin es, dan dengan bisikan halus, kesadarannya mengilang sepenuhnya. "Kalau begitu terjadilah."
.
.
.
[To me, who only had a scary dream
Just in order to meet you.]
Sabo meraup napas dengan rakus dan terbatuk. Dadanya seolah hampir meledak dan rasanya sangat sakit seolah-olah dia tenggelam dalam waktu yang lama dan dia tidak dapat bernapas—
"Kau sudah sadar."
Sebuah suara terdengar dari atasnya, dan hanya karena refleksnya sebagai revolusioner yang membuatnya berguling menjauh secepat yang dia bisa.
Matanya dengan paksa melihat sekelilingnya, berharap bahwa dia masih berada di medan pertempuran dan Luffy masih hidup dan darah yang mengalir di tangannya bukanlah milik adik kecilnya dan semuanya hanya mimpi—
"Itu bukan mimpi, tapi aku membawamu kembali ke masa lalu untuk menebus penyesalanmu."
Atensi Sabo kembali pada seseorang yang berbicara itu. Wanita... pria? Sabo tidak tahu. Orang itu memiliki mata segelap dan seterang galaksi dengan rambut ungu gelap dan jepit bintang-bintang memenuhi kepalanya. Bibirnya biru pucat, begitupun warna kulitnya yang hampir terlihat seperti mayat.
Samar-samar, Sabo mengingat tangan dingin yang menyentuh pipinya.
"Apa yang kau lakukan padaku?"
Orang itu menggumam, "aku membawamu untuk menebus rasa penyesalanmu."
Sabo menyipitkan mata ketika mendengar apa yang orang itu lakukan padanya. "Omong kosong."
"Aku tidak membantumu atas dasar kebaikan hatiku, jangan salah paham, Portgas D Sabo." Kata-kata orang itu sukses membuat Sabo berjengit. Tidak ada yang mengetahui nama penuhnya selain Ace, Luffy dan Dragon. Dari mana orang ini mengetahuinya?
"Kekuatan yami-yami no mi membuat kekacauan pada ramalan yang telah dijanjikan. Monkey D Luffy, Trafalgar D Water Law, Portgas D Ace, Akagami no Shanks, dan princess Uta tidak seharusnya mati. Mereka memiliki takdir untuk mengubah dunia."
Sabo mengepalkan kedua tangannya. Otaknya dengan cepat menyambungkan informasi yang barusaja didengarnya, tapi dia tetap sulit untuk mempercayainya.
"Kau telah setuju bahwa kau akan mengubah beberapa hal di masalalu dengan bantuanku."
"Dan apa tepatnya yang kau ingin aku lakukan?" Tanya Sabo, dengan segera mengingat ucapannya sendiri beberapa menit yang lalu, saat dia berada di ambang kematian.
Orang itu tersenyum hingga matanya menyipit. Dan tiba-tiba Sabo menyadari bahwa ada bintik-bintik silver yang memenuhi pipi orang didepannya. "Itu mudah, Portgas D Sabo. Aku ingin kau membunuh Marshall D Teach sekali lagi. Aku ingin kau menyelamatkan Portgas D Ace dan princess Uta."
"Keselamatan Portgas D Ace akan membuat takdir berjalan seperti yang seharusnya. Monkey D Luffy akan tetap memiliki pillar penopang, Trafalgar D Water Law tidak akan mengorbankan dirinya, dan dengan menyelamatkan princess Uta, kau akan menyelamatkan Akagami no Shanks."
"Kau memberiku banyak tugas yang hampir mustahil." Sabo menghembuskan napas, menahan diri untuk tidak menarik rambutnya.
Dia masih tidak bisa mempercayai ini. Kembali ke masa lalu untuk menyelamatkan Ace? Hah, ini terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Ace sudah mati dua tahun yang lalu. Bagaimana bisa Sabo menemuinya?
Tapi jika ini benar-benar terjadi, maka Sabo bisa menyelamatkan Ace. Dia bisa membunuh Teach sebelum bajingan itu membunuh rekan Ace. Dia sudah membunuh bajingan itu sekali. Kenapa dia tidak membunuhnya sekali lagi?
"Bagaimana caraku menyelamatkan mereka?" tanya Sabo, menatap mata yang balas menatapnya dengan pengetahuan. "Dan aku belum mengetahui namamu."
"Kau bisa memanggilku Uchū, dan untuk permulaan, sekarang adalah 4 hari sebelum jadwal eksekusi Gol D Roger."
"Uchū, 'eh? 'Alam semesta', huh. Nama yang entah bagaimana cocok dengan penampilanmu." Sabo menggumam sebelum perkataan Uchū kembali berputar didalam kepalanya. "Tunggu, APA?!"
.
.
.
[Even to just asking sorry, even to just stick out to the end,
To the extent I couldn't live.]
Sabo mengumpati Uchū berkali-kali didalam kepalanya. Makhluk itu—karena Sabo tidak yakin bahwa Uchū adalah orang—dengan santai dan senyum menyeramkan memberi Sabo sebuah liontin yang akan merekam video pendek jika tombolnya ditekan.
Jika saja Sabo tidak mengingat dengan jelas masa kecil Ace, dia akan memukul Uchū karena memberinya tugas yang merepotkan; mendapatkan ucapan Gol D Roger pada putranya yang belum lahir.
'Ini semua demi Ace,' Sabo mengingatkan dirinya sendiri ketika berhasil melewati angkatan laut yang menjaga sel tempat raja bajak laut ditahan.
"Raja bajak laut, Gol D Roger. Aku punya pertanyaan." Dengan hati-hati Sabo melangkah mendekat, tapi Roger sama sekali tidak bergeming hingga dia memutuskan untuk duduk di atas lantai yang dingin dan berhadapan dengan pria tua itu.
Mata hitam keperakan Roger meliriknya, kemudian menyeringai. "Apa yang ingin kau tanyakan? Apa ini tentang harta karunku?"
"Tidak, aku ingin bertanya hal lain. Aku tidak peduli dengan hartamu, Gol D Roger." Sabo mengambil liontin yang Uchū berikan padanya, memutarnya dengan ringan di tangannya. "Jika kau bisa mengucapkan sesuatu pada anakmu yang belum lahir, apa yang akan kau katakan?"
Sabo dapat melihat syok yang memenuhi mata Roger selama beberapa waktu sebelum pria itu menghembuskan napas. "Perjalanan waktu, eh? Hubungan apa yang akan kau miliki dengan anakku?"
"… darimana kau mengetahuinya?"
Roger sama sekali tidak mempedulikan pertanyaan itu. "Ucapan untuk anakku, ya…"
Dengan segera, Sabo mengangkat liontin yang Uchū berikan dan membiarkan benda itu mulai merekam ucapan dan ekspresi Roger.
"Hm… apa yang akan aku katakan pada anakku jika aku bisa bicara padanya? Aku akan mengatakan bahwa aku mencintainya, dan aku akan bangga dengannya. Aku harap dia dapat menemukan kebebasan seperti yang aku temukan."
Sabo menunggu selama beberapa detik sebelum mematikan liontin yang merekam Roger. Dia menyimpannya dengan hati-hati sebelum bangkit berdiri dan membungkuk pendek pada sang raja bajak laut. "Aku akan memberikan ini padanya, terima kasih, raja bajak laut."
Roger, diluar dugaan, tertawa sedih. "Tidak, tidak, terima kasih, nona. Terima kasih karena telah membiarkanku mengucapkan sesuatu pada anakku."
Sabo hanya mengangguk singkat sebelum melangkah pergi tanpa berbalik.
.
.
.
Uchū tersenyum lembut—yang menurut Sabo masih menyeramkan—ketika mereka tiba di depan sebuah pondok. Tangisan bayi terdengar dari dalamnya dan Sabo tahu bahwa seseorang baru saja selesai melahirkan.
Dengan mudah Sabo masuk, dalam diam menatap seorang wanita berambut pirang kotor yang kini memeluk bayi dengan air mata yang mengaliri pipinya. Tidak ada orang lain di sekitar mereka dan Sabo merasa sedih melihat Portgas D Rouge yang berjuang seorang diri.
Rouge sama sekali tidak menyadari keberadaan Sabo, dan Sabo juga tidak berminat memberitahu keberadaannya, jadi dia menekan liontin yang dipakainya untuk merekam Roger sebelumnya dan mulai merekam istri pria itu.
"Ace, putraku, anakku dan dia, aku sangat mencintaimu, amat sangat mencintaimu, anakku. Maafkan ibu, maafkan aku karena tidak bisa berada disampingmu, anakku, aku tidak bisa melindungimu dan melihatmu tumbuh, maafkan aku, anakku… tapi Ace, kau harus tahu bahwa ibu sangat mencintaimu." Rouge berbisik dan menangis sambil memeluk putranya erat-erat sekalipun Sabo dapat melihat bahwa kekuatan wanita itu melemah.
Sabo tidak mengucapkan apapun dan mengigit bibirnya kuat-kuat. Dia mematikan liontin yang merekam Rouge dan keluar sebelum Rouge menyadari keberadaannya.
.
.
.
"Elgia, serius, Uchū? Apa yang harus aku lakukan dengan Uta? Aku tidak punya informasi apapun tentangnya!" Sabo mengacak-acak rambutnya, tapi Uchū hanya melambaikan tangan dengan tidak peduli. "Bagaimana caraku meyakinkannya untuk memperbaiki hubungan dengan Shanks?!"
"Aku yakin kau akan menemukan caranya." Ucap makhluk itu sebelum menghilang entah kemana.
Sabo bertanya-tanya kenapa dia mau melakukan semua ini sebelum mengingat bahwa dia melakukannya demi Ace dan Luffy.
'Aku tidak akan membiarkan mereka mengalami kesakitan yang sama.'
.
.
.
[I had loved you.
To the end, to this day.]
Pada akhirnya, Sabo dan Uchū berhasil membawa Uta ke atas kapal Akagami no Shanks dengan kekuatan Uchū.
Sabo menarik napas lega, tapi itu sebelum Uta—yang baru saja menangis dan memukul Shanks dan berteriak pada pria itu—berkata bahwa dia akan menjadi Revolusioner.
"Jangan khawatirkan aku, papa! Sabo-neesan akan melindungiku, begitupun orang-orang di Revolusioner!" Uta tersenyum tanpa beban seolah-olah tidak membuat Sabo menjadi pusat pelototan dari kru Akagami no Shanks.
"Kau yakin? Kehidupan sebagai Revolusioner sangat berbahaya…"
Uta memutar mata, "aku yakin! Aku ingin membantu orang lain, dan nyanyianku bisa membuat orang lain bahagia!"
"… kalau begitu biarkan aku bicara dengan Sabo-san dan Dragon." Ujar Shanks dengan senyuman di wajahnya. Tapi Sabo bisa melihat peringatan didalam mata pria itu.
Sabo sangat tidak menantikan pembicaraannya dengan salah satu Yonko yang disebut Uchū akan mengubah dunia.
.
.
.
Setelah pembicaraan panjang dengan Shanks (yang membuat Sabo hampir meninju pria itu dengan hiken milik Ace), Uchū akhirnya membawa Uta ke Baltigo, membuat Sabo menghadap Dragon sebelum ditahan oleh Koala—karena makhluk sialan yang menariknya kedalam kegilaan ini lupa menjelaskan bahwa 'Sabo' yang masih berusia 20 tahun masih amnesia dan sekarang sedang dalam misi solo di kerajaan Kirikuma—dan akhirnya, akhirnya! Setelah beberapa jam—tahun? Hari? Sabo bahkan tidak mengingatnya—mereka akan pergi ke Moby Dick.
Sabo bertanya-tanya kenapa Uchū tidak membawanya ke masa kecil Ace, tapi makhluk itu hanya melambaikan tangan dengan ekspresi bijak yang membuat Sabo ingin mencabik-cabiknya.
"Ace tidak akan mau mengerti apa yang kau katakan, Sabo." Uchū berkata, tersenyum dengan bibir biru pucatnya. "Akan lebih baik jika kau bertemu dengannya yang sudah dewasa. Setidaknya dia akan mendengarkanmu."
Sabo mengingat bahwa Ace adalah anak yang penuh kepahitan sampai Sabo mengatakan bahwa dia mencintainya, begitupun Luffy. Tapi saat itu Sabo tahu bahwa Ace tidak mempercayai mereka. Dia masih belum bisa mempercayai mereka berdua, sekalipun mereka bertiga telah hidup bersama selama tiga tahun penuh—lima, jika menghitung pertemuan pertama Ace dengannya.
Lagi-lagi Sabo marah pada dirinya sendiri. Kenapa dia tidak mengingat lebih awal? Kenapa dia bisa melupakan Ace dan Luffy? Kenapa dia tidak dapat menyelamatkan kedua saudaranya?
"Kita hampir tiba. Bersiaplah untuk menghancurkan yami-yami no mi." Suara Uchū tiba-tiba penuh rasa jijik, dan Sabo merasakan rasa takut yang berputar di dalam perutnya. "Buang buah sialan itu ke lautan, biarkan Susanoo no Mikoto yang menyembunyikan buah itu hingga orang yang tepat muncul."
Sabo menarik napas dalam dan menggenggam pipa di punggungnya erat-erat.
'Ace, Luffy… aku harap kalian baik-baik saja setelah ini.'
[Even so, am I the one to put it to an end?
Your happy future, that I just wished for.]
Sabo menendang pria dengan baju putih-putih dan rambut coklat menjauh dari Marshall D Teach yang ingin menusuk pria itu dari belakang.
"Apa—"
Tanpa membuang waktu, Sabo membiarkan pisau Teach menembus tubuhnya sebelum meremukkan kedua tangan bajingan itu dengan cakar naga.
Teach memucat dan berteriak kesakitan, membuat Sabo menarik leher Teach dan mencekiknya kuat-kuat. Melihat ekspresi menyedihkan bajingan yang sudah membunuh Ace dan Luffy membuat Sabo merasa muak.
"Menjeritlah, Marshall D Teach, karena yang datang membunuhmu bukanlah saudaraku. Mereka akan kesulitan dalam membunuhmu dengan tangan dingin. Aku tidak akan kesulitan melakukannya."
Sabo menghindari serangan dari belakangnya dan menarik leher Teach, tidak membiarkannya lepas sedikitpun. Dia lengah sekali dan nyawa Luffy menjadi bayarannya. Sabo tidak akan mengulangi kesalahannya dengan membiarkan Teach kabur.
"Siapa kau? Kenapa kau menyerang kru kami?"
Tawa pahit yang berkumpul di mulut Sabo terlepas begitu saja. "Kau ingin melindungi pengkhianat? Dia hampir membunuh salah satu komandan kalian, dan kau ingin melindunginya?"
"Thatch?"
"Dia mengatakan yang sebenarnya. Teach ingin membunuhku dari belakang—dia menendangku menjauh sebelum Teach menusukku." Seseorang mengeluh, tapi Sabo tidak melirik pria itu. Dia bergantung pada observasion haki untuk mengetahui apa yang mereka lakukan di sekelilingnya.
"Lepaskan dia, nona. Kami akan mengurus pengkhianat di kapal kami dengan aturan kami."
Sabo mengeratkan cekikkannya pada leher Teach, membuat wajah bajingan itu semakin pucat karena kurangnya pasokan udara. "Tidak. Aku datang untuk membunuhnya, dan dia harus mati. Nyawa untuk nyawa, komandan. Dia membunuh kedua saudaraku, menyentuh rekan adikku dan sahabatku."
"Kami mengerti kau ingin membalas dendam, tapi—"
"Dia membunuh kedua saudaraku, membuat mereka menderita sebelum kematian datang menjemput. Aku akan membunuh bajingan ini," Sabo menatap Teach yang balas menatapnya dengan menyedihkan sebelum tersenyum jelek. "Tapi tidak dengan cepat. Aku akan membuatmu menderita sebelum kematian datang menjemputmu, sialan."
"Nona, ayo kita bicarakan ini baik-baik, lepaskan dia, yoi."
Kekuatan mera-mera no mi bangkit dan Sabo mengepalkan tangan, membiarkan api berkumpul di satu titik sebelum meninju dada Teach dengan hiken. "Maaf, komandan, tapi aku tidak bisa melepaskannya. Bajingan ini harus mati hari ini juga."
Jeritan Teach menyakitkan telinga, tapi Sabo memilih untuk menikmati jeritan kesakitan Teach diatas tarikan napas tajam para komandan divisi bajak laut Shirohige yang melihat teknik yang digunakan olehnya.
"Sakit! Sakit! Lepaskan aku! Biarkan aku pergi, aku mohon! Maafkan aku! Kumohon lepaskan aku!"
Sabo tanpa ampun membakar tubuh Teach, mulai dari tengkorak kepalanya hingga ujung jari kakinya. "Matilah dalam rasa sakit, Marshall D Teach." Bibir Sabo membentuk senyuman ketika jarinya membentuk cakar naga dan meremukkan kepala bajingan itu hingga hancur.
Api dari kekuatan mera-mera no mi membakar semuanya hingga menjadi abu. Bahkan tidak menyisakan satu tetes pun darah Teach.
Sabo menikmati saat-saat kematian Teach sebelum mengalihkan atensinya pada bajak laut di sekitarnya yang menyiapkan senjata. Teriakan Teach sebelumnya menyebabkan para komandan divisi dan kru mereka datang untuk melihat.
"Siapa kau dan darimana kau mendapatkan kekuatan itu?"
"Oi, Izou! Apa yang terjadi?!"
"Teach berkhianat dan nona ini membunuhnya." Pria dengan yukata dan riasan wanita—yang Sabo ingat sudah mati karena melawan Kaido—mengendikkan pistol ke arahnya. "Entah dengan alasan apa, dia memiliki kemampuan yang sama dengan Ace."
"Huh?! Apa maksudmu?! Dia bisa menggunakan hiken?!" Sebuah suara dengan nada yang Sabo ingat berkata.
Ketika Sabo mengangkat kepala, dia langsung bertatapan dengan mata hitam keperakan yang sama persis dengan milik Roger dan wajah yang amat sangat familiar hingga rasanya menyakitkan.
Wajah dari saudaranya yang sudah tiada.
Sabo hampir menangis melihat Ace yang masih hidup, bernapas, dan berdiri didepannya tanpa satupun luka di tubuhnya.
[To the fact that I laughed in a world that you were in,
To the fact that you resented the future that you saw,
To your voice, warmth, attitude, everything you loved…]
"Apa—hey!" suara di belakangnya berteriak dan Sabo menoleh tepat ketika Uchū melemparkan buah yami-yami no mi kedalam lautan. "Apa yang kau lakukan?!"
"Tujuan tercapai. Saatnya kau memberikan liontin yang kuberikan, Portgas D Sabo. Kita harus pergi setelahnya, kalau tidak, ini semua akan sia-sia." Bibir pucat Uchū berkata dan makhluk itu menembus semua orang yang menghalanginya layaknya hantu. "Aku telah bermain dengan waktu untuk membawamu sejauh ini."
Sabo mengeraskan rahang dan mengepalkan tangan, mendadak merasa sangat marah. "Kenapa kau membawaku kesini kalau pada akhirnya aku akan mati, lagi?"
Uchū memiringkan kepala, "jiwamu tidak seharusnya berada disini. Aku hanya meminjammu dari dewa kematian untuk memperbaiki waktu dunia ini. Apakah kau sudah lupa bahwa tubuh aslimu sedang sekarat sebelum aku membawamu?"
Suara teriakkan penuh rasa duka dengan tawa keji terdengar jauh di telinga Sabo. Samar-samar, Sabo kembali mengingat darah hangat adiknya yang membasahi sarung tangan coklatnya, mengingat tubuh lemas yang mulai mendingin, detak jantung yang tidak lagi terdengar dan—
Sabo berkedip, tiba-tiba merasakan pipinya basah. Suara ombak dan burung yang terbang di lautan terdengar samar-samar, begitupun suara orang-orang di sekeliling mereka.
Sebuah tangan dingin membekukan setetes air mata yang membasahi pipi Sabo. Di depannya, Uchū tersenyum dengan tatapan penuh pengertian. "Kau tidak lagi terikat di dunia ini, Portgas D Sabo."
"… Sabo? Apa maksudmu dengan Portgas D Sabo?"
Suara Ace membuat Sabo menoleh dan melihat saudaranya—hidup, bergerak, bernapas dan tidak dingin, mati, kaku—yang balas menatapnya. Ekspresinya antara marah dan tidak percaya dan bingung.
Tiba-tiba Sabo sadar bahwa waktunya mungkin sudah tidak lama lagi—mengingat Uchū berkata bahwa sudah saatnya Sabo pergi, entah kemana.
Mata Sabo memperhatikan Ace dan para komandan bajak laut Shirohige yang mengelilinginya, menatap ekspresi khawatir mereka pada Ace, juga sikap waspada mereka yang terarah padanya.
"Hanya Marshall D Teach? Bagaimana jika kru bajingan itu yang membunuh saudaraku kali ini?"
"Hanya Marshall D Teach dan yami-yami no mi." Uchū meyakinkan, dan Sabo menutup mata, membiarkan setetes air mata kembali jatuh dan membeku di pipinya sebelum membukanya lagi.
"Baiklah." Gumamnya sebelum berbaik menatap Ace.
[Goodbye.]
Sebuah senyuman penuh rasa rindu terbentuk di bibir Sabo, dan dia menatap wajah Ace yang tidak jauh berbeda dengan ingatannya saat masih kecil. "Sudah lama sekali ya, Ace. Kau sudah tumbuh dengan baik."
"Tidak, itu tidak mungkin… Sabo sudah mati, Dogra melihatnya sendiri! Kau tidak mungkin Sabo!"
Sabo tidak menanggapi perkataan itu dan tetap tersenyum, secara perlahan melangkah mendekat.
Ace terlihat jelas berjuang untuk tetap di tempatnya dan tidak langsung menerjang Sabo—entah untuk memukulnya atau memeluknya.
"Uchū memintaku memberikan ini untukmu, Ace. Kurasa kau akan tidak percaya, tapi makhluk itu membawaku mengelilingi waktu, jadi aku bisa merekam ini dan memberikannya untukmu." Sabo berhenti tepat di depan Ace. Secara perlahan mengambil tangan Ace dan meletakkan kalung dengan liontin yang digunakannya untuk merekam Roger dan Rouge di atasnya. "Terima kasih, karena sudah hidup."
"Ini—Sabo? Kau masih hidup selama ini?" Ace mengangkat tangan dengan gemetar, tapi Sabo melangkah mundur sebelum Ace menyentuhnya. "Sabo? Kau ingin pergi? Tanpa mengucapkan apapun?"
Api mulai berkobar di kulit Ace, tapi Sabo tetap melangkah mundur sambil menahan air matanya hingga tangan dingin Uchū menyentuh punggungnya.
"Saatnya pergi, Portgas D Sabo."
Sabo menelan ludah dan tersenyum pada Ace yang terlihat hampir menangis.
"Sa—"
"Aku senang bisa bertemu lagi denganmu, Ace. Maafkan aku karena aku tidak bisa menjelaskan apapun sekarang."
Sesuatu di dalam dada Sabo membeku dan menyebar ke seluruh tubuhnya secara cepat. "Kita akan bertemu lagi, Ace. Aku janji. Cobalah untuk tetap hidup hingga saat itu terjadi, oke?"
"Sabo!"
Teriakkan Ace adalah hal terakhir yang Sabo dengar sebelum dia tidak merasakan apapun lagi.
.
.
.
END.
.
.
.
Omake.
Ace memutar liontin yang Sabo berikan padanya sebelum menghilang ketika jarinya tidak sengaja menekan sesuatu. Dengan segera didepannya mulai terbentuk gambar yang hampir membuatnya menghancurkan liontin di tangannya.
Sosok raja bajak laut sebelumnya, Gol D Roger, muncul dengan keadaan terantai dibalik jeruji besi. Ekspresinya terlihat seperti sedang melamun, tapi rasa sayang dan bangga masih dapat terdengar dari suaranya.
"Hm… apa yang akan aku katakan pada anakku jika aku bisa bicara padanya? Aku akan mengatakan bahwa aku mencintainya, dan aku akan bangga dengannya. Aku harap dia dapat menemukan kebebasan seperti yang aku temukan."
Ace terdiam kaku di tempatnya. Dia bahkan tidak tahu apa yang harus dirasakannya ketika melihat keadaan ayah biologisnya.
Gambaran itu bergetar beberapa kali sebelum gambar lain muncul menggantikan Gol D Roger.
Seorang wanita berambut pirang terlihat berjuang untuk memeluk bayi yang baru lahir. Kelelahan terlihat jelas di wajah dan tubuh wanita itu. Tapi tatapan penuh cinta untuk bayi di dalam pelukan wanita itu tidak dapat disembunyikan.
"Ace, putraku, anakku dan dia, aku sangat mencintaimu, amat sangat mencintaimu, anakku. Maafkan ibu, maafkan aku karena tidak bisa berada disampingmu, anakku, aku tidak bisa melindungimu dan melihatmu tumbuh, maafkan aku, anakku… tapi Ace, kau harus tahu bahwa ibu sangat mencintaimu."
Wanita itu menangis, dan gambaran itu terhenti bersamaan dengan air mata yang meleleh di pipi Ace.
Matanya terpaku pada liontin yang diberikan oleh saudari se-sumpahnya sebelum menghilang begitu saja bagaikan debu tertiup angin.
"Aku senang bisa bertemu lagi denganmu, Ace. Maafkan aku karena aku tidak bisa menjelaskan apapun sekarang." Sabo berkata sebelumnya. "Kita akan bertemu lagi, Ace. Aku janji. Cobalah untuk tetap hidup hingga saat itu terjadi, oke?"
'Apa yang dia maksud dengan itu? Kenapa dia pergi begitu saja dengan orang itu?' Pikir Ace, masih merasa marah pada Sabo tapi mulai mengerti bahwa dia pasti punya alasan.
"Ace, yoi! Kau harus lihat ini!" Marco mendobrak pintu kabin Ace dengan Thatch dibelakangnya. "Kami menemukannya!"
Ace langsung melompat bangun setelah memastikan bahwa kalung yang Sabo berikan terpasang dengan baik di lehernya. "Dimana dia?!"
Thatch memberikan selembar kertas buronan padanya, membuat Ace langsung membuka dan melihat foto Sabo yang terpasang dengan kalimat 'DEAD OR ALIVE - Kepala Staff Pasukan Revolusi - SABO - 602.000.000 berry'.
"Haruta mendapatkannya setelah menyerbu amarda angkatan laut bersama Vista. Sepertinya mereka tidak menyebarkan informasi buronan mereka secara terang-terangan."
Ace memperhatikan kertas buronan Sabo, kemudian menatap saudara-saudaranya. "Aku harus menemuinya."
Marco dan Thatch bertukar pandangan. "Kami akan membantumu, yoi."
"Yah, Sabo-san menolongku. Tanpanya mungkin saja aku sudah mati sekarang. Aku harus berterima kasih padanya secara langsung." Jawab Thatch.
"Terima kasih, karena sudah hidup." Suara Sabo terdengar, dan Ace mendapati bahwa dia juga bersyukur karena masih hidup hingga sekarang.
Melihat Thatch dan Marco sekarang, rekaman yang diberikan Sabo, dan dirinya yang berada di Moby Dick, Ace tahu bahwa dia dicintai.
[A parent's sin is not their child's sin.]
.
.
.
Real End.
A/n:
AKHIRNYA SELESAI! Ditengah-tengah badai tugas, akhirnya aku menyelesaikannya!
Aku tidak akan bicara banyak. Aku hanya ingin bilang terima kasih sudah membaca.
Salam, Ziandra.
Rabu, 20 September 2023.
