19
.
Dua minggu setelah Hermione mendengar kabar bahwa Theodore Nott akan menjadi seorang Menteri Sihir, tibalah hari dimana Voldemort benar-benar menobatkannya disertai dengan pesta pora luar biasa di Atrium.
Setelah dua tahun berlalu, Hermione melihat Theo. Lelaki itu memiliki penampilan yang berbeda dari terakhir ia melihatnya. Bukan wajah sendu dan penuh dengan kekhawatiran, Theo kini bertransformasi dengan pembawaan lebih matang, sigap dan lebih berwibawa. Hermione menatap punggungnya yang tegap. Selama dua jam ia berada di Pesta itu, Hermione tak sekalipun menangkap matanya.
Apakah surat-surat itu hanya lelucon baginya? Seperti melakukan sebuah percobaan bahwa kata-katanya masih berarti sesuatu bagi Hermione?
Karena jika memang ia berniat demikian, tentu saja dia telah gagal. Dia tak akan semudah itu melupakan dan tak cukup sinting terlibat dalam permainan gila yang berbahaya. Sudah cukup dengan emosi Draco yang sulit dikendalikan beberapa waktu belakangan, dia tak ingin membuat masalah baru yang mempertaruhkan hidupnya atau siapa pun.
"Kehamilan benar-benar cocok padamu," kata Pansy, yang entah dari mana muncul di sisinya. Hermione mendengus, membayangkan seribu galleon uang Malfoy yang ia lepaskan untuk memesan gaun hijau satin dengan bahu dan punggung yang terbuka. Gaun itu menyapu lantai, dengan pancaran memukau menyilaukan di bawah cahaya dan bersinar dalam kegelapan.
Hermione masih sibuk dengan lamunannya.
"Jangan terus-menerus menatapinya, Hermione." Ujar Pansy dengan bisikan tajam dari sudut bibirnya. Matanya bergerilya, memerhatikan sekeliling, seolah-olah ia takut obrolan mereka akan di dengar. "karena kuyakin dimana pun Draco berada, dia terus mengawasimu."
"Aku tidak tahu apa maksutmu,"
"Oh, jangan berpura-pura denganku, sayang." Kata Pansy, lalu ia menambahkan lebih pelan, namun tak mengurangi kesinisannya. "kau bisa membakar punggung Theo dengan tatapanmu."
Hermione tidak menanggapi pernyataan satu itu. Toh, dia memang melakukannya dengan atau tanpa kesadaran. Namun dia menerima peringatan itu dengan matang. Draco selalu senang dia berbaur pada lingkungan mereka saat ini, namun dia tak pernah menoleransi segala perhatian yang Hermione berikan pada pria lain.
Mungkin karena bagaimana dia tumbuh, Hermione menyimpulkan. Menjadi lelaki dan seorang pewaris tunggal memberikannya sifat itu. Dia menjadi pribadi yang cenderung tak ingin tersaingi, tak berbagi dan terbiasa sebagai pusat perhatian.
Ketika Pansy berlalu untuk berbincang dengan salah satu kawan Prancisnya, Hermione kembali ditinggalkan sendirian di sudut. Dia mencoba menyibukan diri dengan minumannya. Semenjak kehamilannya, ia tak pernah lagi menyentuh alkohol.
Para wanita pada komunitas ini seperti mempunyai sebuah kewajiban untuk sekedar menghampirinya, memberikannya senyuman paling lebar dan tentu saja—palsu—memberinya pujian betapa sempurna penampilannya. Dengan baju berupa-rupa, perhiasan yang tentu saja bertujuan sebagai ajang persaingan. Hermione merasakan rasa mual menggelegak di kerokongannya, mungkin efek dari kehamilan.
"Nyonya Malfoy," sapa seseorang yang tidak dikenalnya, lelaki paruh baya dengan pakaian yang rapi. "bolehkah aku meminta waktumu?"
Ada sekelumit firasat buruk, namun ia kesampingkan. "Dan kau...?"
Lelaki itu mencuri pandangan sekeliling, membuat Hermione semakin enggan untuk terlibat lebih jauh. Lalu ia mengulurkan tangan, Hermione setengah ragu menyambutnya. "Paul Habbit, Penasehat Menteri yang baru."
Hermione sontak melepaskan tangan itu, dia menatap sekeliling dengan hati-hati, sebelum melangkah maju dan memastikan suaranya tak di dengar telinga siapa pun di ruangan itu. "Sunggu sebuah kehormatan, Tuan Habbit"
"Alangkah baiknya jika kita membangun kolega—"
Hermione mengangkat alisnya dan memotong dengan tangkas. "Sampaikan pada tuanmu, Paul, bahwa apa pun yang ia tawarkan, aku tidak tertarik."
"Nyonya, kumohon." Sergah Paul, ketika Hermione mencoba melenggang pergi. Dari sorot matanya menunjukan rasa kekhawatiran, namun dia dengan sangat sempurna menyembunyikan hal itu dari gesturnya. "tidak akan memakan waktu lama, kuyakin kau akan tertarik dengan ini."
"Kau belum mengenal suamiku rupanya, Tuan Habbit." Hermione kembali menghadapnya, dia mengelus perutnya. "maka akan kuberi tahu, bahwa seorang Draco Malfoy tidak akan menyukai jika istrinya harus pergi dengan pria lain, berbicara dari balik pintu yang tertutup—" Hermione mengangkat tangan ketika Paul hendak memotongnya. "—tentu saja Sang Menteri tidak akan secara terang-terangan berbicara denganku, karena tidak ada hal penting apa pun yang bisa kita bicarakan kecuali omong kosong."
Hermione menatapnya beberapa saat, lalu berbalik dan hendak melangkah pergi.
"Ini tentang Order, Nyonya."
Tentu saja, tombol yang tepat. Theo mengenalnya dengan cukup baik.
"Akan terjadi sapu bersih pegawai Kementerian yang menjadi agen ganda Order. Apakah sang Jenderal, suamimu tersayang, juga memberitahumu hal itu?"
Hermione berbalik, jantungnya berdegup tak karuan, namun ia mengendalikannya dengan sempurna. Ia terkesima ketika jemarinya merambat naik untuk menyentuh dasi lelaki itu tanpa gentar, walaupun kepalanya pening dipenuhi keinginan untuk berontak.
"Jika kau tetap mencoba bicara denganku, maka aku akan dengan sangat mudah membuka mulut pada suamiku tentang hal-hal terlarang yang kaucoba bicarakan. Seperti—siapa nama lelaki itu, Kenny Walters?—yang mendapat hukuman potong lidah karena membicarakan hal yang tidak seharusnya."
Wajah Habbit memucat. Hermione berbalik, melanjutkan langkahnya yang tertunda. Hatinya sama sekali tidak merasa lega atas ancaman yang ia lontarkan, walaupun ia berhasil membuat lelaki aneh itu tutup mulut.
Hermione masih mampu mendengar dengan jelas degup jantungnya dan rasa sesal yang mengganderungi pundaknya. Dahaga informasi akan Order menggelegak. Ada saat-saat dia berpikir akan membayar dengan apapun demi mendapat sejumput berita dari kawanannya. Namun kali ini, dengan beban bahwa bukan hanya hidupnya saja yang ia pertaruhkan—tapi bayinya—Hermione harus menahan diri.
Dia adalah Nyonya Malfoy, setelah semua yang terjadi.
Ketika ia berada sendirian di lorong, seseorang menghampirinya, mengisyaratkan untuk mengikuti. Hermione menghela napas, melewati lorong temaram, dan memasuki sebuah ruangan. Rasa terintimidasi ini tak akan pernah usai.
Draco telah berdiri di tengah ruangan dengan segelas sampanye di tangannya. Mengangkatnya, mengisyaratkan Hermione untuk maju. "Kau pasti sudah mengenal Tuan Habbit, Hermione."
Hermione merasakan tangannya terkepal di kedua sisi tubuhnya. Dia mengerling pada sesosok pria yang baru saja beberapa menit yang lalu diusirnya dengan lugas. Tentu saja, dia lupa bahwa suaminya merupakan seorang manipulatif brengsek. Di balik gigi yang terkatup rapat, Hermione menjawabnya. "Kami sudah bertemu, ya."
Habbit menundukan kepalanya sesaat dan mengangkat gelasnya, memberi isyarat penghormatan padanya. Hermione hanya menatapnya. Draco menawarkan tangannya, Hermione tak mempunyai nyali untuk berontak, walaupun rasa panas menggelegak di kerongkongannya.
"Aku menyayangkan bagaimana cara kalian berkenalan. Bagaimana pun juga, bertahun-tahun berada dalam Anggota Inti memberi pengalaman khusus untuk selalu melakukan uji kelayakan jika kau ingin mempercayai seseorang sepenuhnya."
Draco merengkuh pinggul Hermione, membawanya pada pelukan singkat. Hermione memejamkan matanya ketika Draco mencium pucuk kepalanya.
"Habbit akan menjadi Kepala Departemen Pelaksanaan Hukum Sihir, yang kautahu betul, bahwa langsung bertanggung jawab di bawah—"
"Menteri Sihir, ya." Sambung Hermione. Fakta yang jelas bahwa dia bukanlah Penasehat Menteri.
"Brilian, kan, Habbit?" tanya Draco dengan senyum arogannya yang khas, menatap Habbit. Lelaki gemuk itu dengan sigap menimpalinya. "Kau sudah tahu betapa cerdik istriku, tak heran jika ia mendapat julukan Penyihir Paling Cerdas pada masanya."
"Tentu, Jenderal, tentu." Habbit mengangguk.
Mata Draco kembali pada Hermione, pancaran matanya penuh ambisi dan gairah. "Bagaimana menurutmu, sayang? Kementerian?"
Hermione tidak lambat dalam mencerna untuk sekedar memahami kemana arah pembicaraan ini. Namun ia merasa bingung, kenapa Draco menginginkan dia berhubungan dengan Kementerian Sihir? Jika dia tidak salah menduga, Draco ingin dia berada dalam sistem pemerintahan.
"Oh, tentu saja tidak untuk saat ini, Hermione." Ujar Draco dengan senyumnya—yang membuatnya tampak lebih berbahaya. Hermione sudah mengenalnya dengan matang, Draco dengan perangai seperti ini selalu mempunyai rencana besar di dalam kepalanya. "Kau akan tetap berada pada tugasmu sebagai istri dan ibu, namun bisa dipastikan telingamu akan lebih dulu mendengar tentang teman-temanmu, setelah aku, tentu saja."
Jadi, entah apa yang Draco janjikan—atau ancam—dia telah membeli kesetiaan Habbit. Dan motifnya memberi tahu Hermione akan kekuasaan itu, dia dengan jelas memahaminya.
"Aku ingin kau menyadari betapa aku peduli dan memperhitungkan kebahagianmu,"
Kebahagiannya tidak akan pernah di dapat selama ia berada di sini, apapun yang ia berikan, Hermione ingin membalas. Namun dia tahu jauh lebih baik, melawan Draco di muka umum merupakan suatu pelanggaran berat baginya. Draco tentu akan memberinya hukuman. Alih-alih, Hermione mencium pipinya, "Terima kasih, Jenderal."
Tangan Draco merambat, menyentuh perutnya. "Mengingat waktu persalinan istriku semakin dekat, aku tidak ingin mendengar ada keributan apapun, Habbit. Kurasa apa yang kuminta sudah cukup jelas?"
Habbit membungkukan badannya, memberi jawaban yang menjadi favoritnya pada malam itu; "Tentu, Jenderal. Semua akan sesuai dengan tatanan."
"Bagus, aku tak lagi meragukan riwayatmu dulu. Kau telah melayani Pangeran Kegelapan dengan begitu setia, kuharap kau selalu berlaku demikian dengan tuanmu yang lain."
Draco tak menunggu jawaban lelaku itu, dia menuntun Hermione menuju pintu. Saat mereka sampai di koridor yang sepi, dimana ingar bingar pesta terdengar samar, seorang muncul dari cahaya temaram. Tampaknya ia telah menunggu mereka berdua.
Sosok itu mengenakan topi bowler, dengan gestur yang selalu menunduk—Hermione tak pernah melupakan ciri khas itu. Cengkramannya pada lengan Draco menguat. Suaranya tersekat ketika ia berbisik tak percaya. "Falcone?"
Falcone berdiri sejajar dengan Draco, sebelum dia melipat salah satu lututnya dan bersimpuh di hadapan mereka. "Kembali untuk melayanimu, Nyonya Malfoy,"
Hermione menutup mulutnya, air mata jatuh di pipinya. Falcone adalah kenangan ketika ia masih menjadi Hermione Granger yang tak diliputi rasa amarah, dendam dan ambisi. Falcone adalah sosok yang mengingatkannya akan masa lalu yang tak dibubuhi oleh kebencian mendalam akan hidupnya, dimana ia masih bisa menikmati hari-harinya tanpa ada rasa ingin mengakhiri hidupnya.
Falcone pernah menjaganya dan putranya.
Hermione mengira, setelah kejadian penyerangan pada malam itu, Draco juga menghabisinya akibat kegagalan dalam menjaganya.
"Kau memang berpikir aku bengis, namun kau lupa aku tidak buta. Bellatrix adalah otak dari penyerangan itu, aku tak akan menghabisi pelayan setiaku karena kesalahan orang lain." Ujar Draco di sisinya.
"Kemana saja kau selama ini?" tanya Hermione pada Falcone. Lelaki yang pernah melayaninya dengan setia itu sesaat mengerling pada Draco, ketika Draco mengangguk samar, ia menegakan tubuhnya, siap membuka mulutnya.
"Setahun belakangan, Jenderal Malfoy menugaskanku untuk ikut pada garda depan peperangan untuk menyisir Eropa Timur." Ujar Falcone. "yang mana sebagian besar adalah orang-orang setia Barnaby Greengrass, peranku untuk mengawasi. Ketika terjadi pemberontakan atau taktik bawah tanah tanpa sepengetahuan Jenderal Malfoy—"
"—kau bertindak sebagai algojo." Lanjut Hermione dengan suara yang getir.
"Dengan penuh kepercayaan dan tanggung jawab, ya." Kata Falcone tak gentar, bahkan tak keberatan dengan raut wajah Hermione yang berubah saat menatapnya. "Pangeran Kegelapan selalu memberikan kesempatan emas bagi para pengikutnya, Nyonya."
"Apa yang ia berikan padamu?"
"Aku mendapatkan tempat yang jauh lebih baik, diizinkan bersatu dengan keluargaku." Kata Falcone, lalu ia menunduk dan sedikit mencondongkan dada kirinya, tersemat beberapa lencana perak dengan lambang yang sudah ia kenal betul. Lambang yang sakral pada era ini.
Hermione masih menatap lencana itu, perasaannya campur aduk.
"Mereka akan menguburku dengan upacara penghormatan jika aku mati dan memberikan tunjangan pada keluargaku."
"Aku ikut berbahagia, Falcone." Ujar Hermione, tidak bersungguh-sungguh dengan kata-katanya. "Apakah ini berarti kau tidak bisa lagi melayaniku?"
"Tentu saja Falcone kembali untuk melayanimu, Hermione." Ujar Draco, Hermione mengapresiasi kesabarannya untuk tetap diam dan memberikan Falcone kesempatan untuk bicara. "aku telah membebas tugaskan Falcone dari urusan perang dan pemerintahan."
Masih ada kabut yang menyelimuti benaknya, entahlah, mengetahui apa yang telah Falcone perbuat dan membiarkannya menjaga dirinya dan anaknya kelak—ide tersebut tidak lagi menggairahkan baginya.
Ketika Hermione tidak berkomentar apapun, Draco merangkulnya dan menuntun berjalan di lorong temaram. Falcone bangkit dan dengan patuh mengikuti tanpa suara. Hermione tidak bisa menyembunyikan kegelisahan di wajahnya.
Kegelisahan masih mengganderunginya.
Hingga malam mereka tertidur dengan pundak sejajar, Hermione merasakan dadanya sesak, naik turun dengan usaha yang ia lakukan untuk bernapas. Ia merasakan kejang pada perutnya, sesuatu yang belum pernah ia rasakan, karena biasanya bayinya hanya melakukan gerakan ringan pada perutnya. Hermione mendengar napas teratur Draco di sisinya. Ia langsung terlelap setelah mereka menjatuhkan diri di atas tempat tidur, bahkan melewatkan momen untuk memeluknya pada malam itu.
Hermione membelakanginya, menyembunyikan rasa nyeri yang menjalar pada perut dan sekujur tubuhnya. Dia memejamkan matanya, merasakan peluh keringat menetes di pelipisnya. Rasa sakit ini semakin kuat—tak tertahankan—hingga Hermione mengerang.
Hampir semalaman ia menahan rasa sakit dalam keheningan. Hermione menatap jendela kamar mereka, langit biru tua yang lama-kelamaan berpendar semakin terang, menandakan bahwa fajar hampir menyingsing. Dia ingin bertahan lebih jauh, menimbang rasa panas yang ia dapat di sekujur tubuhnya akan lebih baik jika ia membasuhnya dengan air dingin.
Hermione bangkit dengan susah payah, menggigit jeritan yang sangat ingin ia keluarkan. Dia melirik Draco yang masih tertidur tenang di sisinya. Suaminya begitu tampan, begitu khidmat. Apakah yang akan dia lakukan jika mengetahui seberapa sakit ia saat ini?
Hermione begitu mengagumi wajah itu, sekaligus terkesima dengan rasa bagaimana jika ia mencekik lehernya. Dia layak, pikir Hermione geram. Draco telah menciptakan banyak kesengsaraan, penderitaan, dan keterpaksaan dalam hidupnya. Draco telah merenggut segala kebebasan dan pilihan. Rasa benci menggelegak hebat di pembulu darahnya, mengingat bagaimana dia memamerkannya di malam-malam perayaan, seperti ia sebuah trophy hasil perburuan yang ia dapatkan.
Dia memaksanya menjadi seorang Malfoy, mengandung anak-anaknya dan pernah melayangkan tangan padanya ketika malam-malam sulit menimpa Hermione.
Kau tidak mencintaiku, bajingan. Hermione melafalkan kalimat itu saat menatapnya tanpa suara.
Hermione berjalan tertatih menuju kamar mandi, menutupnya dengan sangat hati-hati. Tidak ingin membangunkan naga yang tidur. Tangannya merambat, menyusuri bathup yang dingin, lalu memanjat naik. Rasa sakit di perutnya semakin tak tertahankan. Lalu Hermione merebahkan diri di atas bathup dan menyalakan air keran. Kulitnya seperti membeku mati rasa. Seolah semua rasa sakit itu telah direnggut, berpusat pada perutnya.
Suara air bergemericik memenuhi ruangan. Hermione merasakan rambutnya yang basah dan air yang dingin perlahan-lahan naik hampir menyentuh dagunya. Menyaksikan dengan khidmat ketika air itu berubah merah.
Hermione menelan ludah, ia meremas kelopak matanya agar tertutup.
Dia menghitung mundur, namun belum sampai pada angka terakhir, kesadaran direnggut paksa darinya.
Sampai mimpi itu datang lagi.
Mimpi lama yang sama
Ketika Hermione membuka matanya, wajah Draco yang pertama kali dilihatnya. Sosoknya samar, hingga perlahan kabut yang menghalangi pandangannya menghilang sepenuhnya.
"…Hermione,"
Dadanya sesak, lehernya tersekat. Kerongkongannya kering, ia ingin mengeluarkan suaranya untuk meminta segelas air. Tapi terlalu menyakitkan—apakah Draco mencekiknya? Dia sudah tak melakukannya dalam waktu yang lama. Namun samar-samar, rasa itu familiar.
Dia melihat seisi ruangan dipenuhi dengan perempuan berbaju hijau berlalu lalang. Apakah mereka semua tidak ada yang berniat untuk menyelamatkannya? Menolongnya? Melihatnya bertarung, bahkan untuk mengeluarkan beberapa patah kata?
Tubuhnya kebas, namun ia merasakan keringat mengalir di dahinya. Draco dengan lembut menyeka tetesan itu, membuatnya begitu ingin bertanya apakah Pangeran Kegelapan yang kali ini menyuruhnya untuk menghabisinya.
Apakah seperti ini rasanya begitu dekat dengan kematian?
Kejadian-kejadian di masa lalu sekelebat bermain di benaknya, memutar banyak adegan yang menyakitkan. Hermione tak merasakan apapun, namun ia meneteskan air mata ketika ia teringat dengan anak lelaki terkasihnya yang pernah direnggut paksa darinya. Ketika Hermione harus diseret paksa untuk dibawa pada tempat perbudakan.
Ditinggalkan Harry. Ron.
Setidaknya dia tak lagi harus merasakan sakitnya kehilangan.
Draco telah menjadi abdi yang setia, tentu saja.
Hermione kembali membuka mulutnya, namun sebelum ia berhasil, kegelapan telah merenggut kembali kesadarannya.
.
"Hermione?"
Hermione membuka matanya, merasakah kelembapan pada kelopak matanya. Membutuhkan waktu dan usaha yang keras hingga kabut yang menyamarkan pandangannya menghilang. Hermione mengernyit, cahaya putih menyilaukan mengganggu pandangannya. Namun wajah Draco kembali muncul, menampakan raut lelah dan lega ketika ia menatapnya.
Apa yang terjadi? Dia ingin bertanya, namun kerongkongannya terlalu kering hingga terasa menyakitkan.
"Hermione,"
Hermione mengedipkan matanya perlahan sebagai respon.
Dengan lambaian telunjuknya—entah memberi perintah pada siapa—beberapa saat kemudian seorang perempuan mengenakan pakaian serba hijau datang. Draco menahan punggungnya agar ia bisa duduk. Perempuan tadi membawakan segelas air untuknya.
Hermione meminumnya tanpa harus diperintah. Ketika ia merasakan kesejukan air mengalir perlahan di tenggorokannya, mengirimkan gelombang ketenangan di otaknya, Hermione menyandarkan tubuhnya pada tempat tidur. Draco tak melepaskan sentuhannya.
Draco tak mengatakan apapun, nampaknya memberinya kesempatan untuk mencerna yang terjadi. Namun sebelum otaknya bekerja dengan baik, dua perempuan yang lain menghampiri tempat tidur mereka—masing-masing membawa dua bundal kain di pelukan—Hermione merasakan rasa mual membumbung seketika.
"Aku akan memperkenalkanmu dengan mereka, Leo dan Lyra."
Kedua perempuan itu mendekat dan membungkuk, memperlihatkan pada Hermione wajah merah dan ranum kedua sosok kecil dalam balutan kain yang terlihat hangat. Air matanya tak terbendung—Hermione bahkan tak tahu—yang mana Leo atau Lyra diantara mereka. Mereka mempunyai ciri-ciri yang hampir sama, Hermione menangis sesunggukan karena merasa bersalah tak mengenali buah hati yang telah menempati tubuhnya selama hampir sembilan bulan lamanya.
"Mereka sangat indah, Hermione."
Fakta bahwa ia pernah mengandung anak kembar dan tak diketahuinya, membuatnya takjub. Dia tak mampu berkonsentrasi lebih jauh karena pikirannya masih sibuk dengan memperhatikan satu persatu dari mereka.
Begitu kecil, rapuh—dan aman. Sempurna.
Hermione menggapai salah satu dari mereka.
"Lyra melewati malam yang panjang," ujarnya. Hermione merasa iri pada kemampuannya yang telah lebih mengenal anak-anak mereka.
"Tentu saja," ujar Hermione di sela-sela isakannya. Lalu dia mengerling pada anaknya yang lain, Leo. Sekejap ia telah melupakan sakit hatinya pada Draco yang tak memberinya kesempatan untuk ikut memilih nama bagi anak mereka. Hermione sudah menduganya bahwa Draco mempunyai pemikiran dan rencananya, namun tak telintas di benaknya, bahwa ialah yang akan diperkenalkan pada anak-anaknya.
"Apakah aku dibius?" tanya Hermione seraya menyeka air matanya. Draco mengambil Leo dari perempuan yang telah diketahui sebagai perawat di St. Mungo. Pandangannya masih pada Lyra. Sesekali ia melirik Leo.
"Karena kontraksi dan pendarahan hebat, beberapa prosedur harus dilakukan. Ya, kau dibius."
Anehnya ia merasa lega bahwa tindakan itu bukan berasal dari ego suaminya.
"Mereka memutilasimu, para Muggle itu."
"Bukan hal yang sia-sia," ujar Hermione, masih menatap takjub bergantian pada kedua anak mereka.
"Apakah kau yakin?"
"Kau tahu apapun yang terjadi, aku akan selalu berkorban untuk mereka, Draco."
"Tentu saja," Draco tak dapat lebih setuju lagi. "kau adalah ibu yang luar biasa bagi mereka." Ia terdiam sesaat, lalu menatap Hermione. "bagaimana menurutmu, Leo dan Lyra?"
Hermione mengurungkan protesnya, bukan karena nama-nama itu buruk, namun ia tak pernah sepenuhnya mendukung cara Draco dalam memberi keputusan padanya. Bahkan ia tak pernah diizinkan untuk memilih. Ketidak adilan itu yang membuatnya ingin bersuara, bahwa setidaknya dia mengajaknya untuk berdiskusi. Namun ia terlalu lelah—dan perlahan-lahan, rasa perih mulai merambat di area perutnya.
"Nama yang bagus, Draco."
"Mereka harus mendapatkan penanganan Muggle, dikembalikan pada tabung khusus agar tetap hangat dan terjaga, mengingat mereka lahir sebelum waktunya."
Hermione tak mempertanyakan persetujuan Draco dalam memberikan sepenuhnya kepercayaan pada Muggle dan alat-alat mereka untuk menjaga anak-anaknya. Draco akan membelah dunia dan membakar seisinya untuk itu, dan Hermione tak mempunyai banyak energi selain mendengarkan apa yang terjadi padanya dalam dua hari belakangan.
Bahwa Draco menemukannya setengah sadar di atas bak mandiyang penuh dengan air dingin—bersimbah darah—hampir menenggelamkannya hidup-hidup. Dia terlalu marah untuk menyadarkannya, hingga memutuskan membawa Hermione langsung ke St. Mungo. Ternyata Hermione tak mempunyai kekuatan yang cukup untuk menahan rasa sakit kontraksi yang amat hebat. Rasa sakit itu merenggut kesadarannya dalam proses persalinannya, karena bayi-bayi mereka harus segera dikeluarkan akibat menipisnya oksigen di dalam perutnya.
Hermione segera dilarikan ke rumah sakit St. Thomas di London. Akibat koneksi mereka, nyawa Hermione tertolong dalam hitungan beberapa menit saja, dengan terkendali ia sudah ada di atas meja operasi.
Hermione membayangkan betapa keruhnya suasana hati Draco pada saat-saat itu. Biasanya, Hermione selalu menjadi saksi bisu apapun yang ia lakukan sebagai pelampiasan. Namun ia menebak, apa yang sekiranya ia lakukan, jika dirinya tidak bisa menyertainya, seperti malam-malam yang lalu?
Banyak hal yang ia harus pelajari, bagaimana menggendong kedua anaknya dengan benar, bagaimana memberikan susu pada mereka. Dalam beberapa waktu, Hermione mampu mengenali kebiasaan putrinya, yang selalu menggerutu jika ia kelaparan. Sedangkan putra kecilnya begitu tenang, begitu damai. Hermione harus beberapa kali membangunkannya untuk menyusuinya.
Draco, masih dengan kesibukannya dengan urusan keseimbangan era baru pemerintahan, berusaha membagi waktu antara pekerjaan dan mereka. Hermione menatap mata lelah dan rambutnya yang keluar dari tatanan pada malam itu, menatap Hermione dari pintu. Kamar yang temaram membuat bayangannya menjulang. Lelaki itu tak menghampiri mereka.
Harinya jauh lebih berat, mungkin pemberontak yang lain muncul, ada banyak kemungkinan janggal yang dapat mengisi hari-hari Draco Malfoy. Namun setelah malam-malam yang ribut, penuh dengan hiruk pikuk dan melelahkan, Draco tidak pernah protes. Hermione lebih sering menghabiskan malam di kamar buah hati mereka, jika mengingat Draco adalah orang yang selalu menuntut untuk menjadi pusat perhatian, maka kini ia berubah sedemikian rupa.
Hermione telah menyelesaikan tugasnya, menyusui dan menempatkan satu persatu bayinya pada keranjangnya.
Lyracia Jean Malfoy dan Leonard Draco Malfoy
Nama itu terukir tajam dan jelas pada masing-masing ranjang mereka. Hermione menatap putra-putrinya. Mengawasi naik turun dengan lembut dada Lyra ketika ia bernapas, dan menilai bahwa Leo selalu mengubah posisi tidurnya dalam beberapa waktu singkat.
Dengan berat hati ia berjalan keluar ruangan dan menuju kamarnya. Sudah lewat tengah malam, sudah melewati batas waktu ia harus terjaga. Ketika Hermione membuka pintu kamarnya, ia mendapati Draco telah jatuh tertidur—masih dengan pakaian lengkap—berbaring pada dadanya. Tangannya bersembunyi di bawah bantal, bisa jadi masih bersiap dengan tongkatnya.
Hermione menghela napas panjang sebelum mengampirinya, membuka satu persatu sepatu kulit naga yang ia gunakan.
"Mereka sangat sempurna, Hermione," ujar Pansy, yang kala itu menghampirinya dan memberi kecupan pada pipi. Mata hitamnya terpaku pada dua balita yang terkungkung di dalam pagar pembatas, menghalangi mereka untuk merangkak di luar batas yang telah ditentukan. "lihat rambut itu—apa yang bisa diharapkan dari Malfoy?"
Ketika Hermione melihat arah pandangnya, pernyataan itu memang jelas. Apakah ada keturunan Malfoy yang terkait berdasarkan garis darah, tidak berambut pirang dan bermata biru-kelabu, seperti Para Malfoy pendahulu?
Hermione menatap Lyra, dengan rambut pirang yang sedikit bergelombang, sibuk bermain dengan pita-pita di bajunya. Sedangkan Leo berguling, berusaha keras untuk meletakan jari kaki ke mulutnya. Usaha itu sudah dilakukannya dalam sepuluh menit belakang, Hermione mencatat.
"Dan nama-nama itu, tapi siapa yang peduli?" Pansy masih bergumam, "kita bicara standar Draco, bukan salah satu nama Weasley yang norak."
"Pansy," Hermione mengingatkan. Pansy mengangkat tangan, namun cibiran tak sirna dari wajahnya.
Ketika ia menatap hamparan wajah-wajah yang bahagia, bertukar kabar dan lelucon—seolah Perang tak pernah ada—dadanya bergejolak. Ia tak pernah menginginkan Pesta Perayaan Kelahiran Anaknya dihadiri oleh Pelahap Maut manapun. Namun dia selalu diingatkan secara otomatis dengan sistem disetiap sarafnya, bahwa suaminya mempunyai lencana dengan tingkat paling tinggi dalam profesi itu.
Draco berjanji akan mengadakan sebuah Pesta ketika Lyra dan Leo berumur enam bulan di Aula Malfoy Manor. Ketika bayi-bayi pirang itu bisa merangkak kesana kemari, dan cukup lihai dalam menarik semua perhatian tertuju pada mereka, Hermione tahu bahwa dia telah kalah telak dalam berargumen.
Draco senang memberikan pertunjukan, dan para penyihir era ini senang menonton Opera. Keluarga mereka tak pernah absen dari kolom-kolom kabar spesial Daily Prophet, dengan Rita Skeeter yang terjaga dan tentram dalam suapan.
"Bagaimana rasanya menjadi seorang ibu?"
"Membuatku menghargai para Ibu,"
"Khas sekali, persis seperti kata-kata bijak yang keluar dari mulut Sang Hermione Granger."
Hermione tak menjawab. Namun beberapa hal mengganggu pemikirannya, bibirnya begitu gatal untuk bertanya.
"Apakah kau tahu mereka mencabut hak-hak perempuan untuk bekerja?"
Mulut Pansy berhenti di bibir gelasnya, dahinya berkerut. Bicara tentang dunia dan pemerintahan jelas bukan favoritnya. "Aku pengusaha, Hermione. Tak membutuhkan legalitas semacam itu."
"Ya, tapi sebagai seorang darah murni yang bebas kau pasti pernah mendengar hal-hal yang terjadi di Kementerian."
"Entahlah, mereka banyak membuat peraturan baru. Seperti melarang seorang perempuan untuk berpergian tanpa pendamping—"
"Apa? Bagaimana jika dia belum menikah?"
"Jika kau sudah dewasa, maka kau harus segera menikah untuk mendapatkan hak-hak itu."
"Itu bukan sebuah hak, Pansy. Itu sebuah pengekangan absurd!"
"Aku hanya memberi tahu apa yang terjadi," kata Pansy mengangkat bahu, melihat kuku-kukunya dengan acuh. "Kementerian yang kau jajaki bukan dipimpin oleh si Bijak Shacklebolt atau si Tua McGonagall yang mati-matian membela hak perempuan."
Hermione menatap sekeliling, menimbang banyak hal yang harus ia hadapi dengan tanggung jawab yang baru, menjadi seorang ibu.
"Ayolah, Hermione. Orang sinting mana yang membicarakan tentang pemerintahan di Pesta Perayaan anaknya?"
Hermione menghela napas, matanya menangkap sekelebat bayangan di seberang Aula. Rambut cokelat ikal yang ditarik rapi ke belakang, sesaat—ia bersumpah—hanya beberapa detik mata itu menangkap matanya.
Theodore Nott dalam barisan pemberi selamat. Pansy mengikuti arah pandang matanya. "Lelaki itu tak pernah lelah untuk mencari perhatian, kan?"
Hermione tak menggubrisnya. Pikirannya berkelana, mencari motif yang tepat tentang keberadaan sang Menteri Sihir, berada di rumah rivalnya. Sampai detik ini, selama enam bulan belakangan, Hermione tak pernah mendengar kabar baik mengenai hubungan Draco dan mantan teman seasramanya dulu.
"Apakah Draco cukup percaya diri untuk mengundangnya?"
"Menteri Sihir tak perlu undangan, Hermione." Ujar Pansy, hampir seperti lantunan. Dengan tepat mencerna arah pembicaraannya. "dan Draco Malfoy tidak tumpul nyali untuk mengundang siapa pun."
Tapi ini bukan lagi sebuah laga, sudah beberapa tahun lalu dan masa yang terjadi jauh berbeda. Masih banyak hal yang harus mereka pikirkan daripada bersiteru dengan lelaki yang pernah mengisi hati istrimu dan saat ini menjadi Menteri Sihir.
Hermione melirik Draco di sudut lainnya. Begitu tajam, lugas dan kesempurnaannya tanpa celah. Tangannya terlipat tegas di dadanya, terkadang salah satunya memberikan arahan pada kroni atau koleganya. Jemarinya yang anggun namun kokoh sesekali menunjuk, sesekali telunjuknya menopang dagunya dengan dahi berkerut, tanda bahwa ia mempertanyakan kebenaran dari sebuah fakta.
Suaranya rendah dan dalam, tak ada yang berani tak mengindahkan setiap katanya. Selalu menjadi pusat perhatian. Setelan pakaiannya tentu saja menjadi komposisi utama dalam hal itu, serba hitam namun tak membosankan. Membuat semua pasang mata selalu menatap dua kali atau tak dapat berpaling darinya.
Matanya siap menilai dan mengintimidasi siapa pun yang bicara dengannya.
Falcone kali ini berdiri dengan patuh di belakangnya. Seolah mengawasi setiap pergerakan mencurigakan yang tak diketahui tuannya. Di sebelahnya, berdiri seorang perempuan berambut panjang bergelombang keemasan, pakaiannya tak luput dari penilaian Hermione. Dengan gaun merah selutut yang tak memberi ruang pada lekuk tubuhnya, dan gestur tubuhnya—yang Hermione yakin—hanya akan kau lakukan ketika kau benar-benar berniat menggoda seseorang.
Sekretaris baru Draco memang sempat membuatnya iritasi, tapi tak ada lagi yang membuat Hermione khawatir. Jika Draco ingin bermain gila, tak pernah ada ruang baginya untuk peduli.
Hermione memutar cincin pernikahan warisan leluhur Malfoy di jari manisnya, bertanya-tanya bagaimana rasanya melepaskan cincin itu—dan merasakan kehangatan yang tak pernah ia rasakan selain dengan Draco—dengan pria lain.
Lamunannya teralihkan ketika mendengar rengekan lembut Lyra. Leo sudah berada pada gendongan salah satu pengasuh—Dorothy. Wajah putranya merah, menandakan ia kesal. Ketika Esma, pengasuh yang lain, ingin merengkuh Lyra, Hermione mengangkat tangannya. Dia membawa Lyra pada pelukannya, membuat bayi cantik itu terdiam seketika.
"Kau tidak pernah protes dengan keadaan apapun, sayang," bisik Hermione lembut, menepuk punggung putrinya penuh kasih. "jika kau sudah protes, maka waktunya kita pergi."
Hermione memberi isyarat pada kedua pengasuh itu untuk mengikutinya. Pansy mengangkat gelas, melepas kepergiannya. Setelah Hermione meletakan kedua bayinya pada Sayap Barat, tepat dimana seluruh tempat itu berada dalam kuasanya, ia merasakan kehadiran seseorang dari ujung koridor yang sepi dan temaram.
Ia menghentikan langkahnya.
"Tidak mengejutkan mengingat bagaimana kau selalu muncul dalam setiap pertemuan, Theo," kata Hermione tenang.
Theo berjalan mendekat, jantung Hermione berdegup semakin cepat. Tak terpikirkan olehnya betapa berani ia berulah di kediamannya.
"Pesta yang bagus, Hermione."
"Berkat suamiku,"
"Dan keramahannya untuk mengundangku."
"Apakah kalian kolega sekarang?"
"Kapan kita pernah berhenti?"
Hermione memiringkan kepalanya, menimbang. Theo tersenyum—lebih berbahaya karena efek cahaya yang menyinarinya.
"Sebaiknya kau tetap mempertahankan kemurahan hatinya, Theo. Kita semua tahu bahwa murka Draco tak tertahankan."
"Percayalah, aku pernah merasakan yang terburuk." Ujar Theo, seringai terbingkai di wajahnya. Ketika jarak mereka cukup dekat untuk berbagi udara, Hermione mendongak untuk menatapnya. Theo masih dengan tatapan yang menilai, mencerna dengan teliti segala hal yang ada pada dirinya, melanjutkan; "kau selalu tampak cantik, Hermione Granger."
"Itukah yang membuatmu selalu mencari perkara, berusaha untuk menganggu tatanan yang ada?"
Theo mendengus, menyipitkan matanya. "Tatanan apa? Apakah ini yang kau inginkan? Menjadi budak seks, alat pemuas, dan tempat berkembang biak?"
"Kau masih seorang bajingan, rupanya." Kata Hermione dari balik giginya yang terkatup rapat, emosi menggelegak di kepalanya, namun ia berusaha keras memainkan perannya. "apa yang bisa kuharapkan, Theo? Menjadi seorang selir, oh tidak, tapi pelacur, dariseorang kaki tangan? Menjadi pelacurmu? Apakah kau yakin, jika hal itu terjadi, saat ini kau tetap menjadi seorang Menteri?"
"Setidaknya kenaifan itu tak meninggalkanmu," kata Theo. "kau mungkin berubah, dijinakan, Draco selalu memamerkan. Namun aku menghargai prinsipmu untuk masih dalam ego, keras kepala dan kearoganan itu."
"Tak ada lagi yang ingin kusampaikan padamu, menyingkirlah."
Theo terkekeh, membuat panas dikepalanya seperti disiram oleh bensinperlahan-lahan. Lalu lelaki itu meletakan tangannya di dada, bermain lelucon bahwa hatinya sakit. "Apakah kau tidak ingin mendengar niat baikku?"
Otak di kepalanya mendidih.
"Aku selalu ingin menawarkan posisi yang baik untukmu, Hermione. Mengingat saat ini kau sudah dalam keadaan yang baik. Impianmu tentu saja tidak selamanya mengganti popok Para Malfoy kecil, iya kan? Aku mengenalmu, kau tidak sesederhana itu."
"Jika kau benar-benar mengenalku, maka kau tahu bahwa aku tidak bisa dikelabui dengan omong kosong apapun."
"Tapi bagaimana jika Dekrit pada Hak Perempuan dicabut? Kau bisa dengan bebas menentukan karirmu, menjadikan dirimu sepenuhnya mandiri dalam balutan hak-hak politik."
"Apakah kau gila? Aku seorang Kelahiran Muggle, tak akan ada hak semacam itu walaupun kau menghapus Dekrit itu dan berniat membuat peraturan agung yang baru."
"Aku seorang Menteri, Hermione. Apakah kau lupa?"
"Tentu saja tidak," ujar Hermione lembut, terlalu lembut hingga seperti sebuah senandung. "tapi aku selalu ingat bahwa kau akan selalu di bawah kendali Draco, Theo. Karena Pangeran Kegelapan tak akan mempercayakan kemampuanmu sutuhnya tanpa berada di bawah pengawasannya."
Untuk pertama kalinya dalam pertemuan itu, Hermione melihat seringai Theo lenyap dari wajahnya. "Akan tiba saatnya dimana aku dapat membuktikan janji-janjiku di masa yang lalu."
Rambut ditengkuknya meremang ketika Theo mengambil satu langkah, sehingga kedekatan mereka dalam jarak yang tak layak. Hermione menahan napas. Jantungnya bertalu keras, hingga serasa ia mampu mendengarnya.
"Kau mungkin sudah lupa, tapi aku tak akan melupakan bagaimana caranya ia merenggutmu dariku."
Sekejap Hermione mengira bahwa ia akan menyerangnya, namun ia melepas napasnya ketika Theo mengambil langkah mundur.
"Tapi tentu saja aku sudah membangkitkan ambisi yang tertidur nyaman di kepalamu, kan, Hermione? Setidaknya kau mempunyai pemikiran baru ketika malam, saat suamimu tersayang membuaimu dalam sangkarnya."
Hermione tidak sempat membalas—dan ia yakin, ia tak mampu membalas kata-kata itu. Theodore sudah menghilang di ujung koridor, menyisakan relung hati yang kelam dan penuh kebimbangan.
