Kunikida-san tidak bisa diam daritadi. Ia berjalan mondar-mandir di depan papan tulis, kemudian berdiri sambil melipat kedua tangan dan menghentakkan kaki, lalu duduk sambil mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya. Yah, sepertinya semua paham bahwa Si Kacamata bukanlah tipe orang yang panjang sabar.
"Nagiko," sahut Kunikida-san. "Dazai tidak keluar bareng kamu tadi?"
Nagiko menggeleng. "Dia keluar duluan."
Seniornya itu mendecak dan merogoh ponsel di saku celananya, memencet-mencet tombol disana. "Atsushi cari Dazai juga lama banget!"
Kenji-kun mengangkat tangan. "Mungkin kalau dicari sama-sama akan lebih cepat!"
"Yang ada mungkin kita akan menunggu lebih lama lagi. Yang satu sudah kembali, yang lain belum," keluh Kak Akiko.
Kunikida-san mengangguk. "Iya, itu masalahnya." Lalu pemuda itu menatap rekan-rekan detektifnya bergantian. "Ada ide Dazai dimana? Soalnya daritadi memang dia belum ke kantor, kan?"
"Ranpo, tahu dimana dia?" tanya Paman Yukichi, tampaknya ia bertanya pada detektif yang paling tua dengan harapan bisa langsung dapat jawabannya. Tapi—
"—gak tauuu~" jawab Ranpo-san santai lalu memasukkan keripik dalam mulutnya.
Si Kacamata menghela. Ia kembali gelisah sambil menunggu hadirnya Atsushi dan Dazai-san di ruang rapat. Mungkin sekitar setengah jam kemudian, pintu ruang rapat terbuka kasar dan Atsushi muncul disana dengan terengah-engah.
"Dazai?" tembak langsung Kunikida-san.
Atsushi-kun yang masih mengatur nafas, tampak gugup. "Anu, maaf, Dazai-san, eh—dia bilang tidak ikut rapat."
"SI MANIAK BUNUH DIRI ITUUU!" raung Kunikida-san.
"Ketemu Dazai dimana?" tanya Ranpo-san saat Atsushi-kun duduk di antara Kenji-kun dan Kyoka.
"Ah, di kuburan, dia sedang mengunjungi makam temannya," jawab Atsushi-kun. "Kalau tidak salah, namanya Oda?"
Nagiko mengerjap pelan di tempat duduknya. Dia tidak mengenal orangnya, tapi nama itu tidak asing lagi bagi Nagiko karena baru semalam Dazai-san bercerita tentang mendiang temannya.
"Kunikida, mulai saja," tutur Paman Yukichi datar, setelah keponakannya sempat mendengar helaan kecil dari sang paman di sebelahnya.
Yang diminta langsung mengangguk dan membetulkan posisi tubuhnya. Ia meminta Haruno-san mematikan lampu ruang rapat dan dirinya sendiri menampilkan video di layar putih.
"Ini adalah rekaman sekuriti tiga tahun lalu di kota Taipei, Taiwan," buka Kunikida-san. Terlihat pemandangan kota luas malam hari di video, lalu muncul seperti kabut. Yang perlahan menyelimuti kota. "Seperti yang kalian lihat, kabut pekat muncul dalam hitungan menit." Untuk beberapa saat kabut itu ada disana, tapi dengan tempo yang sama kabut lenyap. "Dan sekarang telah hilang. Tapi ini bukan fenomena aneh alam." Kunikida-san lalu memutar video yang lain. "Setelah kabut hilang, polisi menemukan jenazah mencurigakan—mayat yang terbakar seperti yang kalian lihat disini."
Sontak perut Nagiko tidak enak lagi. Sebelum memanggil seluruh detektif untuk rapat, Kunikida-san telah lebih dulu meminta Nagiko mencari berita dari beberapa negara mengenai fenomena ini. Gara-gara itu, tentu saja Nagiko jadi sudah melihat foto beberapa jenazah yang mengalami hal tragis.
"Dia seorang pengguna kemampuan, kan?" tebak Ranpo-san.
"Anda benar sekali, Ranpo-san," jawab Kunikida-san. "Lebih tepatnya, dia adalah pengguna kemampuan api yang terkenal di area tersebut." Lalu ia memutar video lain dengan patung Merlion terpampang disana. "Ini Singapura, setahun yang lalu. Lagi, kabut tebal muncul dan jenazah lain ditemukan kemudian. Dia adalah seorang pembunuh yang menggunakan kartu sebagai senjatanya." Video lain diputar. "Detroit, enam bulan lalu. Mayat lain ditemukan setelah kabut tebal. Seperti yang mungkin sudah kalian duga, dia pengguna es."
"Dengan kata lain," kata Paman Yukichi. "Pengguna Kemampuan di seluruh dunia sedang diincar oleh kemampuan mereka sendiri ketika kabut itu muncul. Begitu?"
"Apa penyebabnya memang kabut itu?" tanya Kenji-kun.
Kunikida-san memencet tombol di gawainya untuk memperlihatkan peta dunia dengan titik-titik merah disana—yang sebagian kecil sudah Nagiko periksa. "Kita tahu bahwa setidaknya ada 128 kasus serupa dan ada lebih dari lima ratus Pengguna Kemampuan telah meninggal. Divisi Spesial untuk Kemampuan Khusus menggunakan istilah 'Fenomena Bunuh Diri para Pengguna Kemampuan' untuk kasus ini."
"Begitu…," celetuk Ranpo-san.
Detektif Terhebat itu mengambil brankas dari kolong meja dan mulai menjejalkan berbagai cemilan ke dan yang lain bingung melihatnya, dan Kenji-kun-lah yang menyuarakan pertanyaan mereka. "Apa yang sedang Anda lakukan, Ranpo-san?"
"Rahasia, maaf, ya!" jawab Ranpo-san riang sambil menutup brankasnya.
"—jadi ketika mereka menyentuh kabutnya, Pengguna Kemampuan akan mencabut nyawa mereka sendiri?" tanya Junichiro setelah membaca singkat dokumen yang telah lebih dulu dibagi sebelum mulai rapat.
"—AKU TIDAK AKAN MEMBIARKAN ITU TERJADI!" seru Naomi yang langsung memeluk erat leher kakaknya, sampai Nagiko sendiri terkejut melihatnya. "Kakak tidak boleh bunuh diri dan meninggalkan Naomi sendirian!"
"Jadi, bagaimana ini berhubungan dengan kita? Kamu tidak memberitahu kami tentang ini hanya sebagai peringatan, kan?" tanya Kak Akiko.
"Divisi Spesial ingin kita memeriksanya," jawab Kunikida-san. "Mereka punya intel yang percaya bahwa orang yang berhubungan dengan kasus ini telah memasuki Yokohama. Mereka ingin kita menginvestigasi dan menangkapnya." Kunikida-san memencet tombol remotnya, memerlihatkan foto seorang laki-laki berambut putih panjang. "Inilah orangnya. Shigusawa Tatsuhiko, 29 tahun. Yang kita tahu hanya dia punya semacam kemampuan dan punya julukan sebagai 'The Collector'."
Hening sesaat, tapi Nagiko bisa mendengar bisik-bisik antara Atsushi-kun dan Kyoka—Nagiko tidak mendengar kata-kata mereka dengan jelas, sih, karena suara mereka sangat rendah. Kunikida-san memberi tanda agar Haruno-san menyalakan lagi lampu ruangan, dan gadis itu menurut.
"Agensi Detektif Bersenjata akan menerima tugas ini," tegas Paman Yukichi. "Para korban di kasus ini semuanya adalah Pengguna Kemampuan. Ini bisa untuk melindungi kalian semua di agensi, tapi lebih dari itu, kurasa kasus ini bisa menyebabkan bahaya yang lebih besar di masyarakat. Kita akan berusaha segenap tenaga untuk menemukan laki-laki ini. Pencarian dimulai sekarang!"
.
.
Disclaimer: Bungou Stray Dogs adalah ciptaan Asagiri Kafka dan Harukawa Sango, The Pillow Book adalah karya Sei Shonagon, 'Kiyohara Nagiko' dipercaya sebagai salah satu kemungkinan nama asli dari Sei Shonagon, Author tidak mengambil keuntungan.
Warning: Agak slow burn, Dazai x OC, alur canon (manga, anime, novel), sebisa mungkin tidak mary-sue.
.
.
Osamu Dazai and His Sun
by Fei Mei
.
Chapter 19
(Mengandung spoiler Arc Hunting Dogs)
.
.
Karena Paman Yukichi cemas, Nagiko jadi menginap di rumah pamannya lagi malam itu. Bos ADB itu kuat saja kalau disuruh begadang, tapi sang keponakannya menyuruhnya tidur untuk menyimpan tenaga kalau-kalau malam ini kabut misterius itu muncul dan mereka harus menyelidikinya. Nagiko sendiri baru terlelap semalam, jadi ia rasa tenaganya masih cukup sampai besok bahkan lusa, dan dialah yang akan berjaga selama pamannya tidur malam ini.
Tidak ada kabar tentang Dazai-san, baik di grup atau pemuda itu menghubunginya langsung. Nagiko tidak mau menghubunginya, karena ini hanya kecemasan pribadi dan mungkin Kunikida-san atau yang lain telah menghubunginya mengenai tugas yang Agensi Detektif Bersenjata terima dari Divisi Spesial kepolisian. Pun pemuda itu tidak menghubungi grup sama sekali, jadinya memang Dazai-san seakan lenyap saja seharian ini. Nagiko tidak ingin terlalu memikirkannya sebenarnya, mengingat sebelumnya Ranpo-san dan Kunikida-san sudah pernah bilang bahwa Dazai-san tidak akan menghilang tanpa rencana—tapi seharusnya pemuda itu bakal tergiur mendengar adanya kasus bunuh diri massal Pengguna Kemampuan yang disebabkan oleh kabut, mengingat Dazai-san sendiri hobi cari mati.
Di kamarnya, Nagiko sudah meretas kamera pengawas di sekitar Yokohama, untuk mengecek kemungkinan munculnya kabut. Walau sudah hampir tengah malam, kota ini masih lumayan ramai. Tidak ramai sekali, sih, tapi masih ada yang beraktivitas di pinggir jalan, seperti berjualan atau hanya duduk santai di tepi sungai. Mengingat ini adalah musim panas, akan aneh jika tiba-tiba muncul kabut, jadi Nagiko bisa mengecek jika ada orang yang bertingkah aneh lewat kamera pengawas.
Lalu, dari kamera pengawas yang mengintai yang paling tinggi, tertangkaplah kabut pekat yang perlahan turun ke kota. Nagiko terkejut dan melompat dari kursinya, ia mengirim peringatan ke grup agensi sambil berlari ke kamar pamannya dan mengetuk keras pintu itu.
"Paman! Kabutnya muncul!" sahut Nagiko cemas sambil terus mengetuk.
Ia berhenti memanggil pamannya ketika ia melihat lampu kamar itu menyala. Paman Yukichi tak lama keluar, sudah siap dengan pedangnya. "Dimana?"
"Dari arah dermaga," jawab Nagiko. Gadis itu menggiring Paman Yukichi ke kamarnya, memperlihatkan gawainya yang masih tersambung kamera pengawas. "Ah—lho?"
"Sudah hampir turun semua kabutnya, ya," gumam Paman Yukichi.
Tapi Nagiko bingung, ia mencoba membuka kamera pengawas yang lain, tapi tidak bisa. "Aneh, tadi kameranya bisa terbuka semua, sekarang beberapa error."
"Mana saja yang error?"
Nagiko mengecek kode yang ada, dan kamera pengawas yang error bertambah lagi. "Sepertinya yang error adalah yang ada di daerah yang kabutnya sudah turun," desah gadis itu.
Paman Yukichi menggaruk dagunya. "Berarti asumsinya adalah, daerah yang sudah terkena kabut, maka eletronik akan lumpuh."
"Kabutnya pekat sekali dari atas," tutur Nagiko lagi, "kita jadi tidak bisa melihat kondisi disana, seperti kalau ada warga yang keluar dari rumah mereka karena panik."
"Baiklah, kamu bersiap-siap, kita akan mengecek keluar," titah Paman Yukichi. "Ah, iya, beritahu yang lain tentang kelumpuhan elektronik di dalam kabut."
Gadis itu mengangguk dan langsung mengetik pesan untuk grup agensi.
Walau dibilang harus bersiap-siap, Nagiko bingung juga harus membawa apa. Pamannya sudah langsung mengambil pedang ketika keluar kamar, mungkin karena sudah bersiap sebelum tidur-jaga-jaga kalau keponakannya memanggil secara darurat seperti tadi. Tapi Nagiko bertarung dengan tangan kosong, jadi ia hanya perlu memastikan bahwa pakaian yang ia kenakan cukup nyaman untuk praktik bela dirinya.
Yakin sudah siap, Nagiko keluar rumah dengan pamannya. Area kediaman Paman Yukichi belum dituruni kabut, tapi suasana yang sunyi karena rumahnya tidak berada di pusat kota membuat keduanya waspada terhadap sekitar.
Sesudah berjalan agak jauh, Nagiko mulai melihat asap tipis mengelilingi mereka, dan berpikir bahwa itu adalah kabut. Paman Yukichi sudah bersiap untuk mencabut pedangnya sambil mereka terus berjalan. Entah seberapa tebal kabut jika terlihat dari atas, tapi saat ini Nagiko masih bisa melihat sekitarnya dengan baik—kabutnya ada, tapi tidak terlalu mengganggu selama mereka berjalan.
Lalu Nagiko bingung. Ia yakin mereka berjalan belum terlalu lama, mungkin belum ada setengah jam, tapi kenapa daerah ini tidak ada tanda-tanda kehidupan? Sebelum keluar rumah tadi, terakhir ia masih sempat mengecek kamera pengawas yang masih menyala, dan tempat ini masih cukup ramai untuk ukuran tengah malam. Gerobak jajanan masih berjajar di pinggir jalan, bahkan mobil-mobil ada di tengah jalan. Nagiko sudah tidak kaget dengan padamnya semua lampu disana, mengingat pamannya sudah mengasumsikan mengenai ini. Tapi, terlalu heningnya tempat ini lumayan membuat merinding.
Penasaran, Nagiko mengintip ke beberapa mobil disana, mendapati bahwa tidak ada orang dalam otomotif tersebut. Tampaknya Sang Paman memahami kebingungan keponakan perempuannya, jadi Bos ADB itu juga mengecek lewat kaca jendela ruko yang mereka lewati. Benar-benar tidak ada orang disana. Nagiko tidak bisa menanyakan situasi tempat lain pada rekan-rekannya karena ponselnya sudah tidak mendapat sinyal sejak kabut itu muncul.
Muncul suara langkah kaki seseorang, Nagiko dan Paman Yukichi langsung dengan sigap memerhatikan sekitar, mencari siapa yang datang. Gadis itu terbelalak melihat sosok gelap yang keperawakannya bak pinang dibelah dua dengan Sang Paman. Wajahnya tidak terlihat, tapi jelas terlihat bahwa itu seperti bayangan Paman Yukichi, lengkap dengan pedang di pinggangnya. Satu-satunya hal yang berbeda dari sosok itu adalah adanya semacam permata di dahinya.
Sosok bayangan Paman Yukichi mengambil ancang-ancang, jadi Paman Yukichi yang asli langsung menyuruh keponakannya menjauh sambil bersiap dengan pedangnya juga. Bayangan itu melaju cepat menyerang Paman Yukichi dengan pedangnya, dan pamannya Nagiko itu langsung mempertahankan diri dengan pedangnya sendiri.
Masih terkejut dengan apa yang ia saksikan, Nagiko mendengar suara derap kaki yang cepat ke arahnya. Langsung Nagiko mencari di sekitarnya, dan mendapati sosok bayangan menyerupai dirinya muncul di hadapan gadis itu. Sama seperti kasus Sang Paman, bayangan Nagiko juga benar sama dengannya, hanya beda di permata serupa di dahinya.
Bayangan Nagiko memasang kuda-kuda sejenak sebelum menerjang pada gadis itu. Si Bayangan menyerangnya dengan tinju dan tendangan, tapi Nagiko berhasil bertahan dan mengelak beberapa kali sebelum berhasil menendang bayangannya agar terlempar menjauh sedikit darinya. Lalu Nagiko berpikir bahwa bayangannya ini punya teknik bela diri yang sama dengannya. Sebenarnya, itu bukan teknik khusus yang hanya Nagiko yang punya—semua orang yang belajar bela diri juga akan bisa, tapi bayangannya ini seakan mengikuti kebiasaan tangan Nagiko saat memasang ancang-ancang.
Si Bayangan kembali melompat untuk menerjangnya, dan perut Nagiko kena serang sampai gadis itu jatuh dan mengerang. Sebelum bayangannya berhasil menghajarnya lagi, Nagiko memutar tubuhnya dan menyikut leher sang lawan dan melompat untuk menendang kepalanya.
"Nagiko!" panggil Paman Yukichi.
Melihat bayangannya sudah terjatuh, Nagiko langsung menengok cemas pada Sang Paman yang sedang bertahan dengan pedangnya.
"Pergi ke kantor! Ada sesuatu di bawah mejaku! Gesek ini disana!" sahut Paman Yukichi, lalu melempar sebuah kartu pada keponakannya.
Bayangan Nagiko sudah berdiri lagi. Gadis itu termegap. Ia berlari menjauh dari lawannya sambil berusaha menangkap yang dilempar Sang Paman. Setelah berhasil mendapatkan kartu itu, bayangannya sudah ada di dekatnya. Kaki Nagiko segera memasang kuda-kuda, lalu tangan kanannya menonjok kencang kepala bayangannya sampai terhempas jauh ke belakang. Setelahnya Nagiko mengambil kesempatan untuk berlari secepatnya menuju bangunan kantor.
Sambil terus berlari, ia agak bersyukur karena tidak ada warga di sekitar mereka yang perlu terseret dalam pertarungan aneh ini. Ah, Nagiko baru kepikiran. Jangan-jangan, selain melumpuhkan elektronik dan sinyal, kabut itu juga meniadakan orang-orang yang tidak memiliki kemampuan khusus? Makanya kabut tampak begitu tebal dari kamera pengawas, agar siapa pun yang melihat rekamannya tidak akan bisa mengecek keadaan yang ada di bawah kabut? Tapi, kenapa bayangan Paman Yukichi dan Nagiko menyerang tubuh asli mereka?
Lalu Nagiko mendengar suara tembakan pistol serta geraman seseorang. Ketika mendengar suara pistol, Nagiko sempat berharap itu adalah Kunikida-san. Tapi saat ia melihat sosok orangnya, itu adalah pemuda yang tak dikenalnya. Bayangan pemuda itu merentangkan tangannya, dan tampak beberapa benda bergerak cepat terlempar ke arah pemuda berpistol disana. Salah satu barang yang terlempar, karena bertubrukan satu sama lain, akhirnya ada yang tersasar dan hendak jatuh ke arah Nagiko.
Ngeri, gadis itu malah dengan spontan menjerit dalam hati sambil memegang kepalanya. Pemuda itu berlari cepat ke arah Nagiko, mendorong gadis itu sambil sendirinya juga ikut terlempar ke samping.
"Woi, gapapa?!" tanya pemuda itu.
Dengan gugup Nagiko mengangguk dan menggumamkan terima kasih pelan. Pemuda yang tampaknya mempunyai rambut merah bata di bawah rembulan itu menarik tangan Nagiko agar segera bangkit dan kabur dari sana.
"Kamu, dari kantor Agensi Detektif Bersenjata, ya?" tanya pemuda itu sambil mereka berlari.
"Kok, tahu?"
Pemuda itu berdecak. "Karena kamu tidak terlihat seperti orang The Guild?!"
Ah, benar juga. Eh, tapi kan pilihan termudahnya di antara Agensi Detektif dan Port Mafia, bisa pas begitu tebakannya. Jangan-jangan—"Kamu dari Mafia?!"
"Aku juga gak nyangka bakal nyelamatin orang agensi begini," desah pemuda itu.
BRUK!
Tong sampah terlempar ke arah mereka.
"Aaah, cepat juga larinya," lagi kata pemuda itu.
"Tembak pakai pistolmu saja!" sahut Nagiko.
"Tidak bisa, dia bisa mengendalikan metal!" desah lawan bicaranya.
Bayangan itu merentangkan tangan lagi, dan beberapa benda berat sudah mulai bergerak.
"Dia hanya akan mengincarku, jadi kamu lari saja sana, jangan tertangkap kemampuanmu juga!" kata pemuda itu.
Sebenarnya, Nagiko juga kepikiran bahwa tiap bayangan hanya akan menyerang tubuh aslinya, seperti kasusnya dan Paman Yukichi. Nagiko pun juga bukannya kena serang bayangan Mafia itu tadinya, hanya tidak sengaja kena lempar barang saja. Makanya gadis itu agak bingung kenapa pemuda tersebut malah menariknya untuk ikut kabur bersamanya.
Sebelum benar beranjak pergi, ia merebut pistol pemuda itu dulu. "Pinjam sebentar!"
Pemuda itu agak terkejut, tapi Nagiko dengan cepat membidik ke suatu arah, tempat dimana bayangannya sendiri sudah terlihat. Ia menembak dua kali, dan keduanya mengenai dada si bayangannya. Nagiko tidak tahu bayangan tersebut akan mati atau tidak, yang pasti lawannya telah terjatuh.
Nagiko langsung mengembalikan pistol itu pada yang punya, lalu dengan cepat merogoh saku celananya, mengambil plester yang memang ia bawa dari rumah Paman Yukichi untuk jaga-jaga. Diopernya plester itu pada pemuda di sebelahnya.
"Ini—plester di hidungmu hampir copot!" kata Nagiko cepat, sebelum akhirnya ia berbalik pergi meninggalkan Pemuda Mafia itu disana.
Setibanya di bangunan kantor, Nagiko sempat ingin mengatur nafasnya dulu, tapi ia khawatir bayangannya akan keburu tiba disana, jadi gadis itu langsung masuk gedung dan berlari menaiki tangga menuju lantai empat. Ia termegap melihat kondisi kantor bak kapal pecah. Tapi ia tidak mau memusingkan itu sekarang.
Masuk ke ruangan pamannya, ia baru sadar betapa terengah-engahnya dia. Mata Nagiko tidak akan lelah walau dipaksa terjaga selama beberapa hari, tapi itu adalah efek dari kemampuan The Pillow Book, merasa bahwa matanya sudah agak lelah membuatnya berpikir bahwa bayangan yang menyerangnya itu bukan sekadar kopian dirinya melainkan memang kemampuan khususnya yang terpisah dari tubuhnya. Sudah begitu, sebenarnya gadis ini tidak kuat terlalu lama berlari serta bukan pelari yang cepat—dan itulah salah satu alasan Paman Yukichi mengajarinya bela diri, biar keponakannya bisa mengulur waktu untuk menjatuhkan lawannya sebelum melarikan diri. Makanya perasaan lelah Nagiko menjadi campur aduk.
Dengan masih terengah, Nagiko menghampiri meja kerja pamannya. Ia mencoba menggesernya, tidak bergeming. Didorong, hanya bergerak sedikit. Nagiko mengerang sebal karena tidak kuat.
Lalu ia mendengar suara grasak-grusuk dari luar ruangan pamannya. Nagiko sudah menyiapkan hati jika itu adalah bayangannya. Ia masih merasa lelah, tapi setidaknya ia sudah sempat menarik nafas sesaat.
Gadis itu sudah memasang kuda-kuda ketika pintu ruang presdir terbuka. Matanya terbelalak dan menyiratkan rasa lega serta hampir menangis ketika melihat Kunikida-san masuk dipapah Atsushi-kun.
"Nagiko—" gumam Kunikida-san, mungkin kaget juga melihat keponakan bosnya disana.
Nagiko termegap melihat bercak gelap menodai rompi seniornya. "Kunikida-san, kenapa—ah, kena serang kemampuanmu sendiri?"
"Yah, begitulah," jawab Si Kacamata sambil merintih, lalu melepaskan diri dari papahan Atsushi-kun.
Lalu Nagiko teringat perkataan pamannya. "Ah, iya, Paman bilang soal sesuatu di bawah mejanya, tapi aku tidak kuat menggesernya—"
Kunikida-san mengangguk. "—aku tahu tentang mejanya, makanya aku kemari."
Keponakan presdir itu menyingkir sedikit ketika seniornya memberi gestur dengan tangan agar Nagiko menjauh. Lalu, dengan kasar pemuda itu menendang meja Paman Yukichi sampai menabrak dinding. Nagiko memekik pelan karena kaget, tapi rintihan Kunikida-san terdengar lebih keras, dan pemuda itu kembali memegang pinggangnya.
Kunikida-san mengeluarkan kartu yang serupa dengan yang diberikan Paman Yukichi pada Nagiko. Si Kacamata menggesek cepat kartu tersebut di suatu celah, dan bergeserlah suatu papan disana, menampilkan kibor dan suatu bidang segi empat di sebelahnya. Dengan cepat Kunikida-san mengetik pada kibor, lalu menempelkan telapak tangannya. Terdengar bunyi sensor pelan, lalu dinding yang ada di antara jendela besar yang biasa dipunggungi Paman Yukichi jika duduk di kursinya seperti terbuka, ada bagian yang naik dan ada yang turun, menampilkan layar besar.
Nagiko tercengang, ia tidak menyangka ada sesuatu seperti ini di ruang presdir. Dan Nagiko jadi kepikiran—pamannya hanya menyuruh agar Nagiko menggesek kartu itu di bawah meja kerjanya tanpa diberitahu apa-apa lebih lanjut. Jika Kunikida-san tidak datang, gadis itu tidak tahu apa yang mesti dilakukan walau berhasil menggesek kartu itu di bawah sana.
Layar hitam disana perlahan menampilkan sosok seseorang. Suaranya bergesek-gesek dan tampilannya bak televisi rusak. Mengingat bahwa daerah yang terkena kabut saat ini memang sinyalnya lumpuh, cukup merupakan mukjizat bahwa layar di hadapan mereka masih bisa bekerja.
"—sepertinya akan bisa tersambung, pertahankan kondisi ini untuk sementara—," kata yang di seberang, entah pada siapa, tapi Nagiko bisa mendengar suara laki-laki disitu. "—Apa Anda bisa mendengar saya? Pak Fukuzawa?"
"Ini Kunikida dari agensi," jawab Kunikida-san tegas. "Apakah saya sedang berbicara dengan Divisi Spesial untuk Kemampuan Khusus?"
Lalu tampilan layar semakin jelas, muncul sesosok laki-laki muda berjas dan berkacamata dengan rambut berwarna gelap. "Ya, saya Sakaguchi Ango dari Divisi Spesial."
"—ah," celetuk Nagiko pelan, ia baru saja mendengar nama itu kemarin malam dari cerita Dazai-san.
Celetukan Nagiko agak terlalu keras di keheningan tempat itu, sampai para rekannya menoleh padanya. Malu, gadis itu menangkat tangan tanda tidak apa-apa dan agak mundur, memberi gestur agar seniornya melanjutkan pembicaraan.
"Bagaimana situasi disana, Kunikida-san?" tanya Sakaguchi-san.
"Saya disini bersama Kiyohara Nagiko, Nakajima Atsushi, dan Izumi Kyoka. Staf agensi selebihnya tidak ada kabar," lapor Kunikida-san.
"Dipahami. Koneksinya tidak stabil, jadi akan saya singkat saja," kata Sakaguchi-san, "fenomena kabut telah muncul di Yokohama—" Nagiko mengangguk, itu seharusnya sudah bukan hal baru untuk staf agensi saat ini karena gadis itu telah mengumumkannya di grup ketika ia melihatnya di video kamera pengawas. "Tidak ada catatan tentang hal itu terjadi dalam skala besar sebelumnya. Kabutnya telah berhenti meluas, tapi itu telah menutupi seluruh Yokohama, membatasinya dengan dunia luar. Hampir semua penduduk Yokohama menghilang. Tampaknya hanya Pengguna Kemampuan di kota ini saja yang masih ada. Dengan kata lain, kalian juga sedang dalam bahaya besar."
Nagiko jadi kepikiran, pantas saja sepanjang perjalanan sejak dia masih bersama dengan Paman Yukichi hingga di bangunan ini, ia tidak menemukan siapa-siapa, kecuali seorang Pemuda Mafia itu. Dari video fenomena kabut yang ia lihat tadi siang bersama dengan yang lain, mayat Pengguna Kemampuan ditemukan oleh orang-orang biasa, padahal mungkin mereka juga dinyatakan 'hilang' saat kabut ini datang disana. Berarti kabut ini memang hanya menyekap para Pengguna Kemampuan, sedangkan orang-orang yang tidak punya kemampuan khusus sebenarnya baik-baik saja.
" … kami sudah mengalaminya," tutur Kunikida-san rendah. "Di dalam kabut ini, Kemampuan Khusus akan terpisah dengan Penggunanya, dan akan berusaha untuk membunuh majikan mereka."
"Makanya mayat-mayat itu dinyatakan sebagai bunuh diri, padahal mereka sebenarnya bukan bunuh diri, melainkan karena diserang oleh bayangan mereka sendiri?" tanya Nagiko.
Kunikida-san mengangguk. "Benar."
"Bayangan?" tanya Atsushi-kun bingung. "Aku dan Kyoka-chan diserang Harimau dan Demon Snow, kok?"
"Itu karena wujud kemampuan kalian adalah Harimau dan Demon Snow," jawab Kunikida-san. "Perwujudan kemampuanku dan Nagiko tidak seperti itu, jadi lawan kami berbentuk manusia yang punya kemampuan yang sama dengan kami." Nagiko mengangguk paham.
"Untungnya, kami telah melacak lokasi Pengguna Kemampuan yang kami pikir bertanggungjawab tentang ini," kata Sakaguchi-san, lalu tampilan layar berganti menjadi suatu bangunan besar seperti kastil. "Dia ada di tengah Yokohama, di sebuah bangunan tinggi yang terbengkalai, yang dikenal dengan nama Skull Fortress."
"Jadi … Shibusawa Tatsuhiko benar-benar adalah orang yang dibalik ini semua?" tanya Kunikida-san.
"Saya punya misi penting untuk agensi: singkirkan Shibusawa Tatsuhiko, si Dalang, bagaimanapun caranya," tegas Sakaguchi-san. "Dan ada satu hal lagi … Dazai-kun terlihat bersama dengannya."
"HAH?!"
"Maksud Anda, dia tertangkap?!" tanya Atsushi-kun.
Suara gesekan terdengar lagi dari sambungan video call, bahkan sosok Sakaguchi-san mulai menghilang lagi. "Yokohama akan celaka pada tingkat ini—hanya kalian yang bisa—" dan sambungan terputus.
Layar besar itu kembali menjadi hitam bersamaan dengan bergetarnya gedung kantor. Belum mereka berempat bisa kembali berdiri tegap, terdengar ledakan dan terlihat cahaya silau dari arah jendela.
"Dia sudah disini," keluh Kunikida-san. "Kalian pergilah, aku yang akan menghentikannya."
"Menghentikannya?" tanya Atsushi-kun. "Tapi, Kunikida-san, tidak mungkin Anda bisa mengalahkan kemampuan Anda sendiri!"
Kunikida-san berjalan menjauh dari layar, menuju ke dinding seberang di ruangan itu. "Ini bukan masalah apakah aku bisa, ini masalah apakah aku memiliki keinginan untuk bertarung. Aku harus mengalahkan diriku sendiri, seperti yang selalu kulakukan."
Lalu Kunikida-san memukul kencang dinding itu, dan turunlah suatu lapisan lain disana, berisi banyak persenjataan. Setelah munculnya layar besar, Nagiko sudah tidak terkejut lagi melihat apa yang sekarang ada di hadapannya. Gadis itu tidak tahu menahu tentang sudut-sudut rahasia yang ada di ruangan pamannya, tapi saat ini ia tahu jelas bahwa Paman Yukichi begitu memercayai Kunikida-san sampai pemuda ini tahu apa-apa saja yang harus disentuh dalam situasi genting.
"Ingat, kita adalah Agensi Detektif Bersenjata," tutur Kunikida-san mengambil salah satu pistol berikut dengan pelurunya, lalu melemparkan senjata itu pada Atsushi-kun yang masih keheranan. "Ambillah."
"Kalau aku tidak perlu," ujar Kyoka sambil memperlihatkan pisaunya.
Kunikida-san mengangguk lalu mengambil sebuah senapan besar. "Dia tidak bisa menciptakan senjata yang lebih besar dari halaman bukunya. Sementara aku mengalihkan perhatiannya, kalian bertiga keluar dari pintu belakang."
Nagiko malah mengambil salah satu pistol yang mirip dengan yang Kunikida-san berikan pada Atsushi-kun. "Aku tidak bisa berlari dengan cepat, dan aku akan menyusahkan yang lain jika ikut ke Skull Fortress. Aku mencemaskan Dazai-san, tapi Kunikida-san dan Ranpo-san pernah bilang bahwa dia tidak bakal kemana-mana jika bukan karena rencananya sendiri. Jadi, dari pada aku tidak bisa apa-apa saat pergi dengan Atsushi dan Kyoka, aku akan menghadapi kemampuanku disini juga."
Si Kacamata mengerjap dan wajahnya menjadi cemas. "Tapi, Nagiko—"
Gadis itu manyun. "Kunikida-san tidak perlu khawatir. Biasanya aku tidak bawa senjata kemana-mana, kan? Makanya daritadi bayanganku hanya menyerang dengan tangan kosong. Dan Kunikida-san tidak perlu melindungiku, fokus pada lawanmu sendiri saja."
Kunikida-san menghela, lalu ia menggapai-gapai sesuatu di balik laman senjata api. Setelah mendapat apa pun itu, ia menaikkan kembali laman senjata api, dan Nagiko bisa melihat lapisan lain berisi pisau, pedang, busur dan anak panah. Pemuda itu menyengir lebar pada keponakan bosnya. "Senjatamu, kan?"
Nagiko tercengang sebentar sebelum tersenyum dan mengangguk. Ia mengikat pistol yang lebih dulu diambilnya pada pinggangnya sebagai cadangan, lalu mengambil busur dengan semangat.
" … memanah?" tanya Atsushi-kun.
Gadis itu menyengir kecil. "Begini-begini, aku pernah juara memanah se-prefektur saat SMA." 'Tapi aku sudah tidak pernah menyentuh busur lagi sejak lulus sekolah, dan terakhir kali menembakkan pistol selain beberapa menit yang lain adalah tahun lalu,' sambung Nagiko dalam hati.
Setelah siap, Kunikida-san, memeriksa kembali senapannya, lalu mengangguk. "Ayo mulai!"
Kyoka dan Atsushi-kun sudah mulai beranjak untuk keluar dari ruang presdir, dan Nagiko sebenarnya juga sudah akan melangkah, tapi tangannya ditarik Kunikida-san, membuatnya menoleh pada pemuda yang lebih tua setahun darinya itu.
"Sebentar," kata Si Kacamata, merogoh saku rompinya, mengeluarkan karet dari sana. Dengan cepat ia menyisir rambut pirang stroberi panjang Nagiko yang terurai dengan jemarinya, lalu mengikat dengan karet. "Sudah—hm?"
Lalu Nagiko merasakan jemari pemuda itu di belakang lehernya. "Ada apa?"
Kunikida-san mengelus sebentar di leher gadis itu dengan jarinya sebelum kembali menarik tangannya dan berdeham kecil, lalu mengambil kembali senapannya. "Saat ini, kamu tampak benar-benar jauh dari tipe idealku."
Nagiko mengerjap. "Hah?"
Pemuda itu berjalan melewati Nagiko. Beberapa langkah di depan gadis itu, Kunikida-san mendecak. "Bilang pada Dazai, lain kali jangan gigit terlalu keras, lehermu sampai masih ada tandanya begitu."
Masih Nagiko mengerjap. Perlahan satu tangannya yang tidak memegang busur menyentuh leher yang tadi dielus seniornya. Ia bingung akan perkataan Kunikida-san. Tanda di leher bagaimana—
Astaga. Nagiko baru ingat, semalam Dazai-san memang menggigitnya dengan keras.
.
.
Bersambung
.
.
A/N: Chapter ini masuk ke Dead Apple ya. Yang Fei baca sih, Dead Apple berlatar setelah urusan dengan The Guild (season 2) selesai. Tentang orang yang selamatin Nagiko, dengan plester di hidungnya, itu spoiler untuk Arc Hunting Dogs ya. Kalau enggak ngeh, yaudah gapapa, wkwkwk. Kemudian di adegan awal, saat Kunikida briefing soal kasus, di canon itu dia baru tanya keberadaan Dazai setelah selesai jelasin kasus, tapi di fanfiksi ini Fei buat dia tanya duluan sebelum rapat.
Review?
