Sudah jam berapa sekarang? Nagiko tidak sempat melihat jam di ponselnya sama sekali. Ia memang bukan pelari yang cepat, tapi dia tahu dirinya cukup gesit saat berpindah-pindah mencari persembunyian—dan itulah yang dilakukan 'bayangan'nya saat ini.

Bayangan Nagiko sudah melihat tubuh aslinya telah siap dengan senjata jarak jauh, makanya bayangan itu tidak langsung menerjang dengan terbuka, hanya semakin mendekat pelan-pelan saja, makanya Nagiko memancingnya untuk pergi ke bagian paling atas bangunan kantor mereka, dimana bayangannya tidak bisa bersembunyi dan gadis itu bisa terus-terusan menembaknya sampai panah yang dia bawa habis.

Selama bertahun-tahun The Pillow Book membuatnya tidak bisa tidur dengan normal ataupun mengantuk, serta bola matanya tidak lelah di malam hari. Walau begitu, kelopak matanya akan tetap terasa berat, kepalanya akan penat, dan tubuhnya akan letih jika tidak terlelap. Sekarang, ketika kemampuan itu terpisah dari tubuhnya, Nagiko jadi bisa merasakan apa yang dinamakan rasa kantuk.

Matanya terasa perih, salah satu alasannya pasti karena sempat terkena debu dan asap setelah Bayangan Kunikida-san meledakkan granat ke kantor agensi. Tapi, alasannya lainnya ya pasti karena rasa kantuk itu. Nagiko merutuk, kenapa malah di saat genting begini dia malah bisa merasa kantuk?

Ia selalu sebal akan kemampuan khususnya itu. Kenji-kun pernah bilang bahwa kemampuan Nagiko bisa membuatnya benar-benar punya 24 jam dalam sehari dengan bersih, tanpa dipotong jam tidur sama sekali. Tapi buat apa bisa melewati waktu 24 jam tiap hari jika sekujur tubuh terasa lelah? Sekarang Nagiko malah berpikir mungkin terpisahnya The Pillow Book dari dirinya sendiri bukanlah hal yang buruk.

Lagipula, kenapa dari tahun-tahun kemarin, kemampuannya bertambah parah? Dari yang awalnya saat SD semua beranggapan dia sering terserang insomnia, lalu ia perlahan harus bergantung pada obat tidur, dan sekarang obat tidur tersebut malah sudah tidak mempan—kecuali obat racikan Kak Akiko. Kemampuannya begitu merepotkan. Ia sangat iri dengan Atsushi dan Kyoka yang jadi bisa mengendalikan kemampuan mereka ketika resmi menjadi anak buah Paman Yukichi—kenapa Nagiko tidak bisa mengendalikan kemampuannya untuk tidur?

Kapan terakhir kali Nagiko tertidur normal tanpa obat tidur? Ah, iya, beberapa hari yang lalu, kan? Tapi, sebelumnya, itu kapan?

—ah, Nagiko ingat. Terakhi kali ia hampir terlelap, adalah saat ia duduk di jok tengah mobil ayahnya, sebelum mobil itu terguncang.

.


.

Disclaimer: Bungou Stray Dogs adalah ciptaan Asagiri Kafka dan Harukawa Sango, The Pillow Book adalah karya Sei Shonagon, 'Kiyohara Nagiko' dipercaya sebagai salah satu kemungkinan nama asli dari Sei Shonagon, Author tidak mengambil keuntungan.

Warning: Agak slow burn, Dazai x OC, alur canon (manga, anime, novel), sebisa mungkin tidak mary-sue.

.

.

Osamu Dazai and His Sun
by Fei Mei

.

Chapter 20

.


.

Bayangan Nagiko tidak punya pilihan lain selain terus menyerang gadis itu dengan cepat saat mereka sudah di teras atas gedung kantor. Membidik dengan busur dan panah nyatanya memang lebih lambat dibanding dengan pistol. Tapi agaknya gerakan Bayangan Nagiko dalam menghindari setiap peluru yang tertembak lebih cepat dari Nagiko yang asli—padahal gadis itu berencana untuk menyimpan pistolnya sebagai jalan terakhir saat panahnya habis. Bayangan itu mulai meninju Nagiko, yang berhasil ditepisnya dengan bantuan busur yang ia bawa. Nagiko menendang lawannya dan mengayunkan busur untuk membuat bayangannya menjauh.

Berbeda dengan Nagiko yang sudah kelelahan dan terserang kantuk, bayangannya masih tampak baik-baik saja padahal bergerak lebih banyak dari keponakan Bos ADB itu. Ia tahu kemampuan membidik dan meretasnya jauh lebih baik daripada tenaga ototnya, dan baru kali ini Nagiko bersyukur soal itu. Memang ia bisa meninju lawan sampai terpental tidak jauh, tapi itu membutuhkan kuda-kuda yang benar dan lumayan menyakiti punggung tangannya sendiri jika dilakukan terus menerus, makanya Nagiko hanya melakukan itu jika darurat, dan selebihnya ia hanya akan melakukan pertahanan diri saja.

Karena tenaga otot bayangannya sama dengan tubuh aslinya, setidaknya lawan Nagiko tidak bisa merebut paksa busur yang dipegangnya. Dan karena panahnya terbatas, Nagiko harus bergerak cepat juga untuk mengambil lagi panah-panah yang tidak mengenai lawannya karena Si Bayangan bergerak gesit.

Rasa kantuk Nagiko semakin menjadi dan ia menjadi pening. Karena dirinya juga tidak berhenti bergerak daritadi, wajar saja jika pandangannya juga terus keluyuran kemana-mana. Tapi goyangnya pandangan Nagiko kali ini terasa berbeda, dan Nagiko pun terjatuh saat dia hendak mengambil panah yang tertancap di lantai. Kondisi gadis itu pun dimanfaatkan Si Bayangan untuk menerjangnya.

Memekik ngeri dalam hati, Nagiko langsung mengambil lagi pistolnya. Ia menodong cepat ke arah sang lawan. Tidak membidik sama sekali, dengan segera Nagiko menembakkan peluru ke arah bayangannya, berharap setidaknya itu membuat lawannya mundur sesaat.

Tapi Nagiko mendengar suara pecahan sesuatu. Dengan matanya yang sudah lelah, Nagiko melihat permata merah di dahi bayangannya pecah dan lenyap. Itu diikuti dengan banyangan Nagiko yang seakan pecah menjadi serpihan cahaya dan menyembur masuk ke tubuh gadis itu.

Nagiko mengerjap kaget, jantungnya berdetak kencang. Ia berusaha mengatur nafas sambil memeriksa keadaan sekitarnya—dan ia tidak menemukan lagi lawannya. Gadis itu menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan sembari ia merebahkan tubuhnya di lantai. Ditutupnya mata sambil berusaha untuk tenang. Ketika ia membuka matanya lagi, ia sudah tidak merasa kedua bolanya perih, dan rasa kantuknya lenyap. Disitu Nagiko paham, The Pillow Book sudah kembali padanya.

Kakinya terasa lemas, punggungnya masih berasa ingin tetap bersandar pada lantai, tapi otak Nagiko tahu ia harus segera bangun mencari seniornya untuk memberi tahu tentang permata bayangannya yang hancur. Jadi dengan agak tidak rela, gadis itu bangkit, melongokkan kepalanya dari pinggir atap bangunan, mencari sosok seniornya yang pirang.

Bangunan kantor agensi terkena ledakan granat setidaknya tiga kali sejak Nagiko ada disana malam ini, dan ia cukup kagum bahwa sepertinya bangunan ini cukup tahan api karena tidak ada kebakaran sama sekali disana, hanya tercium aroma sesuatu yang hangus saja. Nagiko sudah berada di atap ketika granat yang ketiga meledak, jadi mungkin Kunikida-san sudah keluar dari bangunan.

Benar juga, dari atas, Nagiko melihat seniornya berada di jalan raya yang kosong. Ada bara api di depannya, dan ada sosok bayangan pemuda itu disana. Berarti mau ditembak atau disiksa seperti apa pun, bayangan mereka tidak akan bisa dikalahkan, kecuali berlian mereka dihancurkan.

Nagiko meneguk ludah, memanggil kencang nama seniornya. Di malam hari yang sunyi begini, dimana hanya suara pertempuran yang terjadi disana, Nagiko antara yakin atau tidak suaranya terdengar oleh pemuda itu. Tapi Kunikida-san menoleh, mencari asal suara.

"BERLIANNYA! HANCURKAN ITU!" seru Nagiko kencang lagi.

Kepala Kunikida-san masih tampak menoleh padanya dari bawah sana, entah mendengar perkataan Nagiko dengan jelas atau tidak, tapi setelahnya ia kembali fokus pada lawannya. Lalu gadis itu berlari secepat yang ia bisa menuruni gedung, pergi menghampiri seniornya.

Nagiko tahu bayangan itu hanya akan menyerang pemilik kemampuan dari tubuh aslinya, jadi Nagiko hanya akan bisa mengalihkan perhatiannya sejenak sebelum bayangan itu kembali menyerang Kunikida-san. Jadi ketika ia sudah berada di dekat sana, Nagiko menembakkan panahnya ke arah tangan Bayangan Kunikida-san.

Buku catatan yang ada di tangan Si Bayangan terjatuh, tapi itu tidak menghentikan gerakannya. Dengan gesit bayangan itu berusaha mengambil bukunya lagi, tapi agak terlunjak ke belakang ketika Nagiko menembakkan pistol ke arah tangannya lagi. Posisi itu dimanfaatkan oleh Kunikida-san yang kemudian menarik pelatuk senapannya, pelurunya meluncur cepat ke dahi sang lawan, dan berliannya pecah.

Sama seperti kasus Nagiko, bayangan itu pecah menjadi serpihan cahaya, lalu masuk ke tubuh pemilik asli kemampuan khusus itu. Kunikida-san terjatuh juga setelahnya, membuat Nagiko tersenyum lega karena merasa bahwa ternyata wajar jika ia kelelahan setelah berhasil mengalahkan bayangannya sendiri.

"Kunikida-san, baik-baik saja?" tanya Nagiko, menghampiri seniornya.

Pemuda itu mengangguk sambil merebahkan tubuhnya di jalanan beraspal tempat mereka berada. Nagiko manyun melihat rembesan darah Kunikida-san pada rompinya tampak membesar dari sejak terakhir ia melihatnya.

"Kunikida-san, coba keluarin perban pakai buku catatanmu, deh," usul Nagiko.

Yang diminta langsung mengernyit. "Aku tidak mau buang-buang halaman buku itu untuk sesuatu yang remeh."

"Memangnya Kunikida-san tidak mau ngecek kemampuanmu sudah kembali atau belum?"

Seniornya berpikir sejenak sebelum menggumam 'baiklah'. Dengan masih rebahan ia merogoh bukunya, menulis 'perban' disana.

"Doppo Poet: Perban!"

Cahaya hijau mengelilingi kertas yang Kunikida-san tulisi, lalu muncullah gulungan perban. Pemuda itu dengan lemas menyodorkannya pada Nagiko, kemudian dengan tangannya gadis itu memaksa seniornya untuk duduk. Kunikida-san mengerang, entah karena pinggangnya sakit atau kelelahan atau keduanya.

Dengan segera ia membukakan kancing rompi pemuda itu. Kunikida-san tergagap kaget akan tindakan keponakan bosnya, makin gugup ketika gadis itu mulai membuka kancing kemeja hitamnya.

"NGAPAIN—"

"—pinggangmu itu lho, masih bocor!" sahut Nagiko galak.

Kunikida-san mengatupkan mulutnya, lalu tangannya menurut ketika Nagiko melepaskan lengan kemeja dari kedua tangannya. Gadis itu mengambil sapu tangan dari saku celananya sendiri, mulai mengelap area pinggang seniornya yang terluka. Kunikida-san merintih pelan, dan Nagiko jadi merasa bersalah. Jelas akan lebih steril dan nyaman jika membersihkannya di ruang kebersihan kantor agensi, tapi Nagiko paham pemuda ini masih kelelahan setelah pertarungan yang panjang. Lagipula, jika nanti terinfeksi, Kak Akiko akan tetap bisa menyembuhkannya dengan mudah setelah semua ini berakhir.

Setelah mengelap ala kadarnya, Nagiko mulai membebat pinggang seniornya dengan perban dan sapu tangan pemuda itu yang ia temukan di saku rompinya. Kunikida-san tidak berkomentar apa-apa selama gadis itu bekerja, keponakan Bos ADB itu juga tidak bicara apa-apa.

Suara gadis itu baru muncul lagi ketika ia telah mengikat perbannya. "Selesai."

Seniornya mengangguk dan menggumam 'terima kasih' pelan, lalu mengambil lagi kemejanya. "Sudah terbiasa bantu Yosano-sensei, ya?"

Nagiko menggeleng. "Tidak juga, kadang Dazai-san memintaku memakaikan perban atau tisu toilet di tubuhnya."

" … oh."

Lalu Nagiko cemberut, pasalnya Si Senior memasang wajah tak suka dan tidak mau melihatnya sama sekali—bahkan ketika ia sedang membalutkan perban pada pemuda itu. "Kunikida-san, aku paham aku bukan tipe idealmu, tapi kenapa sekarang jadi tidak mau melihat padaku, sih?"

Pemuda itu mengerjap, lalu salah tingkah, sampai ia salah mengancing kemejanya. "Ap—hah? Bukan ideal gimana?"

Nagiko manyun. "Tadi, kan, Kunikida-san sendiri yang bilang bahwa saat ini aku bukan tipe idealmu."

"… ah, itu—"

"—aku sebal," potong Nagiko.

"Maaf?" Lagi Kunikida-san mengerjap, tapi kali ini ia menatap pada gadis yang matanya telah berkaca-kaca di hadapannya. "Nagiko—"

"Selama ini aku ke kantor dengan pakaian yang kupikir sudah cukup rapi sesuai dengan yang Kunikida-san tulis di bukumu. Awal-awal kita kerja di kantor yang sama pun, aku sampai pakai stocking tiap hari, tapi aku menyerah karena tidak betah, berharap tetap dapat perhatian Kunikida-san karena gaya pakaianku masih rapi. Rambutku kubiarkan panjang dan tetap terurai rapi, tidak kuikat karena Kunikida-san menulis itu juga di bukumu," terang Nagiko.

Pemuda itu mengerjap, dan Nagiko tidak heran.

Air mata gadis itu pun meleleh perlahan. "Aku hanya mengenakan kaos dan celana panjang saat ini karena kupikir aku harus mengenakan sesuatu yang akan memudahkanku bergerak, kemudian Kunikida-san sendiri yang mengucir rambutku. Lalu Kunikida-san malah bilang bahwa aku benar-benar jauh dari tipe idealmu. Maksudmu itu apa?"

Kunikida-san membuka mulutnya, lalu menutupnya lagi. Nagiko menarik nafas berat dan menggeleng pelan, ia menghapus air matanya sendiri, masih bisa bersyukur bahwa ia tidak begitu mengisak saat ini. Satu tangannya yang ia pakai untuk menyeka wajah, terhenti ketika Kunikida-san menangkap tangan itu sambil memasang wajah heran.

"Nagiko, kamu—gaya pakaianmu itu—gara-gara tulisan di buku idealku?" tanya Kunikida-san, terdengar gugup dan tegas bersamaan.

Perlahan gadis itu mengangguk. "Awalnya memang begitu, tapi kelamaan aku terbiasa saja." Lalu ia mencibir. "Saat ini aku mengenakan gaya pakaian seperti itu untuk diriku sendiri, bukan untuk Kunikida-san lagi."

"Tapi—" Kunikida-san menghentikan kata-katanya sendiri, lalu berdeham dan duduk bersimpuh. "Sosokmu yang saat ini, gaya pakaianmu saat ini, memang bukan idealku. Tapi yang membuatku mengatakan kalimat kejam tadi, bukan karena pakaianmu, melainkan karena Dazai."

Nagiko mengerjap bingung. "Dazai-san?"

Kunikida-san mengangguk. "Kamu suka Dazai."

Itu bukan pertanyaan, Kunikida-san hanya memberi pernyataan. Dan semburat merah langsung menghiasi wajah dan telinga Nagiko. "Ap—tidak!"

"Kamu suka Dazai," tegas pemuda itu, lalu menyentuh pelan leher Nagiko. "Dan dia menyukaimu."

"Kunikida-san—"

"Maaf kalau perkataanku tadi menyakiti perasaanmu," lanjut Si Kacamata, ia tersenyum pedih. "Tapi Nagiko, kamu menghancurkan hatiku dengan caramu dan Dazai berinteraksi, walau kadang kalian hanya mencari satu sama lain dengan tatapan mata saja."

Gadis itu mengerjap. "Aku dan Dazai-san mencari satu sama lain dengan tatapan?"

Kunikida-san mengangguk. "Tiap kali akan keluar dari ruang kantor, atau hanya pisah arah, kalian akan pamitan lewat kerlingan mata pada satu sama lain saja."

"Tidak, tidak, kami tidak—"

"Kamu hanya tidak sadar," ucap pemuda itu, ia meremas tangan Nagiko. "Sedangkan aku menyadarinya, karena aku selalu memerhatikanmu dengan caraku sendiri."

Sesaat Nagiko lupa bernafas. Ia tercengang pada dua hal sekaligus. Yang pertama, ia benar-benar tidak menyadari bahwa ia dan Dazai-san seperti punya bahasa lirikan mata khusus di antara mereka—kalau Kunikida-san tidak mengada-ada. Yang kedua, berarti pada satu titik tertentu, Nagiko dan seniornya ini sebenarnya sempat sama-sama tertarik satu dengan yang lain.

Lalu, kapan Nagiko berhenti untuk berusaha menarik perhatian Kunikida-san? Sepertinya, pada suatu saat, dirinya hanya merasa lelah untuk menarik perhatian seniornya itu. Ia berpikir bahwa sekalipun ia telah berhasil mendapatkan perhatian seniornya, ia takut akan dengan mudah ketertarikan Kunikida-san hilang begitu Nagiko lengah dan tidak sengaja melanggar poin ideal pemuda itu. Mungkin kecemasan itulah yang membuat gadis itu tidak mau repot menjadi ideal bagi Kunikida-san.

—apalagi, Dazai-san tampak santai saja menggoda Nagiko kapanpun, tak peduli apa pun yang sedang gadis itu lakukan. Mengenakan piyama, baju kerja, baju santai, Dazai-san tampaknya tidak mempedulikan apapun yang ia pakai. Ia merasa bebas saat bersama Eks Mafia satu itu.

"Nagiko," ucap Kunikida-san lagi setelah mereka hening sesaat. "Terutama sejak beberapa bulan belakangan ini, aku sangat berusaha untuk hanya melihatmu sebagai keponakan bosku sekaligus rekan kerjaku. Aku masih tetap cemburu tiap melihatmu dengan Dazai, tapi aku sudah membiasakan diri. Tapi, dua tahun dari sekarang, jika kamu dan Dazai masih belum bersatu secara sah, aku akan melamarmu."

Nagiko terbelalak, lalu mengerjap. "Eh?!"

Pemuda itu menyengir lalu mengacak puncak kepala gadis itu sebelum berdiri dan melakukan perenggangan—dan ia merintih sebentar karenanya. "Itu janjiku untuk dua tahun nanti. Untuk sekarang, mari kita cari rekan-rekan kita."

.

.

Rekan pertama yang Nagiko dan Kunikida-san berhasil temukan adalah Kenji-kun. Bayangannya menyerang dengan melempar benda-benda berat, sehingga memang tidak bisa ditaklukan dengan jarak dekat. Tapi ketika diberitahu untuk menghancurkan berlian pada bayangannya, Kenji-kun langsung mengambil tiang penunjuk jalan yang telah tergeletak di sebelahnya. Disitu Nagiko paham bahwa Kenji-kun tenaganya kuat bukan hanya karena kemampuan khususnya—tenaganya hanya menjadi berkali lipat ketika kemampuan khususnya aktif, makanya ia masih bisa menangkap tiang tersebut dengan mudah walau sedang terpisah dengan kemampuan khususnya itu. Kenji-kun segera menerjang Sang Lawan, mengayun cepat tiang itu ke kepala bayangannya sampai terdengar bunyi pecahan.

Ketiganya tidak perlu melakukan apa-apa saat menemukan Kak Akiko. Nagiko memekik ngeri pelan saat dilihatnya sang dokter memutuskan tangan lawannya, tapi dengan cepat tangan yang buntung itu kembali tumbuh di badan Si Bayangan. Mengingat bahwa Bayangan Kunikida-san tidak kenapa-kenapa di tengah bara api, Nagiko berpikir bahwa pemandangan yang ini jadi lebih mengerikan. Untungnya, Kak Akiko memang petarung jarak pendek, ia langsung mengayunkan kapaknya pada dahi sang lawan begitu Nagiko memberitahu tentang kelemahan bayangan mereka.

Kak Akiko langsung menyengir lebar pada Kunikida-san setelahnya, meminta untuk jadi kelinci percobaan untuk mengetes kalau kemampuan khususnya benar sudah kembali. Kunikida-san sempat mencoba kabur, tentu saja, tapi Kenji-kun berhasil menahannya, dan Kak Akiko berhasil membuktikan bahwa Thou shall not Die memang sudah kembali padanya.

Setelah itu, mereka bertemu dengan Paman Yukichi yang sedang berjalan di samping stasiun. Wajahnya tampak tegas seperti biasa, dan pedangnya telah tersimpan di pinggang—Nagiko tahu bahwa entah bagaimana pamannya telah berhasil mengalahkan bayangannya. Sadar bahwa keponakan perempuannya ada di depan sana, Bos ADB itu langsung berjalan dengan cepat menghampirinya. Nagiko juga melakukan hal yang sama, ia segera masuk ke pelukan pamannya. Disana gadis itu bisa merasakan nafas lega pamannya, jadi Nagiko menepuk pelan punggung Paman Yukichi, menyiratkan bahwa dirinya baik-baik saja.

"Pak Presdir, Atsushi dan Kyoka telah lebih dulu pergi ke tempat Shibusawa," lapor Kunikida-san.

Paman Yukichi melepas pelukan keponakannya dan mengangguk. Ia tampak memerhatikan anak buahnya satu persatu. "Mana Dazai dan Tanizaki?"

"Menurut Sakaguchi dari Divisi Spesial, Dazai terlihat bersama dengan Shibusawa di Skull Fortress. Sedangkan Tanizaki, kami belum menemukannya," lagi lapor Kunikida-san.

Lagi Paman Yukichi mengangguk. "Kemampuan Tanizaki termasuk yang sangat berbahaya walau tidak mematikan dalam sekejap, jadi kita harus segera mengecek kondisinya. Aku ingin menyarankan agar kita berpencar mencarinya—" Pak Bos menghela, "—tapi kita tidak akan bisa menghubungi satu sama lain karena tidak ada sinyal."

"Kabutnya juga masih lumayan tebal, sulit untuk melihat jauh," keluh Kak Akiko.

"Baiklah, pasang telinga baik-baik, dengar dimana ada suara orang bertarung," titah Paman Yukichi.

"Siap!"

Jalan yang mereka lalui terasa bergetar, entah sudah yang keberapa kali. Ada banyak gedung tinggi di sekitar mereka, jadinya tidak bisa kelihatan posisi Skull Fortress dari tempat mereka berdiri saat ini, pun tahu apa yang sedang terjadi disana, atau entah Atsushi-kun dan Kyoka memang sudah berada di tempat Shibusawa.

Mereka agak berlari sambil memerhatikan sekitar di dalam kabut. Nagiko dan rekan-rekannya sudah tidak mengawatirkan tentang akan diserang oleh kemampuan mereka sendiri lagi, tapi jelas mereka cemas akan Junichiro. Tidak ada suara orang bertarung dari sejak dua puluh menit mereka melangkah setelah bertemu Paman Yukichi, sampai-sampai Nagiko berpikir jelek bahwa pemuda itu sudah tidak sadarkan diri karena kena serang bayangannya.

Yang ditakutkan Nagiko menjadi kenyataan. Kakak Naomi itu dalam keadaan tengkurap tak berdaya, dan bayangannya menginjak kepala anak itu. Junichiro tidak meronta sama sekali, antara karena sudah pingsan atau hanya karena tidak punya tenaga lagi untuk bergerak. Paman Yukichi melesat maju, mengayunkan pedangnya pada Bayangan Junichiro, sedangkan agen detektif lainnya menghampiri tubuh pemuda itu, mengecek kalau ia masih bernafas.

Nagiko dan Kak Akiko mengeluarkan nafas lega ketika Junichiro perlahan membuka matanya. Ia tampak terkejut melihat kedua perempuan itu sampai mengerjap beberapa kali—mungkin berpikir bahwa mereka merupakan salah satu ilusi yang diciptakan oleh Light Snow. Yah, Nagiko tidak bisa menyalahkannya, sih. Tapi, Junichiro sadar bahwa rekan-rekannya memang sudah ada bersamanya ketika ia melihat Paman Yukichi berusaha menebas Bayangan Junichiro yang beberapa kali muncul untuk menyerang Junichiro lagi.

Memang para bayangan hanya tertarik untuk menyerang tubuh aslinya, makanya Bayangan Junichiro tidak berniat menyerang balik Paman Yukichi dan terus-menerus mencari celah untuk menyentuh Kakak Naomi itu. Menurut cerita Bos ADB itu dalam perjalanan tadi, berlian di bayangan mereka bisa dihancurkan oleh siapa saja, karena berlian di bayangan Paman Yukichi pun dihancurkan oleh Pemimpin Mafia, sedangkan berlian di lawan Pemimpin Mafia malah dihancurkan oleh Pemimpin Agensi Detektif Bersenjata. Karena itu, saat ini Paman Yukichi bersama dengan Kunikida-san dan Kenji-kun sedang berjaga untuk bisa menyerang kepala Bayangan Junichiro saat makhluk itu keluar dari persembunyiannya.

Mungkin malu karena ia adalah satu-satunya yang tampak tak berdaya saat ini, Junichiro meminjam pistol yang masih Nagiko bawa.

"Anu, dia hanya akan mengincarku, kan?" tanya Junichiro. "Kalau begitu, aku harus jadi tumbal!"

Kunikida-san saling lirik dengan Paman Yukichi sebelum keduanya mengangguk. Nagiko dan Kak Akiko menjauh dari pemuda itu sambil memegang senjata masing-masing. Kunikida-san menyerukan 'DATANG!' ketika Bayangan itu muncul di dekat Junichiro. Tidak ada yang berani untuk langsung menyerang lawan mereka, karena Bayangan itu dengan gesit mencekik Junichiro dengan tangannya, sembari bagian tubuhnya yang lain ditutupi ilusi salju.

Sepertinya karena tahu ia tidak sendirian, dengan semangat Junichiro menendang ke belakang cepat sampai tangan yang mencekiknya terlepas. Sebelum tangan bayangannya ikut bersembunyi dengan tubuhnya yang lain, Junichiro langsung menembaknya, mungkin telah mengira-ngira posisi kepalanya. Bunyi pecahan terdengar, cahaya hijau pecah dari ilusi salju dan masuk ke dalam Junichiro. Anak itu tersungkur dan menyerukan 'AKHIRNYAAA!' kencang.

Lagi jalanan itu bergoyang. Guncangannya menjadi lebih terasa mungkin karena mereka dalam posisi berdiri saja, bukan berjalan cepat seperti tadi. Tanpa perlu Pak Bos mengatakan apa-apa, para agen detektif segera mengikuti langkah Paman Yukichi yang berbalik badan dan berjalan pergi. Mereka tahu, presdir mereka sedangkan menunjukkan jalan menuju Skull Fortress—bagaimana pun, di antara mereka, pemimpin mereka itu adalah orang yang paling lama tinggal di Yokohama, di dalam kabut pun ia masih bisa tahu jalan.

.


.

Bersambung

.


.