Disclaimer: Jujutsu Kaisen miliknya Gege Akutami.
Genre: Romance, Humour.
Main Chara: Gojo Satoru, Inumaki Toge.
Warnings: DLDR. OOC-ness, alternative universe, misconseption, ageup!Toge, serta seperti kebanyakan peringatan dalam fanfiksi yang telah ada sebelumnya.
Summary: If life gives you lemon, makes lemonade.
INDIGO
Jangan sekali-kali mengatakan kalau Gojo Satoru mengalami tragedi perasaan yang disebut gagal move on, secara face to face. Ini fitnah yang bisa membuat siapa pun menerima tuntutan penjara satu windu dengan instan. Mana mungkin ia menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menyimpan cinta terhadap seseorang, life must go on, dan setiap detail cerita hidupnya bukanlah konsumsi publik. Oleh sebab itu, buat apa dibesar-besarkan saat memiliki pacar yang baru?
Namun, memang ada hal-hal yang dianggap sebaiknya jadi rahasia harus dibeberkan ke beberapa orang, atau rumor bodoh semacam Satoru masih mencintai bekas kekasihnya menjadi topik utama perbincangan di grup chat. Masalahnya adalah, mantan pacar yang dimaksud itu sebentar lagi menikahi teman baik yang dikenalnya sejak remaja.
Awalnya laki-laki itu berusaha agar tidak terpancing amarah, tapi semua berubah waktu sang sahabat menelepon, memastikan bahwa pernikahan mereka tidak menjadi masalah tersendiri bagi tuan muda Gojo. Kendati rasa kesal telah sampai di ubun-ubun kepala, dia tetap berupaya sekalem mungkin meyakinkan kalau dirinya fine-fine saja – bahkan ikut berbahagia.
"Aku bahkan lebih memilih berkencan dengan Bayer daripada mengambil tunanganmu. Oke?"
Terdengar suara tawa Geto Suguru, lalu diikuti permintaan maaf kasual sebab sudah berasumsi over-dramatis. "I'm your best-man, Dude. So, just trust me." Sedemikian klise lagi maha konyol kalau terhasut ego, lalu serta-merta mengaku telah memiliki pacar tanpa sepengetahuan sahabatnya itu, jadi Satoru memutus saluran komunikasi mereka dengan alasan mau mencari kado spesial untuknya.
Dan menghela napas panjang waktu menerima pesan yang mengingatkan, bahwa besok ada jadwal gladi bersih acara pernikahan, jadi Gojo yang didaulat sebagai best-man harus datang. Sungguh, detik ini dia tidak punya perasaan apa-apa pada mantan kekasihnya, tapi desas-desus yang menyeret namanya tentu sukses bikin keki setengah mati.
Lagipula kenangan manis apa dari hubungan yang cuma bertahan dua bulan? Terutama mengingat kenyataan kalau kisah kasih ini terjadi semasa duduk di bangku sekolah menengah atas. Come on, sudah lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Kenapa tetap jadi gosip top hits, sih? Jujur saja, kalau Suguru bukanlah tangan kanan sekaligus kawan baiknya, ia takkan mau datang ke acara sakral tersebut. Terserah orang mau berbicara apa tentangnya, Satoru bisa dengan gampang men-silent notifikasi grup chat selama yang dibutuhkan.
Namun, big no-no! Apabila sampai nekad tidak muncul ke grup sama sekali, nanti Geto akan kembali berpikir ada yang janggal, dan cepat-cepat menelepon seperti tadi. Satoru sangat berterima kasih atas perhatian sang sahabat, tapi itu benar-benar keterlaluan, bikin dilema dalam artian yang berbeda. Sialan! Laki-laki beriris aquamarine tersebut benci mengakui drama bodoh semacam ini terjadi dalam hidupnya.
Semoga tidak ada yang lebih konyol dan dramatis lagi.
Suguru merupakan teman baiknya semata wayang, orang yang dipercayainya untuk mengurus berbagai urusan, bahkan banyak kolega dan nyaris seluruh karyawan lebih mengenal pria berponi unik itu sebagai bos besar. Satoru lebih memilih bekerja di balik layar, datang ke pertemuan maha penting saja, dan enggan membuang waktu sekadar hadir dalam rapat kecil yang dapat diselesaikan dengan cepat.
Hal yang lucu sekaligus ironi adalah, bagaimana mungkin Suguru bisa meragukan pernyataan (super) jujurnya. Lelaki eboni itu satu-satunya orang yang hafal mati siapa saja mantan-mantan kekasih Gojo, bagaimana riwayat percintaan yang bersangkutan, dan penyebab berakhirnya hubungan, ketika dirinya sendiri saja sudah lupa parah – serius, bahkan yang dimaksud mampu menjelaskan sesuai abjad nama para bekas pacarnya atau kronologi waktu.
Satoru menghela napas panjang, merasa terlalu lelah untuk menghabiskan energi sekadar berjalan ke sana-sini buat memilih kado, jadi memutuskan untuk mencari besok saja sepulang dari gladi bersih. Lagipula ini bisa jadi alasan yang bagus agar dapat secepat mungkin meninggalkan lokasi acara, dia bisa mengaku sebelumnya tak sempat karena terlalu sibuk atau lupa.
o O o
Hari esok yang tidak dinanti pun tiba, mau seenggan apa Satoru berada di ballroom acara, ingin menolak setengah mati, dirinya tetap datang dengan memasang senyum kalem andalan. Sempat terlambat dikarenakan tersasar ke ruangan lain, yang dianggap Suguru lucu sekali. Sedemikian gampang lelaki eboni tersebut berkata, "gedung pencakar langit ini milikmu, Gojo-sama. Dan saya sudah memberikan sign berupa arah panah yang menuju ke sini dari parkiran." Berlebihan sekali, iya. Hanya saja memang begitu realitanya.
Sengaja berbicara (sok) sopan, dan tetap mengimbuhkan sufiks 'sama' di luar urusan profesional.
Tolong dicatat, tercantum sindiran halus dalam kalimat itu. Thank you.
Satoru sudah tahu akan bertemu dengan beberapa wajah familier di sini, tapi cukup terkejut begitu mengetahui sepupu maternal-nya, Okkotsu Yuuta, ternyata menjadi groomsmen. "Gojo-niisan, apa kabar? Oh, iya, ini Zenin Maki. Pacarku," tegur simpel lelaki muda yang berbeda marga darinya, Satoru pun berjabat tangan dengan gadis tersebut.
Satoru langsung penasaran saat didengarnya Maki bertanya, "ini sepupu yang mau kau kenalkan ke –"
Sayang, lisan tadi terhenti seketika begitu terdengar sang calon pengantin pria bertanya, "mana Toge?" dan laki-laki bernetra sebiru langit itu memilih untuk lebih memfokuskan perhatian ke dekorasi ruangan, merasa tak punya alasan untuk ikut campur dalam pembicaraan mereka. Namun, Yuuta sempat berujar agar Satoru mengecek pesan yang telah dikirimnya.
Memang tidak ada yang berani mengungkit topik hangat di chat grup lagi, tapi para tamu undangan yang diwajibkan mengikuti gladi bersih hari ini tampak ragu mengajaknya mengobrol – teman-teman akrab Suguru yang juga rekan sekolah mereka dulu. Terutama ketika dia menegur lelaki yang akan dinikahi sahabatnya dengan santai, "apa kabar, Yuri Mahito?" Satoru bisa merasakan orang-orang di sekelilingnya seolah menahan napas tegang.
Pria muda berambut abu-abu panjang yang menerima tanya tersenyum, lalu memberi respons lisan berupa, "Fine. Kau sendiri bagaimana?" Satoru memberikan jawaban yang sama, bahwa dirinya tentu baik-baik saja. Tatkala dipikirnya basa-basi mereka akan segera berakhir, tunangan Suguru ini kembali melisankan kalimat interogatif, "kenapa datang terlambat? Apa sign-nya terlalu kecil atau kurang menarik perhatianmu?" para manusia di sekitar yang ikut mendengar acap menutup mulut. Frontal sekali, saudara-saudara.
Kalau cuma diejek rekan sekolah, dia masih bisa kalem. Menerima sindiran dari mantan, itu lain cerita.
Satoru tetap seadem mungkin menanggapi, "yaa, aku kurang familier dengan hotel ini."
"Setidaknya kau tidak membuat kami menanti selama empat jam," oke, sekarang Satoru berani jamin kata-kata itu merupakan sindiran, mengungkit-ungkit kesalahan lamanya yang membuat mereka putus. Terlebih di waktu Mahito melanjutkan, "Babe, berapa kali Gojo-sama membuatku menunggu sampai menangis seperti orang goblok dulu?" lantas menarik lengan Suguru untuk dipeluknya.
"Tiga? Ooh, my bad! Lima."
Mohon ditulis lagi, terdapat insinuasi cukup keras di situ.
Satoru tahu sahabatnya itu tak punya niatan buruk, cuma suka membuatnya kikuk di momen tertentu.
Geto Suguru… arigatou, terima kasih banyak, thank you so much. Next?
Memang tidak sebaiknya berlama-lama berada di sini, maka sesaat latihan untuk acara pemberkatan besok dinyatakan selesai, Satoru langsung pamit. Tanpa menoleh ke arah belakang dia bergegas pergi, dan untungnya tak terjebak dalam kekonyolan lain semacam tersesat lagi atau bertemu kenalan penting yang mengharuskan dirinya berbasa-basi sebentar.
Berniat merealisasikan ide yang sempat tertunda kemarin buat mencari kado, kebetulan juga karena pusat perbelanjaan masih satu blok dengan hotel tadi, maka Satoru cukup memutar direksi mobilnya menuju parkiran big mall. Sebentar mengantre di depan pintu utama supermarket, mengambil ponsel yang bergetar sebab menerima pesan masuk, membaca chat dari Yuuta yang bertumpuk, menanyakan apakah dirinya saat ini masih sendiri atau telah memiliki pacar baru. Hah, jangan-jangan dia berkonspirasi dengan Suguru, jadi mari abaikan saja pesan interogatif itu.
Sehabis menaruh ponselnya ke daskbor, mengenakan kacamata hitam, dan mendadak terdengar seseorang mengetuk pintu mobilnya dari luar, mendapati lelaki mungil berambut pirang platinum ditemani ekspresi kurang sabar melambaikan tangan padanya. Terutama ketika sosok tersebut dengan mulut komat-kamit terlihat berkata, "sibuk apa, sih? Open the door!" Satoru kontan menekan tombol agar pintu kursi penumpang di sebelahnya terbuka.
Kemudian semakin gagal paham saat pemuda seenaknya itu memasang tampang takjub, karena pintu mobil terbuka ke arah atas. Sambil memasuki kendaraan terdengar dia berkata, "such a nice car. Damn!" mereka saling tatap beberapa detik, sampai orang asing tersebut kembali memerintah Satoru, "tunggu apalagi kau? Jalan, gih!" ia spontan menginjak pedal gas.
Gojo Satoru lupa menanyakan satu hal krusial… who are you?!
o O o
Tatkala Inumaki Toge menerima permintaan menjadi groomsmen oleh kakak tingkat yang ditaksirnya semasa kuliah dulu, dan sialnya sekarang menjabat sebagai bos tempatnya bekerja, otaknya sudah memberikan warning agar menolak dengan berbagai alasan – mau itu irasional sekalipun. Akan tetapi, secara kurang ajar mulutnya melisankan sebuah persetujuan, ditemani anggukan kepala yang sedemikian yakin.
Dan beginilah keadaan yang bersangkutan sekarang, terjebak dilema perasaan tanpa kata akhir. Terutama saat diminta hadir untuk acara gladi bersih sebelum pernikahan besok, Toge benar-benar berharap bisa melarikan diri ke planet Mars. Kedua teman baik yang juga didaulat menjadi pendamping pengantin, Yuuta dan Maki, hanya bisa memberi semangat serta mengucapkan kalimat-kalimat bijak seperti…
"What doesn't kill you makes you stronger." Yuuta Okkotsu, ketua divisi human resources, berkata sembari mengelus pundaknya sayang, ditemani senyum sehangat matahari pagi. Zenin Maki mungkin kurang banyak bicara, tapi wanita berambut evergreen sebahu itu bersedia merogoh kocek yang cukup banyak untuk mentraktir makan sahabatnya yang lagi terluka di restoran Prancis.
Oke, quote yang barusan didengarnya itu memang bagus sekali, tapi Toge jauh dari kondisi harus membuat pilihan yang berakibat hidup atau mati. Bukan, manusia berwajah baby-face yang sedang galau ini tidak punya pikiran untuk mengacaukan acara bahagia orang lain, tapi lain lagi masalahnya kalau wajib (berpura-pura) ikut senang.
Apa yang dipikirkan Suguru waktu memintanya menjadi groomsmen? Katanya, karena Toge merupakan salah satu orang terdekatnya, jadi tepat saja memilihnya buat menjadi pendamping pernikahan. Salahkan juga dirinya yang sebegitu bodoh lagi maha masokis sampai berakhir begini. Mau mengutuk siapa? Toh, dia juga sumber masalah utamanya.
Dipikir-pikir lagi, apa yang membuatnya bisa jatuh hati pada pria beriris segelap malam itu, yaa? Mungkin karena wajahnya yang memang tampan sekali, terus… ooh, masih ingat betapa takjub dirinya ketika tahu yang bersangkutan kuliah di jurusan yang sama dengan Toge tapi ternyata berjenjang doktorat. Selain itu, Suguru juga begitu loyal dan ramah, sering mengajaknya ngobrol atau menonton film bersama-sama.
Toge masih bisa ingat, di waktu dirinya kebingungan memasuki kampus pertama kali, Suguru merupakan manusia pertama yang mengajaknya ngobrol. Juga masih segar dalam memorinya, dia satu-satunya orang yang bertepuk tangan sedemikian meriah seusai laki-laki berponi unik itu menyelesaikan sidang disertasi.
Belum lagi karena si eboni juga, dia bisa mengenal Yuuta dan Maki, berteman baik dengan mereka berdua sampai sekarang. Oleh sebab itu, begitu Toge menyelesaikan studi noktariat, tanpa pikir panjang menyetujui ajakan lelaki tersebut agar mengurus hal-hal yang berkaitan dengan hukum buat perusahaan Suguru.
Well, bukan pilihan yang buruk sebenarnya. Soalnya memang sulit juga untuk mendapatkan pekerjaan semudah ini di perusahaan berkaliber internasional. Kendati tugas-tugas yang harus dikerjakan bukan main banyaknya, tapi setiap uang gaji masuk ke rekening, Toge otomatis meninggalkan pikiran buat resign – bahkan, tak percaya sempat memiliki ide (nista) itu.
Isi pikiran yang sempat melanglang buana kembali menemui realita saat didengarnya Maki melisankan berita, "kita seharusnya sudah di ballroom sekarang," seraya mengarahkan layar ponsel tepat ke depan muka Toge – dapat dilihatnya isi pesan Geto yang menanyakan keberadaan mereka, serta meminta ketiganya segara datang.
Merasa semakin enggan meninggalkan resto tempatnya melarikan diri dari kenyataan yang harus dihadapi, ia sangat khawatir bakal tampak seperti manusia bego ketika bertemu calon suami Suguru nanti. Siapa namanya, sih? Mahito Yuri? Menurut Maki yang pernah sekali bertemu laki-laki itu, katanya bukan tipikal yang dapat cocok berteman akrab dengan mereka.
Sibuk memertimbangkan segudang hal, meski telah beranjak berdiri, tapi keputusan yang diambilnya adalah, "ka-kalian saja yang pergi," ujarnya sambil mulai merapikan barang-barangnya yang berserakan di atas meja, memasukan berkas-berkas penting, dompet, laptop, bahkan saking tergesa-gesa ponselnya yang sudah tua pun terjatuh.
Yuuta tetap mencoba membujuknya, "Ayolah! Kau tidak sendirian di situ, kan? Ada kami juga."
Seolah tak mau lagi mendengar celotehan teman baiknya, lelaki manis itu acap menyampirkan tas selempang ke punduk. "Thanks buat traktiran hari ini. Tolong kasih alasan apa pun kalau Suguru-san tanya. Sampai jumpa besok, guys." Tentu saja yang bersangkutan pasti meminta penjelasan dari ketidakhadiran salah satu groomsmen-nya. Ia tahu sekali lagi menyusahkan Yuuta dan Maki, tapi rasanya memang itu pilihan terbaik. Fix, pokoknya nanti Toge harus membalas kebaikan serta kesabaran sepasang kekasih tersebut dengan membelikan mereka aksesoris couple.
Sebelum mengambil langkah pertama, masih sempat kedua teman akrabnya ini menghentikan pergerakan tubuh Toge dengan menghadangnya. Maki kontan bersuara, "tapi besok kau pasti datang, kan? Janji." Ia menghela napas pendek sejenak, mengalihkan pandangan ke direksi lain, kembali menatap Yuuta dan pacarnya secara bergantian, dan mengangguk pasrah.
"Dan kau harus mau kuperkenalkan dengan sepupuku, Gojo Satoru, kalau dia belum punya pacar baru."
Deal.
Tak ada lagi yang menghalangi Toge untuk pergi, langsung berjalan laju-laju sebelum duo manusia tadi berubah pikiran, lalu mengejar agar memaksanya tetap ikut. Syukurnya bangunan hotel tempat diadakan acara bersebelahan dengan big mall, jadi ia cukup menyeberang sedikit, dan sampailah di supermarket. Berniat belanja kebutuhan apartemen yang hampir habis, sekaligus menyetok banyak camilan untuk menemaninya bermelankolis semalaman.
Awalnya mengira telah sukses menghindari problema tersulit, nyatanya Toge dibuat mengucapkan kata, "fuck!" dengan mood semakin kacau begitu mendapati ponselnya eror. Blank, mati total, bahkan layarnya pun retak sedikit. Dikarenakan tadi menumpang di mobil Maki, sekarang pria berusia dua puluh empat tahun ini bingung menemukan cara pulang. Bagaimana dia bisa memakai jasa transportasi online, coba?
Harusnya ia mendengarkan saran Yuuta agar segera membeli handphone baru yang lebih canggih sesuai kemajuan teknologi. Kalau sudah begini, sama saja cari perkara lain kalau berani mendatangi kedua teman dekatnya di ballroom hotel sebelah. Syukurlah otaknya tetap bisa bekerja optimal, mendadak datang sebuah ide untuk meminta bantuan satpam dengan terlebih dahulu menceritakan masalahnya.
Dan sekali lagi, untungnya ada yang bersedia membantu. "Terima kasih banyak. Nanti biar saya bayar tunai saja, jadi tidak perlu pakai saldo e-pay Bapak." Bukan cuma itu, sebagai bentuk balas budi Toge pun nyaris memberi semua camilan yang dibelinya kepada sang penolong. Setelah mendapat detail kendaraan yang dipesan secara daring, ia berdiri di samping pintu supermarket. Hal yang paling diingatnya yaitu, "warna merah," sambil melihat-lihat deretan mobil yang mengantre lumayan panjang.
Ah, itu dia!
Barangkali ia sudah terlalu lelah menghadapi berbagai drama yang terjadi, maka enggan memerdulikan rincian penting lain. Selama kendaraan roda empat itu berwarna merah, mau tipe dan merk apa bakalan sama saja, terutama sang supir terlihat asyik dengan ponselnya – pasti sedang memastikan keberadaan penumpang. Toge mengetuk-ngetuk kaca mobil beberapa kali, menjadi kurang sabar karena lama baru menerima respons.
Begitu indera visual mereka saling bertatapan, serta-merta Toge berkata, "sibuk apa, sih? Open the door!" dan ekspresi muka takjub gagal dia sembunyikan, kala mendapati pintu terbuka ke arah atas. Kan, ini ciri khas mobil-mobil mahal yang harganya bukan main. Namun, isi kepalanya terlalu capek untuk dipakai berpikir jernih. Main seenaknya duduk di kursi penumpang, "such a nice car. Damn!"
Lantas, entah kenapa si supir tidak menjalankan kendaraan, malah menatapnya bingung. Bikin Toge geregetan sampai tanpa sadar meninggikan suaranya buat melisankan perintah selanjutnya, "tunggu apalagi kau? Jalan, gih!" laki-laki yang duduk di kursi kemudi itu pun spontan menginjak pedal gas, pergi meninggalkan halaman mall. Ah, ada satu informasi penting yang harus disampaikan agar tidak terjadi miskonsepsi. "Ooh, iya, aku memesan pakai aplikasi dari ponsel orang lain. Cuma tenang saja, alamatnya sudah sesuai, kok."
Setelah beberapa detik berlalu, baru didengarnya sang driver menanggapi singkat. "Oke?"
Kenapa nada bicaranya terdengar aneh begitu, yaa?
o O o
Meskipun mulutnya tadi melisankan kata, "oke," seusai mendengar penjelasan dari sosok asing tersebut, faktanya Satoru sama sekali tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi. Mau bertanya tentang identitas orang di sebelahnya pun ragu, jadi dipilihnya untuk membiarkan keambiguan ini berlanjut. Toh, entah mengapa dia merasa tak perlu khawatir akan menjadi korban kejahatan si cowok imut.
Nyaris lima belas menit berlalu dengan keduanya berdiam diri, sesekali ia melirik lelaki berambut platinum blonde itu yang tampak memerhatikan interior dalam kendaraan roda empatnya. Mungkin keadaan akan terus didominasi suara mesin dan keramaian lalu-lintas, kalau tidak didengarnya manusia (aneh) tersebut memuji, "astaga! Ini benar-benar mobil yang bagus. Kenapa dibikin taksi, sih? Sayang, loh."
Satoru otomatis gagal paham, melihat laki-laki di sampingnya dengan ekspresi yang secara non-verbal berkata, "wait! What?" dan jadi semakin kebingungan waktu sosok tersebut menegur, bahwa ia salah mengambil arah jalan – harusnya tadi belok kanan setelah melewati traffic light, bukan kiri. Yaa, dia sadar kadang sulit menentukan arah atau membedakan tempat, tapi kali ini seribu persen bukan salahnya.
Keadaan semakin janggal ketika penumpang (sialan) ini tiba-tiba melemparkan tatapan dramatis, sambil menutup mulutnya dengan tangan kanan. Kemudian diikuti dua kata berbeda intonasi, "what? Wait!" Satoru spontan menginjak pedal rem sesaat didengarnya dugaan (fitnah) ini terlisan simpel, "jangan bilang kau membawa mobil Bos-mu untuk cari uang tambahan, yaa?!" dari orang yang sesuka hati menginvasi sport car-nya.
Mereka kembali hening, sampai indera auditoris Satoru menerima perintah baru berupa, "stop! Stop!" membuatnya terpaksa menepi buat menghentikan mobil. Mendapati sosok yang tadi duduk di kursi kemudi seenaknya keluar, berjalan ke arah belakang untuk mengamati kendaraan, lalu setengah berlari mendekati lelaki beriris aquamarine ini. Serta-merta berceloteh takjub, "what the – Aston Martin?!"
Satoru sendiri bingung begitu menemukan dirinya berucap singkat, "Vanquish."
"Apa?"
Menghela napas pendek sebelum menuturkan klarifikasi, "Aston Martin Vanquish."
"Bung, kalau aku Bos-mu, bukan cuma dipecat, kau juga bakal kulaporkan ke polisi."
"Hah? Salahku apa, coba?!"
"Menggunakan properti orang lain tanpa izin. Itu pelanggaran hukum."
Dan benar saja prediksinya, bahwa percakapan ambigu mereka naik level. Terus apa katanya barusan? Begitu gampang menuduh Satoru memakai barang orang lain tanpa izin. Sejujurnya, kalau boleh sedikit sombong, dia bahkan tidak peduli mobil apa yang dipilihnya untuk dibawa hari ini. Laki-laki berambut icy-white tadi mengambil kunci kendaraan yang berjejer rapi di gantungan khusus tanpa pikir panjang, saat sampai garasi dan menekan tombol immobilizer, mendapati Aston Martin berwarna merah inilah yang merespons.
Haruskah laki-laki itu menyebutkan satu per satu merk dan tipe kendaraan mewah yang dimilikinya agar tidak dipandang rendah begini? Absrud! Satoru sukses dibikin sangat kesal, bahkan sindiran sang mantan sebelumnya terasa receh. Bisa saja ia membuang barang penumpang kurang ajar ini, lalu pergi tanpa perlu merasa berdosa, atau menabraknya saat yang bersangkutan berjalan melintasi depan mobil untuk kembali duduk di sampingnya.
Akan tetapi, big no-no. Satoru takkan mau dituduh sengaja menjadi kriminal agar absen hadir ke acara pernikahan bekas pacarnya. Itu akan jadi ejekan bodoh yang bertahan hitungan tahun. Ia merebahkan punggung ke sandaran kursi, menyilangkan tangan di depan dada, berusaha mendistraksi amarah. Namun, tampaknya si biang masalah enggan membiarkan dia meraih ketenangan (batin) yang dibutuhkan.
Sumpah, baru kali ini ada yang meremehkan Satoru, dan tuan muda Gojo memilih diam bersabar.
"Ehm…" dengan malas dia menoleh ke sumber suara. Kemudian mendongkakkan kepala pelan sebagai isyarat agar orang itu melanjutkan kalimatnya yang tertunda – efek ragu atau apa. "Bisakah kita balik ke mall sebelumnya? Aku lupa membeli kado untuk pernikahan temanku besok." Ah, iya! Satoru baru ingat alasan utamanya ingin mampir ke pusat perbelanjaan tadi.
Tunggu dulu! Dia juga punya kawan yang mau menikah besok?
Alih-alih mencari jalan agar dapat memutar arah, Satoru malah melaju lurus dengan kecepatan cukup tinggi, dan tahu-tahu memarkir mobilnya di mall lain. Ada yang aneh, sebab mendadak penumpang (sialan) ini memasang ekspresi segan. Mereka keluar dari kendaraan, melangkah beriringan sampai melewati pintu masuk pusat perbelanjaan, terus-menerus tanpa perbincangan hingga lelaki beriris ametis itu bersuara, "Sorry merepotkan, yaa. Nanti kubayar double, kok."
Fucker! Kenapa malah meminta maaf untuk hal seremeh ini?
"Tidak perlu. Aku juga butuh mencari kado buat pernikahan sahabatku, kok."
Mendadak ada yang menarik lengan jas Satoru, laki-laki yang memang jauh lebih pendek darinya itu mengarahkan destinasi mereka agar berhenti di depan stan penjual minuman. Lantas menawarkan, "kau mau rasa apa?" sebentar mengamati daftar menu, lalu tertarik dengan brown sugar boba-milk. Ketika mau mengambil smartphone untuk melakukan pembayaran non-tunai, disadari si ahli waris seluruh kekayaan keluarga Gojo ini kalau ponselnya tertinggal dalam daskbor mobil.
"It's ok. Aku yang traktir."
Laki-laki imut itu meletakkan kamera belakang ponselnya sejajar dengan barcode, malah mengeluh pelan, memerlihatkan ke Satoru layar telepon genggam (kuno) yang gelap serta retak. Memasukkan benda tersebut dalam saku celana, lalu mengambil dompet dari tas selempangnya. "Untung aku selalu bawa duit tunai," ucapnya sembari memberi uang pada penjaga kasir buat membayar pesanan mereka.
Oke, Satoru mulai punya pandangan positif terhadap orang asing itu.
Mereka memutuskan untuk memasuki toko jam, sebab lelaki anonim ini berniat membeli couple watches untuk calon pengantin yang berbahagia. Sementara dia sibuk memilih, Satoru memutuskan balik ke mobilnya lagi buat mengambil ponsel yang tadi tertinggal. Sebentar menduduki kursi kemudi, tersenyum tipis sambil melihat gelas yang berisi minuman boba di tangan kirinya, lalu bergegas mendatangi makhluk Tuhan yang sampai sekarang tidak diketahui namanya.
Satoru pikir laki-laki itu telah sukses menentukan hadiah apa yang ingin dibelinya. Akan tetapi, justru menemukan yang dimaksud asyik memandangi sepasang jam berwarna silver. "Kau mau beli yang ini?" kalimat tersebut bikin si penerima tanya terkejut ringan, spontan menjatuhkan direksi netra padanya, menghela napas pendek, lalu diikuti gelengan kepala pelan.
"Aku tidak tahu seleranya. Jadi mungkin Suguru-san takkan suka." Pria muda tersebut melenggang pergi begitu saja. Berjalan lambat, maka sangat mudah bagi Satoru mengejar dengan kaki jenjangnya. Mereka berhenti lagi waktu bertemu stan es krim, dan meskipun sudah bisa membayar pesanan, entah kenapa dia tetap membiarkan orang tersebut yang mentraktirnya.
"Omong-omong, namamu siapa?"
"Satoru Gojo." Lawan bicaranya tampak berpikir setelah mendapati jawaban itu, seakan mengingat kapan dan di mana pernah mendengar nama tersebut. Jelas ia gagal me-recall, jadi mengangkat kedua bahunya bersamaan, lalu menyendok es krim buat diarahkan ke mulut mungilnya. Dan satu ide ambigu tiba-tiba menyambangi otak si sky-blue…
Apa rasanya mencium bibir tipis yang seolah menantang itu? Ah, gila! Satoru pasti sedang kelelahan.
Manusia di sebelahnya mengajak bersalaman, lalu diikuti ucapan, "namaku Inumaki Toge."
Sesuatu yang unik memang mudah tersimpan dalam memori. Satoru ingat beberapa kali menemukan laporan perusahaan yang ditulis serta ditanda-tangani seseorang dengan nama Inumaki Toge, jadi merasa cukup familier. Ah, barangkali sekadar kebetulan saja, jadi tak perlu beranggapan adanya suatu sign. Lebih baik memfokuskan perhatian pada kado apa yang bagus buat teman baik dan mantan pacarnya.
Sejauh ini dia mengikuti saja ke mana tujuan Toge, dari gerai jam tangan sebelumnya sampai memasuki toko asesoris harian. Melihatnya tertarik pada sepasang gantungan ponsel dengan hiasan abjad ke-13 dan 25 di ujung tali. M-Y for Mahito Yuri? Sekarang Satoru benar-benar yakin itu bukan suatu kebetulan belaka. "Apa besok pernikahan temanmu dilaksanakan di ballroom hotel dekat mall tadi?"
Jujur, Satoru berharap dugaan cerdasnya salah total. Namun, siapa yang tidak pernah dikhianati realita?
Toge mengangguk.
Fuck!
"So, ini kado buat Yuri Mahito?"
Syukurlah, kali ini lawan bicaranya menggeleng selaju lari citah. Kemudian berujar, "Maki dan Yuuta. Mereka teman baikku." Lantas, keduanya tampak asyik berpikir, saling menatap dengan nanar menyelidik. Satoru memang mengenal dua nama tadi. Seolah telah memiliki asumsi sejalur, tiba-tiba mereka menjentikkan jari bersamaan, seraya berbarengan menyebut sebuah nama.
"Geto Suguru."
Fix. Mereka sedang mencari kado untuk si eboni dan calon mempelainya.
What a small world.
"Ooh, jadi kau supirnya Suguru-san? Astaga!"
Tatkala ia pikir sudah menemukan titik terang yang bisa dijadikan bahan obrolan, faktanya lelaki beriris secerah langit ini kembali dibikin gagal paham, dan sekarang memasuki mode advanced level. Supir siapa katanya tadi? Serius? Malah yang ada justru sebaliknya, Suguru yang sering mengantarnya ke mana-mana.
"Satoru-san, mana boleh begitu,"dikawani ekspresi muka iba serta nada suara yang (sok) berusaha memaklumi, Toge menepuk bahunya. Lantas meneruskan lisan dengan, "kalau memang Bos sedang tak butuh bepergian, kau jangan memakai mobilnya buat mencari rezeki lain." Seusai menyelesaikan kalimat tersebut, lelaki yang telanjur miskonsepsi terlalu jauh ini beranjak mendekati loket pembayaran.
Ah, ternyata benar! Dia si Toge yang sesuai dengan prediksi Satoru. Seunik ini orangnya, yaa?
"Aku tidak akan melaporkan apa pun. Namun, berjanjilah atas nama orang tuamu ini yang terakhir kali."
Ia enggan memberi klarifikasi panjang. "Oke. Thanks," jadi cukup itu responsnya.
Adu-du-duh! Bukankah untuk sebuah kesalahpahaman sepihak ini terlalu ekstrem?
Mencoba meneruskan konversasi dengan tema yang lain, "jadi kau kenal Yuuta juga?"
"He's my bestfriend. Ooh, iya, tadi dia bilang mau mengenalkanku dengan sepupunya. Lupa, ah"
Mengingat isi pesan yang tadi diterimanya dari objek pembicaraan, otak brilian Gojo langsung memahami maksud adik sepupunya yang berbeda marga itu. Tersenyum ambigu sendiri, sebab yakin Dewi Fortuna sedang asyik menjahilinya. Pikiran yang melang-lang buana spontan fokus, ketika menyadari sosok mungil yang barusan berdiri di sebelahnya kini menghilang begitu saja. "Ayo, ke toko pakaian. Aku sudah dapat ide,"dan kaget waktu mendapati orang yang dicari muncul dari belakangnya.
What? Wait!
o O o
Jangan kira kalau drama konyol yang terjadi dalam hidupnya sekarang telah mencapai titik maksimal, yang satu ini malah dapat dikategorikan sial. Begitu mereka hendak memasuki gerai pakaian pria, Satoru bertemu dengan orang yang paling dihindarinya. Melisankan kalimat sarkas, "kau selalu berisik seperti biasanya, yaa, Bayer Kyu," berharap yang bersangkutan paham kalau diminta pergi.
Di momen Bayer mendekatinya, Toge kontan berjalan meninggalkan terlebih dahulu, memang terlihat sekali enggan dianggap pengganggu. Oleh sebab itu, Satoru duduk di bangku khusus yang disiapkan toko, sedangkan lelaki ametis tadi berkeliling buat melihat-lihat. Kemudian mendekati mereka setelah selesai melakukan transaksi pembayaran, tampak ragu buat mengajak keluar.
Paham terhadap gerak-gerik canggung itu, maka Satoru pun menarik tangan kirinya yang bebas, berjalan meninggalkan pria berambut hitam panjang tadi. Ternyata Bayer belum menyerah, turut mengikuti direksi perginya mereka, bahkan sesekali mengajak Toge bicara. "Kalian pacaran?" sejenak keduanya menyetop langkah, menatap bingung ke sosok yang menuturkan tanya, tapi tak seorang pun menanggapi.
Sampai di parkiran mobil pun Bayer masih membuntuti mereka, dan kali ini Toge berhasil dibikin keki. Menaruh barang belanjaan ke kursi penumpang, lalu serta-merta menuturkan kalimat sindiran yang lumayan kasar, "apa kau tidak malu mengejar pacar orang lain? Hargai dirimu sendiri." Lantas memasuki kendaraan tanpa bersedia menoleh ke lawan bicaranya. Satoru tahu dia memang tipikal blak-blakkan, tapi ternyata bisa se-frontal itu juga.
"Gojo Satoru, dia benar-benar pacarmu? Serius?"
Buang-buang waktu dan energi saja menghadapi makhluk menyebalkan satu ini, jadi Satoru memilih memasuki mobilnya, dan siap menyalakan mesin. Akan tetapi, niat itu batal sebab Bayer mencegahnya menekan tombol starter dengan menggenggam erat-erat lengan kanan jasnya. Mau tak mau ia kembali menatap jenuh sosok yang merunduk agar tinggi mereka setara.
Jari telunjuk Bayer mengarah pada Toge, "apa bagusnya dia, sih? Petite begini."
Hal yang selanjutnya terjadi benar-benar jauh di luar perkiraan Satoru. Tatkala dua telapak tangan anonim menangkup pipinya, secara halus memaksa agar si iris aquamarine hanya terfokus pada netra batu kecubung, dan tahu-tahu bibirnya bersentuhan dengan sesuatu yang begitu lembut dan manis. Lambat laun otaknya mampu mencerna, bahwa Toge sedang menciumnya mesra.
Wait! What?
Menaruh tangan kirinya di tengkuk leher Toge, membuat yang bersangkutan semakin mendekatkan tubuh mereka. Tangan kanan pun tak tinggal diam, pelan-pelan menarik baju kemeja lelaki itu dari belakang, memberi akses agar dapat mengelus punggungnya sayang. Menghentikan kegiatan panas tersebut karena keduanya butuh memasok ulang oksigen.
Damn! Satoru lupa kapan terakhir kali mencium seseorang seliar, sebebas, dan senafsu itu.
… dengan rasa yang sedemikian sweet pula.
Toge pun mendireksikan atensi pada manusia yang menjadi saksi bisu adegan hot tadi. Tanpa ironi berkata, "apa bagusnya si petite ini? Well, seperti yang kau lihat barusan. I'm a great kisser," ditambah dengan senyum penuh kemenangan. Akan tetapi, sayang, sunggingan bibirnya tak bertahan lama, sebab tiba-tiba Bayer menarik kerah bajunya, lalu melayangkan tamparan ke wajah baby-doll itu.
Dia merasa sedemikian bersalah karena tak sempat menahan laju tangan yang memukul Toge, tapi bereaksi cukup cepat untuk mendorong pintu mobilnya, dan menyebabkan Bayer jatuh terduduk ke tanah. Hampir sukses membalas perbuatan lelaki itu, tapi sosok paling mungil di antara mereka sekuat tenaga melerai dengan mendekapnya dari samping.
"Kumohon, Satoru-san. Jangan buat masalah. Nanti Suguru-san marah besar padamu. Please."
Satoru pun bersedia beranjak, menghela napas untuk meregulasi amarah, lalu menarik lengan laki-laki ametyst itu agar memasuki kendaraan roda empatnya. "Sampai juga besok di acara Suguru," kalau saja Toge tidak menahan dengan menggenggam jemarinya erat-erat, dia pasti keluar lagi dari mobil untuk melanjutkan niatnya yang tertunda tadi.
"Sebelum kau merayu orang lain, pastikan dulu tidak ada cincin di jari manis kananmu." Usai melisankan kalimat tersebut sebagai balasan Satoru segera menyalakan mobil, melaju gesit meninggalkan area parkiran, sesekali memastikan kalau memar yang menghiasi muka cowok unyu itu tidaklah parah. "Kita harus ke rumah sakit," begitu khawatir saat menyadari luka kecil di ujung bibir Toge.
"It's ok. Sebaiknya langsung saja ke apartemenku. Kau bisa lihat rutenya di aplikasi."
"Aplikasi apa? Maps? Kalau begitu kasih tahu tujuan jelasnya ke mana."
"App yang kau gunakan untuk bekerja sambilan sebagai supir taksi online, Satoru."
Daripada semakin ambigu, lebih baik tuan muda Gojo berimprovisasi dengan menyatakan fakta.
"Well, aku sulit mengenali tempat yang jarang kudatangi."
Toge gagal menyembunyikan mimik muka skeptis. "Oke, lurus saja dulu. Lantas belok kiri."
o O o
Begitu tiba di apartemen, Toge cepat-cepat merawat lukanya. Sialan! Kendati memang tidak parah, tapi masih ngilu sekali, tapi syukurnya waktu sembuh nanti takkan meninggalkan bekas. Terima kasih pada Satoru yang mau membantu membawa semua barang-barangnya ke lantai sepuluh ini. Minim niat untuk menyarankan laki-laki itu segera pergi, jadi diajaknya mengobrol saja.
"Tampaknya kau mengenal dekat Mahito-san." Dia ingat sebelumnya Satoru pernah menyebut nama itu.
"Yaa, begitulah." Cukup ini tanggapan yang diterimanya.
Sekarang giliran Satoru melisankan sesuatu yang ingin diketahuinya, "setahu Sugu – eh, maksudku Bos, mengadakan gladi bersih hari ini, kan? Kenapa kau tak datang?" sejujurnya Toge lagi malas membahas hal tersebut, tapi entah mengapa ada perasaan tidak ingin berbohong dengan menciptakan berbagai macam alasan.
"Kurasa... hanya belum yakin bisa ikut berbahagia untuk Suguru-san. Khawatir juga dengan tanggapan calon suaminya." Tak ada respons verbal yang terdengar, tapi ia paham sorot mata serta ekspresi wajah lawan bicaranya meminta penjelasan lebih. "Aku menyukainya mulai dari saat kuliah. Dan mungkin sampai sekarang." Senyum sok maklum Satoru membuatnya agak menyesal melontarkan realita itu.
"Kau pernah ditolaknya, yaa?"
"No! No way. Aku bahkan sebisa mungkin menyembunyikan perasaanku."
"Kenapa?"
Toge hanya menggelengkan kepala pelan, dikawani kedua bahunya yang terangkat bersamaan. Sebenarnya kalau harus diminta berterus terang, dia tidak pernah memberi tahu isi hatinya ke Geto Suguru bukan disebabkan takut ditolak, bahkan satu sisi ada kepercayaan kalau rasa itu akan bersambut manis. Kemudian terdengar suaranya menyampaikan, "mungkin aku cuma takut kecewa, kalau dirinya tak sesempurna yang kubayangkan."
"Dude, nobody's perpect. Semua orang pasti punya sisi negatif."
Toge tersenyum tipis, tapi arah matanya tak menatap lelaki yang duduk di sebelahnya, seakan sedang memikirkan sesuatu. Lantas mengangguk-angguk ringan beberapa kali, seolah baru memahami kenyataan yang sebenarnya telah diketahuinya sejak lama. "Daripada jatuh cinta, mungkin lebih tepat kalau perasaanku itu cuma kekaguman semata," kali ini benar-benar menatap Satoru, dikawani sunggingan bibir yang semakin lembut.
"Aku sudah memberitahu rahasiaku. Sekarang katakan siapa Mahito Yuri?!"
Berdecak ringan sebelum melisankan jawaban,"Ck, dia mantanku."
Toge semakin penasaran. "Serius? Kapan? Terus kenapa kalian putus?"
Dia terlihat ragu, tetapi masih bersedia menanggapi. "Waktu sekolah menengah atas dulu. Terus soal alasan berpisah... eeh, karena aku membuatnya menunggu selama empat jam, sebanyak lima kali." Facepalm, mulut ternganga lebar, Toge tidak tahu harus menanggapi apa selain itu. Satoru terlihat berkonsentrasi sejenak, tak lama mengimbuhkan, "mungkin prioritas kami yang jauh berbeda dulu. Dan aku senang Mahito bisa menemukan orang yang menganggapnya sangat penting."
"Dulu? Apa sekarang kau menyesal?"
"Please. Jangan seperti rekan-rekan sekolahku yang mengejek aku gagal move on."
Sebentar terdengar suara tawa keduanya, lalu disusul oleh keheningan. Ia tahu sesekali Satoru mengamati bibirnya secara intens, dan perlahan-lahan saling memupus spasi. Namun, cukup sampai di situ, adegan mesra yang tadi mereka perlihatkan tak kunjung terjadi. Sampai ponsel laki-laki sky-blue itu memberi notifikasi suara, menandakan sebuah pesan baru masuk. "Ah, ini Sugu – Bos."
"Suguru-san pasti ingin kau jemput."
Satoru tertawa garing. Kemudian beranjak berdiri, "sebaiknya aku pergi sekarang. Kau pun pasti butuh istirahat." Toge mengantarnya sampai depan pintu. Akan tetapi, baru saja lelaki itu menciptakan tiga-empat langkah menjauhi, tiba-tiba yang bersangkutan membalik direksi tubuhnya ke belakang. "Ciuman tadi... kuharap kau tidak merasa terbebani atau apa."
Uh-oh, best kiss ever!
Toge memang bermaksud bercanda, "aku mencium pacarku sendiri. Kenapa harus merasa bersalah?"
"Nice. Ehm, kau beli kado apa buat Suguru-sama? Mungkin bisa jadi referensiku."
"Sepasang dasi dan penjepitnya."
"Aah, good. Sampai jumpa besok, Toge." Satoru mulai melangkah lagi.
"Satoru…" dia yang dipanggil spontan kembali menolah. "Aku belum membayarmu, loh. Sebentar, yaa."
"Aku bukan kekasih pelit yang perhitungan. Bye."
Tetap melihat ke arah Satoru sampai sosok tersebut tidak lagi mampu dijangkau indera visualnya. Memasuki apartemen, mengunci pintu rapat-rapat, lalu memutuskan untuk membenahi barang-barang yang dibawanya. Mengambil ponsel dari dalam tas selempang, iseng menekan tombol power objek (rusak) itu, dan ajaibnya bisa menyala serta berfungsi baik. Menemukan banyak pesan masuk, khususnya dari Yuuta dan Maki. Suguru bahkan mengirimi chat yang berisi kekhawatiran kalau flu-nya semakin parah.
Oke, Toge bisa menebak alasan klise apa yang sudah dipakai dua sahabatnya.
Duh, harusnya tadi dia meminta nomor ponsel Satoru.
Mengingat laki-laki itu sukses memunculkan senyum manis di bibirnya.
Besok akan jadi hari yang menyenangkan.
o O o
What the shit?!
Inumaki Toge ingin menyumpah senyaring-nyaringnya, misuh-misuh, tapi batal sebab menyadari itu hanya akan semakin membuang waktu. Bagaimana mungkin ponselnya eror lagi, sehingga alarm gagal berfungsi, dan pria muda ini bangun terlambat dari jam yang telah disesuaikan. Untung dia punya kebiasaan olahraga pagi, meski begitu sebaiknya datang enam puluh menit lebih cepat ke lokasi acara.
Memersiapkan diri seadanya saja dulu, karena sang calon pengantin sendiri yang menyiapkan setelan khusus groomsmen, jadi hanya butuh mengganti pakaian di sana. Hal terkrusial adalah, memastikan tak ada barang penting yang tertinggal, dan sesegera mungkin meminjam smartphone penjaga lobi apartemen untuk memesan jasa transportasi daring. Tatkala membuka pintu ia dikagetkan oleh sosok familier yang seperti ingin menekan bel.
"Satoru-san?" Toge kontan mengamatinya dari ujung kaki sampai ubun-ubun kepala. Mendapati pakaian hitam-putih di tubuhnya tampak menjadi esensi penting yang membuat lelaki beriris aquamarine tersebut sedemikian menawan. Ia jadi salah tingkah, ingin menanyakan alasan kenapa yang bersangkutan ada di sini, tapi gagal bersuara.
Astaga! Ganteng – eeh, rapi banget. Yakin bukan dia yang bakal menikah hari ini?
"Ayo, kau harus bersiap-siap. Dan tenang saja, aku sudah bilang ke Suguru kalau mau menjemputmu."
Satoru meraih tangan kirinya yang tidak memegang apa pun, lalu mengajaknya setengah berlari keluar apartemen, menemukan mobil merah cantik kemarin telah menunggu mereka di halaman depan. Melaju melintasi jalan raya tanpa hambatan, tetapi begitu mendekati hotel macet gagal dihindari. Berderet-deret antrean kendaraan, yang mungkin akan memakan waktu sekitar belasan menit agar dapat sampai ke area parkir.
"Aku menyeberang saja lewat depan mall." Satoru pun setuju kalau itu merupakan cara terbaik biar secepatnya sampai ke lokasi acara. Berjalan cepat melewati jejeran kendaraan, tetapi Toge terpaksa menghentikan gerak kakinya sebab satpam yang membantunya kemarin memanggil. Merasa berhutang budi, karena si bapak inilah dia bisa bertemu laki-laki berambut icy-white (seksi) tadi.
"Maaf, Kak. Kemarin itu supirnya mendadak cancel. Saya mau pesankan lagi tapi tak tahu alamat tujuanmu." Ada keganjilan dari pernyataan yang baru didengarnya ini, tapi ia tidak punya banyak waktu sekadar meminta klarifikasi lebih lanjut. Oleh sebab itu, Toge memberi tanggapan berupa senyuman ramah yang disertai acungan jempol, lalu melesat menuju tempat destinasi.
Atensinya sempat teralihkan lagi, kala mendapati Bayer Kyu marah-marah di depan pintu utama hotel, sebab dilarang memasuki bangunan tersebut, sedangkan dia dipersilakan lewat begitu saja. Toge tak mau ambil peduli, apalagi mengingat fakta kalau pria (sialan) berambut hitam lurus tersebut telah memukul wajahnya.
Begitu tiba di sana langsung disambut kedua sahabatnya yang memasang ekspresi harap-harap cemas, terutama ketika mendapati plaster luka terpasang dekat bibirnya. Mereka pun membantu Toge untuk memersiapkan diri, memasuki ballroom tepat sebelum acara dimulai, acap memposisikan diri di belakang Geto Suguru yang terlihat sangat mempesona dengan setelan serba hitam. Yuuta sempat menjelaskan, "kalau si best-man datang mengantar mempelai, kita langsung mundur selangkah."
Maki ikut mengimbuhkan, "harusnya kau ikut gladi bersih kemarin."
Di momen master of ceremony meminta seluruh tamu yang hadir berdiri, sebab calon pengantin akan segera memasuki ruangan, musik merdu mengalun indah bersamaan pintu dibuka. Dan yang bikin Toge gagal paham setengah mati yaitu, menemukan Satoru berjalan menuju altar sambil menggandeng pria yang mau dinikahi Suguru, tersenyum manis ke direksinya. Keambiguan semakin menjadi-jadi ketika si mempelai itu bertanya pelan, "sejak kapan kau akrab dengan Tuan besar kita, Toge? Sampai dijemputnya pula."
Bikin Yuuta jadi turut melisankan kalimat interogatif pelan, "kau sudah kenal dengan kakak sepupuku?"
Sepupu yang mau dikenalkan sang sahabat, maksudnya? Heh?
Seseorang, tolong jelaskan apa yang sebenarnya terjadi!
Acara pemberkatan selesai tanpa drama konyol apa pun, kedua pengantin juga mulai menyapa para undangan yang datang. Toge pergi sebentar mencari Satoru yang tadi mendadak menghilang seenaknya, sekalian mengambil kedua goody-bag yang ditinggalnya di ruang ganti pakaian. Menyerahkan satu tas ke Maki, dan sisanya ia titipkan pada penerima kado pengantin.
Kemudian mendatangi Suguru buat mengucapkan selamat, "Congrats, Bos! I'm happy for you," sebab Toge bebar-benar merasa ikut berbahagia untuknya. Dan dia nyaris ingin menegur orang yang dinikahi pria berponi menjuntai itu, tapi batal karena dari arah kanan mereka Satoru mendadak datang menyerahkan tas hadiah ke Mahito.
"Boleh kubuka sekarang?" tanya lelaki berambut abu-abu panjang tersebut.
"Tentu."
Dan berhasil membuat Toge cukup terkejut di saat melihat isi goody-bag itu, ternyata sepasang jam tangan yang batal dibelinya kemarin. Bukan apa-apa, selain kurang yakin Suguru bakal suka, harganya juga termasuk kategori (terlalu) mahal. Didengarnya Mahito memuji, "ini cantik sekali. Kan, Sayang?" suaminya mengangguk setuju.
Mendekap Toge dari belakang, lalu laki-laki bernetra sky-blue itu berlisan gampang.
"Ooh, aku hanya mengikuti selera pacarku ini."
Wait! What?
Percayalah, Toge adalah manusia yang paling membutuhkan penjelasan di sini.
Finish
A/N: Hello! Saya kembali dengan fanfiksi fuwa-fuwa di tengah badai galau fandom JJK. Anggaplah ini jadi (early) birthday gift ke saya sendiri.
Iya, ini sebenarnya re-make dari fanfik yang pernah saya publish dulu. Namun, plot aslinya memang ditujukan untuk Gotoge. Cuma waktu itu saya berpikir sudah cukup banyak membuat cerita komedi-romantis buat pairing ini, jadilah saya buat untuk OTP dari fandom yang lain. Dan begitu iseng baca lagi, saya menyadari kalau karakterisasi tokohnya memang lebih pas ke Gojo dan Toge.
Jadilah saya putuskan buat ulang ke ide aslinya saja. Apalagi saya pribadi butuh yang manis-manis juga untuk menolong diri sendiri dari kesedihan episode 9 season dua ini dan chapter 236. Selain itu saya menambahkan detail-detail lain, atau yang saya anggap kurang jelas. Begitu selesai, saya jadi lebih menyukai hasil yang ini.
Terima kasih telah menyempatkan untuk membaca. Bersediakah untuk memberi review? Saya tunggu.
Salam,
M0N.
