Jalanan masih terus berguncang beberapa kali, sampai suatu ketika Kenji-kun menyadari bahwa kabutnya mulai menipis. Seharusnya, berdasarkan video yang Divisi Spesial berikan, fenomena kabut hanyalah sebentar, dan kabutnya tidak kembali menebal jika sudah menipis. Tapi, sudah berapa lama sejak kabut itu muncul di Yokohama? Apa jangan-jangan kabutnya baru akan menipis jika para Pengguna Kemampuan telah tewas oleh kemampuan mereka sendiri, dan pengguna yang di Yokohama sudah lebih dulu mempersiapkan diri sehingga kabutnya betah berlama-lama disana? Memikirkan itu, Nagiko jadi agak lega karena beranggapan bahwa Atsushi-kun dan Kyoka telah menyelesaikan tugas mereka di Skull Fortress.

Nagiko tidak pernah kesana, mendengar namanya pun baru dari Sakaguchi-san tadi. Saat ia dan rekan-rekannya mendekat ke bangunan yang dimaksud, bangunan itu sudah tidak berbentuk lagi, padahal dari video call dengan Divisi Spesial tadi, bayangannya begitu megah dan menyeramkan secara bersamaan. Tapi, saat ini, bangunan itu sudah hancur seperti kena serang raksasa.

Paman Yukichi mempercepat langkahnya, mungkin antara ingin tahu apa yang telah terjadi disana atau ingin segera memeriksa keadaan anak buahnya. Sambil mereka mengikuti langkah Pak Bos, sudah tidak terasa lagi guncangan apa-apa, bahwa terdengar hening sekali disana. Karena bagian atas bangunan itu sudah tidak tertutup, mereka bisa melihat cahaya matahari yang sudah mulai menampakan diri. Disitu, Nagiko bisa mendengar helaan lega Junichiro dan Kak Akiko, karena mereka berpikir bahwa fenomena ini pasti sudah berakhir sekarang.

Lalu, terlihatlah Atsushi-kun dan Kyoka bersama dengan Dazai-san. Pemuda yang hobi cari mati itu asyik menatap matahari terbit bersama dengan kedua juniornya. Nagiko membuka mulutnya sejenak, kemudian mengatupnya lagi, mengagumi pemandangan yang ditangkap matanya dalam hati.

"Dazai Bodoh! Masih hidup?!" sahut Kunikida-san.

Ketiga orang yang mereka hampiri menoleh, dan mereka tersenyum. Mungkin Nagiko ge-er, tapi ia bisa merasakan tatapan sayang Dazai-san padanya. Pemuda itu berbicara sebentar dengan Atsushi, entah apa yang mereka katakan, tapi setelahnya Dazai-san berlari kecil mendahului kedua juniornya dan mendekap Nagiko dengan riang.

Gadis itu agak terkesiap karena kaget. Ia sudah siap jika pamannya akan mengomel, tapi tak kunjung ada suara omelan yang tertangkap di telinganya, mungkin Paman Yukichi pura-pura tidak melihat. Nagiko membalas kikuk pelukan Dazai-san sebentar dengan agak sulit karena ia masih membawa busurnya, sebelum akhirnya suara dehaman Sang Paman terdengar jelas. Dazai-san menghela kecil dan melepaskan perlahan pelukannya.

"Situasinya?" tanya Paman Yukichi.

"Sudah beres, Atsushi telah mengalahkannya dan menyelamatkan Yokohama," lapor Dazai-san.

Paman Yukichi mengangguk. "Kerja bagus Atsushi, Kyoka." Kedua anggota terbaru ADB itu tersenyum dan merona. "Nagiko, terima kasih sudah memonitori kamera pengawas semalam." Yang namanya disebut mengerjap lalu malu sendiri—jadi ini yang dirasakan kedua juniornya saat Pak Bos menyebut namanya. "Kunikida, kamu telah membuktikan bahwa aku bisa mengandalkanmu saat aku sedang tidak di tempat—memberimu kartu cadanganku adalah pilihan yang tepat." Si Kacamata membungkuk dalam pada pimpinannya. "Dazai, aku tidak tahu apa yang telah kau lakukan, tapi yang telah terjadi ini pasti sudah masuk kalkulasimu, jadi aku tidak mengeluh untuk itu." Dazai-san tersenyum kecil. "Dan yang lain, kerja bagus semuanya. Aku tahu anak buahku adalah orang-orang yang spesial."

Kenji-kun mengangkat satu tangannya dengan riang. "Apakah kami bakal mendapat libur setelah ini?"

Kunikida-san langsung menatap garang pada anak berumur empat belas tahun itu. "Tidak sopan, Kenji!"

Paman Yukichi mengangkat tangannya untuk menghentikan omelan Si Kacamata sambil tersenyum kecil. "Tentu saja. Hari ini, kalian semua kembali ke tempat masing-masing untuk istirahat. Kembalilah ke kantor mulai lusa, dan langsung serahkan laporan masing-masing tentang fenomena kabut ini. Aku akan menghubungi para staf karyawan untuk mengurus perbaikan gedung kantor. Kalian standby di rumah masing-masing, siapa tahu ada warga yang butuh bantuan perbaikan juga."

"Ah, syukurlah, aku ingin segera mengecek keadaan Naomi…," gumam Junichiro.

Nagiko merogoh kantong celananya untuk mengambil ponsel dan menyalakan layarnya. "Sudah ada sinyal," celetuknya.

Buru-buru kakaknya Naomi itu mengambil ponsel sendiri dan memencet-mencet tombol disana, dan dering ponselnya berbunyi. Junichiro segera mengangkat teleponnya, dan para rekannya langsung tahu siapa yang menelepon karena suara dari seberang agak bocor keluar saking nyaringnya.

.


.

Disclaimer: Bungou Stray Dogs adalah ciptaan Asagiri Kafka dan Harukawa Sango, The Pillow Book adalah karya Sei Shonagon, 'Kiyohara Nagiko' dipercaya sebagai salah satu kemungkinan nama asli dari Sei Shonagon, Author tidak mengambil keuntungan.

Warning: Agak slow burn, Dazai x OC, alur canon (manga, anime, novel), sebisa mungkin tidak mary-sue.

.

.

Osamu Dazai and His Sun
by Fei Mei

.

Chapter 21

.


.

Walau disuruh pulang untuk beristirahat, nyatanya Pak Fukuzawa meminta Osamu, Kunikida, dan Atsushi-kun untuk datang dulu ke kediamannya untuk menceritakan semua yang terjadi selama mereka menghadapi kasus ini. Atsushi-kun tampak tidak terkejut berlebihan saat mendengarkan cerita Osamu, ekspresi dari pimpinan mereka juga tetap terjaga, tapi respon Kunikida adalah yang paling sesuatu—untungnya, Osamu adalah orang terakhir yang diminta untuk melaporkan kejadiannya.

Usai itu, Pak Fukuzawa menggiring mereka keluar dari ruang kerjanya, mempersilakan ketiganya pulang. Tapi Osamu menghentikan sebentar langkahnya saat mereka di depan dapur, melihat keponakan bosnya sedang mengaduk sesuatu dalam panci. Pemuda itu tersenyum lembut melihatnya. Pakaian Nagiko sudah berbeda dengan yang dikenakannya saat di Skull Fortress, Osamu yakin bahwa hal pertama yang gadis itu lakukan begitu sampai di rumah ini adalah membersihkan dirinya sendiri—dan habis ini anak itu pasti akan memaksa pamannya mengisi perut dulu sebelum beristirahat.

"—boleh."

Osamu mengerjap sebelum menoleh pada Pak Fukuzawa, ia tidak mendengar jelas kalimat bosnya tadi.

"Kamu boleh berpamitan sebentar dengannya," kata Pak Bos. Langsung saja mata Osamu berbinar-binar. "Kunikida, jika dalam sepuluh menit Dazai belum keluar, seret dia dengan menjewer telinganya."

"Eeeehh—"

"Siap!"

Jadi Kunikida dan Atsushi berjalan menuju pintu keluar, sedangkan Pak Fukuzawa kembali menyusuri rumahnya, mungkin kembali ke ruangannya sendiri. Osamu masuk dapur, tersenyum karena Nagiko telah menaruh centong panci di tempatnya dan mematikan kompor, jadi Osamu bisa langsung memeluknya dari belakang.

Gadis itu memekik pelan, lalu menyikut perut Osamu. Ia merintih, Nagiko berbalik badan, terkejut melihat siapa yang baru saja ia sikut dan memasang wajah bersalah.

"Sakit Nagi," ujar Osamu cemberut.

"Maaf, soalnya aku kaget…," gumam Nagiko.

Osamu manyun. "Lagi masak bisa-bisanya bengong."

"Aku enggak bengong, tuh," jawab keponakan bosnya. Gadis itu mengulurkan tangannya, menggapai bagian yang kena serang. "Sakit?"

"Aku pernah merasakan yang lebih sakit dari itu, jadi yang ini sih, kecil."

Giliran Nagiko yang manyun. "Kalau gitu, lain kali aku pakai golok saja, gimana?"

"Nagi serem, ah."

Si Gadis menyengir kecil dan Osamu terkekeh. Tangan Osamu mengelus perlahan wajah gadis di hadapannya. Nagiko agak terkejut sedikit, tapi ia tidak menolak, tampaknya malah sudah menikmati sentuhan itu, dan Osamu menyukainya. Dengan tangan yang satu, pemuda itu memeluk pinggang Nagiko sambil yang satu lagi asyik di wajah halus keponakan bosnya. Gadis itu tetap tidak menolaknya, ia malah memegang sisi parka pemuda di hadapannya, meremas pelan dengan jarinya sambil terus menunduk.

Osamu merasa gemas terutama saat menyadari telinga gadis itu memerah. Ia tersenyum lembut dan mulai mencium puncak kepala Nagiko. Spontan gadis itu menaikkan kedua bahunya, mungkin karena terkejut. Osamu terkekeh halus, setelahnya memegang belakang kepala Nagiko untuk membawanya masuk lebih dalam pada pelukannya. Jemarinya memasuki helaian rambut gadis itu yang diikat longgar, memijit kulit kepala gadis itu pelan.

"Dazai-san?" gumam Nagiko pelan. Pemuda itu menjawabnya dengan 'mmm?' pelan. "Tipe perempuan yang Dazai-san suka, seperti apa?"

Mantan Mafia itu mengerjap pelan lalu menyengir. "Yang mau bunuh diri bareng aku."

Nagiko mencubit kecil lengannya. Walau tak melihat, tapi Osamu tahu bahwa gadis itu sedang manyun sekarang. "Aku kan, tidak mau bunuh diri bareng Dazai-san, terus kenapa ngaku-ngaku suka?"

Mau tak mau Osamu tertawa kecil. "Benar juga yaaa~. Entah, ya, aku hanya tahu pokoknya aku suka kamu saja."

"Dazai-san?" panggil Nagiko lagi. "Bukankah Dazai-san sendiri yang bilang bahwa saat ini sebaiknya kita tidak dekat-dekat kecuali sedang ada tugas bersama atau akan tidur bareng?"

Osamu tersenyum kecil. "Saat ini adalah pengecualian, karena aku kangen kamu."

"Gombal," gumam gadis itu, bukannya menjauh, malah berinisiatif membenamkan kepala di dadanya lebih dalam.

Pemuda itu terkekeh pelan. Lalu, gara-gara Nagiko bilang soal tidur bareng, ia jadi kepikiran. "Nagi, ada sesuatu yang ingin kamu beritahu aku, ya?" Osamu merasakan tubuh gadis itu menegang sesaat sebelum mengangguk. "Tapi kamu gak bisa kasihtahu aku karena Pak Fukuzawa bilang jangan bilang siapa-siapa." Bukan hanya anggukan, kali ini gadis itu juga meremas parka Osamu lebih erat, membuat pemuda itu tersenyum. "Hmm, begitu. Tapi beliau hanya melarangmu untuk memberitahu siapa-siapa, kan?"

"Eh?"

"Beliau tidak bakal melarang jika aku menebaknya dengan benar, kan?"

Nagiko terdiam, tapi remasan di parka pemuda itu tidak dilepasnya.

"Sejak tahu aku punya perasaan padamu, Pak Fukuzawa memperingatkanku bahwa akan ada hari dimana kamu akan mulai bisa mengendalikan kemampuanmu dan bisa tidur dengan sendirinya," aku Osamu sambil tersenyum sedih. "Jadi … kalau memang entah bagaimana kamu sudah bisa terlelap tanpa bantuan apapun, bukankah saat ini merupakan momen yang tepat untuk meyakinkan dirimu soal perasaan padaku? Untuk yakin apakah perasaanmu itu hanya sekedar karena aku membantumu tidur, atau lebih dari itu?"

Hening sesaat sebelum Nagiko mengangguk lagi di dada Osamu. Ia mengelus kepala gadis itu lagi. Osamu benci mengakuinya, tapi ia juga tahu bahwa akan tiba waktunya Nagiko mulai tidak memerlukan kemampuan No Longer Human miliknya. Pak Fukuzawa telah memperingatkannya, bahkan Dokter Yosano dan Ranpo-san juga memberitahunya. Sepertinya mereka bertiga paham, bahwa bukan Nagiko yang akan merasa kehilangan Osamu jika ia sudah bisa tidur sendiri, melainkan pemuda inilah yang akan merasa hampa nantinya. Sudah diperingati orang-orang penting dalam hidup gadis itu, jelas membuat Osamu berhati-hati menata perasaannya—tapi kalau sudah jatuh cinta, mau bagaimana?

Osamu juga bukan asal tebak tentang Nagiko yang mulai bisa terlelap sendirinya. Ia tidak curiga sama sekali sebelum tadi, dan bahkan tidak menyangka bahwa momen itu haruslah sekitaran sekarang. Setelah melewati malam yang meletihkan, Osamu bakal berpikir Pak Fukuzawa akan bilang pada keponakannya untuk tidur dengan si Eks Mafia. Tapi tidak, dan Nagiko juga tidak mengajak untuk menemani tidur. Mau tidak mau Osamu mulai curiga. Kalau dipikir-pikir, saat terakhir mereka video call, ia melihat Nagiko tampak tertidur sehingga Osamu-lah yang memutus sambungan telepon. Saat itu ia tidak berpikir macam-macam, hanya menduga bahwa gadis itu telah minum obat tidur dari Dokter Yosano. Tapi jika sekarang Nagiko dan pamannya merahasiakan tentang update terbaru dari The Pillow Book, berarti mungkin saat video call itulah pertama kalinya Nagiko terlelap dengan sendirinya setelah sekian lama.

Perlahan Osamu mengusap wajah Nagiko kesekian kali, dan gadis itu kembali menunduk. Elusan tangan Osamu akhirnya bisa membuat gadis itu mendongak padanya, memamerkan rona merah di wajahnya. Dengan jarak tinggi badan yang lumayan, pemuda itu menurunkan sedikit tubuhnya untuk mencium kening Nagiko.

Terdengar pekikan kecil halus dari Nagiko, pasti karena kaget lagi. Gadis itu menutup kedua matanya, dan perlahan membukanya lagi ketika Osamu melepaskan bibirnya dari kening itu. Buru-buru Nagiko memejamkan matanya lagi saat pemuda di hadapannya mendaratkan kecupan di kedua kelopak matanya. Osamu bisa merasakan remasan di bajunya, tapi ia tidak berniat berhenti untuk saat ini, karena Nagiko tidak menggesturkan apa-apa untuk menolaknya.

"Sayangku …," bisik Osamu pelan, dan respon wajah Nagiko benar-benar menggemaskan.

Gadis itu memaksakan diri untuk balas menatap Osamu yang lebih tinggi darinya. Kedua bolanya tampak benar-benar berbeda dengan mata Pak Fukuzawa, sehingga dulu Osamu sendiri saja antara percaya atau tidak saat mendengar gadis ini adalah keponakan bosnya, karena keperawakan mereka sangat berbeda. Dari warna rambut, tinggi badan, sifat, semuanya. Yah, kadang seramnya Nagiko itu bisa mirip seperti Pak Fukuzawa. Walau begitu, tetap saja, mungkin karena mereka hanya paman dan keponakan, bukan ayah dan anak, makanya keduanya bisa cukup berbeda.

Jemari Osamu tiba di bibir gadis yang ada di hadapannya. Mata gadis itu tampak sayu dan Osamu merasa ingin menerkamnya. Perlahan pemuda itu semakin mendekatkan wajahnya, dan hembusan nafas Nagiko bisa ia rasakan disana.

"Gawat," gumam Osamu pada dirinya sendiri. "Nagi, halangi mulutmu dengan tanganmu."

"Eh?"

Osamu menelan ludah. "Cepat, ayo."

Nagiko menurut. Ketika gadis itu menutup mulut dengan tangannya, Osamu langsung menempelkan bibirnya di punggung tangan yang menghalanginya itu. Mulutnya menemukan jari kurus Nagiko disana, dan ia menciumi bagian itu juga. Bibirnya merasakan gerakan pada tangan gadis itu—Osamu ge-er sendiri, berpikir bahwa Nagiko sedang membalas ciumannya dari balik tangan itu. Jadi pemuda itu tersenyum sambil terus mencium punggung tangan gadisnya.

Berkali-kali menyatakan cinta pada gadis itu dari dalam hati, ciuman Osamu turun ke leher Nagiko. Gadis itu melenguh pelan di setiap ciumannya disana. Erangan yang kurang jelas bisa terdengar di telinga Osamu, tapi ia yakin Nagiko mengerangkan namanya di balik tangan saat ia menggigit kecil-kecil leher gadis yang hanya setahun lebih muda darinya itu.

Osamu menemukan bekas gigitan samar disana, ia yakin itu hasil karyanya semalam—eh, dua malam yang lalu, saat ia menciumi Nagiko di ranjang gadis itu. Perlahan pemuda itu tersenyum dan mengisap disana. Osamu membuka mulutnya, bersiap menggigit lagi, tapi ia mendecak saat mendengar teriak Kunikida yang memanggilnya dari ruang depan.

Sontak saja Osamu manyun. Ia makin cemberut saat perlahan Nagiko yang telah melepaskan tangan dari mulutnya terkekeh halus.

"Gak lucu, Nagi," gerutu Osamu.

"Memang tidak, tapi rasanya aku hanya ingin tertawa saja," balas Nagiko yang masih agak terkikik.

Osamu menghela kecil dan tersenyum. Ia melepaskan tangan yang daritadi melingkar di pinggang gadis itu, lalu menemukan tangan Nagiko untuk diremasnya. "Aku pulang, ya."

Nagiko mengangguk dan membalas senyuman dan remasan tangannya sebelum genggaman tangan Osamu merenggang. Pemuda itu beranjak mundur dari hadapan gadisnya. Baru ia balik badan, dengan cepat Nagiko menarik tangannya lagi. Dari segi tenaga, sudah pasti tenaga Osamu masih lebih kuat daripada keponakan bosnya, tapi ia berhasil kena tarik karena tidak memasang pertahanan. Pemuda itu ditarik sebentar oleh Nagiko yang berhasil membuatnya agak membungkuk, dan Osamu terbelalak saat gadis itu mencium pipinya cepat.

Pemuda itu mematung sejenak, dan Nagiko lebih dulu berbalik badan, mengurus pancinya yang sedaritadi masih berada di atas kompor yang untungnya telah lebih dulu dimatikan.

"Nagi—"

"DAZAI! PERLU DIPANGGIL BERAPA KALI, SIH?!"

Osamu menoleh ke arah luar dapur saat mendengar teriakan galak Kunikida, lalu menoleh lagi pada keponakan pimpinannya. Ia ingin memeluk sekali lagi, tapi Nagiko sedang memegang panci.

"Nagi, aku pulang, ya," kata Osamu lagi akhirnya.

Gadis itu mengangguk sambil terus memunggunginya, jadi Osamu segera keluar dari dapur.

Kunikida telah menunggunya di ruang depan sambil melipat kedua tangan dan menghentakkan satu kaki, dan wajahnya tampak garang. Yah, memang seperti itulah si Kacamata jika Osamu terlambat bahkan hanya beberapa detik saja untuk menghampirinya.

"Akhirnya!" keluh Kunikida, lalu dengan segera membuka pintu depan dan keluar.

Osamu cepat-cepat mengenakan sepatunya, lalu ikut keluar juga dan menutup lagi pintu kediaman Pak Fukuzawa. Ia berlari kecil mengekori rekan kerjanya. Kaki Kunikida yang panjang membuat Si Kacamata melangkah lebih cepat. Tapi Osamu juga bisa melihat rekannya itu tampak lebih tidak sabar dari biasanya. Seharusnya, mereka sudah tidak ada jadwal bareng lagi setelah keluar dari rumah Pak Bos, jadi Kunikida pun tidak perlu berjalan cepat-cepat di depan Osamu.

Lalu Eks Mafia itu menyadari sesuatu yang menarik—

"—Kunikida-kun, kamu tadi melihatku dan Nagiko di dapur, ya?" tebak Osamu.

Yang namanya dipanggil mematung sesaat, ia tidak melanjutkan langkahnya, membuat Osamu berhasil mengejar ke sebelahnya.

"Heee, pantas saja kamu panggil aku dari ruang depan," ujar Osamu.

Kunikida membetulkan posisi kacamatanya dengan kikuk. "A—apa maksudmu?"

Osamu menyengir kecil. "Kamu selalu mematuhi perintah Pak Fukuzawa, dan beliau secara jelas tadi bilang agar kamu menjewer telingaku untuk menyeret keluar jika aku tidak selesai pamitan dengan Nagi dalam sepuluh menit, tapi kamu hanya memanggilku dengan teriakan. Berarti … kamu sebenarnya sempat datang ke dapur, tapi tidak berani bersuara karena melihatku pelukan dengan Nagi, kan?"

Si Kacamata menghela, mulai berjalan lagi, tapi tidak secepat sebelumnya. "Kasihan, nanti dia malu."

"Tentu saja," balas Osamu sambil mengangguk.

"Aku melihatnya menghalangimu dengan tangan di mulutnya," aku Kunikida.

Osamu tersenyum bangga. "Itu, aku yang minta dia melakukannya. Aku pernah bilang bahwa aku akan menunggu sampai dia yakin akan perasaannya, jadi aku menjaga bibirnya."

"Kh—" Kunikida mematung lagi. Pemuda pirang itu berdeham kecil, lalu berjalan lagi, kali ini lebih lunglai.

"Kunikida-kun," ucap Osamu dengan nada menyelidik. "Kamu sudah rampas ciuman pertama Nagiko, ya?"

"Tidak!" jawab Si Kacamata cepat. "Maksudku, aku tidak tahu itu yang pertama atau bukan—"

"Heee, berarti benar kamu sudah pernah menciumnya, ya?"

"I—itu biar aku bisa mengalihkan perhatiannya! Dia sangat panik setelah mobil yang dia naiki dengan Haruno dan Naomi kena serang Lovecraft dan Steinbeck!"

Osamu manyun. "Aku pengen marah, sih, tapi aku gak berhak."

"Ap—eh?"

Lalu Osamu tersenyum kecil. "Selama janur kuning belum melengkung, dia masih bisa menimbang-nimbang ingin bersama siapa."

Kunikida berdecih pelan. "Gentleman sekali."

"Hahaha, aku memang selalu gentle kalau tentang Nagiko, tahu." Lalu Osamu memukul keras punggung rekannya. "Kuusahakan untuk melamarnya sebelum kamu melamarnya duluan, masih dua tahun lagi, kan?"

"Iya—EH?!"

"Kenapa 'eh'?"

"Enggak, itu, dua tahun—"

"Hmm, kamu bertemu Nagiko empat tahun lalu, kan? Kalau saat itu kamu sudah tertarik padanya, berarti tinggal sisa dua tahun lagi sampai kamu akan melamarnya, bukan?"

"A—oh—oh, ya—"

Osamu mendelik dan memicingkan mata pada pemuda yang beberapa centimeter lebih tinggi darinya itu. "Kunikida-kun … kamu sudah ngomongin tentang rencana untuk melamar pada Nagiko, ya?"

Kunikida membuang muda, jelas terlihat gugup.

Jadi Osamu menghela. "Selama janur kuning belum melengkung," ulangnya, "ya?"

" … ya."

.


.

Bersambung

.


.

A/N: Alur Dead Apple selesai di chapter ini. Bagian omongan Kunikida mau lamar Nagiko 2 tahun lagi, itu adalah modifikasi dari yang Kunikida tulis di buku idealnya mengenai pasangan hidup. Oh iya Fei baru ngeh bahwa chapter ini sebagian besar malah dari sudut pandang Dazai.

Review?