Untuk pertama kali dalam hidupnya, Nagiko masuk ke toko minuman keras. Dari segi umur, memang ini adalah tahun pertamanya untuk bisa membeli minuman alkohol secara legal, jadi seharusnya wajar saja jika ini adalah pengalaman perdana baginya. Memasuki toko itu, ia merutuki dirinya sendiri, berpikir bahwa setidaknya dia harus minta rekomendasi seseorang dari agensi tentang apa yang sebaiknya dibeli, tapi takutnya muncul rumor dan Paman Yukichi harus mendengar bahwa keponakannya mencari tahu tentang minuman alkohol—padahal orang-orang terdekatnya tahu bahwa Nagiko tidak kuat mengonsumsi minuman seperti itu. Pun ia tidak berani minta tolong pada seperti Kunikida-san dan Dazai-san, karena ini untuk acara pribadi yang keduanya tidak diundang—jelas rasanya tidak enak, kan, membantu mencari hadiah tapi yang membantu malah tidak diajak datang?
Beberapa hari lalu Kak Akiko membuat grup khusus untuknya, Sang Dokter, dan Ranpo-san. Sebenarnya mereka juga punya grup sendiri yang ada nomor Paman Yukichi juga, tapi yang kali ini ayah angkat mereka bertiga tidak ada di grup yang baru, karena grup ini dimaksudkan untuk mendiskusikan acara kejutan untuk ulangtahun pria paruh baya itu.
Setelah lelah berurusan dengan The Guild dan Fenomena Kabut, serta perbaikan gedung kantor yang masih belum seratus persen kelar, Kak Akiko berpikir bahwa ia ingin berkumpul sebentar dengan keluarga angkatnya. Kebetulan, momen yang paling dekat adalah hari ulangtahun ayah angkat mereka, jadi sekalian saja.
Kak Akiko akan mengurus makan malam untuk acaranya—Ranpo-san memperingatkan Sang Dokter untuk jangan masak karena belum ingin mati keracunan, jadi Kak Akiko meyakinkan Si Detektif Terhebat bahwa ia akan memesan dari restoran saja. Lalu Ranpo-san akan memesan kue tar, karena bagaimana pun memang pemuda itulah yang paling tahu kue mana yang paling enak. Terakhir, Nagiko kebagian untuk membeli hadiah dengan uang patungan, dan kedua kakak angkatnya baru sepakat memberi usul tadi untuk membeli minuman alkohol saja, karena Paman Yukichi pasti penat sekali belakangan ini.
Jadilah sekarang, Nagiko dengan bingung melihat nama-nama merek yang tertera pada label tiap botol beling yang tertata rapi di rak toko. Ia bingung kenapa tidak ada seorang pegawai pun yang mondar-mandir di sekitar toko, siapa tahu kalau pegawainya lewat sini, kan Nagiko bisa tanya-tanya—tapi bingung juga cara tanyanya.
"Kamu, belum pernah lihat botol bir, ya?" sahut seorang pemuda di sebelahnya.
Orang itu tingginya kurang lebih sama dengan Nagiko, berambut jingga kemerahan dan mengenakan topi, dan jas hitam besarnya mengingatkan gadis itu akan Dazai-san saat sebelum jas itu hancur dalam mesin cuci.
"Bukan tidak pernah lihat," tutur Nagiko akhirnya. "Aku hanya tidak pernah datang ke toko begini."
"Untuk diminum sendiri?" tanya pemuda itu lagi.
Nagiko menggeleng. "Untuk pamanku, dia berulangtahun hari ini. Kakak-kakakku memberi ide untuk menghadiahkan bir saja."
Pemuda itu manggut-manggut. "Berapa umurnya? Suka minum sake? Kuat minum alkohol?"
Si Gadis mengingat-ingat. "Beliau berulangtahun yang ke 45, dan kurasa cukup kuat minum minuman berakohol. Walau begitu, sepertinya beliau tidak gemar minum, hanya jika ada acara spesial saja."
"Walau tidak hobi, tapi yang namanya hadiah, sebaiknya yang istimewa, sih," kata pemuda itu sambil mengangguk.
Nagiko sadar bahwa orang yang sedang berinteraksi dengannya sudah pasti bukan pegawai toko. Tapi dari pakaian dan cara bicaranya, sepertinya orang ini sudah terbiasa mengonsumsi minuman keras. Karena itu, Nagiko memberanikan diri untuk bertanya. "Anu, apa bisa memberiku saran, sebaiknya beli yang mana?"
Lelaki itu mengangguk. "Punya budget berapa?"
Keponakan Bos ADB itu menyebut kurang lebih jumlah biaya patungannya dengan Kak Akiko dan Ranpo-san yang disisihkan untuk membeli hadiah. Mengingat mereka setuju untuk membeli minuman alkohol sebagai hadiah, sudah pasti budget-nya jadi berkali lipat dari yang biaya untuk kue dan konsumsi lainnya.
"Itu bisa untuk beli merek yang bagus, kok," pikir pemuda itu. Dia mulai melangkah menyusuri rak-rak botol, dan Nagiko mengikutinya sambil sesekali melirik ke beberapa botol dan membaca merek-merek yang tercetak besar di sana.
Pemuda itu terhenti di depan salah satu rak, mengambil sebotol dan memeriksa labelnya. Nagiko ikut membacanya, tapi tidak begitu mengerti—bukan masalah bahasa, melainkan hanya ia tidak mengerti apa yang perlu dipertimbangkan dari tulisan yang tertera disana. Pemuda Bertopi ini menghela kecil lalu menaruh di rak, kemudian kembali berjalan dengan Nagiko yang mengekorinya.
"Anu, botol yang disana, hiasan kepala rusa di labelnya bagus, ya," tunjuk Nagiko sambil mereka berjalan.
Pemuda itu menoleh, mengikuti arah tunjukkan Nagiko. "Kepala rusa—AAAHH—!"
Nagiko mengerjap karena pemuda yang bersamanya ini mendadak berhenti dan menyahut kaget. Laki-laki itu berjalan cepat menghampiri rak yang dimaksud dan meraih botol dengan ada hiasan kepala rusa di tengahnya itu.
"INI! Astaga, kok bisa disini?!" sahut pemuda itu dengan terkejut dan riang. Nagiko masih mengerjap bingung. Sadar karena gadis yang mengikutinya daritadi tidak paham, pemuda itu menoleh padanya dengan ekspresi bahagia. "Ini langka banget! Cuman diproduksi 12 botol aja! Padahal dua hari lalu aku habis darisini, gak ngelihat ada dia, sekarang malah ada! Uwaaah!"
Fiks, pemuda ini memang penggemar minuman keras.
Mungkin kembali sadar bahwa dirinya sedang ber-fanboying di hadapan gadis asing, pemuda itu mengerjap kikuk lalu berdeham. "Yah, mungkin hari ini aku bisa nemuin ini karena berniat bantuin kamu cari bir, hahaha!"
Nagiko menyungging senyum kecil.
Ia memutar botol itu perlahan dengan kedua tangannya dengan senang. Tapi kemudian ia mengerjap, melirik pada Nagiko yang matanya masih menyiratkan kebingungan, lalu kembali menatap botol di tangannya. Pemuda itu berdeham lagi. "Tapi … matamu duluan yang melihatnya, jadi kurasa kamu yang berhak beli kalau mau?"
Pemuda itu menyodorkan botol itu pada Nagiko. Si Gadis memeriksa sekitar botol itu dengan bingung—benar-benar tidak memahami nilai dari sebotol minuman keras. Tapi, bahkan Si Penggemar Alkohol yang bersamanya ini begitu senang saat menemukan botol ini, kan? Mungkin ini bisa jadi hadiah yang bagus untuk Paman Yukichi.
Si Gadis mendongak untuk melihat harga yang tertera di rak, lalu memasang wajah horor. Harga yang tertulis disana sekitar dua kali dari budget yang Nagiko punya. Ditelannya ludah susah payah, lalu menyodorkan balik botol itu pada orang yang membantunya.
"Eh, kenapa—oh." Pemuda itu juga baru sadar saat melihat harga di rak. Bukan menerima balik botol itu, Pemuda Bertopi ini malah merogoh saku celananya dan mengambil dompet. Ia memeriksa isinya, lebih tepatnya kartu-kartu yang ada disana. Diambilnya sebuah kartu, lalu memeriksa label harga sekali lagi, kemudian mengangguk. "Bayarnya pakai kartu anggotaku saja, bisa diskon hampir setengah harga. Kurasa setelahnya kamu masih harus nombok sedikit dari budgetmu kalau mau."
Nagiko mengerjap, tangannya semakin erat memegang botol itu. "Boleh?"
Pemuda itu mengangguk mantap. "Tentu saja, aku jadi bisa dapat poin banyak di kartu ini nanti. Ah, tapi…."
"Ya?"
"Gini, kan aku udah bantu kamu, jadi sebagai gantinya, setelah pamanmu mencicipi itu, kamu harus kasih aku icip juga. Seperti, sepuluh atau dua puluh mililiter juga oke. Ah, biar kamu juga gak rugi, jadi uang yang kurang dari budgetmu nanti itu biar aku yang bayar saja, biar nanti aku icipnya gak gratis," kata pemuda itu salah tingkah.
Langsung saja Nagiko tersenyum lebar. "Setuju."
Si Pemuda Bertopi mengangguk puas, lalu mengantar Nagiko ke meja kasir dan meminta gadis itu tunggu sebentar. Si Pemuda berjalan dan menghilang di antara rak-rak lagi, kemudian kembali ke meja kasir dengan sebotol minuman di tangannya. Kemudian mereka menaruh di meja.
Petugas yang berdiri di meja kasir menyengir lebar melihat Nagiko meletakkan botol yang punya hiasan kepala rusa itu. "Wah, mata Nona jeli sekali. Dalmore 62 itu hanya diproduksi dua belas botol saja, lho. Tuan ini berkali-kali muncul di toko ini saja tidak pernah menemukannya."
"Ap—cerewet!" erang pemuda itu.
Sang Petugas memasukkan botol yang Nagiko bawa ke dalam kotak kayu dengan hati-hati, lalu mulai mengetik pada mesin kasir. Pemuda yang bersama Nagiko itu menyerahkan kartu anggota, dan Nagiko yang membayar botol yang dipilihnya sendiri—orang yang membantunya benar menombok untuk kekurangannya. Oke, sebenarnya gadis ini takut pamannya akan mengomel karena minuman ini sangat mahal, tapi Nagiko bersama Kak Akiko dan Ranpo-san sudah mengorek sangat banyak dari tabungan masing-masing untuk membelikan barang bagus bagi ayah angkat mereka, karena selama ini mereka jarang juga membelikan hadiah istimewa untuk pria itu. Lebih lagi, mereka juga belum pernah menghamburkan banyak uang sekaligus, ini baru pertama kali dan mereka ingin melakukannya untuk Paman Yukichi.
Usai tranksaksi, Nagiko membawanya hati-hati dengan gendongan, karena sepertinya cairan dalam botol itu akan mudah bergoyang jika ditenteng dengan kantong. Sedangkan pemuda yang membantunya itu membawa botol dengan satu tangan, tampaknya memang sudah terbiasa dengan itu.
"Nah," kata laki-laki itu saat mereka sudah keluar dari toko. "Hm, kamu akan memberikannya pada pamanmu malam ini?" Nagiko mengangguk. "Kalau begitu, lusa kita ketemu disini lagi saja di jam segini, berikan sedikiiitt saja untukku."
Nagiko tersenyum lebar dan mengangguk. "Terima kasih banyak untuk hari ini!"
Pemuda itu menyengir, berbalik badan dan melambaikan tangan. "Jangan lupa, ya!"
.
.
Disclaimer: Bungou Stray Dogs adalah ciptaan Asagiri Kafka dan Harukawa Sango, The Pillow Book adalah karya Sei Shonagon, 'Kiyohara Nagiko' dipercaya sebagai salah satu kemungkinan nama asli dari Sei Shonagon, Author tidak mengambil keuntungan.
Warning: Agak slow burn, Dazai x OC, alur canon (manga, anime, novel), sebisa mungkin tidak mary-sue.
.
.
Osamu Dazai and His Sun
by Fei Mei
.
Chapter 21
.
.
"Selamat ulangtahun!" sahut Nagiko, Ranpo-san dan Kak Akiko bersama-sama sambil masing-masing menembakkan konfeti di tangan.
Paman Yukichi mengerjap. Nagiko tahu pamannya kaget, tapi memang Bos ADB itu lumayan minim ekspresi. Jadi walau terkejut, tampang keras sang paman tetap lebih terlihat jelas. Tapi, tentu saja Pak Presdir ini tidak menyangka apa-apa. Ketiga anak angkatnya tidak ada bilang bahwa akan berkumpul di rumahnya usai kerja hari itu.
Yang Paman Yukichi tahu pasti hanya Nagiko dan Kak Akiko yang menyuruhnya untuk pulang dan beristirahat mumpung sedang tidak menangani kasus besar—dan kedua gadis itu memang sudah biasa menyuruh pria paruh baya itu melakukannya, jadi seharusnya itu bukanlah hal yang mencurigakan. Paman Yukichi juga sering menaati perkataan dua putri angkatnya tersebut kok, makanya ia tidak pulang terlalu malam hari ini.
Agen Detektif tidak punya jadwal yang terikat di kantor, karena itulah Kak Akiko dan Ranpo-san bisa menyelinap keluar bangunan dengan mudah satu jam sebelum jam pulang kantor untuk para staf karyawan. Nagiko tidak bisa menyelinap keluar, tapi setidaknya ia berhasil keluar dari bangunan sebelum pamannya—lagipula, Paman Yukichi hampir selalu pulang belakangan, atau setidaknya baru keluar dari kantor bersama kloter terakhir yang akan keluar ruangan. Jadilah ketiganya berhasil menyiapkan segala sesuatunya dan memberi kejutan ketika Paman Yukichi membuka pintu depan rumahnya sendiri.
Bos ADB itu masih mengerjap, memandang satu-satu anak angkatnya dengan tatapan tak percaya, sedangkan ketiganya malah menyengir lebar. Nagiko dan Kak Akiko masing-masing mengambil satu tangan pria paruh baya itu untuk menggiringnya ke ruang tengah, dimana mereka telah menghias sederhana ruangan itu dan sudah ada makan malam tersaji berikut dengan kue ulangtahun di tengahnya.
"Pak Fukuzawa, lupa sekarang tanggal berapa, ya?" goda Ranpo-san.
" … bukannya lupa, sih, tapi memang tidak ngeh hari ini saya ulangtahun…," gumam Paman Fukuzawa, masih agak tercengang.
Sang Detektif Terhebat itu manyun. "Kalau aku sih, justru paling menantikan hari ulangtahunku, biar bisa makan kue!"
Giliran Kak Akiko yang manyun. "Ulangtahun atau tidak, kayaknya Ranpo-san memang makan kue tiap hari, deh."
"Ahahaha, memang, sih!" sahut Ranpo-san bangga.
Keempatnya duduk mengitari meja, lalu menyanyikan lagu ulangtahun dua kali sebelum Ranpo-san menyuruh Paman Yukichi untuk segera tiup lilin dan potong kue—ia sudah tidak sabar untuk makan kue tar yang ia beli sendiri. Biasanya, kue tar disuguhkan setelah makan makanan berat, tapi kali ini malah terbalik, mereka mencicipi kue yang enak itu duluan setidaknya sepotong kecil.
Saat Nagiko berpikir untuk menyerahkan hadiahnya, bel rumah itu berbunyi. Nagiko dan Kak Akiko saling pandang bingung, tapi berpikir bahwa memang Paman Yukichi adalah orang penting yang sering dapat tamu orang penting juga, jadi seharusnya sudah tidak heran lagi jika ia dapat tamu saat sudah gelap.
"Aaaah, oh iya, ya, aku ada undang Dazai dan Kunikida juga," ceplos Ranpo-san sambil melahap potongan ketiga kue tarnya.
Nagiko mengerjap. "Eh?"
Kak Akiko agak cemberut. "Kan aku sudah bilang agar kita kumpul sekeluarga ini saja…."
Ranpo-san memiringkan sedikit kepalanya. "Tapi mereka keluarga kita juga, kan? Orang-orang di agensi semua adalah keluarga kita, tapi aku paham 'keluarga' yang kalian maksud hanyalah keluarga inti saja. Makanya aku sekalian undang mereka berdua juga."
"Ranpo-san, maksud Aki-nee—"
"—aku paham, kok," potong si Detektif. "Tapi, Kunikida itu adalah staf detektif pertama di agensi setelah aku dan Yosano-sensei, sekaligus kepercayaan Pak Fukuzawa. Dan Dazai itu sudah banyak bantu Nagiko. Berarti, mereka termasuk keluarga inti juga, kan?"
Paman Yukichi menyengir kecil. "Maaf Yosano-sensei, kamu kalah."
Kak Akiko memutar bola matanya, diiringi suara bel lagi. "Baiklah." Nagiko agak lega karena Kak Akiko menyungging senyum kecil—yang berarti ia menyerah dan menyetujui pendapat Ranpo-san. Lalu dokter perempuan itu bangkit dan keluar ruangan untuk mempersilakan tamunya masuk.
.
.
Pantas saja ketika Kak Akiko melaporkan apa yang akan ia pesan untuk malam ini, Ranpo-san memintanya untuk memesan lebih banyak, setidaknya setengah dari porsi yang sudah dicatat Sang Dokter. Nagiko pikir bahwa makanan yang sisa akan menjadi sarapan mereka keesokkan harinya, karena memang mereka bertiga berniat untuk menginap di tempat Paman Yukichi malam itu, mumpung besok adalah hari Minggu. Tapi ternyata Ranpo-san punya maksud lain, yakni perhitungan rencana jumlah porsi makanan yang rencananya akan dipesan Kak Akiko mungkin tidak akan cukup untuk tambahan dua orang tamu dadakan.
Bantal duduk di kediaman Paman Yukichi ada banyak dan meja tamu disana tidaklah kecil, tapi jelas jadi agak sempit jika meja itu penuh dengan makanan dan ada enam orang yang mengitarinya untuk menyantap hidangan. Kedua gadis yang ada di ruangan itu memutuskan untuk mengalah—mereka hanya makan dengan duduk bersandar di dinding.
Nagiko selesai makan duluan, lalu memutuskan mengambil hadiah yang ia letakkan di meja makan. Kembali ke ruang tengah, Kak Akiko tampak paham apa yang dibawa oleh gadis yang lebih muda darinya itu, jadi Sang Dokter mengangguk dan berdiri, menggiring adik angkatnya dan berdeham pada Paman Yukichi.
"Pak Fukuzawa, kami punya hadiah untuk Anda," kata Kak Akiko.
Ranpo-san buru-buru mengangkat tangannya. "Aaahh! Aku juga ikut patungan untuk itu!"
"Iya, kita bertiga maksudnya," koreksi Kak Akiko.
Lalu Nagiko menyodorkan kotak kayu yang dibawanya pada sang paman. Bos ADB itu agak mengerjap sambil menerimanya. Wajahnya tanpa ekspresi, tapi tangannya dengan hati-hati membuka kotak tersebut. Begitu berhasil, ia melihat ke dalamnya dengan tercengang, lalu menatap anak angkatnya satu-satu.
"Banyak yang terjadi beberapa minggu belakangan ini, jadi kami berharap Anda bisa rileks sedikit," ujar Kak Akiko.
Paman Yukichi mengeluarkan botol Dalmore 62 dari kotaknya. "… ini … pasti mahal, kan?"
"Sesekali dapat hadiah mahal gapapa, kan?" tanya Ranpo-san sebelum menyuap kue ke dalam mulutnya lagi.
" … kalau begitu, terima kasih," kata Paman Yukichi sambil tersenyum, lalu menoleh pada Nagiko. "Siapa yang pergi beli? Kapan?"
"Aku yang beli saat jam makan siang tadi," jawab Nagiko.
Pamannya mengerjap bingung. "Nagiko, kamu kan, tidak minum minuman begini?"
Gadis itu tersenyum. "Ada orang tak kukenal menghampiriku dan membantu memilihkan."
Bos ADB itu mengangguk dan menggumamkan 'tentu saja' pelan. Ya, sudah jadi rahasia umum bagi orang-orang yang ada di ruangan itu saat ini bahwa Nagiko kurang bisa minum sesuatu yang mengandung alkohol.
"Pak Presdir, mari saya bantu bukakan," tawar Kunikida-san. Paman Yukichi mengangguk lagi dan membiarkan Si Kacamata mengambil botol beling di tangannya. Kunikida-san pun membukanya dan menuangkan sedikit untuk bosnya.
Paman Yukichi menghirup pelan aroma cairan itu, lalu menegaknya. Dikecapnya pelan rasa yang ada di mulutnya, lalu tersenyum. "Barang mahal memang enak."
"Apalagi kalau itu pemberian," celetuk Dazai-san sambil menyengir kecil.
"Dazai!" tegur Kunikida-san.
"Tidak apa, dia benar," kata Paman Yukichi sambil terkekeh, lalu menatap pada ketiga anak angkatnya satu-persatu lagi. "Terima kasih, kalian bertiga."
.
.
Ranpo-san pulas karena kekenyangan ketika sudah jam sepuluh lewat. Paman Yukichi telah masuk ke kamarnya sendiri ketika sudah pukul sebelas malam. Mungkin sekitar jam satu dini hari, Kunikida-san terlelap karena dipaksa banyak minum oleh Kak Akiko yang ternyata membeli beberapa botol sake juga—dia tidak pakai budget konsumsi untuk itu, kalau sampai pakai dana patungan, bisa-bisa Ranpo-san juga akan menggunakannya untuk membeli banyak manisan yang lain. Kak Akiko tidak sadarkan diri juga kurang lebih sepuluh menit setelahnya. Tersisa Nagiko yang menyelimuti mereka yang terlelap di ruang tengah, serta Dazai-san yang membantunya membereskan meja dan membawa piring dan gelas kotor ke dapur.
Tidak bisa membawa ketiga yang terlelap itu ke kamar, Nagiko memastikan agar mereka terlelap dengan posisi yang nyaman—ia harus melepaskan garpu kue dari tangan Ranpo-san, serta botol bir kosong dari pelukan Kak Akiko. Habis itu ia mengelap meja, dan memastikan bahwa sudah tidak ada lagi makanan dan peralatan makan yang berserakan di ruang tengah.
Masuk ke dapur, ia agak terkejut melihat Dazai-san mencuci piring disana. Dengan perasaan bersalah, ia berlari kecil menghampiri pemuda itu.
"Dazai-san, seharusnya tadi biar aku saja yang membersihkan itu semua!" sahut Nagiko setengah berbisik.
Pemuda itu malah tersenyum kecil. "Tidak apa-apa, kok. Hari ini Nagiko juga pasti lelah, kan? Kalau cuman cuci piring, dulu aku juga sudah biasa melakukannya di apartemenmu, kan?"
Hati Nagiko berasa seperti habis kena beset sesuatu yang tajam saat mendengar Dazai-san menyebutkan kata 'dulu', karena itu seperti hal yang sudah lama. Terakhir kali mereka tidur bersama di apartemen Nagiko adalah malam setelah Atsushi dan Dazai-san menyelamatkan Kyoka dan mengalahkan The Guild, dan itu sudah lebih dari seminggu yang lalu.
Sejak Fenomena Kabut minggu lalu juga, Nagiko tidak meminta Dazai-san untuk tidur bersama, dan pemuda itu juga tidak mengajaknya. Sebenarnya pemuda itu sudah pernah bilang bahwa ia akan tetap datang jika Nagiko memintanya untuk menemaninya tidur, tapi mungkin gadis itu sudah mulai bisa mengendalikan The Pillow Book—nyatanya, selama seminggu ini, Nagiko sudah berhasil tidur dengan sendirinya sebanyak dua kali.
Dazai-san tidak pernah pulang ke bilik apartemen keponakan bosnya, sehingga keduanya memang hanya bertemu di ruang kantor saja. Pemuda itu selalu melempar senyum hangat tiap mereka bertemu pandang, tapi ia sudah tidak pernah lagi menyentuh Nagiko. Pembicaraan yang mereka lakukan di kantor, atau telepon, atau pesan yang dikirim, belakangan ini hanya yang berhubungan dengan pekerjaan saja. Dazai-san benar-benar memberi ruang selebarnya agar Nagiko bisa memikirkan soal perasaannya secara leluasa kali ini.
Nagiko mengapresiasi tindakan pemuda yang lebih tua setahun darinya itu, dan Kak Akiko pun mendukung gerakan Dazai-san agar keponakan Bos ADB ini bisa meyakinkan dirinya dengan apa pun yang ia rasakan sekarang. Tapi, jelas Nagiko jadi merasa kesepian. Ia sudah terlalu terbiasa untuk berada bersama dengan Dazai-san. Memang tidak setiap hari mereka tidur bersama, tapi Nagiko tersadar bahwa ia suka terbangun di pelukan pemuda itu. Mungkin Nagiko ge-er, tapi tangan Dazai-san yang memeluknya itu terasa seperti ingin sedang melindunginya—dan sekarang ia merindukan perasaan itu. Makanya, kata 'dulu' yang disebutkan Dazai-san membuat hatinya sedih.
Gadis itu menghela pelan, ia beranjak ke sebelah Dazai-san. Ada dua basin di tempat cuci piring, jadi Nagiko membilas piring-piring yang sudah disabuni pria itu.
"Nagi, istirahat aja, gih," bisik Dazai-san lembut.
Nagiko manyun. "Dazai-san, kamu adalah tamu disini, mana mungkin aku membiarkanmu membereskannya sendirian? Bisa-bisa aku dijewer Paman."
Dazai-san terkekeh. "Ah, benar juga, ya."
Dikerjakan berdua ternyata memang bisa lebih cepat selesai. Memastikan semua sudah beres, Dazai-san merentangkan tangan dan kaki, jelas terlihat pegal.
"Dazai-san mau minum teh?" tawar Nagiko.
"Hmm, enggak deh, aku mau pulang saja," tolak Dazai-san sambil tersenyum kecil.
Nagiko mengangguk. Tapi, mata Nagiko cukup jeli melihat sesuatu yang tidak biasa di wajah pemuda itu. Dengan cepat Nagiko berjinjit dan menangkup pipi Dazai-san dengan kedua tangannya. Ia menatap horor pada pemuda itu. "Dazai-san, kantong matamu apa-apaan, sih?"
"He?"
Gadis itu cemberut. Karena ia tidak pernah berada di dekat pemuda itu, Nagiko menganggap dirinya salah lihat saja dari jauh, tapi ternyata memang kantung mata Dazai-san lumayan gelap.
"Dazai-san begadang berapa malam?" selidik Nagiko galak.
Mata pemuda itu menolak untuk menatap balik gadis di hadapannya. "Ehh, berapa yaa—"
"Dazai-san!"
Jadi Dazai-san terkekeh kecil, lalu memutuskan untuk menatap lurus gadis itu. "Aku sama sekali tidak tidur sejak terakhir aku tidur denganmu."
Kedua mata Nagiko terbelalak. "Dazai-san, itu—hampir dua minggu, kan?"
"Aaahh, iya, ya? Aku sudah enggak ngecek hari lagi, hahaha—"
"—tidak lucu!" sahut Nagiko kesal, berusaha agar suaranya tidak terlalu kencang sampai membangunkan tiga orang yang terlelap di ruang tengah.
Walau gadis itu cemberut, Dazai-san malah tersenyum dan menggenggam lembut kedua tangan Nagiko yang masih ada di pipinya. "Sejak masih di Mafia, aku memang jarang tidur, kok. Tapi yang sekarang ini … aku cuman mau tidur kalau sama kamu."
"Jangan begitu …," bisik Nagiko sedih. "Kalau nanti aku sudah tidak ada lagi, gimana?"
Dazai-san membawa satu tangan Nagiko untuk dicium. "Berarti nanti aku bakal begadang terus sampai nanti berhasil menyusulmu ke alam lain."
"Tidak lucu—"
Dazai-san menghentikan perkataan Nagiko dengan mencium pipi gadis itu. "—aku memang sedang tidak melucu, Sayang," bisiknya kemudian. Pemuda itu masih mengenggam erat kedua tangan Si Gadis sebentar sebelum perlahan ia melepasnya. Dazai-san tersenyum. "Aku pulang dulu, ya—"
"—tidak."
Eks Mafia spontan mengerjap. Nagiko menatapnya lurus dengan agak galak. Gadis itu keluar dari dapur, memeriksa bahwa pagar dan pintu depan memang sudah terkunci benar, lalu kembali ke dapur untuk mematikan lampu-lampu yang masih menyala. Dazai-san menatapnya bingung, dan Nagiko tidak mempedulikannya—gadis itu malah menarik lengannya untuk mengikuti ke kamar.
"Nagi?" tanya Dazai-san.
Gadis itu membawa Si Pemuda masuk ke kamarnya, lalu menutup pintu, menatap tajam pemuda yang bersamanya. "Dazai-san harus tidur."
Lalu Dazai-san memasang tampang yang sama sekali tak dipahami Nagiko. Bibir pemuda itu tampak mengulum senyum, tapi terlihat seperti sedang menahan tangis juga. Belum Nagiko bisa menayakannya, Dazai-san sudah terlanjur memeluknya. Dada Nagiko berdegup kencang, tapi ia juga merasakan detak keras pada pemuda itu. Jadi Nagiko membalas pelukannya, dan satu tangan Dazai-san segera masuk menyusuri rambut Nagiko untuk memasukkan kepala itu lebih dalam di pelukannya, dan tangan Dazai-san yang di pinggangnya juga terasa makin erat.
"Paham, Nagi," bisik Dazai-san, "Sayangku, aku akan menurutimu."
.
.
Bersambung
.
.
"Who oh who shall I sleep with tonight? I think I'll sleep with 'Hitachi no Suke' for I love the silk touch of her skin in bed …" – The Pillow Book, Sei Shonagon.
.
.
A/N: Chapter ini filler kalau berdasarkan alur canonnya ya, tapi entah kenapa Fei sangat ingin memasukkan adegan salah satu di antara Fukuzawa/Nagiko/Dazai ultah, serta adegan Nagiko ketemu Cowok Bertopi (tahulah siapa) di toko minuman beralkohol itu. Sempat berpikir ingin jadiin spin-off aja setelah ceritanya tamat, tapi kan entah kapan tamatnya gitu, dan kebetulan setelah Arc Guild ke Cannibalism itu kan memang ada jeda buat isi macem-macem, yaudah gas. Dari alur cerita sejauh ini, Nagiko memang belum pernah ada kesempatan bertemu langsung dengan Cowok Bertopi ya. Tentang Dalmore 62, itu memang bener ada, Fei ngecek nama-nama minuman alkohol langka demi adegan itu, wkwkwk.
Review?
