"Geh—" celetuk Dazai-san.
Pemuda yang hendak Nagiko hampiri di depan toko minuman alkohol itu menoleh, dan langsung memasang wajah tak suka juga. Jelaslah Nagiko bingung, pasalnya pemuda yang pernah menolongnya dua hari lalu itu memasang wajah tak suka bukan pada gadis itu, melainkan pada pemuda yang datang bersamanya—Dazai-san.
Bahkan ketika Nagiko telah berada di hadapan orang itu, Dazai-san dan Pemuda Bertopi ini masih asyik berkompetisi memasang wajah saling benci, mau tak mau Nagiko jadi bertanya, "Kalian saling kenal?"
"Nagi, dia orang Port Mafia," jawab Dazai-san tanpa menoleh pada Si Gadis.
Gadis itu mengerjap, menatap kedua pemuda itu bergantian. "Ah, temanmu sewaktu di Mafia?"
"Teman? OGAH!" sahut kedua laki-laki itu bersamaan, membuat Nagiko kicep.
"Ih, mana mau aku temenan sama manusia yang hobi cari mati kayak dia?!" tolak Pemuda Bertopi mentah-mentah,
"Mana bakal aku temenan sama bocah sependek dia?!" kata Dazai-san tak mau kalah.
"… Dazai-san, tinggi badanku kurang lebih sama dengannya, lho," tutur Nagiko datar.
Mantan Mafia itu menoleh cepat pada gadis yang bersamanya dan memasang mulut manyun. "Ya kamu beda, dooong!"
"Tunggu, kamu, kok bisa sama makhluk ini datangnya?" selidik Pemuda Bertopi itu pada Nagiko.
"Ini," gadis itu menyodorkan botol beling kecil pada Penolongnya. "Saat tahu aku akan membawakanmu Dalmore ini, Dazai-san merengek ingin ikut."
Dazai-san berdecih. "Tahu yang menolongmu adalah Chuuya, bakal kukasihtahu biar kamu gak usah kasih minuman mahal itu padanya."
Pemuda Bertopi itu tidak mau kalah. "Tahu perempuan ini kenalanmu, gak bakal kuhampiri waktu itu!"
Nagiko mengerjap lalu manyun pada Dazai-san. "Dazai-san … reputasimu buruk banget, ya, aku tidak mau dekat-dekat denganmu lagi, ah, habis ini."
"HA!"
"NAGIII!"
"Bercanda," cengir Nagiko kecil, lalu menoleh pada Pemuda Bertopi lagi. "Oh iya, saat kuceritakan pada Paman tentang janjiku membawakanmu sepuluh atau dua puluh mililiter bir ini, Paman memintaku untuk memberimu lima puluh mililiter. Awalnya beliau ingin kasih seratus, malah, tapi yang lain tidak setuju, jadinya lima puluh saja, tidak apa?"
Pemuda Bertopi itu mengangguk dan menerima botol beling itu. "Memang dari awal aku sudah menyebut bahwa sepuluh atau dua puluh juga oke, kok. Kalau sampai seratus … bisa-bisa akunya yang merasa bersalah karena nomboknya gak seberapa."
"Idih, memangnya Chuuya bisa merasa bersalah?"
"Diem lu, Makarel!"
"Pendek—"
"—Dazai-san," kata Nagiko, tersenyum dingin pada pemuda itu. "Perlu kuingatkan kalau aku juga pendek?"
Yang namanya dipanggil langsung kicep dan mematung. Pemuda Bertopi menghampiri mantan rekannya untuk berbisik, tapi Nagiko bisa mendengar bisikan itu.
"Dazai, kamu kenal pamannya?"
"Dia keponakan bosku di agensi detektif."
" … oh, gak heran."
Gadis itu masih tersenyum dingin, kali ini menatap kedua pemuda itu bergantian sambil berkacak pinggang. "Lain kali kalau mau bisik-bisik, pastikan suara kalian benar tidak terdengar oleh yang kalian gosipin itu, ya."
" … sori."
Nagiko menghela kecil. "Terima kasih sekali lagi sudah membantuku mencari hadiah untuk pamanku. Eh, namamu?"
"Nakahara Chuuya," jawab pemuda yang tubuhnya kurang lebih setinggi Nagiko.
Gadis itu mengangguk. "Nakahara-san, terima kasih. Ah, oh iya, saat ini memang masih gencatan senjata antara Mafia dan Agensi Detektif Bersenjata, tapi kurasa kalau perkelahian pribadi tanpa bawa-bawa organisasi itu tidak apa, silakan." Nagiko memberi gestur tangan untuk menyilakan Nakahara-san menghajar Dazai-san.
"Nagi tegaaa! Mentang-mentang sama-sama pendek—"
Nakahara-san melompat untuk menendang kepala Dazai-san, tapi Si Jangkung berhasil menghindar. Alhasil kaki Mantan Eksekutif Mafia itu berhasil ditendang Nagiko sampai jatuh.
"Syukurin lu, Makarel!"
.
.
Disclaimer: Bungou Stray Dogs adalah ciptaan Asagiri Kafka dan Harukawa Sango, The Pillow Book adalah karya Sei Shonagon, 'Kiyohara Nagiko' dipercaya sebagai salah satu kemungkinan nama asli dari Sei Shonagon, Author tidak mengambil keuntungan.
Warning: Agak slow burn, Dazai x OC, alur canon (manga, anime, novel), sebisa mungkin tidak mary-sue.
.
.
Osamu Dazai and His Sun
by Fei Mei
.
Chapter 23
.
.
"Nagiko," panggil Kunikida-san begitu keluar dari ruangan Paman Yukichi. Gadis itu pun menoleh pada asal suara. "Tolong ikut masuk ke ruang Pak Presdir sebentar."
Keponakan Pak Presdir itu mengerjap sebentar sebelum mengangguk dan bangkit dari kursinya, mengikuti seniornya yang kembali masuk ke ruang pimpinannya dan berdiri tegap di depan meja kerja Pak Bos.
Paman Yukichi mengangguk kecil pada keponakannya, lalu menyodorkan sebuah ponsel yang tak asing bagi gadis itu. Jelaslah, itu adalah ponsel yang pernah ia pilihkan dan beli bersama Kak Akiko untuk Kenji-kun beberapa bulan lalu, tapi bocah berumur empat belas tahun yang datang dari Desa Ihatovo itu tidak mau pakai karena tidak kunjung mengerti cara menggunakan telepon—padahal kedua gadis itu sudah sengaja memilihkan ponsel keypadnya qwerty yang punya tombol untuk setiap abjad serta layarnya punya fitur layar-sentuh walau tidak begitu besar, dengan harapan Kenji-kun akan dengan mudah memakainya. Ternyata, hanya dalam seminggu, anak laki-laki itu mengembalikan ponsel tersebut dengan alasan 'ribet' dan memilih menulis surat saja jika ada yang ingin disampaikan. Untungnya, walau sekarang tidak mempunyai ponsel, Kenji-kun tetap bisa mengoperasikan ponsel orang lain untuk sekedar membuka ini-itu.
Nagiko sempat ingin memberikan ponsel yang dibelinya untuk Atsushi-kun ketika pemuda itu baru tinggal di asrama, tapi Dazai-san malah bilang bahwa sebaiknya junior mereka yang ini diberi ponsel tipe terbaru sebagai ganti dulu ia tidak punya barang mewah selama di panti asuhan. Alhasil, Bocah Harimau itu tampak sangat kewalahan saat menggunakan gawai tersebut—dengan kata lain, Dazai-san ingin mengerjai Atsushi-kun dengan ponsel terbaru terssebut.
Karena ponsel yang awalnya dibeli untuk Kenji-kun tidak terpakai, Paman Yukichi malah menyimpannya di ruangannya sendiri untuk jaga-jaga—entah jaga-jaga apa. Karena sekarang ponselnya dikeluar dari penyimpannya berarti ini adalah 'jaga-jaga' yang dimaksud, entah apa itu.
"Nagiko, besok siang Kunikida dan beberapa agen kita akan menjalankan tugas di Standard Island," mulai Paman Yukichi. "Akan ada kemungkinan sinyalnya tidak selalu baik untuk berhubungan dengan kita yang ada di Yokohama. Jadi, sadaplah ponsel ini, dan Kunikida akan membawanya kesana biar kita bisa memantau mereka darisini."
Gadis itu mengerjap lagi. "Kalau soal menyadap, bukankah Junichiro lebih jago?"
"Benar, tapi rencananya dia akan ikut pergi besok," kata Paman Yukichi. "Nagiko, kamu akan memantau mereka dari sini."
"Kalau soal sinyal, sepertinya alat penyadap juga akan bisa kena halang jika sinyalnya buruk," gumam Nagiko. Ia mengambil ponsel yang menganggur itu dan membuka bagian belakangnya. Setelah itu ia memasangnya lagi dengan benar dan menyalakan ponsel itu, memeriksa aplikasi dan sistem operasinya, lalu tersenyum. "Tapi, mungkin aku bisa melakukan sesuatu agar aku bisa selalu melihat layarnya dari jarak jauh."
"Maksudnya, kamu akan meretas sistemnya?" tanya Kunikida-san.
Nagiko menyengir kecil. "Tidak benar-benar meretas. Jadi, ponsel-ponsel zaman sekarang sebenarnya bisa dihubungkan dengan komputer atau layar televisi modern. Jadi kita bisa melihat layar ponsel kita di layar yang lebih besar. Pada perangkat yang lebih jadul, kita tidak bisa sekalian mengoperasikan ponsel itu dari layar lain tersebut, jadi kita hanya akan bisa melihat apa yang sedang ada di layar ponsel tersebut. Sayangnya, hal tersebut tidak selalu bisa dilakukan karena biasanya ada batas jaraknya. Nah, aku bisa mengutak-atik sedikit saat menyambungkan ponselnya ke komputerku agar tidak terbatas jarak—asalkan sambungannya tidak terputus, maka aku akan selalu bisa melihat layar ponselnya saat menyala."
"Berarti, jika Kunikida mengetik sesuatu di ponsel itu tanpa mengirimnya, kita akan bisa melihatnya juga?" tanya Paman Yukichi.
"Benar, begitu."
Bos ADB itu mengangguk. "Bagus. Sambungkan, lalu besok Kunikida akan melapor melalui ketikan di ponsel itu selama di Standard Island saat terdesak."
"Baik!"
.
.
Nagiko benar menyambungkan ponsel itu dengan layar komputernya sekaligus laptopnya yang ada di apartemen. Agak riskan, sih, mengingat laptop itu harus terus menyala disana, berjaga-jaga kalau Nagiko sudah harus pulang dari kantor dan misi Kunikida-san ternyata butuh waktu lebih dari sehari.
Hanya Nagiko, Ranpo-san, dan Kyoka saja agen detektif yang tidak ikut pergi, sedangkan Naomi adalah satu-satunya staf karyawan yang pergi—mungkin karena tidak ingin lepas dari kakaknya. Kalau Ranpo-san sih, tidak heran. Tapi Nagiko tidak paham kenapa Paman Yukichi memutuskan agar Kyoka ikut berjaga di agensi. Kantor masih tetap buka dan para pekerja masih tetap masuk seperti biasa, dan bos mereka masih belum pernah membiarkan Kyoka pergi menjalankan tugas tanpa Atsushi-kun—sekarang gadis berumur empat belas tahun itu malah ditinggal Bocah Harimau ke pulau lain.
Kunikida-san melapor lewat aplikasi catatan pada ponsel yang dipinjamkan bosnya setiap beberapa menit sekali. Sebenarnya, Nagiko pikir mungkin laporan yang Paman Yukichi maksud untuk dibuat pemuda berkacamata itu adalah tentang informasi yang baru didapat dari klien yang tidak tertulis di berkas permohonan, tapi pemuda itu malah melaporkan tiap apa pun yang sedang terjadi disana—seperti mereka baru tiba di dermaga, kapal mereka akhirnya berlayar, Atsushi-kun yang keluyuran, Dazai-san yang entah ada dimana, lalu Atsushi-kun yang bilang bahwa ia tidak ingin merapikan bawaannya, dan sebagainya, sampai jika ada yang tidak tahu maka akan mengira itu adalah catatan harian biasa. Gadis itu bisa saja mengetik agar Kunikida-san tidak perlu mengetik hal remeh, tapi Paman Yukichi dan Ranpo-san bilang agar membiarkannya, dan Nagiko menurut.
Seniornya masih terus mengirim laporan sedikit-sedikit lewat ponsel itu. Kalimatnya tidak detil, sebenarnya, tapi lumayan bisa membuat Nagiko membayangkan apa yang Kunikida-san lihat disana. Namun, mungkin yang akhirnya bisa membuat Nagiko mengerjap bingung adalah, Kunikida-san mengetik bahwa Atsushi-kun bertingkah tidak seperti biasanya, seakan sangat tegang dan tergesa-gesa.
Ranpo-san yang asyik mengemut lolipopnya sambil ikut membaca apa yang ada di layarnya. Kyoka juga duduk di sekitar meja Nagiko untuk bisa membaca laporan si Kacamata—dan biasanya akan memajukan posisi duduknya ke layar jika ada tulisan nama 'Atsushi' di ketikannya. Melihat laporan Kunikida-san tentang Atsushi-kun yang bertingkah aneh, Nagiko jadi melirik pada Ranpo-san dan Kyoka bergantian, tapi keduanya tidak mengubah ekspresi.
"Ranpo-san, menurutmu Atsushi kenapa?" tanya Nagiko akhirnya. Detektif Terhebat di Dunia itu hanya mengangkat bahu sebagai jawabannya, jadi Nagiko berganti tanya pada gadis yang lebih muda darinya. "Kyoka, sebelum keluar dari asrama, Atsushi bagaimana?"
"Biasa saja, kupikir," jawab Kyoka datar. "Kita tidak bisa menduga terlalu jauh jika kita tidak bersamanya." Nagiko mengangguk setuju.
Keponakan Bos ADB itu ingin mengetik 'Atsushi aneh bagaimana?', tapi Kunikida-san keburu menulis 'Atsushi menyimpan rahasia yang katanya tidak bisa diberitahukan siapa-siapa.', jadi Nagiko manyun dan memutuskan untuk menunggu laporan-laporan Si Kacamata yang selanjutnya.
Setiap kalimat yang diketik Kunikida-san selanjutnya membuat gadis itu merinding sendiri. Sudah beberapa kali ia melirik pada Ranpo-san, bertanya dalam hati kalau mereka perlu membantu mereka atau tidak, tapi Si Detektif Terhebat hanya berkata 'tidak apa-apa' sambil terus memainkan ponselnya sendiri. Kyoka, yang duduk diam di samping Nagiko, juga meremas kimononya, mungkin hati dan otaknya berputar mencari cara agar bisa ber-teleport ke Standard Island untuk mencari Atsushi-kun.
Lalu Nagiko teringat, Kak Akiko pernah bilang agar ia bisa mengonsumsi sesuatu yang manis dan hangat untuk mengurangi ketegangan. Jika Ranpo-san bilang bahwa tim Kunikida-san akan baik-baik saja disana, maka setidaknya Nagiko butuh sesuatu untuk menenangkan hatinya. Jadi gadis itu bangkit dari kursinya, berjalan menuju dapur. Ia merebus air dan menyeduh teh dalam teko. Diambilnya nampan dan beberapa cangkir teh—tapi tangannya licin sehingga satu cangkirnya terjatuh pecah di lantai. Gadis itu jelas kaget, tapi ia langsung mengambil sapu dan pengki.
Belum ia menyapu pecahan disana, Kyoka membuka pintu dapur dengan cepat dan memamerkan wajah takut.
"Nagiko-san," cicit gadis kecil itu, membuat Nagiko bingung tapi ketakutan gadis yang lebih muda darinya itu tertular padanya juga. "Dazai-san—"
"—Dazai-san?"
"Dia tertikam—Atsushi bilang bahwa jantungnya berhenti berdetak—"
"—eh?"
Nagiko mematung. Ia segera meninggalkan pengki, sapu, dan pecahan cangkir disana, berlari kembali ke mejanya. Ranpo-san, Paman Yukichi, dan banyak staf karyawan telah ramai mengerubungi meja kerja Nagiko—lebih tepatnya komputer yang ada di mejanya. Tahu gadis itu telah kembali ke tempatnya, para staf membuka jalan, tapi Paman Yukichi malah menghalanginya untuk kembali melihat layar.
"Paman—"
"—Nagiko, tenanglah," ujar Bos ADB itu rendah. Tangan besar Paman Yukichi menahan bahu keponakannya yang sudah gemetaran. "Tidak apa-apa."
"Apanya—Dazai-san—"
"—tidak apa-apa," potong Ranpo-san sambil tersenyum dan melompat dari kursinya, lalu menyimpan ponselnya di saku. "Ah, Nagiko sedang dalam kondisi tidak bisa menyetir, ya, jadi Pak Presdir saja yang menyupir, ya!"
Gadis itu menatap agen detektif tertua di agensi itu dengan tak percaya. "Dazai-san tertikam dan jantungnya sudah tidak berdetak dan itu masih tidak apa-apa?"
Ranpo-san tersenyum tulus, ia menepuk puncak kepala adik angkatnya. "Motto-ku itu: asal aku oke, maka semua oke. Ingat?" Nagiko kicep. Gadis itu sangat ingin membalas perkataannya lagi, terutama karena ia kepikiran tentang Dazai-san yang jika jantungnya sudah tidak berdetak maka berarti sudah meninggal—dan Nagiko tidak mau pemuda itu pergi selamanya dari hidupnya.
Sesuai perkataan Ranpo-san, benar juga Nagiko tidak bisa menyetir saat ini—tidak dalam kondisi gemetaran. Pak Presdir menyetir untuk ketiga agen detektif yang dari awal harus standby di kantor ketika tim Kunikida-san pergi beberapa jam yang lalu. Nagiko pikir mereka akan menyusul yang lain dengan pergi ke dermaga dulu, tapi ternyata mereka akan menghampiri para rekan mereka dengan menggunakan helikopter.
Paman Yukichi langsung duduk di depan dengan seorang pilot yang adalah kenalannya, sedangkan Nagiko duduk di belakang bersama Ranpo-san dan Kyoka. Nagiko meremas erat sabuk pengaman yang terpasang padanya, sampai Kyoka yang ada di sampingnya menggenggam satu tangannya—entah maksudnya menenangkan atau ingin cemas bersama-sama. Sampai suatu ketika, Ranpo-san bangkit dari bangkunya, beranjak ke tempat Paman Yukichi, mengambil transceiver, menyalakannya dan tertawa kencang dengan alat itu, membuat Nagiko kaget.
"Ah, apa yang kalian bisa lakukan tanpa aku?! Kacau banget!" sahut Ranpo-san kencang. "Dazai mengirimiku pesan video ke ponselku beberapa saat lalu untuk memberitahuku apa yang terjadi, dan kutebak kalian bakal ada dalam masalah sekarang, jadi aku meminta Pak Presdir untuk membiarkanku membantu! Sebaiknya kalian berterimakasih pada Detektif Hebat ini, para pekerja rendahan!"
Nagiko mengernyit—kapan Ranpo-san minta Paman Yukichi untuk membiarkan membantu? Bukankah dari awal justru Si Detektif Terhebat-lah yang tidak mau ikut dalam misi ini? Lalu Nagiko teringat, saat Nagiko dan Kyoka asyik membaca laporan dari Kunikida-san, Ranpo-san malah asyik dengan ponselnya—jadi mungkin Dazai-san sempat berhasil menghubungi Si Detektif Terhebat sebelum kena serang. Yah, mengingat Dazai-san adalah Dazai-san, mungkin pemuda itu sudah tahu bahwa dirinya akan terkena bahaya. Tapi kan, tetap saja bikin cemas.
"Penjaga Pantai seharusnya sudah akan tiba disana dengan kapal penyelamat, itu cukup besar untuk semua orang yang ada di pulau, jadi jangan khawatir!"
Gadis itu merasa helikopter mulai terbang ke bawah, mungkin sudah mau mendarat. Ranpo-san juga sudah ditegur Paman Yukichi untuk segera kembali duduk dan mengenakan sabuk pengaman. Ketika kendaraan berbaling-baling itu sudah mendarat, Kyoka dengan cepat melepas sabuknya seakan sudah terbiasa, lalu membuka cepat pintu helikopter—lagi-lagi tampak seperti sudah biasa—dan kemudian melompat ke luar.
Tangan Nagiko agak kaku, sampai Ranpo-san perlu membantunya melepaskan sabuk pengaman dan turun dari helikopter. Ketika ia turun dari alat transportasi itu, Nagiko langsung bisa melihat Kunikida-san yang berlari cepat dan menendang seseorang sampai melayang.
Seseorang yang melayang dan terjatuh berkat tendangan rekan kerjanya itu mengenakan parka krem yang Nagiko belikan. Seseorang itu, menurut laporan yang ia dengar terakhir kali, jantungnya sudah tidak berdetak.
Nagiko berdiri mematung melihatnya. Telinganya menjadi tuli sesaat, indranya yang masih bekerja saat itu hanyalah matanya yang melihat Kunikida-san mencekik sang partner sambil mengomel parah. Air mata Nagiko perlahan mengalir, dan saat itulah panca inderanya yang lain kembali berfungsi.
"—Nagiko," ujar Ranpo-san di sebelahnya sambil tersenyum. "Sudah kubilang tidak apa-apa, kan?"
Gadis itu mengangguk dan ia mulai mengisak. Dengan samar ia bisa melihat Kunikida-san menjauh dari Dazai-san, dan si pemuda yang hobi cari mati itu buru-buru bangkit menghampiri keponakan bosnya. Sebelum pemuda itu tiba di hadapannya, Nagiko lebih dulu melompat ke pelukan Dazai-san.
Nagiko tidak mampu berkata-kata—tiap kali ia membuka mulutnya, hanya suara isakan saja yang keluar. Dan Dazai-san tampak paham isi hati gadis itu, makanya ia hanya menggumam 'maaf' berkali-kali sambil mengelus kepala gadis itu dan memeluknya erat.
.
.
.
.
Jam berapa sekarang? Osamu tidak tahu. Yang pasti, belum ada cahaya matahari menembus tirai kamar, berarti di luar sana masih gelap. Mengingat ia sudah terlelap sebelumnya, berarti saat ini antara tengah malam atau dini hari. Osamu tidak berniat melirik jam dinding, ia malah memilih menonton gadis yang di pelukannya tertidur pulas.
Hati Osamu agak meringis. Pasalnya, saat ini tidak ada satu pun bagian tubuh Nagiko yang bersentuhan langsung dengan kulit pemuda ini, tapi Si Gadis masih terus terlelap. Dengan kata lain, saat ini keponakan bosnya sedang terlelap bukan karena kemampuan No Longer Human Osamu. Yah, sisi lain, Osamu juga senang, karena Nagiko masih ingin tidur dengannya sesekali walau sudah tidak terlalu membutuh kemampuan pemuda itu—mungkin karena dia pernah bilang bahwa tidak ingin tidur jika tidak bersama rekannya ini.
Pemuda itu tersenyum saat mengingat Nagiko sendirilah yang langsung masuk ke pelukannya saat mereka akan tidur. Biasanya gadis itu baru akan memeluknya jika sudah pulas, tapi kali ini bahkan ketika sebelum menutup kedua matanya, ia sudah langsung memeluk pemuda yang bersamanya ini. Memangnya siapa yang bakal tidak mau kalau dipeluk gadis kesayangannya begini?
Osamu menyapu sedikit helaian rambut yang ada di wajah Nagiko sambil tersenyum. Dalam pikirannya, wajah gadis ini tampak paling menggemaskan jika tertidur. Kelopak matanya sudah tidak sembab, dan Osamu lega melihatnya. Nagiko menangis setidaknya setengah jam di pelukannya saat tim Ranpo-san menjemput mereka dengan helikopter. Bahkan ketika mereka sudah naik transportasi berbaling-baling itu, Si Gadis membiarkan tangannya digenggam erat oleh Osamu yang duduk di sebelahnya, mungkin biar Nagiko yakin pemuda itu tidak akan kemana-mana. Genggaman itu jelas berbeda dengan ketika mereka kencan di pameran lukisan—karena saat itu Osamu sempat manyun pada gadis itu sambil mengatakan bahwa yang namanya kencan itu harus ada gandengannya. Tapi kali ini, Osamu tidak perlu manyun, dan tidak ada adegan penolakan dari gadis itu. Naomi-chan dan Ranpo-san tidak menggoda mereka sama sekali, bahkan Pak Fukuzawa dan Kunikida tidak menegur—mungkin keduanya malah lega karena Nagiko tidak sampai terlalu panik.
Sesampainya mereka di kantor agensi tadi sore, Pak Fukuzawa mentraktir mereka makan di Uzumaki. Bukan tempat mewah, tapi tentu saja terasa berbeda jika ditraktir langsung oleh Pak Bos. Dan selama duduk makan bersebelahan disana, Nagiko membiarkan salah satu kakinya ditempeli kaki Osamu—padahal dulu kalau seperti ini, gadis itu akan menjauhkan posisi duduknya atau bilang 'jangan dempet-dempet, Dazai-san, masih luas di sebelah sana'. Dan habis makan, mereka semua dipersilakan pulang—dan tentu saja Osamu pulang ke apartemen Nagiko.
Mengingat itu semua, jelas hati Osamu kegirangan walau ia tidak berani memperlihatkannya. Ia takut, jika menunjukkan bahwa dirinya bahagia, lalu kebahagiaannya lenyap. Jadi Osamu hanya ingin menikmatinya sendiri saja.
Wajah gadis itu merespon pelan ketika Osamu menyentuh bibirnya. Kedua matanya perlahan terbuka, bertemu pandang dengan mata pemuda di hadapannya. Nagiko mengerjap sebentar sebelum merona, lalu meringkuk untuk membenamkan kepalanya pada Osamu, membuat pemuda itu terkekeh.
"Sayangku…," bisik Osamu lalu mencium puncak kepala gadis itu. Ia bisa merasakan gadis itu agak terkejut di pelukannya, dan Osamu kembali terkekeh. "Tidurnya enak?" Gadis itu mengangguk. "Aku juga, soalnya ada kamu disini denganku."
" … Dazai-san kan, sebenarnya bisa tidur tanpa aku," gumam Nagiko. Tanpa melihat wajahnya pun, Osamu tahu gadis itu sedang manyun.
"Iya sih, tapi sekitar tiga tahunan belakangan ini, rasanya aneh kalau gak sama kamu, jadi aku cuman mau tidur kalau ada kamu," balas Osamu, lalu menyengir. "Ah, mungkin karena aku mencintaimu."
Nagiko tidak berkata apa-apa, tapi Osamu bisa merasakan kedua tangan gadis itu meremas baju yang ia kenakan. Itu selalu Nagiko lakukan jika tersipu atau hanya tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat—dan Osamu yakin saat ini gadis itu sedang merona hebat di dadanya.
Osamu melepas sedikit pelukannya sampai wajah Nagiko terlihat—benar juga, gadis itu merona merah dan menggigit bibir. Pemuda itu tersenyum lembut, lalu mencium kening Si Gadis. Nagiko tidak menolak atau mendorongnya, dan Osamu tahu bahwa selama ini gadis itu akan melakukan keduanya jika mendapat perlakuan yang tidak ia terima—maka dari itu, Osamu selalu senang jika Nagiko menerima sentuhannya sekecil apapun.
Mungkin merasa semakin malu, Nagiko menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangan, lalu berbalik badan untuk memunggungi Osamu. Lagi pemuda itu terkekeh, ia menangkap gadis itu dengan pelukannya. Tidak tahan, akhirnya Osamu menyibak rambut Nagiko agar lehernya terlihat, dan pemuda itu mencium disana.
Gadis itu terkejut, dan Osamu merasa wajar. Pemuda itu mengisap sekitar sana, dan ia bisa merasakan lenguhan dari nafas memburu Nagiko. Jadi Osamu mulai menggigit-gigit kecil leher itu, membuat gadis yang memunggunginya itu akhirnya mengerang pelan sambil menyebut namanya—tidak begitu jelas, mungkin karena ia menahan suara dengan tangannya, tapi pemuda itu tahu namanyalah yang keluar dari mulut tersebut. Pandangan mata Osamu menangkap satu tangan Nagiko yang meremas sprei ranjang, jadi tangannya meraih punggung tangan yang lebih kecil itu untuk menyelipkan jari-jarinya di antara jemari gadis itu.
Nagiko menggeliat kecil, dan sejauh yang Osamu tahu sampai saat ini, memang Si Gadis paling sensitif di leher bagian samping. Masih tidak ada penolakan dari gadis itu, Osamu terus menggigit kecil disana. Semakin merasa gemas, akhirnya dengan keras ia menggigit leher Nagiko sampai gadis itu memekik.
Nafasnya terdengar berat, kemudian menjadi lebih tenang ketika Osamu mencium bekas gigitannya. "Aku mencintaimu," bisiknya di telinga.
Pemuda itu dibuat agak kaget ketika Nagiko memutar tubuhnya. Tidak lagi memunggungi, melainkan berada di bawah Osamu. Mata gadis itu agak sayu, dan wajahnya masih terus merona. Jika orang tidak tahu, bisa-bisa mengira bahwa Nagiko sedang demam.
"Dazai-san," gumamnya.
"Hmm?" balas pemuda itu sambil mengusap bibir gadis yang ada di bawahnya.
"Aku—Dazai-san, aku—"
Osamu meringis dalam hati. Ia tahu persis apa yang ingin diucapkan gadis itu, tapi ia juga sangat tahu bahwa Nagiko tidak berani mengatakannya, pun mencium bibirnya seperti pinta Osamu saat pertama kali menyebut kata 'cinta' secara langsung.
"—Nagiko, kubilang aku mencintaimu, itu bukan agar kamu membalas perkataan itu dengan kalimat yang sama," tutur Osamu lembut.
"Tapi—Dazai-san, tapi aku juga—aku—eh—"
"—aku tahu," ucap Osamu. "Aku tahu, Sayang. Karena itu, tenanglah."
Dengan gemas Nagiko mengangguk pelan. Baru Osamu akan tersenyum lagi, gadis itu kembali mengejutkannya. Nagiko dengan cepat mendorong pemuda itu agar rebah di ranjang, sedangkan Si Gadis kini malah ada di atasnya. Mantan Eksekutif Mafia itu mengerjap melihat keponakan bosnya. Memang ia paling tidak bisa menebak tentang Kiyohara Nagiko—bisa saja, tapi tidak bisa langsung dan nyatanya gadis itu sering mengejutkannya dengan hal-hal kecil serta spontan.
Maka dari itu, ketika Nagiko membenamkan kepalanya di leher Osamu, pemuda itu terbelalak sejenak, sebelum menenggelamkan jemarinya di helaian rambut Si Gadis untuk menikmati setiap kecupan yang gadis itu berikan di lehernya. Sehari-hari Osamu memang hobi menutupi tubuhnya dengan perban atau tisu gulung, tapi memang ia tidak pernah mengenakannya jika akan tidur dengan Nagiko, dengan maksud agar gadis itu mudah tersentuh kulitnya dan bisa tidur pulas. Makanya sekarang Osamu jadi bisa menikmati yang gadis itu lakukan sekarang.
Nagiko mencium lehernya kecil-kecil, terasa begitu hati-hati, mungkin karena baru pertama kali. Tapi Osamu juga merasa bahwa gadis itu sedang mencontoh dari apa yang tadi ia lakukan sebelumnya. Gadis itu mulai menggigit pelan leher putih Osamu, membuat pemuda itu melenguh juga, lebih karena kaget. Dan ketika Nagiko menggigit keras, spontan saja Osamu mengerang kaget. Usai itu, dengan masih tersipu Nagiko bangun dan setengah terduduk di pangkuan rekannya. Osamu pun bangun juga, memegang pinggang gadisnya agar tidak kabur.
"Gantian," cicit Nagiko pelan, tidak berani menatap langsung mata pemuda yang ada di hadapannya.
Osamu tercengang sesaat, tapi kemudian terkekeh lalu memeluk erat gadis di pangkuannya.
.
.
"Kunikida-kuuun!" sahut Osamu pada yang duduk di seberang mejanya. "Aku lagi kembaran sama Nagi, loh!"
" … hah?"
Dengan bangga Osamu memamerkan lehernya yang tumben hari itu tidak tertutup balutan perban, memperlihatkan bekas gigitan Nagiko pada rekan kerjanya. Senyum bangga Osamu spontan menjadi rintihan kecil ketika kena lempar penghapus dari arah meja keponakan bosnya.
.
.
Bersambung
.
.
A/N: Karena Fei gak berani masukin Nagiko di alur novel 55 Minutes, jadinya Arc novel satu itu rampung dalam 1 chapter ini aja. Bagi yang belum pernah baca novelnya, 55 Minutes itu bikin kaget, sekaligus jadi ada banyak teori fans mengenai manga chapter 109 gara-gara mereka udah baca 55 Minutes. Di catatan penulisnya, novel 55 Minutes itu seharusnya sebelum Dead Apple, tapi di fanfiksi ini Fei tukar posisinya demi adegan Dazai x Nagiko.
Review?
