Setelah lima hari gadis itu pulang kampung ke Sapporo dengan Paman Yukichi dalam rangka mengunjungi makam orangtuanya, malam ini akhirnya Nagiko tiba juga di apartemennya. Untunglah Paman Yukichi menurut untuk menggunakan kereta sebagai transportasi mereka—naik kereta juga butuh sekitar sembilan jam perjalanan dari Yokohama ke Sapporo, sih, tapi Paman sempat ingin mengendarai mobil saja yang ternyata setelah dicek membutuhkan waktu tujuh belas jam. Bisa saja mereka menyetir bergantian, tapi tetap saja bakal lelah seharian dalam perjalanan terus. Sisi lain, sebenarnya pulang dari Sapporo ke Yokohama mungkin akan lebih nyaman dengan mobil sendiri, karena bawaannya lebih banyak gara-gara ada sejumlah oleh-oleh untuk orang kantor. Dan alasan kenapa mereka tidak naik pesawat adalah karena Paman Yukichi tidak mau menggunakan transportasi udara tersebut jika bukan untuk sesuatu yang mendesak.
Nagiko membuka pintu apartemennya, langsung mengernyit karena lampu biliknya menyala. Ia mengerjap sejenak ketika menemukan Dazai-san yang tampak buru-buru bangun dari rebahnya di sofa.
"Dazai-san? Kok disini—"
"Nagiii~!" sahut yang dipanggil, melompat dari sofa dan berlari memeluk erat gadis itu. "Kangeeenn~"
Mau tak mau gadis itu terkekeh—jelas saja, Dazai-san jadi seperti anak kecil, padahal pemuda itu setidaknya kurang lebih dua puluh centimeter lebih tinggi dari Nagiko. "Iya, iya, aku sudah pulang sekarang, Dazai-san," ujarnya sambil menepuk pelan punggung orang yang memeluknya. "Dazai-san ngapain disini?"
"Numpang tidur, soalnya kemarin-kemarin ternyata aku bisa tidur kalau cium aroma kamu yang ada di bantal."
Sontak Nagiko melepaskan diri dari pelukan Dazai-san. "Mesum."
Dazai-san manyun. "Ooohh, jadi kamu lebih mau melihat kantong mataku kayak panda lagi? Oke."
"Bukan begitu," kata gadis itu sambil memukul pelan lengan yang lebih tua setahun darinya.
"Melihat wajahmu segar begitu, berarti kamu bisa tidur selama di Sapporo, ya? Padahal gak ada aku disana, lho, sedih deh."
"Dazai-saaann!"
Jadi Dazai-san menyengir. Ia kembali memeluk Nagiko dan mencium puncak kepala lalu telinga gadis itu, membuat Sang Korban merona. Mereka menikmati pelukan satu sama lain sebentar, sebelum lagi-lagi Nagiko yang melepaskannya duluan, bilang ingin membereskan bawaannya.
Ada koper berisi pakaian dan tas besar berisi oleh-oleh. Nagiko memutuskan untuk merapikan isi kopernya belakangan saja, jadi sekarang ia mengeluarkan isi tas oleh-oleh di atas meja untuk dipisah-pisahkan. Mengingat gadis itu tidak punya kenalan yang dekat di luar agensi, jadi memang semua oleh-oleh itu untuk dibawa ke kantor besok, hanya saja ada beberapa cemilan yang dibeli khusus untuk orang-orang tertentu, seperti Ranpo-san, Kak Akiko, dan Kunikida-san.
"Nagi, bagianku mana?" tanya Dazai-san yang menonton gadis itu memilah barang dari seberang meja.
Gadis itu mengambil white black thunder dan nama caramel, disodorkannya pada pemuda itu. "Aku ada beli beberapa untuk ditaruh di kantor besok, biar kalau ada yang mau, boleh comot. Tapi khusus Dazai-san, kuberi masing-masing satu pak."
Bukan tersenyum, Dazai-san malah agak manyun. "Tapi berarti oleh-oleh untukku sebenarnya sama saja dong, dengan untuk para staf kantor, cuman beda jumlah? Itu, Kunikida sama Ranpo-san dan Yosano-sensei dapetnya beda…."
"Karena Kunikida-san pernah bilang bahwa dia suka kue ini. Terus cemilan ini adalah favorit Ranpo-san saat dia pernah ikut ke Sapporo. Kalau yang ini, karena Aki-nee yang titip beli," jelas Nagiko.
Dazai-san masih tetap manyun. Ia membuka bungkus pak white black thunder, mengambil sebungkus kecil disana untuk mencoba. Nagiko yang sudah selesai memilah semua oleh-olehnya, mengangguk puas dan memasukkannya ke dalam kantong-kantong secara terpisah. Ia melihat pemuda yang ada di depannya masih mengunyah dengan agak manyun, jadi Nagiko menghampirinya.
"Dazai-san," panggil Nagiko. "Masih sedih karena aku beli oleh-olehnya sama dengan yang lain?" Pemuda itu mengangguk kecil. Nagiko tersenyum kecil. "Tapi sebenarnya aku sudah siapin hadiah khusus untuk Dazai-san, lho."
Si Pemuda mengerjap, lalu menelan semua kunyahan yang ada di mulutnya. "Apa—mana?"
Lalu Nagiko mencium pipi pemuda itu. Hanya sebentar, karena wajah gadis itu langsung merona juga. "Aku tidak mungkin memberikan itu pada yang lain, kan?" gumamnya kecil.
"Nagi—"
Gadis itu berhasil lebih dulu bangkit dan kabur dari jangkauan tangan Dazai-san. "Aku mau bersih-bersih."
Tapi Dazai-san memang lebih gesit dari Nagiko, mungkin karena faktor tangan dan kakinya masih lebih panjang dari milik gadis itu. Jadi sebelum Nagiko berhasil masuk ke kamar mandi, pemuda itu lebih dulu berhasil menangkap tangan gadis itu.
"Sayang, kubantu mandi—"
"—Dazai-san, sebegitu frustasinya gak berhasil bunuh diri, sekarang malah ngebet biar bisa dihajar pedang Paman?"
"Nagi serem, ah."
"Dazai-san duluan yang reseh."
" … tapi Nagiko seremnya beda dengan biasa," ujar Dazai-san sambil memasukkan gadis itu dalam pelukannya. "Soalnya Nagi wajahnya tersipu begitu."
"Kh—lagian Dazai-san godain aku melulu …."
Pemuda itu terkekeh bangga, baru berhenti ketika Nagiko membalas pelukannya. "Nagi, hadiah khususku, aku pengen sekali lagi." Nagiko terlonjak kecil karena kaget, telinganya menghangat—entah sudah semerah apa sekarang. " … ya?"
Jadi Nagiko mundur lagi. "Dazai-san agak bungkuk dulu."
Yang dipinta malah menyengir. "Ah iya, Nagi pendek, sih—aduh!"
Pemuda itu langsung agak membungkuk dan merintih karena Nagiko menyerang bagian perutnya. Walau sempat manyun, gadis itu mencium pipi Dazai-san cepat sebelum akhirnya kali ini berhasil kabur ke kamar mandi.
.
.
Disclaimer: Bungou Stray Dogs adalah ciptaan Asagiri Kafka dan Harukawa Sango, The Pillow Book adalah karya Sei Shonagon, 'Kiyohara Nagiko' dipercaya sebagai salah satu kemungkinan nama asli dari Sei Shonagon, Author tidak mengambil keuntungan.
Warning: Agak slow burn, Dazai x OC, alur canon (manga, anime, novel), sebisa mungkin tidak mary-sue.
.
.
Osamu Dazai and His Sun
by Fei Mei
.
Chapter 24
.
.
Tak peduli sudah berapa kali Nagiko meminta pemuda itu melepaskan tangannya, Dazai-san masih tetap menggandengnya sambil bersenandung riang dalam perjalanan menuju kantor. Keduanya cukup jarang pergi ke tempat kerja bersama, keluar dari bilik apartemen Nagiko sama-sama untuk pergi kerja saja hampir tidak pernah. Biasanya Dazai-san akan keluyuran entah kemana dulu sebelum ke agensi, tapi kali ini, sambil membawa kantong berisi oleh-oleh dari Sapporo serta tangan lain menggandeng keponakan bosnya, sepertinya sudah pasti pemuda itu akan langsung ke kantor.
"Dazai-san, sudah dekat kantor, lepasin gandengannya, dong," pinta Nagiko.
"Gak mau," tolak pemuda itu. "Aku mau anterin Nagi sampai mejamu."
Pipi dan telinga Si Gadis menghangat. "Tidak usah!"
Dazai-san manyun. "Soalnya aku sekalian pengen pamerin yang lain bahwa aku dapet hadiah khusus dari Nagiko."
Dengan satu tangannya yang masih bebas, gadis itu memukul lengan yang lebih tua darinya. "Tidak usah dipamerin! Lagian, itu kan tidak ada bekasnya! Dan lagi, nanti yang lain pada cengin kita!"
"Heee—"
"Pokoknya jangan!" sahut Nagiko, lalu ia menutup sebagian wajah dengan satu tangannya. "Ampun, aku masih tidak habis pikir Dazai-san pernah pamerin leher ke Kunikida-san minggu lalu …."
"Oh iya, aku ada ambil swafoto leherku juga waktu itu—"
"—hapus!"
"Gak mauuu, itu kan kenang-kenangan—ah, kecuali kalau Nagi mau kasih tanda ke aku lagi dalam waktu dekat—"
"—Dazai-san!" Gadis itu merona hebat. Ia benar-benar ingin kabur untuk menyembunyikan wajahnya, tapi satu tangannya masih terkunci dengan genggaman Si Pemuda.
Untungnya, sampai di kantor, Dazai-san sudah tidak menggodanya lagi. Tangannya masih terus menggenggam tangan gadis itu dan sesekali memainkan sedikit jemarinya, tapi tangan mereka benar masih terpaut sampai Nagiko tiba di meja kerjanya. Wajah gadis itu menghangat karena harus berjalan masuk ruangan dengan tangannya yang masih digandeng Dazai-san, tapi masih bisa bersyukur karena belum ada setengah dari pekerja yang sudah ada disana. Nagiko sempat berusaha sekali lagi untuk melepaskan tangan pemuda itu ketika akan membalas sapaan Kunikida-san, tapi genggaman Dazai-san malah semakin erat.
Tiba di meja kerja gadis itu, Dazai-san menaruh kantong oleh-oleh Sapporo di meja tersebut. Ia masih sempat mencium kecil puncak kepala Nagiko sebelum melepaskan tangannya.
"Dazai-san," bisik Nagiko.
"Hmm?"
Gadis itu menatap Si Pemuda. Niatnya menatap tajam, tapi gagal karena tersipu. "Pengen banget dibunuh Paman, atau bagaimana?"
Dazai-san malah menyengir sambil menyentuh bibir Nagiko dengan telunjuknya. "Kurasa beliau tidak bakal melakukannya, karena nanti keponakan satu-satunya ini bakal sedih."
"DAZAI!" teriak Kunikida-san. Dengan manyun, yang namanya dipanggil langsung menoleh ke partnernya. "Laporanmu mana, hei!"
"Heeee, bukannya itu bagian Kunikida-kuuunn?" tanya Dazai-san sambil akhirnya beranjak pergi dari sisi Nagiko.
"Kalau aku terus yang mengerjakan, lalu kamu mengerjakan apa, dasar Manusia Tukang Menghabiskan Tisu!"
Nagiko tersenyum kecil saat melihat Dazai-san dengan gontai duduk di bangkunya sendiri dan menyalakan komputer, lalu Kunikida-san menceramahinya dengan khotbah yang tidak asing. Lima hari ia tidak ke kantor, sepertinya Nagiko jadi merasa Sapporo agak terlalu tenang baginya—dan kantor agensi ini, seberatnya dan selelahnya, tetap lebih menarik.
.
.
Sudah pukul sepuluh lewat, Nagiko masih terus memantau video pengawas di beberapa daerah yang pernah kemungkinan pernah bersentuhan dengan The Guild. Itu gara-gara ia mendengar cerita dari Ranpo-san tentang kejadian-kejadian yang ada disana selama lima hari Nagiko dan Paman Yukichi tidak di kantor, dan salah satu kejadiannya adalah mengenai beberapa kelompok organisasi teroris kecil yang mendadak muncul ke permukaan setelah kejatuhan The Guild untuk mencari harta The Guild yang masih tersisa. Kebetulan saat ini Nagiko sedang tidak ada kasus yang perlu ditangani, jadinya ya, dia mengawasi dari komputernya saja.
"—wah, tampaknya jadwal hari ini lebih padat daripada sebelumnya," goda Dazai-san.
Nagiko menoleh, melihat si Maniak Bunuh Diri sedang membaca buku catatan partnernya dari belakang.
Dengan tampak bangga, Kunikida-san menyodorkan tulisan di bukunya lebih dekat ke mata Dazai-san. "Di dalam pertemuan kepolisian anti terorisme, kita diharuskan memberi laporan terkait insiden pembantaian itu berlangsung. Selain itu, kita juga punya banyak permintaan penting yang tak bisa ditunda." Si Kacamata kemudian berdiri sambil menutup tegas buku catatannya. "—tapi, akan kupertaruhkan nyawaku untuk menyelesaikan semua jadwal yang sempurna ini!"
Keponakan Presdir yang menonton mereka ini tersenyum kecil. Perkataan yang baru ia dengar barusan itu memang khas Kunikida-san sekali. Mau tak mau Nagiko jadi heran sendiri, kok bisa-bisanya Si Kacamata sering mengerjakan kasus berpasangan dengan Dazai-san yang jelas-jelas punya kepribadian 180 derajat darinya? Mau sampai mulut Kunikida-san berbusa menjelaskan betapa pentingnya mengikuti jadwal di catatannya—bahkan Nagiko sendiri saja hampir pusing saat tak sengaja melihat betapa detil jam dan menit yang pria itu torehkan di jadwalnya—, sepertinya Dazai-san tidak bakal peduli dan malah akan dengan iseng berusaha membuat jadwal rekannya yang sempurna itu berantakan.
"Ah, Kunikida, pas sekali, ikut aku pergi belanja—"
"—aku minta maaf, tolong minta saja pada yang lain," potong Kunikida-san pada pinta Kak Akiko yang baru keluar dari ruang kesehatan.
"Kunikida-san," giliran Junichiro. "Ada informan mengenai pengeboman, katanya ada seseorang yang akan menyerahkan koper yang dicurigai berisi bom ke orang lewat dan meledakkannya di tengah jalan—"
"—kita bicarakan itu nanti," tolak Kunikida-san juga.
Ranpo-san ikutan dengan mengangkat bungkus keripiknya yang kosong. "Kunikidaaaa, jajananku habis!"
"Di lemari masih ada," balas si Kacamata.
Nagiko terkekeh melihat Si Detektif Terhebat manyun sesaat sebelum ia membuka lemari di dekatnya dan kembali tersenyum sumringah sambil mengambil banyak bungkus cemilan dari sana.
"—dan Dazai! Takkan kubiarkan kau mengacaukan jadwalku hari ini!" seru Kunikida-san galak.
"Tentu saja aku berjanji dengan sepenuh hati," balas Dazai-san sambil tersenyum.
Si Kacamata menggeram. "Kau malah terlihat bakal menggangguku." Nagiko mengangguk setuju dari tempatnya sendiri.
Kunikida-san tidak mengatakan apa-apa lebih lanjut. Ia melirik jam tangannya dan kemudian berjalan cepat dengan kaki panjangnya keluar dari kantor. Dazai-san tampak langsung berpikir keras sambil menyeringai—Nagiko menghela, ia tahu rekan kerjanya satu itu pasti akan mengganggu Si Kacamata entah bagaimana caranya.
"Nagiko, ikut aku belanja, yuk?" tanya Kak Akiko yang telah menghampiri meja adik angkatnya.
"Ah, tapi, kalau ada informan mengenai pengeboman, mungkin aku mau cek kamera pengawas dulu?" jawab Nagiko.
"Tidak apa-apa, ada Tanizaki, kok," balas Si Dokter santai lalu menoleh pada si pemilik nama. "Bisa ditinggal sendiri dulu, kan?"
Junichiro mengangguk kecil. "Kalau sebentar mungkin aku bisa mengeceknya sendiri."
Jadi Nagiko tersenyum dan mengangguk pada Kak Akiko. "Baiklah."
"Nagi, nanti sekalian beliin aku kue tar yang biasa ya," pinta Ranpo-san. Nagiko mengangguk sebelum ia pergi dengan Dokter Wanita itu.
.
.
Yang biasa mengisi barang dalam kulkas di dapur kantor memang Kak Akiko. Dan waktu belanja itu pula Si Dokter Wanita akan sekalian membeli bahan dan perlengkapan untuk ruang kesehatan, ditambah jajan aksesori ini-itu. Dengan kata lain, Kak Akiko adalah anggota agensi nomor dua yang hobi belanja—walau sebenarnya belanjaan utamanya adalah untuk mengisi stok di dapur kantor.
Jika ia hanya pergi sendiri, berarti Kak Akiko tidak bisa jajan banyak untuk dirinya sendiri. Jika ia berhasil menarik setidaknya satu laki-laki dari agensi, maka ia akan sekalian belanja banyak di luar daftar belanjaan kantor. Jika ia mengajak seorang gadis dari kantor seperti Nagiko atau Naomi, kemungkinan setelah belanja mereka akan masuk ke salon atau berlama-lama minum kopi di kafe yang imut—sehingga, harapan Junichiro agar seniornya bisa segera kembali ke kantor untuk membantu mengecek kamera pengawas itu tidak terdengar oleh para dewa.
Walau ingin belanja untuk diri sendiri, Kak Akiko selalu memastikan bahwa ia lebih dulu membeli semua keperluan kantor. Karena Nagiko tahu juga apa-apa saja yang ada dalam daftar belanja, keduanya berpencar dalam toko agar lebih cepat. Itu, sampai ia mendengar suara ledakan.
Nagiko jadi teringat perkataan Junichiro tentang tip dari seorang informan tak dikenal. Apa mungkin itu adalah ledakan yang dimaksud? Tapi, suara ledaknya tidak seperti bom—
"Nagi, dengar ledakannya?" tanya Kak Akiko yang menghampirinya dengan keranjang belanja. Nagiko mengangguk sebagai jawaban. "Ayo cari asal suaranya dulu, aku punya firasat tidak enak." Gadis yang lebih muda itu mengangguk lagi.
Mereka meninggalkan keranjang belanja mereka dan berlari keluar dari toko. Sepanjang perjalanan, warga tampaknya juga membicarakan tentang suara ledakan. Kalau Nagiko tidak salah dengar, ada warga yang bilang bahwa beberapa puluh menit yang lalu ada pemuda pirang berkacamata yang melempar koper di depan stasiun dan tak koper tersebut meledak di udara. Mungkin ada banyak orang dengan ciri-ciri seperti itu, tapi kebetulan bayangan yang masuk dalam otak Nagiko saat mendengar deskripsinya adalah sosok Kunikida-san. Tapi itu kejadian puluhan menit lalu, kan? Berarti ledakan yang ini beda lagi.
"Sepertinya dari bawah," ujar Kak Akiko.
Dokter Perempuan itu berjalan duluan, dan Nagiko hanya mengekorinya, berjalan cepat masuk ke stasiun. Mereka menyusuri terowongan rel kereta api. Tidak sunyi sama sekali, karena ada suara mesin kereta yang tampaknya akan segera lewat.
Lalu Nagiko melihat Kunikida-san yang memeluk erat gadis kecil berambut merah bata. Tepat setelah itu, ia mendengar suara ledakan dan pemandangan silau dari arah seniornya. Nagiko memekik kaget dan spontan menutup matanya, tapi ia bisa merasakan Kak Akiko berlari makin cepat kesana. Jadi keponakan Bos ADB itu berusaha membuka matanya, menemukan gumpalan asap tebal di hadapannya yang semakin menipis. Dan saat asap itu menghilang, ia dapat melihat Kunikida-san dan gadis berambut merah itu dengan pakaian compang-camping, serta Kak Akiko yang tampak lega—dan Nagiko jadi lega juga karena tahu apa yang Dokter Wanita itu pasti telah lakukan.
"Kau tak terluka?! Bagaimana bisa?!" sahut seorang pemuda yang Nagiko tidak kenal, ia mengenakan pakaian serba hitam dan terduduk di lantai, tampak kedua tangannya telah terikat di belakang.
"Harusnya kau memeriksaku lebih dalam lagi," jawab Kunikida-san lelah, "di Agensi Detektif Bersenjata, luka parah berarti tak terluka!"
"Ketika kami mendengar suara ledakan, kami bergegas melihat apa yang sedang terjadi," jelas Kak Akiko menghampiri mereka.
Nagiko mengambil kacamata Kunikida-san yang terjatuh di lantai sebelum turut mendekati seniornya yang pirang, tapi lebih tepatnya ia ingin menghampiri gadis yang bersama pemuda itu untuk mengecek keadaannya. Sudah pasti tidak bakal ada luka karena telah disembuhkan oleh Kak Akiko sih, tapi sedikit banyak mungkin perasaannya sempat terguncang.
"Karena kegiatan Yosano sensei yang tengah berbelanja di dekat stasiun telah kutulis dalam jadwalku hari ini," sambung Kunikida-san.
"Bom yang tadi—itu juga untuk memanggil rekanmu?" tanya pemuda baju hitam.
"Sebenarnya, apa yang akan terjadi kalau bantuannya tidak datang tepat waktu?" tanya gadis berambut merah sembari Nagiko perlahan melepas semacam tali yang ada di leher gadis itu serta memeriksa pakaiannya.
"Aku sudah mengatakan itu sebelumnya, kan?" ujar Kunikida-san. "'Takkan kubiarkan ada yang mati di hadapanku', kan?"
Polisi berdatangan dan segera menangkap pemuda berbaju hitam. Pemuda itu tampak tidak meronta atau berusaha membebaskan diri sama sekali, tampaknya ia sudah menyerah. Kunikida-san dan Kak Akiko menghampiri seorang polisi yang mungkin adalah pemimpin dari tim yang datang untuk memberi laporan, sedangkan Nagiko menggandeng gadis kecil yang daritadi bersama Kunikida-san untuk pergi ke kamar kecil.
Keponakan Bos ADB itu segera meminta gadis cilik tersebut cuci tangan, sambil sendirinya melembabi sapu tangannya. Dengan sapu tangan itu Nagiko mengelap pelan wajah dan leher gadis yang mungkin sepuluh tahun lebih muda darinya. Gadis berambut merah itu pun dengan patuh membiarkan rekan Kunikida-san mengelapnya.
Setelah tampak lebih bersih, Nagiko mengangguk dan tersenyum. "Kurasa sudah tidak begitu cemongan. Kalau bisa nanti langsung pulang untuk bersih-bersih saja, ya?"
Gadis kecil itu menunduk dan Nagiko bisa melihatnya memasang tampang lesu. "Kalau begitu, berarti aku harus bolos latihan karate hari ini…."
"Tubuhmu tidak ada luka sama sekali, tapi kamu tetap harus menenangkan diri dulu. Jadi, untuk hari ini saja, tidak apa, kan?" tanya Nagiko lagi lembut.
Lawan bicaranya meremas ujung rok yang sudah kena bekas bakar. "Tapi … ayah akan marah…."
Ah. Dibanding pengeboman yang tadi, sepertinya gadis ini lebih takut pada sang ayah. "Namamu siapa?"
"Aya. Koda Aya."
Nagiko mengambil kartu namanya. "Namaku Nagiko, aku bekerja di Agensi Detektif Bersenjata, bersama dengan Kunikida-san dan Akiko-nee yang menggunakan kemampuannya agar kalian selamat dari ledakan. Jika nanti ayahmu marah, katakan padanya bahwa kamu adalah saksi penting sekaligus korban kasus pengeboman, dan akan diminta untuk memberi laporan ke agensi. Katakan juga, bahwa orang agensilah yang menyuruhmu untuk tidak pergi latihan karate hari ini."
Aya mengambil kartu nama itu, membacanya pelan sambil mengerjap lalu menatap lawan bicaranya lagi. Dengan mata berbinar ia mengangguk. Mau tak mau Nagiko tersenyum lagi sambil menepuk pelan puncak kepala gadis itu.
"Atau, kalau kamu berani keluyuran dengan pakaian begini, bagaimana kalau kamu ikut aku dan Aki-nee belanja? Kita bisa sekalian beli baju baru untukmu, lalu ke agensi sebentar, dan aku akan mengantarmu pulang?"
"Boleh?"
Nagiko mengangguk dan Aya tampak girang.
Saat keduanya keluar dari kamar kecil dan dari stasiun, pelaku pengeboman sudah tidak ada disana, tapi masih ada beberapa polisi yang mondar-mandir, mungkin ingin mensterilisasi lokasi sekenanya. Nagiko dan Aya menghampiri Kunikida-san yang lebih dekat. Gadis yang lebih muda setahun dari Si Kacamata itu teringat ia masih menyimpan alat bantu penglihatan pemuda itu, jadi ia sodorkan pada yang punya.
"Kunikida-san, nih, sudah kubersihkan," ujar Nagiko. Pemuda itu tersenyum menerimanya, menggumam 'terima kasih' pelan sambil mengenakannya. Lalu Nagiko terkekeh. "Kunikida-san, rambutmu berantakan, mau kubantu ikat ulang rambutmu?"
"Aaah, boleh, baiklah."
Sadar dirinya hampir tiga puluh centimeter lebih tinggi dari gadis itu, Kunikida-san duduk di bawah, membiarkan keponakan bosnya melepas ikatan rambutnya, merapikan ala kadarnya, dan mengikatnya lagi.
Lalu Nagiko menyeringai kecil karena teringat saat seniornya itu mengikat rambutnya saat Fenomena Kabut. "Apa perlu kubalas bilang bahwa saat ini Kunikida-san benar-benar jauh dari tipe idealku?"
"Ap—" Kunikida-san tampak terkejut, ia berbalik muka untuk menemukan kekehan gadis itu. "Nagiko, aku sudah minta maaf, kan?"
Nagiko masih terkekeh geli sebentar sebelum tersenyum. "Aku bercanda, Kunikida-san."
.
.
Dazai-san telah melarangnya pergi ke kantor hari itu, tapi Nagiko ngeyel dengan berkata bahwa ia akan baik-baik saja. Saat ini adalah musim panas, dan hampir tidak akan ada hujan di bulan seperti ini—tapi, setelah mengantar Aya pulang ke rumahnya, Nagiko dan Kunikida-san diguyur hujan lebat yang turun tiba-tiba. Walau keduanya kembali dengan kereta, tetap saja mereka keburu basah kuyup.
Tahu bahwa keponakannya mudah pilek dan demam jika kena hujan, Paman Yukichi sudah memintanya untuk memastikan diri bahwa ia tidak bersin-bersin di pagi hari jika akan berangkat kerja. Memang benar, Nagiko tidak bersin, hidungnya tidak gatal, kerongkongannya juga tidak ada masalah. Sayangnya, perubahan suhu tubuhnya yang padahal tidak siknifikan itu tidak luput sama sekali dari sentuhan Dazai-san.
Ngotot untuk tetap pergi ke agensi, Nagiko tumbang di sore hari, untungnya sedang tidak ada kasus yang perlu ditangani. Ranpo-san hanya berhasil menebak bahwa gadis yang duduk di sebelahnya akan hilang kesadaran setidaknya beberapa detik saja sebelum kejadian, Si Detektif hanya memanggil Dazai-san untuk segera membaringkan Nagiko di ruang kesehatan. Gadis itu sempat mendengar titah kakak angkatnya, ia ingin membalas bahwa dirinya baik-baik saja, tapi penglihatannya keburu kabur.
Saat tersadar, Nagiko tahu dirinya pasti sudah ada di ruang kesehatan. Entah berapa lama ia tidak sadarkan diri, tapi yang pasti sudah ada Dazai-san, Paman Yukichi, Kak Akiko, dan Kunikida-san yang menungguinya. Selain merasakan tangannya digenggam erat oleh Dazai-san, Nagiko juga merasa dahinya agak lembab—mungkin karena sedang dikompres.
"Bagaimana perasaanmu?" tanya Dazai-san lembut.
" … mataku agak berkunang-kunang," aku Nagiko lemah.
Paman Yukichi menghela. "Tentu saja, kamu itu kan, tidak boleh kehujanan."
"Tapi tadi pagi memang aku tidak ada gejala pilek," jawab Nagiko.
"Tapi aku sudah bilang agar kamu tidak usah ke kantor hari ini," balas Dazai-san dengan nada serupa sambil membelai punggung tangan gadis itu dengan ibu jarinya.
Giliran Kunikida-san yang menghela. Si Kacamata menghampiri ranjangnya sambil menyodorkan masker. "Sebenarnya kubawa ini hari ini untuk jaga-jaga kalau mendadak aku jadi pilek karena kehujanan kemarin, tapi sepertinya kamu akan kena pilek duluan setelah demam. Jadi, pakai ini dan segera pulang, istirahat di rumah saja."
Nagiko manyun, tapi ia sudah tidak berani membantah lagi. Paman Yukichi dan Kunikida-san menatapnya dengan tajam, seperti akan segera menghukum gadis itu jika menolak dan kukuh berkata dirinya baik-baik saja—dan sebenarnya sekarang Nagiko juga sudah merasa bahwa kepalanya tidak sebaik pagi saat ia terbangun tadi.
Keesokkan harinya, Nagiko tidak pergi kerja. Demamnya sudah agak turun, tapi pileknya malah menjadi. Walau sudah diusir gadis itu, Dazai-san malah memakai alasan 'ingin merawat Nagiko' agar bolos kerja. Sebenarnya, Nagiko agak bersyukur juga dengan keberadaan pemuda itu saat ini, setidaknya ia jadi ada teman di apartemennya. Tapi—
"Dazai-san, jangan peluk aku begini terus, panas," sahut Nagiko dibalik maskernya.
Bukan menurut, pelukan pemuda itu makin erat di ranjang. "Bagus dong, biar ingusnya keluar semua, bakteri dan kumannya mati semua."
Gadis itu mencibir. "Aku tidak mau Dazai-san ketularan sakit nanti."
"Aih, Nagi jadi cemas ya—"
"Bukan begitu. Kalau Dazai-san sakit, nanti malah jadi alasan biar manja-manja ke aku."
" … yah, ketahuan."
"Dazai-san, seriusan, aku tidak bakal kabur, jadi tolong lepaskan aku," pinta Nagiko sambil mendongakkan kepalanya, menatap pemuda yang memeluknya dari belakang itu.
Dilihatnya Dazai-san tersenyum. Pemuda itu perlahan melepas pelukannya. Belum Nagiko sempat merasa lega, gadis itu dibuat rebah di ranjang, dengan Dazai-san yang tersenyum lembut ada di atasnya.
"Tidur, gih," ujar Dazai-san.
Nagiko menolak bertemu pandang dengan bola mata di hadapannya. "Ini masih jam sepuluh pagi," cicitnya dengan nafas agak menggebu di balik masker.
"Gapapa, nanti saat terbangun, bisa langsung makan siang," balas Dazai-san.
"Tapi—"
"Kalau tidak tidur, kamu pasti bakal kabur dari ranjang dan pegang ponsel atau laptop untuk kerja."
Skak. Nagiko memang berpikir untuk melakukan itu. Setidaknya ia ingin mengecek kasus yang sedang diterima agensi hari ini, siapa tahu ia bisa melakukan sesuatu dari rumah.
"Nagi," gumam Dazai-san sambil mengelus bagian pipi Nagiko yang tidak tertutup masker. "Tidur."
"Nanti saja—"
Belum sempat Nagiko menyelesaikan kalimatnya, Dazai-san langsung memotongnya dengan menempelkan bibirnya di ke masker gadis itu. Nagiko terbelalak kaget, terutamat saat ia sadar bahwa Dazai-san sedang menciumnya dari depan masker. Bibir mereka hanya dibatasi masker tipis saat ini—sensasinya jelas berbeda dengan ketika mereka dihalangi tangan Nagiko, karena sekarang gadis itu bisa merasakan bentuk mulut rekannya walau tidak secara langsung.
Nafasnya semakin menggebu, jantungnya berdetak sangat kencang—entah Dazai-san bisa mendengarnya dari jarak sedekat itu atau tidak. Pemuda itu seakan sedang melahap bibir Nagiko dari balik masker, tapi Si Gadis tidak punya tenaga yang cukup untuk mendorong tubuh Dazai-san. Jadi sambil melenguh dalam ciuman itu, si keponakan Bos ADB malah meremas dada kemeja Dazai-san, dan satu tangan pemuda itu melingkar di pinggangnya sembari yang satu menangkap tangan Nagiko untuk digenggam.
Kepala Nagiko menjadi sangat pening. Dengan susah payah ia menarik kepalanya sendiri agar lepas dari Dazai-san. Gadis itu terengah, dan Nagiko tidak tahu wajahnya memanas karena demam, atau karena mengenakan masker, atau karena perlakukan Dazai-san.
Pemuda itu tersenyum sambil menempelkan dahi mereka. "Tidur, Sayang. Kalau tidak mau, akan kucium lagi."
Si Gadis memekik kecil mendengar kalimat skak mat tersebut, lalu membuang muka, membuat Dazai-san terkekeh. Dengan lembut pemuda itu melepas masker Nagiko, membuat gadis itu agak terkejut.
"Kuganti maskernya dulu, habis itu Nagiko harus tidur, ya?" pinta Dazai-san lagi.
Nagiko mengangguk. Tidak ada masker yang dapat menyembunyikan rona wajahnya untuk saat ini, jadi gadis itu menggunakan kedua tangan untuk menutupinya. Terdengar kekehan Si Pemuda lagi, dan Nagiko pasrah saat dirasakannya Dazai-san mencium puncak kepalanya.
.
.
Bersambung
.
.
A/N: Fei cek di gugel, katanya memang white black thunder dan nama caramel adalah oleh-oleh yang biasa dibeli kalau pergi ke Sapporo. Kalau black thunder itu versi yang biasa aja (di Indonesia juga ada jual), sedangkan yang putih itu khas area Hokkaido karena pakai susu darisana.
Tentang dari Yokohama ke Sapporo makan 9 jam dengan kereta itu, Fei hanya kira-kira dengan lebihin sedikit dari versi yang di gugelmap, Fei ngetik bagian itu tanggal 27 Juli 2023 (jadi kalau sekarang saat Fei unggah atau entah kapan pembaca baca ini ternyata estimasi jamnya sudah beda, harap maklum). Kalau Fei gak salah paham saat lihat mapnya, memang ada jalur kereta kesana dengan beberapa kali transit.
Ketika sunting chapter ini di Doc Manager, season 5 sudah selesai tayang, dan Fei jadi kepikiran bahwa agak sayang aja karakter Aya dikenalkannya lewat OVA, padahal di manga aja itu bukan chapter spin off loh, jadinya memang sesuai alur. Memang saat itu cuman terkesan isi cerita aja karena ada jeda dari perang lawan The Guild dan Cannibalism, tapi siapa sangka bahwa kasus yang mendadak ditangani Kunikida itu berperan penting di Arc Cannibalism dan Arc Vampire. Keren banget Aya, yang anime watcher only tahu dikenalin lewat OVA aja, ternyata bisa punya perang sangat penting untuk tokoh Bram karena mulanya dia diselamatkan Kunikida.
Review?
